Keresidenan Banyumas
Keresidenan Banyumas adalah wilayah pemerintahan masa Hindia Belanda yang meliputi: Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap. Pada masa sekarang, jabatan setingkat residen masih diisi oleh pejabat Pembantu Gubernur Wilayah Banyumas, tetapi tidak memiliki kewenangan pengaturan. Wilayah kerjanya meliputi semua kabupaten eks-Karesidenan Banyumas. Dalam administrasi kendaraan bermotor, wilayah eks-Keresidenan Banyumas diberi kode Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dengan huruf R.
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Berdasarkan Resolusi Dewan Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1831 Nomor 1 dibentuklah Keresidenan Banyumas yang pada mula wilayahnya terbatas atas lima kadipaten, yaitu: Kadipaten Banyumas, Kadipaten Ajibarang (Banyumas), Kadipaten Purbalingga, Kadipaten Banjarnegara, dan Kadipaten Majenang (Cilacap). Pasca undang-undang desentralisasi tahun 1903, wilayah Keresidenan Banyumas ditetapkan dalam Staatsblad No. 136 tahun 1907.[1]
Semenjak krisis pada tahun 1950-an, sudah tidak ada keresidenan lagi dan yang muncul faktor kekuasaannya adalah kabupaten. Keresidenan kemudian dikenal dengan istilah "Pembantu Gubernur". Istilah ini sudah tidak digunakan lagi, akan tetapi sebutan "eks-keresidenan" masih dipakai secara informal. Setelah itu, muncul nomenklatur baru yaitu Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) yang berada di bawah pemerintahan provinsi. Kepala Bakorwil tidak memiliki kewenangan otonom dan administatif karena hanya bertugas mengkoordinasikan hal-hal tertentu kepada wali kota atau bupati. Cakupan Bakorwil tidak sama dengan keresidenan, semisal Jawa Tengah, eks keresidenan Kedu, Banyumas, dan Pekalongan masuk dalam satu Bakorwil.
Residen
[sunting | sunting sumber]Berikut adalah daftar residen yang pernah memerintah Banyumas.
Residen Banyumas | Mulai | Selesai |
---|---|---|
Jacques Eduard de Sturler | skt. 1830 | 1835 |
Guillaume de Seriere | 1835 | 1838 |
Lodewijk Launy | 1838 | 1843 |
Pieter Johannes Overhand | 1843 | 1846 |
Frederik Hendrik Doornik | 1846 | 5 Agustus 1849 |
tak diketahui | 1849 | 1850 |
Dirk Carel August van Hogendorp | 1850 | 1852 |
Herman Constantijn van der Wijck | 1853 | 1855 |
Christiaan van der Moore | 1855 | 1858 |
Gerard Cornelis Schonck | 1858 | 1859 |
Salomon van Deventer | 1860 | 17 Januari 1862 |
Johannes Petrus Zoetelief | 17 Januari 1862 | 6 Oktober 1867 |
Cornelis de Waal | 6 Oktober 1867 | 11 Mei 1873 |
Mathias Herman Willem Nieuwenhuijs | 11 Mei 1873 | 2 September 1874 |
Jan Paul Frederik Gericke | 2 September 1874 | 5 Oktober 1877 |
Cornelis de Clercq Moolenburgh | 5 Oktober 1877 | 5 Maret 1881 |
Frederik August Andries Ruitenbach | 5 Maret 1881 | 19 Juli 1884 |
Livinus Johannes Selleger | 19 Juli 1884 | 20 April 1890 |
Carl Eugene Gerard Ottenhoff | 20 April 1890 | 7 April 1896 |
Lüder Carel Andreas Frederik Lange | 7 April 1896 | 10 Oktober 1901 |
GA. Hogenraad | 10 Oktober 1901 | 2 Juni 1902 |
Tjalling Halbertsma | 2 Juni 1902 | 15 September 1906 |
Leonard Nicolaas van Meeverden | 15 September 1906 | 24 September 1907 |
Gideon Jan Oudemans | 24 September 1907 | 17 Januari 1908 |
Herman George Heijting | 17 Januari 1908 | 2 Januari 1913 |
EWH. Doeve | 2 Januari 1913 | 9 Mei 1916 |
K. Wijbrands | 9 Mei 1916 | 9 Mei 1919 |
M. Zandveld | 9 Mei 1919 | 4 Juli 1922 |
Marinus Jacobus van der Pauwert | 4 Juli 1922 | 6 November 1925 |
Jacques Jelle van Helsdingen | 6 November 1925 | 1928 |
Antara tahun 1928-1931 dipecah menjadi Keresidenan Banyumas Selatan dan Utara | ||
Willem Charles Adriaans | 15 Oktober 1931 | 28 Juli 1933 |
Floris Dersjant | 28 Juli 1933 | 26 Mei 1934 |
Henri George François van Huls | 26 Mei 1934 | 4 September 1937 |
JA. Ruys | 4 September 1937 | 14 Februari 1941 |
Johan Willem Anthonius Boots | 14 Februari 1941 | Pendudukan Jepang |
Ryuzi Iwasige | 25 Agustus 1942 | |
Elbert Marinus Stok | 1947 | 1949 |
Mataram Kuno
[sunting | sunting sumber]Surakarta
[sunting | sunting sumber]Kesenian
[sunting | sunting sumber]Kesenian khas di wilayah Banyumasan (eks Keresidenan Banyumas) mendapat pengaruh dari pusat kebudayaan Jawa (Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat). Kesenian yang tumbuh dan berkembang antara lain:
- Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, yaitu jenis seni pertunjukan wayang kulit yang bernapaskan Banyumasan. Di daerah ini dikenal ada dua gragak atau gaya, yaitu Gragak Kidul Gunung dan Gragak Lor Gunung. Spesifikasi dari wayang kulit gragak Banyumasan adalah napas kerakyatannya yang begitu kental dalam pertunjukannya.
