Lompat ke isi

Resistansi antimikroba

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kekebalan antimikroba)

Resistansi antimikroba (bahasa Inggris: Antimicrobial resistance atau AMR) terjadi ketika mikroba berevolusi sehingga memiliki mekanisme baru yang melindunginya dari efek antimikroba.[1] Resistansi antibiotik adalah salah satu bentuk dari AMR, khususnya menjadi kebalnya bakteri terhadap antibiotik.[1] Infeksi yang disebabkan oleh mikroba kebal lebih sulit untuk ditangani. Dosis obat antimikroba yang diberikan kepada pasien harus lebih besar atau digantikan dengan pilihan obat lain yang mungkin lebih toksik. Penyelesaian kasus AMR, dengan demikian, mungkin lebih mahal. Kekebalan mikroba terhadap banyak jenis antimikroba disebut sebagai resistansi obat ganda (multidrug resistant atau MDR).

Semua golongan mikroba dapat berevolusi dan menjadi kebal. Jamur berkembang menjadi kebal terhadap obat antijamur. Virus berkembang menjadi kebal terhadap obat antivirus. Protozoa menjadi kebal terhadap obat antiprotozoa. Bakteri menjadi kebal terhadap obat antibiotik. Bakteri yang sangat kebal terhadap obat (extensively drug resistant atau XDR) atau sepenuhnya kebal (totally drug resistant atau TDR) kadang disebut sebagai "superbug". Kekebalan bakteri dapat muncul secara alami karena mutasi genetik atau karena kekebalan yang ditransfer dari bakteri lain.[2] Di sisi lain, penggunaan jangka panjang antimikroba dapat mendorong seleksi mutasi. Kejadian ini dapat membuat antimikroba tidak efektif.

Pencegahan penyalahgunaan antibiotik, dengan tujuan pengendalian resistansi antibiotik, mencakup pemberian antibiotik hanya jika diresepkan.[3] Penggunaan antibiotik spektrum sempit lebih diutamakan daripada antibiotik spektrum luas jika mungkin. Menangani penyakit dengan menyasar organisme yang spesifik secara efektif dan akurat lebih sedikit menyebabkan kekebalan mikroba dan efek samping bagi pasien.[4] Individu yang menggunakan obat ini sebagai pasien rawat jalan (tidak dirawat inap) harus diajarkan penggunaan obat yang benar. Penyedia layanan kesehatan dapat mengurangi penyebaran infeksi resistan dengan sanitasi dan higienitas yang baik, antara lain dengan mencuci tangan yang baik dan desinfeksi pada para pasien. Hal ini juga didorong dilakukan oleh pasien, pengunjung, dan keluarga pasien.

Organisasi Kesehatan Dunia (Word Health Organization, WHO) mendefinisikan resistansi antimikroba sebagai resistansi mikroorganisme terhadap obat antimikroba yang sebelumnya dapat mengatasi infeksi karena mikroorganisme tersebut.[2] Seseorang tidak berubah menjadi resistan terhadap suatu antibiotik. Resistansi adalah kekebalan yang dimiliki oleh mikroba, bukan orang atau organisme lain yang terinfeksi oleh mikroba. Semua jenis mikroba dapat menjadi kebal terhadap obat. Maka dari itu, terdapat resistansi antibiotik, antijamur, antivirus, dan antiparasit.[5][6]

Resistansi antibiotik adalah salah satu jenis resistansi antimikroba. Resistansi ini berhubungan dengan bakteri sehingga dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu resistansi mikrobiologi dan klinis. Resistansi mikrobiologi paling sering terjadi; resistansi ini disebabkan oleh kondisi gen, entah karena mutasi atau bawaan, yang menyebabkan bakteri kebal terhadap mekanisme pembunuhan mikroba dengan antibiotik tertentu. Resistansi klinis tampak pada kegagalan sejumlah teknik terapi ketika bakteri yang mudah terpengaruh oleh suatu perlakuan pada keadaan normal menjadi kebal setelah bertahan usai perlakuan tersebut. Jika kedua resistansi tersebut muncul tanpa indikasi bawaan (acquired resistance), bakteri dapat meneruskan katalis genetik resistansi melalui transfer gen horizontal: konjugasi, transduksi, atau transformasi. Kejadian ini memungkinkan penyebaran resistansi antarbakteri dengan spesies yang sama atau mirip.[7]

