Kerajaan kaur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Awal mula terbentuknya kerajaan kaur[sunting | sunting sumber]

Kerajaan Kaur didirikan pada sekitar tahun 1697 oleh Pangeran Raja Luwih yang bergelar Sebrani Gunung Kaur, yang merupakan Putra dari Pasangan Dewa Sekanjang Hitam dan Dewa Sekanjang Putih, yang merupakan Saudara dari Ratu Darah Putih Penguasa kerajaan Banten pada masa lalu. Kerajaan Banten Pada Masa itu mulai mengalami kemunduran akibat penguasaan pelabuhan sunda kelapa atau jayakarta oleh VOC Belanda pada tahun 1684[1].

Dengan adanya penguasaan tersebut , kerajan banten terpaksa mencari daerah baru yang cocok untuk menggantikan posisi sunda kelapa sebagai pelabuhan laut yang sangat strategis pada masa itu.

Pangeran Santa atau  Pangeran  SENEHAK  Yang  berasal dari Banten, tiba di Bandar Bintuhan pada Sekitar Tahun 1693, setelah sebelum   bermukim  beberapa  lama  di Pesisir  Selatan Lampung, yaitu didaerah Ketapang , Kalianda, Kemudian  bergerak kearah utara untuk   mencari   daerah   yang   lebih  baik  untuk  membuat  Bandar atau   pelabuahan   laut.

Bandar Bintuhan  dipilihnya  sebagai  tempat  yang  cocok  dan  ia mulai melakukan  penguasaan  terhadap daerh sekitar Bandar Bintuhan dan mulai menyusun tata pemerintahan serta mulai Pembangunan  Pelabuhan  Laut[2].

Bandar Bintuhan dipilihnya sebagai tempat yang cocok dan ia mulai melakukan penguasaan terhadap daerah sekitar Bandar Bintuhan dan mulai menyusun tata pemerintahan serta mulai Pembangunan Pelabuhan Laut.

Pertempuran Melawan Kerajaan Rejang[sunting | sunting sumber]

Pangeran Santa atau  Senehak mendapat perlawanan sengit dari Kerajaan  Rejang  yang pada waktu itu talah terlebih dahulu menguasai  daerah  Kaur.  Perselisian  berbuntut perang terbuka antara  Pangeran  Santa  dengan  Kerajaan  Rejang.

Ia  kemudian  meminta  bantuan  dari Adiknya , Pangeran Raja  Luwih.  Dalam  perjalaan dari Ketapang, Kalinda  menujuh Kaur, beliau  membuat  pedang  pusaka yang  diberi nama SEBARAU LAPAR,  guna  menghadapi  kedigjayaan  balandika  Kerajaan  Rejang.

Pedang  SEBARAU LAPAR  saat  ini  masih  disimpan   sangat  baik oleh  keturunan  Pangeran  Raja  Luwi  yang  bermukim  di  Dusun Wai Hawang,  Marga sambat   Sekarang  masuk dalam wilayah Kecamatan  Maje..

Atas  Prakarsa  dari  Kedatuaan  Pasemah , sebagai   Imperium  Melayu di Bengkulu Pada masa itu, di capai perdamaian dan pembagian  wilayah. Kerajaan  Lebong  diberikan   wilayah  disekitar lebong Tandai   da n  kaur  diberikan   kepada   Pangeran   Santa.

Raja Tungkuk , Seorang  petinggian dari  kedatuan Pasema, diberi tugas untuk mengawal evakuasi suku Rejang dari seluruh wilayah Sumatra bagian selatan, untuk pindah kedaerah Lebong Tandai, Disebelah  utara semidang Bukit  Kaba. Raja Tungkuk kemudian menetap  dilebong Tandai dan  menjadi bagian dari  suku Rejang. Orang – orang  Rejang  kemudian lebih  mengenal  beliau  dengan  gelar   Manuk   Mincur .

