Lompat ke isi

Kenosis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gambar Yesus sebagai Allah yang mengosongkan diri

Dalam teologi Kristen, kenosis (bahasa Yunani: κένωσις, kénōsis) adalah "pengosongan diri" atas kehendak (atau keinginan) diri sendiri dan sepenuhnya menerima kehendak Allah.

Kata ἐκένωσεν (ekénōsen) digunakan dalam Filipi 2:7, "[Yesus] telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia." (LAI), menggunakan kata kerja κενόω (kenóō) "mengosongkan".[1]

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Κένωσις (Kénōsis) dalam Bahasa Yunani berarti "mengosongkan", dari kata κενός (Kenós) "kosong".[2] Padanan kata Kenos dalam Bahasa Yunani adalah Mataios, yang mana lebih bersifat kemanusiaan secara personal serta dihubungkan dengan perasaan, esensi, dan juga usaha yang sia-sia.[2] Kenosis dalam bentuk kata kerja yaitu κενόω (kenóō) berarti "menjadi kosong",[3] sementara yang dihubungkan dengan kata benda berarti hilang (keadaan atau efek yang ditimbulkan).[2]

Penggunaan dalam Perjanjian Lama

[sunting | sunting sumber]

Dalam Bahasa Ibrani tidak ada persamaan yang tepat dengan kata Yunani kenosis; tetapi diidentifikasi dengan kata riq yang berarti kosong, tidak berharga, sia-sia; misalnya dalam kitab nabi-nabi seperti Yesaya, Yeremia, dll) dan juga kitab Amsal, Ayub, dan Sirakh.[2] Kenos dengan arti kosong terdapat pada Kitab Yeremia 14: 3 (kendi yang kosong); Keluaran 3:21 dan Ulangan 15:13 (tangan hampa).[2] Selain itu ada juga makna metafisik antara lain yang terdapat pada Hakim-hakim 9:4 dan 11: 3 (para petualang dilihat sebagai orang yang tidak berharga, tidak masuk hitungan), Yesaya 30:7 (pertolongan yang tidak berguna), Yeremia 18: 15 (dewa kesia-siaan), Yesaya 29: 8 (perasaan yang dirasakan nabi) dan Yesaya 65:23 (usaha yang percuma).[2] Ungkapan ini juga terdapat pada ratapan Ayub dalam kitab Ayub 7: 3 (hidup sia-sia), 7:6 (tanpa harapan), 7: 16 (hidup hampa), 21: 34 (penghiburan hampa), 27:12 (perkataan yang tidak-tidak).[2]

Penggunaan dalam Perjanjian Baru

[sunting | sunting sumber]

Ungkapan Kenos banyak terdapat pada Surat Paulus, dan jarang ditemukan pada Injil Sinoptik, karena penggunaan kata kerja kenoo hanya terdapat pada Surat Paulus.[2] Kata Kenos juga terdapat pada perumpamaan tentang kebun anggur pada Markus 12:3 dan Lukas 20:10 (tangan hampa).[2] Paulus memberikan pengertian khusus pada kesia-siaan dan ketiadaan dengan menggambarkan pada kegagalan dan ketidakmanjuran; sebagai contoh 2 Korintus 6:1 (menyianyiakan kasih), 1 Korintus 15:14 (pemberitaan yang sia-sia), 1 Tesalonika 3:5; Galatia 2:2 dan Filipi 2:16 (usaha yang sia-sia).[2] Dalam semua kasus tersebut merupakan penekanan pada kekuatan dan keefektifan misi yang dilakukan oleh Paulus.[2] Ada juga makna lain seperti penyembahan berhala (Efesus 5:6).[2]

Dengan kata kerja kenoo yang berarti menjadi kosong, Paulus memberikan contoh dimana kata kerja tersebut tidak digambarkan dengan benda.[2] Paulus menggunakan kata kerja kenoo dengan kata benda Iman (Roma 4:14) dan Salib (1 Korintus 1:17); karena Iman dan Salib merupakan materi pusat dari Injil, sehingga lebih tepat disesuaikan dengan kebijaksanaan bagaimana menilai kedua kata tersebut.[2]