Resistansi antimikroba disebabkan terutama oleh penggunaan berlebihan/kesalahan penggunaan antimikroba. Karena hal tersebut, mikroba yang kemudian memiliki pertahanan terhadap obat yang digunakan untuk menangani mikroba itu atau memiliki strain yang secara alami tahan terhadap antimikroba menjadi lebih banyak daripada mikroba yang dapat dikalahkan dengan mudah menggunakan obat. Walaupun resistansi antimikroba terjadi secara alami seiring waktu berjalan, penggunaan agen antimikroba pada berbagai kondisi baik dalam industri kesehatan maupun di luar itu berakibat pada resistansi antimikroba yang semakin banyak terjadi.[8]

Mikroba banyak menjadi resistan terhadap antibiotik seiring waktu melalui mutasi alami, peresepan antibiotik yang berlebihan dan yang tidak tepat mempercepat masalah itu timbul. Di Amerika Serikat pada tahun 2010 hingga 2011, satu dari tiga peresepan antibiotik mungkin tidak diperlukan.[9] Ditemukan hampir 154 juta peresepan antibiotik setiap tahun; hampir 46 juta resep di antaranya tidak diperlukan atau tidak tepat untuk kondisi pasien.[9] Mikroba dapat menjadi kebal secara alami melalui mutasi genetik yang muncul pada pembelahan sel. Walaupun mutasi secara acak jarang terjadi, banyak mikroba bereproduksi dalam frekuensi tinggi dan cepat, meningkatkan kemungkinan anggota populasi mengalami mutasi yang meningkatkan resistansi.[10] Banyak orang berhenti mengonsumsi antibiotik saat mulai merasa lebih baik. Pada saat itu, mikroba yang mungkin kurang terpengaruh oleh perlakuan obat masih ada dalam tubuh. Jika mikroba ini terus bereproduksi, pemberhentian konsumsi berujung pada infeksi bakteri yang kurang terpengaruh atau bahkan kebal terhadap antibiotik.[10]

Kejadian alami

[sunting | sunting sumber]

Resistansi antimikroba dapat muncul secara alami karena pemaparan berkelanjutan terhadap antimikroba. Seleksi alam berarti organisme tertentu dapat beradaptasi terhadap lingkungan, bertahan, dan terus menghasilkan keturunan.[11] Karena itu, mikroorganisme yang dapat terus bertahan dari serangan agen antimikroba secara berkelanjutan akan menjadi lebih banyak secara alami di lingkungan dan mikroorganisme tanpa resistansi tersebut akan ketinggalan zaman.[8]

Sejumlah resistansi antimikroba kontemporer juga muncul secara alami sebelum penggunaan antimikroba pada manusia secara klinis. Misalnya, resistansi metisilin muncul pada patogen landak susu, kemungkinan sebagai adaptasi ko-evolusi patogen landak susu yang terinfeksi oleh mikroba dermatofit yang memproduksi antibiotik secara alami.[12] Di samping itu, bakteri dan jamur tanah banyak merupakan kompetitor alami sehingga antibiotik penisilin yang paling awal ditemukan oleh Alexander Fleming kehilangan efektivitas klinis dengan cepat untuk pasien manusia dan selanjutnya tidak satupun dari penisilin alami lain (F, K, N, X, O, U1, dan U6) digunakan pada kasus klinis sekarang ini.[butuh rujukan]

Resistansi antimikroba dapat diperoleh dari mikroba lain melalui pertukaran gen dalam proses yang disebut transfer gen horizontal. Ini berarti begitu suatu gen resistansi terhadap suatu antibiotik muncul pada suatu komunitas mikroba, gen tersebut dapat tersebar ke mikroba-mikroba lain dalam komunitas sesudah itu, kemungkinan berpindah dari mikroba yang tidak menyebabkan penyakit ke mikroba yang menyebabkan penyakit. Proses ini sangat dipicu oleh proses seleksi alam yang timbul pada penggunaan atau kesalahan penggunaan antibiotik.[13]

