Jam kerja

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jam kerja adalah periode waktu di mana seseorang melakukan pekerjaan untuk mendapatkan upah tertentu.

Banyak negara mengatur minggu kerja, untuk menerapkan istirahat minimum dalam sehari, libur dalam setahun, dan jam kerja maksimal per minggu. Jam kerja dapat berbeda antar pegawai, tergantung pada kondisi ekonomi, lokasi, budaya, pilihan gaya hidup, dan tanggungannya. Contohnya, seseorang yang menanggung anak dan harus membayar kredit pemilikan rumah mungkin harus bekerja lebih lama untuk dapat memenuhi biaya hidup dasar daripada orang yang tidak memiliki tanggungan sama sekali. Pada negara maju seperti Britania Raya, sejumlah orang bekerja paruh waktu karena tidak dapat menemukan pekerjaan purna waktu, namun ada juga yang sengaja mengurangi jam kerjanya agar dapat mengurus keluarganya atau memang tidak ingin terlalu sibuk bekerja.[1]

Jam kerja standar (atau jam kerja normal) merujuk pada aturan untuk membatasi jam kerja per hari, per minggu, per bulan, ataupun per tahun. Jika seorang pegawai perlu bekerja lembur, maka instansinya harus menyediakan upah lembur. Secara umum, jam kerja standar di seluruh dunia adalah sekitar 40 - 44 jam per minggu (di Prancis hanya 35 jam per minggu[2] hingga 112 jam per minggu di kamp buruh Korea Utara)[3] dan upah lembur sebesar 25% - 50% di atas upah normal.[butuh rujukan] Jam kerja maksimum merujuk pada jam kerja paling lama yang boleh dijalani oleh pegawai, sesuai peraturan yang berlaku.[4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Revolusi industri memungkinkan banyak orang untuk bekerja setahun penuh karena tidak lagi tergantung pada musim, dan lampu memungkinkan orang untuk tetap bekerja di malam hari. Budak dan buruh tani pun mulai beralih untuk bekerja di pabrik, sehingga jam kerja meningkat secara signifikan.[5] Sebelum adanya perundingan bersama dan hukum perlindungan pekerja, perusahaan cenderung memaksimalkan keuntungan dengan mempekerjakan orang lebih lama. Jam kerja pada saat itu dapat mencapai 12 - 16 jam per hari dan 6 - 7 hari kerja per minggu.[butuh rujukan]

1906 – mogok kerja untuk menuntut 8 jam kerja di Prancis

Pada abad ke-20, jam kerja diperpendek hingga hampir separuh, sebagian besar karena gaji yang makin tinggi, serta adanya permintaan dari serikat pekerja, perundingan bersama, dan gerakan progresif. Minggu kerja, pada sebagian besar industri, pun dikurangi hingga sekitar 40 jam per minggu pasca Perang Dunia II. Pembatasan jam kerja juga dicantumkan dalam Universal Declaration of Human Rights,[6] International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,[7] dan Piagam Sosial Eropa.[8] Penurunan bahkan terus terjadi di Eropa. Contohnya Prancis yang menerapkan minggu kerja 35 jam mulai tahun 2000. Pada tahun 1995, Tiongkok menerapkan 40 jam kerja per minggu, dan menghapus setengah hari kerja pada hari Sabtu (walaupun tidak terlalu diterapkan). Jam kerja di negara industri seperti Korea Selatan, walaupun masih lebih tinggi daripada negara industri lain, juga terus mengalami penurunan.

Teknologi juga terus meningkatkan produktivitas pekerja, memungkinkan standar hidup pekerja tetap naik walaupun jam kerja terus turun.[9] Pada negara maju, karena waktu yang diperlukan untuk memproduksi suatu barang terus menurun, banyak jam kerja menjadi tersedia untuk menyediakan jasa, menghasilkan pergeseran tenaga kerja antar sektor.

Pada pertengahan dekade 2000-an, Belanda merupakan negara industri pertama yang jam kerja rata-ratanya turun hingga kurang dari 30 jam per minggu.[10]

Penurunan jam kerja secara bertahap[sunting | sunting sumber]

Jam kerja mingguan di Amerika Serikat (biru)

Sebagian besar negara maju telah mengurangi jam kerja secara signifikan.[11][12] Contohnya, di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 diperkirakan bahwa jam kerjanya mencapai 60 jam per minggu.[13] Hari ini, jam kerja rata-rata di Amerika Serikat adalah sekitar 33 jam,[14] dengan laki-laki rata-rata dipekerjakan selama 8,4 jam per hari, dan wanita rata-rata dipekerjakan selama 7,9 jam per hari.[15] Negara dengan jam kerja terendah adalah Belanda dengan 27 jam per minggu,[16] dan Prancis dengan 30 jam.[17] Pada tahun 2011, dari 26 negara OECD, Jerman memiliki jam kerja terendah, yakni 25,6 jam per minggu.[18]

New Economics Foundation merekomendasikan penurunan jam kerja hingga 21 jam untuk mengatasi masalah pengangguran, emisi karbon, kehidupan yang kurang layak, terlalu banyak lembur, dan kurangnya waktu untuk keluarga.[19][20][21] Jam kerja memang telah menurun di negara maju.[22]