Pernyataan yang lebih mendukung dan sering didiskusikan oleh para teolog mengenai kata Kenosis adalah pada Filipi 2: 6 (heauton ekenosen) yang berarti "Dia mengosongkan diri-Nya sendiri.....".[2] Beberapa teolog mengilustrasikan kutipan ini dengan menggambarkan orang Kristen yang tidak boleh mementingkan diri sendiri, sederhana, ramah dalam berelasi, dan itulah yang tergambar melalui Yesus.[2]

Dalam Kristologi

[sunting | sunting sumber]
Ikonografi abad ke-6 yang melukiskan persatuan hipostatik dalam diri Yesus

Ortodoks Timur

[sunting | sunting sumber]

Teologi Mistik Ortodoks Timur menekankan pada teladan Kristus. Kenosis hanya mungkin dilakukan melalui kerendahan hati dan mengandaikan bahwa orang tersebut mengejar persatuan dengan Tuhan.[4]

Kenosis tidaklah terkait dengan Kristologi saja, namun juga tidak lepas dari peranan Roh Kudus. Kenosis, sehubungan dengan kodrat manusia, berarti seruan terus menerus kepada Roh Kudus dan penyangkalan diri terhadap hasrat dan kehendak pribadi.[4] Berkenaan dengan Kristus, pengosongan diri (kenosis) dari Putra Allah berupa suatu perendahan diri dan pengorbanan untuk penebusan dan keselamatan semua umat manusia.[4] Manusia juga dapat berpartisipasi dalam karya keselamatan Allah melalui suatu proses transformasi yang bertujuan menjadi serupa dengan Allah (theosis), yakni menjadi kudus dengan pertolongan rahmat Allah.[5]

Dalam Ortodoksi Timur, theosis tidak penah terkait soal menjadi (seperti) Allah dalam hal esensi atau hakikat —yang adalah ajaran Panteisme; tapi sebaliknya terkait persatuan dengan Allah oleh rahmat, melalui tindakan Allah (bahasa Yunani: energeia, bahasa Latin: actus purus). Teologi Ortodoks membedakan antara tindakan Allah (energeia) dan hakikat atau substansi-Nya (ousia).[4]

Oleh karena itu kenosis merupakan suatu paradoks dan misteri karena "mengosongkan diri" sebenarnya berarti mengisi diri seseorang dengan anugerah ilahi dan menghasilkan baginya persatuan dengan Allah. Kenosis dalam teologi Ortodoks adalah proses mengatasi atau melepaskan diri dari keduniawian atau keinginan-keinginan pribadi, merupakan sebuah komponen 'pelepasan' (dispassionation).[4] Kebanyakan perdebatan pada abad awal antara Arianisme dan kalangan Ortodoks adalah seputar kenosis. Kebutuhan akan kejelasan mengenai kodrat manusia dan ilahi dari Kristus (lihat: persatuan hipostatik) saat itu diperjuangkan sesuai makna dan teladan yang telah ditetapkan Kristus.[5]

Protestantisme

[sunting | sunting sumber]

E. Kasemann mengadopsi pendekatan yang sama dengan A. Oepke yang melihat pertentangan antara latar belakang Helenis dan Gnostik.[2] Dia mengosongkan diri-Nya sendiri merupakan sebuah perubahan eksistensi-Nya; bentuk ilahi menjadi keadaan biasa, manusia yang berada di dunia.[2] Menurut Oepke, keilahian Kristus tidak termasuk dalam bentuk kemanusiaan-Nya; hal ini terdapat pada 2 Korintus 8:9.[2]