Seiring waktu berjalan, sebagian besar strain bakteri dan infeksi yang ada akan teridentifikasi sebagai jenis yang kebal terhadap agen antimikroba yang sebelumnya digunakan untuk menangani mereka, membuat agen ini tidak efektif untuk melawan sebagian besar mikroba. Seiring penggunaan agen antimikroba meningkat, proses alami ini terjadi lebih cepat.[14]

Swamedikasi

[sunting | sunting sumber]

Swamedikasi konsumen dapat didefinisikan sebagai konsumsi obat-obatan atas keinginan sendiri atau saran orang lain yang bukan merupakan tenaga kesehatan. Swamedikasi ini diidentifikasi sebagai salah satu alasan utama evolusi resistansi mikroba.[15] Antibiotik tidak cocok digunakan dalam swamedikasi tetapi penggunaan ini umum dilakukan di negara-negara dengan sumber daya terbatas. Praktik ini memaparkan individu terhadap risiko bakteri yang sudah resistan antimikroba[16] Banyak orang memanfaatkan praktik ini karena terpaksa; kondisi yang mendorong hal tersebut antara lain akses dokter yang terbatas karena penutupan wilayah (lockdown) dan penutupan operasi dokter umum atau waktu dan uang pasien yang terbatas untuk bertemu dengan dokter pemberi resep.[17]

Swamedikasi lebih banyak di luar lingkungan rumah sakit, berhubungan dengan penggunaan antibiotik yang lebih tinggi. Dalam hal ini, penggunaan paling banyak di masyarakat, bukan rumah sakit. Prevalensi swamedikasi di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah berkisar 8,1% hingga 93% menurut systematic review tahun 2019. Akses, keterjangkauan, dan fasilitas kesehatan serta perilaku dalam mengatasi masalah kesehatan adalah faktor yang mempengaruhi swamedikasi di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah.[16] Terdapat dua masalah penting dalam swamedikasi, yaitu kurangnya pengetahuan masyarakat tentang efek berbahaya antimikroba tertentu (misalnya, siprofloksasin yang dapat menyebabkan tendonitis, ruptur tendon, dan diseksi aorta) dan tentang resistansi mikroba secara luas beserta waktu mencari layanan kesehatan jika infeksi tidak menunjukkan perubahan. Untuk mengetahui pengetahuan masyarakat dan prasangka seputar resistansi antibiotik, dilakukan skrining artikel yang telah diterbitkan pada tahun 2017 di penjuru Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Secara keseluruhan, 55.225 orang berpartisipasi dalam survei menurut artikel-artikel tersebut. Di antaranya, 70% pernah mendengar tentang resistansi antibiotik dan 88% mengira bahwa resistansi antibiotik merupakan perubahan fisik pada tubuh manusia.[15]

Kesalahan penggunaan klinis

[sunting | sunting sumber]

Kesalahan penggunaan oleh tenaga kesehatan berkontribusi dalam peningkatan resistansi antimikroba. Sejumlah penelitian yang diadakan di Amerika Serikat hingga tahun 2013 menunjukkan bahwa indikasi pengobatan dengan antibiotik, pilihan agen yang digunakan, dan durasi terapi bersifat tidak tepat pada hingga 50% kasus yang ditinjau.[18] Pada tahun 2010 dan 2011, sekitar sepertiga peresepan antibiotik bagi pasien rawat jalan di Amerika Serikat bersifat tidak diperlukan.[19] Sebuah penelitian di instalasi rawat intensif sebuah rumah sakit besar di Prancis menunjukkan bahwa 30% hingga 60% peresepan antibiotik tidak diperlukan.[18] Penggunaan agen antimikroba yang tidak tepat ini mendorong evolusi resistansi antimikroba dengan mendukung bakteri mengembangkan perubahan genetik yang dapat menghasilkan resistansi.[20]

