Kesultanan Bilah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Bilah

1630–1946
Wilayah Kesultanan Bilah pada 1930 (pada peta berwarna kuning tua)
Wilayah Kesultanan Bilah pada 1930 (pada peta berwarna kuning tua)
Ibu kotaNegeri Lama, Bilah Hilir, Labuhanbatu
Bahasa yang umum digunakanMelayu
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Kesultanan
Sultan 
Sejarah 
• Didirikan
1630
1946
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kesultanan Bilah adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1630 oleh Sultan Tahir Indra Alam. Wilayah kesultanan Bilah berpusat di wilayah Negeri Lama, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, Indonesia.

Kesultanan ini runtuh akibat peristiwa Revolusi Sosial di Sumatra Timur pada tahun 1946.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Nama Kesultanan Bilah diambil dari kata "bilah" yang bermakna sebilah/sepotong pohon yang berasal dari pohon nibung yang dahulu banyak tumbuh di pinggiran Sungai Bilah. Masyarakat setempat sering menyebut pohon ini dengan nama bilah nibung atau bilah rotan. Sebutan inilah yang kemudian menjadi asal-muasal nama dari Kesultanan Bilah dan Sungai Bilah yang ada di wilayah tersebut.

Sungai Bilah merupakan sungai terbesar di wilayah Labuhanbatu yang bermuara ke Selat Malaka. Sungai ini memiliki peran penting bagi Kesultanan Bilah karena menjadi jalur perdagangan dan penghubung dengan wilayah lainnya. Sungai ini juga merupakan sarana transportasi masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan, baik masyarakat setempat yang didominasi suku Melayu maupun masyarakat pendatang dari daerah lain di luar Kesultanan Bilah.[1]

Pendirian[sunting | sunting sumber]

Kesultanan Bilah merupakan kesultanan Melayu yang berdiri di wilayah Negeri Lama, Kecamatan Bilah Hilir, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, Indonesia. Kesultanan ini didirikan oleh Sutan Tahir Indra Alam pada sekitar tahun 1630 M. Pendiri kesultanan ini memiliki darah keturunan dari Kesultanan Pinang Awan yang berada di Kota Pinang. Sultan Tahir Indra Alam kemudian membuka wilayah baru di Muara Kumbul sampai beliau wafat dan diberi gelar Marhum Mangkat di Kumbul.

Berdasarkan Peta Negeri-negeri Sumatra Timur (1863) terlihat jelas batas-batas wilayah dari Kesultanan Bilah ini meliputi:[2]

Pada awal berdirinya sebagai kesultanan Islam, Kesultanan Bilah juga ikut andil dalam menyebarluaskan syiar Islam di wilayah kekuasaannya. Sultan Tahir Indra Alam sebagai sultan pada masa itu memerintahkan penyebaran Islam ke wilayah-wilayah di sekitar Kesultanan Bilah, seperti Panai dan Kota Pinang. Penyebaran Islam juga berpengaruh kepada sistem kepercayaan masyarakat, sehingga mayoritas masyarakat di wilayah Labuhanbatu beragama Islam. Selain itu, Kesultanan Bilah yang dipimpin oleh seorang sultan juga memasukkan unsur-unsur Islam pada sistem pemerintahan, hukum dan budaya yang berdampak bagi masyarakat. Hal tersebut menjadi identitas dari Kesultanan Bilah sebagai salah satu Kesultanan di Pantai Timur Sumatra.[3]

Masa Kolonial[sunting | sunting sumber]

Dalam perkembangannya, ketika Kesultanan Bilah diperintah oleh Sultan Musa Bidar Alamsyah III (1865-1904 M), kesultanan ini melakukan kerja sama dengan pihak Kolonial Belanda. Kesultanan Bilah melakukan kerja sama dengan kolonial Belanda di bidang perekonomian, pemerintahan, dan perluasan wilayah yang membuat Kesultanan Bilah menjadi kesultanan kaya yang berdampak pada pola hidup mewah di kesultanan ini. Hal ini juga berdampak kepada dinamika kehidupan masyarakat di wilayah Labuhanbatu pada masa tersebut.[4]

Pembukaan perkebunan karet dan kelapa sawit menandai keberadaan kolonial Belanda di wilayah Kesultanan Bilah. Perkebunan tersebut bercampur dengan hasil bumi yang lebih dulu ditanam oleh masyarakat setempat seperti; kopra, rotan, jernang dan damar.[5] Perkembangan perkebunan tersebut membuat pertumbuhan ekonomi Kesultanan Bilah meningkat sehingga membuat kehidupan para Sultan menjadi lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya istana, masjid, dan bangunan lain di wilayah Kesultanan Bilah.

Pembagian wilayah yang dilakukan oleh kolonial Belanda berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan masyarakat yang tinggal di wilayah Kesultanan Bilah. Pertumbuhan yang dimaksud mengarah kepada perkembangan pasar (pekan) sebagai pusat ekonomi. Selain itu, pembangunan infrastruktur dan layanan publik, serta persebaran demografi juga ikut berkembang karena pembagian wilayah tersebut. Hal ini juga berdampak kepada bentuk Kerja sama dan perjanjian yang dilakukan antara Kesultanan Bilah dengan pemerintah Kolonial Belanda.