- Begalan, adalah salah satu tradisi budaya masyarakat Jawa, utamanya Banyumas yang dilaksanakan sebagai bagian dari prosesi pernikahan yang dilaksanakan setelah acara akad nikah atau pada saat resepsi di tempat calon pengantin perempuan dimana yang dinikahkan adalah anak pertama dengan anak pertama, anak terakhir dengan anak terakhir, anak pertama dengan anak terakhir, dan anak pertama yang perempuan.[2]
- Calung Banyumasan, adalah alat musik yang terbuat dari potongan bambu yang diletakkan melintang dan dimainkan dengan cara dipukul. Perangkat musik khas Banyumasan yang terbuat dari bambu wulung mirip dengan gamelan jawa, terdiri atas Gambang barung, Gambang penerus, Dhendhem, Kenong, Gong dan Kendang. Selain itu ada juga Gong Sebul dinamakan demikian karena bunyi yang dikeluarkan mirip gong tetapi dimainkan dengan cara ditiup (sebul), alat ini juga terbuat dari bambu dengan ukuran yang besar. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lazim disebut Sinden. Aransemen musikal yang disajikan berupa gending-gending Banyumasan, Gending gaya Banyumasan, Surakarta-Yogyakarta dan sering pula disajikan lagu-lagu pop yang diaransir ulang.
- Kenthongan Tek-Tek, adalah alat utamanya, berupa potongan bambu yang diberi lubang memanjang disisinya dan dimainkan dengan cara dipukul dengan tongkat kayu pendek. Kenthongan dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari sekitar 20 orang dan dilengkapi dengan Beduk, Seruling, Kecrek dan dipimpin oleh mayoret. Dalam satu grup kenthongan, Kenthong yang dipakai ada beberapa macam sehingga menghasilkan bunyi yang selaras. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan tembang Jawa dan Dangdut.
- Solawatan Jawa, adalah seni musik yang bercorak Islam dengan perangkat musik berupa terbang Jawa. Dalam pertunjukan kesenian ini menyajikan lagu-lagu yang diambil dari kitab Barzanji.
- Lengger, adalah jenis tarian tradisional yang tumbuh subur diwilayah sebaran budaya Banyumasan. Kesenian ini umumnya disajikan oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir seorang penari pria yang lazim disebut Badut (badut/bodor), Lengger disajikan di atas panggung pada malam hari atau siang hari, dan diiringi oleh perangkat musik calung.
- Sintren, adalah seni traditional yang dimainkan oleh seorang pria yang mengenakan busana wanita. Biasanya kesenian ini melekat pada kesenian ébég. Ditengah pertunjukkan ebeg para pemain melakukan trance (mêndhêm), kemudian salah seorang pemain mendem badan, kemudian ditindih dengan lesung dan dimasukkan ke dalam kurungan. Di dalam kurungan itu ia berdandan secara wanita dan menari bersama-sama dengan pemain yang lain. Pada beberapa kasus, pemain itu melakukan thole-thole, yaitu penari membawa tampah dan berkeliling arena untuk meminta sumbangan penonton.
- Aksi Muda, adalah kesenian bercorak Islam yang tersaji dalam bentuk atraksi Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian.
- Angguk, yaitu kesenian bernapaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, dan pada bagian akhir pertunjukkan para pemain Trance (tidak sadar).
- Aplang Daeng, Kesenian yang serupa dengan Angguk, pemainnya terdiri atas remaja Putri.
- Bongkel, adalah alat musik yang terbuat dari bambu, terdiri atas satu buah instrumen dengan empat bilah berlaras Slendro, dengan nada 2, 3, 5, 6. Dalam pertunjukkannya Bongkel disajikan Gending khusus bongkel. Alat musik ini mirip Angklung.
- Seni Buncis, yaitu perpaduan antara seni musik dan seni tari yang disajikan oleh delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau mendhem.
- Ebeg, adalah bentuk tari tradisional khas Banyumasan dengan Properti utama berupa ebeg atau kuda kepang. Kesenian ini menggambarkan kegagahan prajurit berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukkan ebeg dilengkapi dengan atraksi barongan, penthul & cépét. Dalam pertunjukkannya ebeg diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Kesenian ini mirip dengan Jathilan, Kuda kepang dan Kuda lumping di daerah lain.
Bahasa
[sunting | sunting sumber]Bahasa yang dituturkan adalah Bahasa Jawa Banyumasan, atau yang lebih akrab disebut sebagai Bahasa Ngapak, adalah dialek bahasa Jawa yang dituturkan oleh masyarakat di Jawa Tengah bagian barat. Lebih tepatnya di dua eks-keresidenan Banyumas dan Pekalongan.
Eks-Keresidenan Banyumas meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen. Eks Keresidenan Pekalongan meliputi Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Brebes, Pemalang, Batang, Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan. Dialek Banyumasan juga sampai ke Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon dan wilayah Jawa Barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah lain seperti Ciamis, Pangandaran meskipun sudah tercampur dengan bahasa dan dialek Sunda. Sejumlah ahli bahasa Jawa menyebut Bahasa Banyumasan sebagai bentuk Bahasa Jawa asli atau tahap awal.[3][4]
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]