Menurut penelitian yang diselenggarakan di Amerika Serikat pada tahun 2019 dengan tujuan mengevaluasi sikap dan pengetahuan dokter tentang resistansi antimikroba pada pelayanan rawat jalan, hanya 63% dokter berpendapat bahwa resistansi antibiotik adalah masalah dalam praktik lokal dan 23% berpendapat bahwa peresepan antibiotik yang agresif diperlukan untuk menghindari kegagalan penyediaan layanan yang adekuat.[21] Temuan ini menggambarkan kondisi sebagian besar dokter yang merendahkan dampak kebiasaan peresepan mereka terhadap resistansi antimikroba secara keseluruhan. Ini juga mengonfirmasi bahwa sejumlah dokter mungkin terlalu berhati-hati, meresepkan antibiotik baik untuk kepentingan medis maupun hukum walau indikasi klinis penggunaan obat yang diresepkan tidak selalu dapat dikonfirmasi. Hal ini dapat berakibat penggunaan antimikroba yang tidak diperlukan, pola yang mungkin memburuk selama pandemi Covid-19.[22][23]

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kesalahpahaman tentang efektivitas dan keperluan atas antibiotik dalam penanganan penyakit ringan berkontribusi dalam penggunaan berlebihan antibiotik.[24]

Penggunaan antibiotik pada sistem veteriner mendapatkan perhatian khusus. Pengawasan praktik kedokteran hewan untuk antibiotik yang penting secara medis ditetapkan dalam peraturan hukum.[25] Untuk memastikan dosis obat yang diberikan pada suatu rute dan waktu benar, para dokter hewan menggunakan model farmakokinetik/farmakodinamik.[26]

Pandemi, disinfektan, dan sistem kesehatan

[sunting | sunting sumber]

Peningkatan penggunaan antibiotik pada gelombang awal pandemi Covid-19 diperkirakan memperparah tantangan kesehatan global.[27] Terlebih lagi, beban pandemi pada sistem layanan kesehatan diperkirakan berkontribusi dalam infeksi resistan antibiotik.[28] Di sisi lain, "peningkatan higienitas tangan, penurunan perjalanan internasional, dan penurunan prosedur elektif rumah sakit diperkirakan menurunkan seleksi dan penyebaran patogen resistan antimikroba jangka pendek" selama pandemi Covid-19.[29] Penggunaan disinfektan seperti pembersih tangan berbasis alkohol dan bahan pencuci tangan juga diperkirakan berpotensi meningkatkan resistansi antimikroba.[30] Penggunaan disinfektan secara besar-besaran dapat berakibat mutasi pemicu resistansi antimikroba.[31]

Polusi lingkungan

[sunting | sunting sumber]

LImbah yang dialirkan tanpa pemrosesan dari industri manufaktur farmasi,[32] rumah sakit dan klinik, serta pembuangan tidak tepat obat-obatan yang tak digunakan atau kedaluwarsa dapat menyebabkan pemaparan mikroba di lingkungan terhadap antibiotik dan memicu evolusi resistansi.[butuh rujukan]

Produksi pangan

[sunting | sunting sumber]

Krisis resistansi antimikroba juga menjangkau industri pangan, terutama hewan penghasil pangan. Seiring peningkatan populasi manusia, terdapat tekanan untuk meningkatkan produktivitas berbagai sektor agrikultur,termasuk produksi daging sebagai sumber protein.[33] Hewan ternak diberi antibiotik sebagai suplemen pertumbuhan dan pencegahan infeksi.[34]

Peternak biasa menambahkan antibiotik pada pakan ternak untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan dan mencegah infeksi. Namun, praktik ini tidak berdasar pada pertimbangan logis karena antibiotik berguna dalam menangani infeksi, bukan mencegah infeksi. Di Amerika Serikat, 80% penggunaan antibiotik ditujukan untuk kepentingan agrikultur dan sekitar 70% darinya bersifat penting dari segi medis.[35] Penggunaan berlebihan antibiotik menyediakan waktu bagi bakteri untuk beradaptasi sehingga infeksi harus dilawan dengan dosis yang lebih tinggi atau antibiotik yang lebih kuat. Walaupun promosi pertumbuhan dengan antibiotik dilarang di Uni Eropa pada tahun 2006, empat puluh negara di penjuru dunia masih menggunakan antibiotik untuk promosi pertumbuhan pada awal tahun 2020-an.[36]

Penggunaan berlebihan antibiotik pada pekan ternak seperti demikian menyebabkan transfer strain bakteri yang resistan ke makanan konsumsi manusia, berujung pada transfer penyakit yang mungkin mematikan. Praktik penggunaan antibiotik untuk promosi pertumbuhan tersebut memang menghasilkan panen dan produk daging yang lebih baik tetapi praktik tersebut menjadi masalah besar dan perlu dikurangi untuk mencegah resistansi antimikroba.[37] Walaupun bukti yang menghubungkan penggunaan antimikroba pada ternak dengan resistansi antimikroba terbatas, Kelompok Penasihat Surveilans Resistansi Antimikroba Terintegrasi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization Advisory Group on Integrated Surveillance of Antimicrobial Resistance) sangat menganjurkan reduksi penggunaan antimikroba penting medis pada ternak. Selanjutnya, Kelompok Penasihat tersebut menyatakan bahwa antimikroba dengan tegas dilarang untuk promosi pertumbuhan dan pencegahan penyakit pada hewan penghasil pangan.[38]