Pangeran Santa kemudian memberikan wilayah kaur dari daerah sambat sampai kehulu, hingga kedaerah Haji  (NAMBAK)  didaerah Muara Dua, Kepada  Pangeran  Raja Luwih,  Sedangkan disekitar Bandar  Bintuhan  menjadi  daerah  kekuasaannya.

Perbedaan itu Nampak nyata dalam penggunaan gelar, penguasa Bandar  Bintuhan   menggunakan  gelar Datuk , sedangkan  daerah  lain di Kaur   menggunakan   gelar  Pangeran ,   Pesirah  atau  Depati[3].[1]

Masa Kejayaan[sunting | sunting sumber]

Puncak   kejayaan   Kerajaan   kaur  berada  pada  masa   pemerintahan  Raja  Negara Muda  atau   Pangeran Cungkai dilangit VI pada sekitar tahun 1840. Kerajaan ini mengalami kemunduran akibat   ke terlibatannya  dalam  perang   yang   sangat  panjang dengan  Kompeni  Belanda.

Dimulai  dari dukungan yang diberikan kerajaan kaur kepada kedatuan  Pasemah  yang  berperang  melawan  kompeni Belanda dalam  perang  Jati  tahun 1825 .  Sampai  akhirnya  raja  Negara  muda  terpaksa  melakukan   evakuasi  ketanjung cina pada tahun 1842,  dan tahta  kerajaan  terpaksa  diserahkan  kepada putrinya, Ratu Dale,  yang  juga  dengan  terpaksa   memindahkan pusat kerajaan  kedaerah  pedalaman, tepatnya kedaerah kedu, yang sekarang   masuk  dalam  wilayah  Kecamatan  luas,   Kabupaten  Kaur.[4]

Pada  tahu 1871  Belanda   Dan  Inggris   menanda  tangani   Traktat  Sumatra, yang   memungkinkan  Belanda   melakukan   kolonisasi  terhadap  Aceh dan  memberangus  eksistensi  kerajaan – kerajaan  diseluruh  Sumatra dengan  membangun  birokrasi  dan  memecah  belah   wilayah  kerajaan   yang  ada,  serta   menempatkan  para  raja  dalam   posisi  ketua   adat  atau   kepala   marga  ( sebuah  teritori  yang   lebih  luas  dari  desa,  tetapi   tidak  lebih   luas  dari  kecamatan), dengan   gelar  pesirah,  juga  tidak  lagi   diberikan  Izin  untuk  memiliki   Angkatan   perang .    Semua  itu  tertulis  secara  otentik dalam  buku “ STAATKUNDING OVERZIGHT VAN NEDHERLAND   INDIE   OVER  1838  -  1848.[5]

Kesimpulan[sunting | sunting sumber]

Melihat angka tahun pendirian kerajaan kaur,  maka jelas sekali bahwa   kerajaan   ini  masuk  dalam   periodeisasi  islam.

Hal  lain  yang   perlu  ditegaskan  bahwa  suku  kaur  bukanlah  bagian dari  suku  Serawai.  Ia  adalah  klan  yang lahir  dari  perkawinan antara suku  banten  dengan  suku  pasemah .  Kenyataan  ini  jelas  terlihat  dari  penggunaan  bahasa.  Bahasa   kaur    tidak  terikat   oleh   kaidah  – kaidah  ” NYERAWAI ” Seperti  dalam   bahasa  yang  umum   digunakan  oleh  klan  serawai   didaerah   Manna ,  Talo,   Pino  dan   Seluma.  

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Kaur, kerajaan / Sumatera – Prov. Bengkulu". Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia (dalam bahasa Inggris). 2014-12-26. Diakses tanggal 2023-12-06. 
  2. ^ "KERAJAAN KAUR -" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-12-06. 
  3. ^ "Sejarah Kerajaan Kaur". Diakses tanggal 2023-12-06. 
  4. ^ "Sejarah Kerajaan Kaur". Diakses tanggal 2023-12-06. 
  5. ^ "Sejarah Kerajaan Kaur". Diakses tanggal 2023-12-06.