Dalam Filipi 2:7, melalui akar kata ἐκένωσεν (ekénōsen), "Yesus membuat diri-Nya tidak ada..." (NIV) atau "... Dia mengosongkan diri-Nya sendiri ..." (NRSV). Kenosis (pengosongan) yang dilakukan Yesus ini menggambarkan bahwa Anak Allah telah mengosongkan diri dari segala sifat ke-Allahan-Nya dan mengenakan sifat-sifat kemanusiaan.[6] Selain itu Kenosis juga dapat dikaitkan dengan teori Kristologi yang berpusat pada inkarnasi Kristus.[7] Gottfried Thomasius, seorang teolog Protestant, menempatkan doktrin inkarnasi untuk menjawab kritik dari kalangan Ortodoks, di mana mereka melihat ilahi dan manusia tidak dapat dibayangkan.[3] Thomasius justru melihat bahwa Yesus yang ilahi sekaligus sebagai manusia di waktu dan kehidupan yang sama.[3] Melalui Kenosis Yesus sebagai ilahi telah mengosongkan dan tidak menggunakan sifat ilahi-Nya.[3] Kristologi Kenosis muncul dengan keilahian yang dimiliki oleh Yesus.[3] Sifat ilahi seperti kemahatahuan, kemahakuasaan, kemahahadiran bekerja sendiri di dalam Yesus dan secara sadar hadir sebagai Anak Allah dan hamba manusia.[3] Kemudian dalam Filipi 2 dan juga Injil, Kenosis Yesus adalah bentuk kasih, rasa kemanusiaan dan tanda ketaatan pada Sang Bapa.[3]

Mazab Inggris

[sunting | sunting sumber]

Pada pemahaman ini Kenosis mempunyai orientasi positif.[7] Meskipun sering dituduh karena mengembangkan Kenosis secara sederhana sebagai maksud mengakomodasi hasil kritis biblis, dengan mengakui kemungkinan tidak adanya kemanusiaan dalam Yesus merupakan lebih tepat untuk mengatakan pemahaman Kenosis dalam Mazhab Inggris.[7] Hal ini dipengaruhi oleh pembacaan Injil secara historis yang kemudian menyebabkan mazhab ini terjebak pada ajaran Doketisme.[7] Posisi positif dari mazhab ini terdapat pada penilaian Yesus sebagai Allah sepenuhnya.[7] Kenosis yang terjadi pada Yesus yaitu pengosongan pada kemanusiaan dan tetap sepenuhnya Allah.[7] Beberapa tokoh Mazhab Inggris yaitu Charles Gore, Frank Weston, H.R. Mackintosh (1871-1924), P.T. Forsyth, dan O.C. Quick (1885-1944).[7]

Mazab Jerman

[sunting | sunting sumber]

Pemikiran Mazhab Jerman mengambil gagasan dari mengosongkan diri melampaui batasan sifat ilahi.[7] Bahkan pengikut mazhab ini percaya bahwa ke-ilahian Logos terbatas pada diri Yesus.[7] G. Thomassius (1802-1875), salah satu tokoh Mazhab Jerman memisahkan perlengkapan metafisik seperti kemahakuasaan, kemahatahuan, dsb dari perlengkapan moral seperti kasih.[7] Tokoh lain seperti F.H.R. von Frank (1827-1894) dan W.F. Gess (1819-1891) berada pada posisi lebih radikal dimana Yesus dilihat terpisah dari beberapa sifat ilahi yang kemudian mempertanyakan penggunaan istilah inkarnasi pada Yesus.[7]