Berdasarkan pemetaan konsumsi ternak global, diperkirakan terdapat peningkatan konsumsi antibiotik pada ternak sebanyak 67% di 228 negara pada tahun 2030. Diperkirakan terdapat peningkatan 99% pada sejumlah negara seperti Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.[14] Beberapa negara telah membatasi penggunaan antibiotik pada ternak, termasuk Kanada, Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat. Pembatasan ini biasanya berhubungan dengan penurunan prevalensi resistansi antimikroba pada manusia.[38]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b "Antimicrobial resistance Fact sheet N°194". who.int. April 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 March 2015. Diakses tanggal 7 March 2015. 
  2. ^ a b "Salinan arsip". web.archive.org. Archived from the original on 2015-10-23. Diakses tanggal 2021-11-19. 
  3. ^ Swedish work on containment of antibiotic resistance. Folkhälsomyndigheten. 2014-05-15. ISBN 978-91-7603-011-0. OCLC 943501259. 
  4. ^ Gerber, Jeffrey S.; Ross, Rachael K.; Bryan, Matthew; Localio, A. Russell; Szymczak, Julia E.; Wasserman, Richard; Barkman, Darlene; Odeniyi, Folasade; Conaboy, Kathryn (2017-12-19). "Association of Broad- vs Narrow-Spectrum Antibiotics With Treatment Failure, Adverse Events, and Quality of Life in Children With Acute Respiratory Tract Infections". JAMA (dalam bahasa Inggris). 318 (23): 2325. doi:10.1001/jama.2017.18715. ISSN 0098-7484. PMC 5820700alt=Dapat diakses gratis. PMID 29260224. 
  5. ^ Tanwar, Jyoti; Das, Shrayanee; Fatima, Zeeshan; Hameed, Saif (2014). "Multidrug Resistance: An Emerging Crisis". Interdisciplinary Perspectives on Infectious Diseases (dalam bahasa Inggris). 2014: 1–7. doi:10.1155/2014/541340. ISSN 1687-708X. PMC 4124702alt=Dapat diakses gratis. PMID 25140175. 
  6. ^ Saha, Mousumi; Sarkar, Agniswar (2021-12-13). "Review on Multiple Facets of Drug Resistance: A Rising Challenge in the 21st Century". Journal of Xenobiotics (dalam bahasa Inggris). 11 (4): 197–214. doi:10.3390/jox11040013. ISSN 2039-4713. PMC PMC8708150alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 34940513 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  7. ^ MacGowan, Alasdair; Macnaughton, Emily (2017-10). "Antibiotic resistance". Medicine (dalam bahasa Inggris). 45 (10): 622–628. doi:10.1016/j.mpmed.2017.07.006. 
  8. ^ a b Holmes, Alison H; Moore, Luke S P; Sundsfjord, Arnfinn; Steinbakk, Martin; Regmi, Sadie; Karkey, Abhilasha; Guerin, Philippe J; Piddock, Laura J V (2016-01). "Understanding the mechanisms and drivers of antimicrobial resistance". The Lancet (dalam bahasa Inggris). 387 (10014): 176–187. doi:10.1016/S0140-6736(15)00473-0. 
  9. ^ a b "CDC Archives". archive.cdc.gov. Diakses tanggal 2024-07-19. 
  10. ^ a b Michael, Carolyn Anne; Dominey-Howes, Dale; Labbate, Maurizio (2014-09-16). "The Antimicrobial Resistance Crisis: Causes, Consequences, and Management". Frontiers in Public Health. 2. doi:10.3389/fpubh.2014.00145. ISSN 2296-2565. PMC 4165128alt=Dapat diakses gratis. PMID 25279369. 
  11. ^ "Natural Selection". evolution.berkeley.edu. Diakses tanggal 2024-07-19. 
  12. ^ Larsen, Jesper; Raisen, Claire L.; Ba, Xiaoliang; Sadgrove, Nicholas J.; Padilla-González, Guillermo F.; Simmonds, Monique S. J.; Loncaric, Igor; Kerschner, Heidrun; Apfalter, Petra (2022-02-03). "Emergence of methicillin resistance predates the clinical use of antibiotics". Nature (dalam bahasa Inggris). 602 (7895): 135–141. doi:10.1038/s41586-021-04265-w. ISSN 0028-0836. PMC PMC8810379alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 34987223 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  13. ^ Crits-Christoph, Alexander; Hallowell, Haley Anne; Koutouvalis, Kalia; Suez, Jotham (2022-12-31). "Good microbes, bad genes? The dissemination of antimicrobial resistance in the human microbiome". Gut Microbes (dalam bahasa Inggris). 14 (1). doi:10.1080/19490976.2022.2055944. ISSN 1949-0976. PMC PMC8959533alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 35332832 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  14. ^ a b Ferri, Maurizio; Ranucci, Elena; Romagnoli, Paola; Giaccone, Valerio (2017-09-02). "Antimicrobial resistance: A global emerging threat to public health systems". Critical Reviews in Food Science and Nutrition (dalam bahasa Inggris). 57 (13): 2857–2876. doi:10.1080/10408398.2015.1077192. ISSN 1040-8398. 