Bentuk Kerja sama dan perjanjian yang dilakukan pada umumnya memanfaatkan wilayah untuk kepentingan ekonomi maupun perkembangan perkebunan. Dalam hal membuka perkebunan baru, pihak kolonial Belanda melakukan negosiasi dengan pihak Kesultanan Bilah, yang mana keuntungan hasil perkebunan yang ditanam akan diberikan kepada Sultan sebagai penguasa daerah tersebut. Selain itu, pihak Kolonial Belanda juga meminta masyarakat Melayu di Bilah untuk bekerja dengan upah yang ditentukan oleh pihak Kolonial Belanda.

Selain pembukaan perkebunan, kehadiran Kolonial Belanda di wilayah Kesultanan Bilah juga dilatarbelakangi oleh tujuan perluasan wilayah di sekitar Sumatra Timur. Hal tersebut dilihat dari pembagian wilayah kekuasaan antara pemerintah Kolonial Belanda dan Kesultanan Bilah. Pada batas-batas dan ketentuan tertentu ditetapkan kontrak-kontrak politik yang berdampak kepada lahirnya dua bentuk pemerintahan, yaitu Landschap dan Gouvernement. Lebih lanjut, dalam melakukan pembagian wilayah, Kolonial Belanda membagi daerah Kesultanan Bilah menjadi dua bagian, yaitu Negeri Lama (swapraja) di bawah penguasaan Kesultanan Bilah, dan Rantauprapat (kotapraja) di bawah kekuasaan Kolonial Belanda. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan Rantauprapat sebagai wilayah perkebunan yang terbentuk melalui onderafdeeling.

Perkembangan kerja sama tersebut berlanjut terhadap kesultanan-kesultanan lain di sekitar wilayah Kesultanan Bilah. Kerja sama tersebut memberikan keuntungan tersendiri bagi Kesultanan Bilah, di mana Kesultanan Bilah mendapat hasil dari perkebunan kelapa sawit dan karet yang telah dibangun Belanda, dan masyarakat Melayu Bilah mendapat gaji atau upah atas pekerjaan yang mereka lakukan. Sehingga perkembangan yang terjadi terhadap Kesultanan Bilah sedikit meningkat dari sebelumnya. Akan tetapi dibalik keuntungan yang didapat oleh Kesultanan Bilah, kerugiannya adalah peraturan-peraturan yang ditetapkan Kolonial Belanda terhadap Bilah sangat tidak wajar, karena peraturan yang dibuat sangat merugikan Kesultanan Bilah dan masyarakat. Sistem kerja paksa dan hukuman apabila pekerja (kuli) tidak menepati perjanjian kerja yang sudah disepakati sebelumnya.

Masa Kependudukan Jepang[sunting | sunting sumber]

Setelah Belanda mulai kehilangan pengaruhnya maka pada tahun 1942 Jepang mulai memasuki wilayah Indonesia termasuk Labuhanbatu. Kedatangan Jepang awalnya dianggap sebagai penyelamat masyarakat Labuhanbatu dari pemerintah Kolonial Belanda, namun hal itu justru semakin memperburuk keadaan. Perlakuan terhadap sultan-sultan yang ada di Labuhanbatu juga tidak sebaik saat pemerintahan Kolonial Belanda. Puncaknya pada tahun 1945, saat Proklamasi kemerdekaan membuat banyak dari kerajaan-kerajaan kecil ditaklukan. Kesultanan Bilah memilih untuk bergabung, karena trauma yang dialami akibat dari kekejaman dari penjajahan Jepang.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan[sunting | sunting sumber]

Satu tahun setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia atau pada tahun 1946, Kesultanan Bilah juga tidak memiliki kekuatan dan pengaruh lagi dalam masyarakat atau rakyatnya, karena saat itu perubahan besar-besaran terjadi yaitu Indonesia ingin merdeka dari penjajah. Artinya mengubah sistem pemerintahan dari Monarki menjadi Republik. Keadaan ini dikenal dalam sejarah sebagai tragedi Gerakan Antti-Feodalisme atau yang dikenal sebagai Revolusi Sosial yang menyebabkan banyak Kesultanan Melayu di Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Bilah mengalami kehancuran. Sultan terakhir Kesultanan Bilah ialah Sultan Adil Bidar Alamsyah yang juga wafat karena korban dari peristiwa tersebut.[6][7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Syarif, R. A. (2017). Selayang Pandang Sejarah Labuhan Batu. Rantauprapat: Kantor Arsip Perpustakaan dan Dokumentasi Kabupaten Labuhanbatu
  2. ^ Luckman Sinar Basarshah, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (Medan: Yayasan Kesultanan Serdang, 2006) hlm. 1
  3. ^ Sinar, T. L. (2006). Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Medan: Yayasan Kesultanan Serdang
  4. ^ Pelzer, K. J. (1985). Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947 (J. Rumbo, Trans.). Jakarta: Sinar Harapan
  5. ^ Akbar, A. (2018). Perkebunan Tembakau dan Kapitalisasi Ekonomi Sumatera Timur 1863-1930. Jurnal Tamaddun : Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, 6 (2). https://doi.org/10.24235/tamaddun.v6i2.3522
  6. ^ Rambe, Sabda Firmansyah; Rohani, Laila; Batubara, Abdul Karim. "Sejarah Kesultanan Bilah pada Masa Kolonial Belanda, 1865-1942". Warisan: Journal of History and Cultural Heritage. Mahesa Research Center. 3 (1). doi:10.34007/warisan.v3i1.1215. ISSN 2746-3265. 
  7. ^ Ningsih, Meila; Melay, Ridwan. "Sejarah Kesultanan Bilah Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara Tahun 1630-1945" (PDF). Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau.