Hubungan Jerman dengan Korea Utara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hubungan Jerman–Korea Utara
Peta memperlihatkan lokasiGermany and North Korea

Jerman

Korea Utara
Kedutaan Besar Korea Utara di Berlin, Jerman.
Erich Honecker dan Kim Il Sung di Berlin (1984)

Hubungan Jerman dengan Korea Utara mengacu pada hubungan kedua negara sejak Korea Utara berdiri, tepatnya pada 9 September 1948. Saat masih berbentuk Republik Demokratik, Jerman telah menganggap Korea Utara sebagai partner yang penting di blok timur. Oleh karena itu usai reunifikasi, Jerman membuka Kedutaan Besar Jerman di Pyongyang, Korea Utara. Sementara itu, Korea Utara mengubah kedutaan besarnya di Berlin Timur menjadi kantor untuk perlindungan kepentingan Korea Utara. Saat itu Swedia menjadi pelindung kekuasaan Jerman sedangkan Tiongkok menjadi pelindung kekuasaan bagi Korea Utara.[1]

Kedekatan antara Jerman dan Korea Utara telah tampak saat Jerman masih terpecah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur. Namun dibandingkan dengan Jerman Barat, Korea Utara lebih dekat dengan Jerman Timur tepatnya antara tahun 1987 dan 1989. Kesamaan pandangan terhadap reformasi sosialis yang terjadi di Uni Soviet dan Tiongkok menjadi cikal bakal dari hubungan kedua negara. Korea Utara bahkan sempat menarik para pelajar yang menempuh studi di Tiongkok dan Uni Soviet untuk kemudian dikirimkan ke Jerman Timur. Selain itu, mereka juga mengirimkan para warganya ke Jerman untuk mendapatkan pelatihan dan kerja.[2]

Pada Februari 1987, Komite Persiapan Internasional untuk Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia (WYF) menetapkan Pyongyang sebagai tuan rumah WYF ke-13 pada Juli 1989. Atas penetapan itu, panitia WYF menargetkan WYF ke-13 akan dihadiri oleh 20.000 peserta dari 180 negara. Dalam rangka memenuhi harapan tersebut, petinggi Korea Utara saat itu, Kim Jong Il kemudian melakukan berbagai cara. salah satunya adalah dengan mengirimkan berbagai delegasi ke negara-negara komunis di Eropa Timur untuk membeli teknologi dan dukungan. Ternyata salah satu negara yang dilibatkan oleh Korea Utara adalah Jerman Timur. Hal itu terungkap dalam dokumen Stasi atau Polisi Rahasia Jerman Timur.[2]

Dalam dokumen yang tertulis pada 24-26 Januri 1989, tercatat bahwa diadakan pertemuan di Pyongyang yang dihadiri oleh Korea Utara, Jerman Timur, Bulgaria, Kuba, Polandia dan Uni Soviet yang membahas tentang keamanan WYF karena Korea Utara khawatir akan masuknya penyusup atau teroris. Untuk memuluskan rencana Korea Utara dalam menyelenggarakan WYF, Korea Utara meminta bantuan kepada Stasi, Jerman Timur, salah satunya adalah mengenai pemutaran latar belakang semua delegasi festival. Atas bantuan tersebut, WYF kemudian pun dapat berlangsung dengan sukses. Kementerian Perlindungan Negara Korea Utara, Kim Yong Ryong kemudian mengucapkan terima kasih kepada Menteri Keamanan Negara Jerman Timur, Erich Mielke.[2]

Tak sampai di sini saja, peran Jerman Timur lainnya terhadap Korea Utara adalah Jerman Timur sebagai negara transit bagi simpatisan Korea Selatan pada Partai Pekerja Korea. Ini terjadi antara taun 1970 dan 1989. Kala itu Kedutaan Besar Korea Utara yang bermarkas di Berlin secara rutin mengatur warga Korea Selatan yang tinggal di Eropa Barat dan memiliki paspor Swiss, Jerman atau Korea Selatan untuk masuk dan keluar Jerman Timur lalu melakukan perjalanan ke Korea Utara.[2]

Pada 9 September 1986, Jerman Timur dan Korea Utara membuat perjanjian melalui Kementerian Pertahanan Jerman Timur dan Kementerian Tenaga Kerja Korea Utara. Kesepakatan ini membahas tentang kerja sama dalam bidang militer dan merupakan perjanjian pertama antara sebuah negara di Eropa Timur dan Korea Utara. Kesepakatan ditulis dalam dua bahasa, yakni Bahasa Korea dan Bahasa Jerman. Dampak dari kesepakatan itu adalah Korea Utara mengirimkan perwakilan militernya ke Jerman Timur dari 25 Mei hingga 1 Juni 1989 dan menghasilkan 14 langkah kerja dengan jumlah halaman sebanyak 17 buah.[2] Setelah mengalami perjalanan panjang, kedua negara akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan diplomatik yang dimulai sejak 1 Maret 2001.[1]

Perbandingan Negara[sunting | sunting sumber]

Dalam menjalin hubungan bilateral, terdapat perbedaan di antara kedua negara. Berikut adalah sejumlah perbedaannya:

Korea Utara Korea Utara Jerman Jerman
Populasi 24,500,000 82,060,000
Kepadatan Penduduk 226/Km2 198.3/Km2
Area 120,540 km2 (46,541 sq mi) 357,021 km2 (137,847 sq mi)
Ibu kota Pyongyang Berlin
Kota Terbesar Pyongyang Rhine-Ruhr
Pemerintahan Republik Demokratik Federal
Bahasa Resmi Bahasa Korea Bahasa Jerman
Mata Uang Won Euro

Politik[sunting | sunting sumber]

Korea Utara dikenal sebagai negara yang melakukan program senjata nuklir. Melihat hal itu, Jerman kemudian melakukan diplomasi agar Korea Utara melanjutkan perundingan enam negara untuk mengakhiri program senjata nuklir. Jerman juga mendorong Korea Utara untuk memperhatikan keadaan Hak Asasi Manusia (HAM) pada para penduduknya. Namun usaha Jerman tidak membuahkan hasil. Pada 2016, Korea Utara melakukan uji coba senjata nuklir keempat dan kelima serta meluncurkan roket. Akibatnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi PBB 2321 yang isinya adalah himbauan bagi semua anggota PBB harus melarang Korea Utara dari penggunaan properti selain untuk keperluan diplomatik. Jerman merupakan salah satu negara yang menjalankan resolusi ini.[1][3]

Di Berlin terdapat kompleks diplomatik Korea Utara yang telah ada saat perang dingin terjadi. Dahulu, kompleks itu diisi oleh 100 orang diplomat Korea Utara namun sekarang hanya 10 orang saja. Korea Utara kemudian menyewakan sebagian properti yang mereka miliki kepada City Hostel yang disewakan sebesar 17 euro per kamar per malam. Kegiatan penyewaan itu berlangsung selama hampir 1 dekade. Pemasukan juga didapatkan dari penyewaan ruang konferensi hostel. Lewat bisnis tersebut, Korea Utara berhasil mengumpulkan puluhan ribu euro per bulannya yang digunakan untuk membeli barang-barang mewah, teknologi dan keperluan diplomatik.[4]

Untuk membuat Korea Utara jera karena mengabaikan peringatan Jerman dan PBB akan pelarangan program senjata nuklir, pada pertengahan 2017 pemerintah Jerman kemudian berencana memberikan sanksi berupa pelarangan terhadap kegiatan operasional hostel tersebut. Juru bicara Menteri Luar Negeri Jerman, Martin Schäfer bahkan mengatakan bahwa segala bentuk kegiatan komersial Korea Utara atau yang berhubungan dengan Kedutaan Besar Korea Utara di Jerman itu dilarang dan pemerintah harus mematikan sumber pendapatan Korea Utara.[5]

Dalam sebuah berita pada September 2017, Angela Merkel, kanselir Jerman menyatakan Jerman siap jika harus terlibat dalam upaya penyelesaian masalah nuklir di Korea Utara. Ia pun menjadikan kesepakatan Iran di Wina, Austria pada 2015 sebagai rujukan dalam mengatasi masalah ini karena sejak kesepakatan, Iran mau mematuhi aturan dalam membatasi program senjata nuklir.[6]

Budaya[sunting | sunting sumber]

Minat Korea Utara terhadap budaya Jerman seperti musik klasik, film dan sastra terbilang cukup baik. Pada Festival Film Internasional Pyongyang yang berlangsung setiap dua tahun sekali, film Jerman mendapatkan banyak penghargaan. Dua di antaranya berjudul "Lessons of Dream" yang rilis pada 2012 dan "My Beautiful Country" yang rilis pada 2014. Pada 2013, Goethe Institut di Seoul juga mengadakan kegiatan German Film Week (Pekan Film Jerman) dengan menampilkan 17 film. Kegiatan ini berhasil mengundang ribuan pengunjung dari Korea Utara.[1]

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Salah satu kerja sama kedua negara bidang pendidikan ini tampak pada kunjungan sejumlah akademisi Korea Utara di Jerman selama beberapa bulan sebagai peneliti tamu. Pada 2014 juga tercatat 10 anggota kelompok pelajar dan dosen dari Korea Utara melakukan perjalanan di Jerman selama dua minggu. Sebelumnya orang Korea Utara yang ingin studi atau melakukan penelitian dan pelatihan di Jerman dapat melakukannya lebih mudah. Namun kini Jerman menerapkan kebijakan yang lebih ketat, seperti mengharuskan dokter asal Korea Utara untuk bisa berbahasa Jerman agar bisa mendapatkan pelatihan.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e "Korea (Democratic People". Auswärtiges Amt (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-19. 
  2. ^ a b c d e "North Korea and the East German Stasi, 1987-1989". Wilson Center. 2017-05-08. Diakses tanggal 2017-10-19. 
  3. ^ (www.dw.com), Deutsche Welle. "Is Berlin violating UN sanctions on North Korea? | Asia | DW | 06.04.2017". DW.COM (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-19. 
  4. ^ (www.dw.com), Deutsche Welle. "Germany to strengthen sanctions against North Korea | News | DW | 09.05.2017". DW.COM (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-19. 
  5. ^ "Sanctions target N Korea Berlin hostel". BBC News (dalam bahasa Inggris). 2017-05-11. Diakses tanggal 2017-10-19. 
  6. ^ Borger, Julian (2017-09-10). "Merkel offers German role in Iran-style nuclear talks with North Korea". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2017-10-19.