Lompat ke isi

Halitosis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bau mulut, juga dikenal sebagai halitosis, merupakan kondisi bau napas yang tidak sedap.[1] Bau ini dapat menimbulkan rasa malu dan cemas pada orang yang mengalaminya.[1] Halitosis juga dapat berkaitan dengan depresi dan gejala gangguan obsesif kompulsif.[1]

Bakteri yang ada di dalam mulut menghasilkan senyawa bau busuk.[2] Penyebab utama bau mulut disebabkan oleh gas yang dihasilkan oleh bakteri dalam rongga mulut, terdiri dari hidrogen sulfida, metil merkaptan, dan dimetil sulfida. Gas tersebut terbentuk karena proses metabolisme protein yang di dalamnya terdapat asam amino yang mengandung sulfur dari bakteri di rongga mulut. Selain itu, zat lain penyebab bau mulut di antaranya, skatol dan asam organik.[3] Selain itu, halitosis disebabkan karena penyakit periodontal, infeksi rongga mulut, mulut kering, rokok, ulserasi mukosa, perikoronitis, sisa makanan dalam mulut serta tongue coating. Kebersihan gigi dan mulut menghasilkan rasa percaya diri ketika berkomunikasi, mengonsumsi makanan secara nikmat, kualitas hidup meningkat, juga mempengaruhi terhadap kehidupan sosial. Selain itu, bau mulut akan berdampak negatif terhadap pergaulan, hingga menyebabkan rasa malu ketika berkomunikasi.[4]

Penyakit gusi

[sunting | sunting sumber]

Penumpukan plak pada gigi mengakibatkan iritasi pada gusi, salah satu tandanya bau dari mulut. Hal buruk lainnya, akan merusak gusi dan tulang rahang, dan bau mulut berkepanjangan akibat infeksi.[5]

Infeksi sinus

[sunting | sunting sumber]

Bau mulut juga merupakan pertanda infeksi sinus. Bau mulut tersebut disertai dengan indera penciuman yang menurun, rasa sakit di bagian rahang, serta sulit untuk bernapas.[5]

Penanganan

[sunting | sunting sumber]

Pendekatan kimia maupun fisik dapat dilakukan dalam mengatasi halitosis baik untuk mengurangi bakteri di mulut, menyamarkan bau, maupun bahan kimia yang mengubah molekul penyebab bau.[1] Banyak intervensi berbeda yang telah disarankan dan diujicoba seperti pasta gigi, obat kumur, hingga mengerok lidah.[1]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e Kapoor, U; Sharma, G; Juneja, M; Nagpal, A (2016). "Halitosis: Current concepts on etiology, diagnosis and management". European Journal of Dentistry. 10 (2): 292–300. doi:10.4103/1305-7456.178294. PMC 4813452alt=Dapat diakses gratis. PMID 27095913. 
  2. ^ Ratmini, Ni Ketut (2017). "Bau Mulut". E-JOURNAL POLTEKKES KEMENKES DENPASAR. hlm. 25-26. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-02-22. Diakses tanggal 2022-02-22. 
  3. ^ Wijayanti, Yulia Rachma (2014). "Metode Mengatasi Bau Mulut". Cakradonya Dental Journal. 6 (1): 630. ISSN 2622-4720. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2022-02-22. 
  4. ^ Yulimatussa’diyah, Alwinda P; Blambangan, Bintang G. P. B.; Dewi, Jolinda C.; Herdianto, Radinal S.; Mumtaza, Indi; Nafiis, Minnati M.; Novesia; Rosyidah, Iftitahatur; Sutanti, Tiara N. E. (2016). "Pengetahuan Penanganan Halitosis dalam Masalah Kesehatan Mulut" (PDF). Journal Unair. hlm. 29. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-02-22. Diakses tanggal 2022-02-22. 
  5. ^ a b Lahitani, Sulung (2019). "Waspada, Bau Mulut Bisa Jadi Pertanda 7 Penyakit Berbahaya Ini". liputan6.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-17. Diakses tanggal 2022-02-22.