  15. ^ a b Rather, Irfan A.; Kim, Byung-Chun; Bajpai, Vivek K.; Park, Yong-Ha (2017-05). "Self-medication and antibiotic resistance: Crisis, current challenges, and prevention". Saudi Journal of Biological Sciences (dalam bahasa Inggris). 24 (4): 808–812. doi:10.1016/j.sjbs.2017.01.004. PMC 5415144alt=Dapat diakses gratis. PMID 28490950. 
  16. ^ a b Torres, N. F.; Chibi, B.; Middleton, L. E.; Solomon, V. P.; Mashamba-Thompson, T. P. (2019-03). "Evidence of factors influencing self-medication with antibiotics in low and middle-income countries: a systematic scoping review". Public Health. 168: 92–101. doi:10.1016/j.puhe.2018.11.018. ISSN 1476-5616. PMID 30716570. 
  17. ^ Ayukekbong, James A.; Ntemgwa, Michel; Atabe, Andrew N. (2017-12). "The threat of antimicrobial resistance in developing countries: causes and control strategies". Antimicrobial Resistance & Infection Control (dalam bahasa Inggris). 6 (1). doi:10.1186/s13756-017-0208-x. ISSN 2047-2994. PMC 5433038alt=Dapat diakses gratis. PMID 28515903. 
  18. ^ a b Ventola, C. Lee (2015-04). "The Antibiotic Resistance Crisis". Pharmacy and Therapeutics. 40 (4): 277–283. ISSN 1052-1372. PMC 4378521alt=Dapat diakses gratis. PMID 25859123. 
  19. ^ Fleming-Dutra, Katherine E.; Hersh, Adam L.; Shapiro, Daniel J.; Bartoces, Monina; Enns, Eva A.; File, Thomas M.; Finkelstein, Jonathan A.; Gerber, Jeffrey S.; Hyun, David Y. (2016-05-03). "Prevalence of Inappropriate Antibiotic Prescriptions Among US Ambulatory Care Visits, 2010-2011". JAMA (dalam bahasa Inggris). 315 (17): 1864. doi:10.1001/jama.2016.4151. ISSN 0098-7484. 
  20. ^ Strachan, Cameron R.; Davies, Julian (2017-02). "The Whys and Wherefores of Antibiotic Resistance". Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine (dalam bahasa Inggris). 7 (2): a025171. doi:10.1101/cshperspect.a025171. ISSN 2157-1422. PMC 5287056alt=Dapat diakses gratis. PMID 27793964. 
  21. ^ Harris, Amanda; Chandramohan, Suganya; Awali, Reda A.; Grewal, Mehr; Tillotson, Glenn; Chopra, Teena (2019-08). "Physicians' attitude and knowledge regarding antibiotic use and resistance in ambulatory settings". American Journal of Infection Control (dalam bahasa Inggris). 47 (8): 864–868. doi:10.1016/j.ajic.2019.02.009. 
  22. ^ Joshi, Mohan P. (2021-02-17). "Don't let Covid boost another killer" (dalam bahasa Inggris). doi:10.1146/knowable-021621-1. 
  23. ^ Rawson, Timothy M; Moore, Luke S P; Zhu, Nina; Ranganathan, Nishanthy; Skolimowska, Keira; Gilchrist, Mark; Satta, Giovanni; Cooke, Graham; Holmes, Alison (2020-05-02). "Bacterial and Fungal Coinfection in Individuals With Coronavirus: A Rapid Review To Support COVID-19 Antimicrobial Prescribing". Clinical Infectious Diseases (dalam bahasa Inggris). doi:10.1093/cid/ciaa530. ISSN 1058-4838. PMC 7197596alt=Dapat diakses gratis. PMID 32358954. 
  24. ^ Blaser, Martin J.; Melby, Melissa K.; Lock, Margaret; Nichter, Mark (2021-02). "Accounting for variation in and overuse of antibiotics among humans". BioEssays (dalam bahasa Inggris). 43 (2). doi:10.1002/bies.202000163. ISSN 0265-9247. 
  25. ^ "Antimicrobials | American Veterinary Medical Association". web.archive.org. 2024-04-24. Diakses tanggal 2024-07-22. 