Pada dasarnya pandangan Gereja Katolik sama dengan Ortodoksi Timur bahwa pengosongan diri (kenosis) yang dilakukan Yesus Kristus adalah perendahan diri-Nya dengan menjelma menjadi manusia (inkarnasi), agar Ia dapat menderita dan mati demi keselamatan manusia. Pengosongan diri Yesus tersebut dipandang sebagai kerelaan-Nya menundukkan diri pada hukum kodrat manusia melalui kelahiran dan pertumbuhan-Nya seperti manusia lain, beserta segenap kerendahan kodrat manusia akibat dosa asal —walau Ia sendiri tidak berdosa. Namun tindakan-Nya itu tidak mengakibatkan Ia kehilangan keAllahan-Nya (keilahian); tetapi kenosis mengakibatkan Yesus dapat mengalami rasa sakit, penderitaan, kematian layaknya manusia biasa.[8] Maka yang "dikosongkan" oleh Yesus adalah ketidakterbatasan-Nya sebagai Allah, bahwa sebagai Allah Ia tidak dapat menderita dan mati, namun inkarnasi membuat Ia dapat mengalami penderitaan dan mati. Allah sendiri, sesuai kodrat atau hakikat-Nya, tidak mungkin berhenti sebagai Allah.[9]

Paus Pius XII, dalam peringatan 1500 tahun Konsili Khalsedon, menulis Ensiklik Sempiternus Rex Christus pada tahun 1951.[10] Ensiklik tersebut menegaskan penolakan atas doktrin "kenotic", yang menafsirkan ayat Filipi 2:7 sebagai pelepasan keilahian (kodrat Allah) dalam diri Yesus selama masa hidup-Nya di dunia ini; dimana penafsiran demikian bertentangan dengan Pengakuan Iman Khalsedon. Dalam Sempiternus Rex 29, Paus Pius XII menuliskan bahwa adalah suatu penafsiran yang keliru jika menganggap Yesus melepaskan keilahian-Nya saat menjadi manusia; penafsiran tersebut harus ditolak, sama seperti Doketisme yang mengklaim sebaliknya (yakni penyangkalan atas kemanusiaan-Nya). Di bagian yang sama dalam ensiklik tersebut diakhiri dengan kutipan kata-kata Santo Leo Agung dari suratnya (The Tome) kepada St. Flavianus:[10][11]:III

"Dengan kepenuhan dan kesempurnaan kodrat manusia, lahirlah Ia yang adalah Allah yang sejati, lengkap dalam kodrat-Nya sendiri (sebagai Allah), lengkap dalam kodrat kita (sebagai manusia)."

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (Inggris) κενόω, Blue Letter Bible 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s (Inggris) Collin Brown. The New International Dictionary of New Testament Theology Vol 1. Michigan: Zondervan Publishing House. Hlm. 546-552.
  3. ^ a b c d e f g (Inggris) Gerhard Kittel. Theological Dictionary of The New Testament. Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co. Hlm. 659-661.
  4. ^ a b c d e (Inggris) Vladimir Lossky. The Mystical Theology of The Eastern Church. London: James Clarke & Co. Ltd. Hlm. 144, 148.
  5. ^ a b (Inggris) "The oneness of Essence, the Equality of Divinity, and the Equality of Honor of God the Son with the God the Father." Orthodox Dogmatic Theology: A Concise Exposition Protopresbyter Michael Pomazansky pages 92-95
  6. ^ (Indonesia) R. Soedarmo. Kamus Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 42-43.
  7. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris) Sinclair B. Ferguson & David F. Wright (eds). New Dictionary of Theology. England: Intervarsity Press. Hlm. 364.
  8. ^ (Inggris) Anthony Maas (1910), "Kenosis", The Catholic Encyclopedia. Vol. 8, Transcribed for New Advent by Richard R. Pettys, Jr., New York: Robert Appleton Company 
  9. ^ Ingrid Listiati. "Yesus, sungguh Allah sungguh manusia". katolisitas.org. 
  10. ^ a b (Inggris) His Holiness Pope Pius XII (September 8, 1951), Sempiternus Rex Christus, Transcribed by Paul Halsall, New Advent 
  11. ^ (Inggris) St. Leo the Great, "Letter 28 - "The Tome"", dalam Philip Schaff, Henry Wace, Nicene and Post-Nicene Fathers, Second Series, Vol. 12, Translated by Charles Lett Feltoe (Revised and edited for New Advent by Kevin Knight) (edisi ke-1895), Buffalo, NY: Christian Literature Publishing Co. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]