Faktor yang berkontribusi dalam penurunan jam kerja dan peningkatan standar hidup antara lain:

Artikel terbaru[23][24] bahkan berargumen bahwa penerapan minggu empat hari dapat meningkatkan konsumsi dan mengangkat ekonomi. Walaupun begitu, artikel lain menyatakan bahwa konsumsi justru akan menurun, dan dapat mengurangi dampak terhadap lingkungan.[25][26][27] Argumen lain untuk empat hari kerja dalam seminggu antara lain dapat meningkatkan strata pendidikan para pekerja (karena akan memiliki lebih banyak waktu untuk berkuliah atau mengikuti kursus) dan meningkatkan kesehatan pekerja (karena akan memiliki lebih banyak waktu untuk berolahraga). Pengurangan jam kerja juga dapat menghemat biaya day care dan transportasi, sehingga membantu mengurangi emisi karbon. Keuntungan inipun dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Woods, Judith (1 May 2012). "More and more workers join the part-time revolution". The Daily Telegraph. London. 
  2. ^ "French labour laws: Working time and leave < Jobs France | Expatica France". Expatica.com. Diakses tanggal 2014-07-14. 
  3. ^ Ryall, Julian (2013-09-05). "Up to 20,000 North Korean prison camp inmates have 'disappeared' says human rights group". The Daily Telegraph. London. 
  4. ^ Ho, Lok Sang (20 November 2012). "Setting maximum work hours first". China Daily. 
  5. ^ Juliet Schor (1991) The Overworked American, pp. 43–seq, excerpt: Pre-industrial workers had a shorter workweek than today's
  6. ^ Universal Declaration of Human Rights, 24
  7. ^ International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, Article 7
  8. ^ Piagam Sosial Eropa, Article 2
  9. ^ ftp://ftp.bls.gov/pub/special.requests/opt/lpr/histmfgsic.zip[pranala nonaktif permanen]
  10. ^ "Working time in the European Union: the Netherlands". Eurofound.europa.eu. Diakses tanggal 2014-07-14. 
  11. ^ "Insee – Travail-Emploi – Soixante ans de réduction du temps de travail dans le monde". Insee.fr. Diakses tanggal 2014-07-14. 
  12. ^ "Evolution de la durée du travail en France et dans le monde – Direccte". Lorraine.direccte.gouv.fr. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-02. Diakses tanggal 2014-07-14. 
  13. ^ "Hours of Work in U.S. History". Economic History Association. 2010-02-01. 
  14. ^ "United States Average Weekly Hours". Bsu.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-12-10. Diakses tanggal 2014-07-14. 
  15. ^ "American Time Use Survey Summary". Bls.gov. 2017-06-27. Diakses tanggal 2018-06-06. 
  16. ^ "Gapminder World". Gapminder.org. Diakses tanggal 2014-07-14. 
  17. ^ "Gapminder World". Gapminder.org. Diakses tanggal 2014-07-14. 
  18. ^ "Countries where people work least". nbcnews.com. 2012. Diakses tanggal 2015-02-09. 
  19. ^ Coote, Anna; Franklin, Jane; Simms, Andrew (February 2010). 21 hours: Why a shorter working week can help us all to flourish in the 21st century (PDF). London: New Economics Foundation. ISBN 9781904882701. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 9 February 2016. Diakses tanggal 18 October 2016. 
  20. ^ Stuart, H. (January 7, 2012) "Cut the working week to a maximum of 20 hours, urge top economists" The Guardian
  21. ^ Schachter, H. (February 10, 2012) "Save the world with a 3-day work week" Diarsipkan 2016-05-05 di Wayback Machine. Globe and Mail
  22. ^ Gapminder Foundation (2011) "Gapminder World" graph of working hours per week plotted against purchasing power- and inflation-adjusted GDP per capita over time gapminder.org
  23. ^ "Business: On the Way to a Four-Day Week". Time. 1971-03-01. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-21. Diakses tanggal 2020-01-21. 
  24. ^ Janice Peterson (2008-06-09). "Study finds four-day work week optimal". Heraldextra.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-16. Diakses tanggal 2011-01-31. 
  25. ^ Anders Hayden (2012-06-11). "Working Less for a Sustainable Future". CommonDreams.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-25. Diakses tanggal 2020-01-21. 
  26. ^ Sharing the Work, Sparing the Planet. book. ASIN 1896357288. 
  27. ^ Frey, Philipp (2019). "The Ecological Limits of Work: on carbon emissions, carbon budgets and working time" (PDF). Autonomy Research. Diakses tanggal 2019-09-09. 

OECD (2019),[1]

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]

  • Lee, Sangheon, Deirdre McCann and Jon C. Messenger, (2007), "Working Time Around the World'. Trends in working hours, laws and policies in a global comparative perspective". London: ILO/Routledge.
  • McCann, Deirdre, (2005), "Working Time Laws: A global perspective", ILO, ISBN 92-2-117323-2
  • McCarthy, Eugene J. and William McGaughey, (1989), "Nonfinancial Economics: The Case for Shorter Hours of Work", Praeger

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hours worked (indicator). doi: 10.1787/47be1c78-en (Accessed on 02 August 2019);