  26. ^ Caneschi, Alice; Bardhi, Anisa; Barbarossa, Andrea; Zaghini, Anna (2023-03-01). "The Use of Antibiotics and Antimicrobial Resistance in Veterinary Medicine, a Complex Phenomenon: A Narrative Review". Antibiotics (dalam bahasa Inggris). 12 (3): 487. doi:10.3390/antibiotics12030487. ISSN 2079-6382. PMC PMC10044628alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 36978354 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  27. ^ Lucien, Mentor Ali Ber; Canarie, Michael F.; Kilgore, Paul E.; Jean-Denis, Gladzdin; Fénélon, Natael; Pierre, Manise; Cerpa, Mauricio; Joseph, Gerard A.; Maki, Gina (2021-03). "Antibiotics and antimicrobial resistance in the COVID-19 era: Perspective from resource-limited settings". International Journal of Infectious Diseases (dalam bahasa Inggris). 104: 250–254. doi:10.1016/j.ijid.2020.12.087. 
  28. ^ "COVID-19 & Antibiotic Resistance | CDC". web.archive.org. 2022-02-21. Diakses tanggal 2024-07-22. 
  29. ^ Knight, Gwenan M; Glover, Rebecca E; McQuaid, C Finn; Olaru, Ioana D; Gallandat, Karin; Leclerc, Quentin J; Fuller, Naomi M; Willcocks, Sam J; Hasan, Rumina (2021-02-16). "Antimicrobial resistance and COVID-19: Intersections and implications". eLife (dalam bahasa Inggris). 10. doi:10.7554/eLife.64139. ISSN 2050-084X. PMC 7886324alt=Dapat diakses gratis. PMID 33588991 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  30. ^ Lu, Ji; Guo, Jianhua (2021-01-29). Sills, Jennifer, ed. "Disinfection spreads antimicrobial resistance". Science (dalam bahasa Inggris). 371 (6528): 474–474. doi:10.1126/science.abg4380. ISSN 0036-8075. 
  31. ^ Lobie, Tekle Airgecho; Roba, Aklilu Abrham; Booth, James Alexander; Kristiansen, Knut Ivan; Aseffa, Abraham; Skarstad, Kirsten; Bjørås, Magnar (2021-10). "Antimicrobial resistance: A challenge awaiting the post-COVID-19 era". International Journal of Infectious Diseases (dalam bahasa Inggris). 111: 322–325. doi:10.1016/j.ijid.2021.09.003. PMC PMC8425743alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 34508864 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  32. ^ Ahmad, Akram; Patel, Isha; Khan, Muhammad Umair; Babar, Zaheer ud-din (2017-06). "Pharmaceutical waste and antimicrobial resistance". The Lancet Infectious Diseases (dalam bahasa Inggris). 17 (6): 578–579. doi:10.1016/S1473-3099(17)30268-2. 
  33. ^ Monger, Xavier C.; Gilbert, Alex-An; Saucier, Linda; Vincent, Antony T. (2021-10-05). "Antibiotic Resistance: From Pig to Meat". Antibiotics (dalam bahasa Inggris). 10 (10): 1209. doi:10.3390/antibiotics10101209. ISSN 2079-6382. PMC PMC8532907alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 34680790 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  34. ^ "The meat industry's antibiotic drug problem, explained - Vox". web.archive.org. 2023-01-23. Diakses tanggal 2024-07-23. 
  35. ^ Martin, Michael J.; Thottathil, Sapna E; Newman, Thomas B. (2015-12). "Antibiotics Overuse in Animal Agriculture: A Call to Action for Health Care Providers". American Journal of Public Health (dalam bahasa Inggris). 105 (12): 2409–2410. doi:10.2105/AJPH.2015.302870. ISSN 0090-0036. PMC 4638249alt=Dapat diakses gratis. PMID 26469675. 
  36. ^ "Alliance to Save Our Antibiotics | Antibiotic Overuse in Livestock Farming". web.archive.org. 2024-04-03. Diakses tanggal 2024-07-23. 
  37. ^ Tang, Karen L; Caffrey, Niamh P; Nóbrega, Diego B; Cork, Susan C; Ronksley, Paul E; Barkema, Herman W; Polachek, Alicia J; Ganshorn, Heather; Sharma, Nishan (2017-11). "Restricting the use of antibiotics in food-producing animals and its associations with antibiotic resistance in food-producing animals and human beings: a systematic review and meta-analysis". The Lancet Planetary Health (dalam bahasa Inggris). 1 (8): e316–e327. doi:10.1016/S2542-5196(17)30141-9. PMC 5785333alt=Dapat diakses gratis. PMID 29387833. 
  38. ^ a b Innes, Gabriel K.; Randad, Pranay R.; Korinek, Anton; Davis, Meghan F.; Price, Lance B.; So, Anthony D.; Heaney, Christopher D. (2020-04-02). "External Societal Costs of Antimicrobial Resistance in Humans Attributable to Antimicrobial Use in Livestock". Annual Review of Public Health (dalam bahasa Inggris). 41 (1): 141–157. doi:10.1146/annurev-publhealth-040218-043954. ISSN 0163-7525. PMC 7199423alt=Dapat diakses gratis. PMID 31910712. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Templat:Offline