Lompat ke isi

Kognisi musik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kognisi musik adalah sebuah pendekatan interdisipliner untuk memahami proses mental yang mendukung perilaku musik, termasuk persepsi, pemahaman, ingatan, perhatian, dan pertunjukan. Teori kognitif mengenai cara orang memahami musik awalnya muncul di bidang psikoakustik dan sensasi, lalu seiring waktu mencakup juga neurosains, teori musik, terapi musik, ilmu komputer, psikologi, filsafat, dan linguistik.

Kognisi musik ditetapkan sebagai sebuah disiplin pada awal 1980-an melalui pendirian Society for Music Perception and Cognition, European Society for the Cognitive Sciences of Music, dan jurnal Music Perception. Bidang ini berfokus pada cara pikiran mengartikan musik sambil mendengarkannya. Bidang ini juga mempelajari proses kognitif yang terlibat ketika para musisi memainkan musik. Seperti bahasa, musik adalah kapasitas manusia yang unik yang mungkin memainkan peran penting dalam terbentuknya kognisi manusia.[1] Cara musik mencerahkan masalah-masalah dasar dalam kognisi cenderung diabaikan atau bahkan dianggap epifenomenal. Pandangan epifenomenal pernah dipaparkan oleh ilmuwan kognisi ternama Steven Pinker ketika ia menyebut musik sebagai "kue keju auditori".[2] Namun karena kognisi musik semakin diakui sebagai dasar pemahaman manusia terhadap kognisi secara keseluruhan, kognisi musik harus bisa berkontribusi secara konseptual dan metodologis terhadap ilmu kognisi. Topik dalam bidang ini meliputi:

  • Persepsi pendengar terhadap struktur pengelompokan (motif, frasa, seksi, dll.)
  • Ritme dan meter (persepsi dan produksi)
  • Inferensi kunci
  • Harapan (termasuk harapan melodis)
  • Kesamaan musik
  • Tanggapan emosional, afektif, atau menggairahkan
  • Pertunjukan yang ekspresif
  • Pemrosesan konseptual[3]

Sejumlah aspek teori musik kognitif menjelaskan cara bunyi dipersepsikan oleh pendengar. Jika studi interpretasi manusia terhadap bunyi disebut psikoakustik, aspek-aspek kognitif tentang cara pendengar menerjemahkan bunyi sebagai pertunjukan musik biasa disebut kognisi musik.

Pada tahun 1970-an, musik cenderung dipelajari karena sifat akusik dan perseptualnya dalam disiplin psikofisika dan psikologi musik yang relatif masih baru. Para sarjana musik mengkritik penelitian ini karena terlalu berfokus pada masalah sensasi dan persepsi yang kurang penting, sering memakai stimulus yang buruk (misalnya fragmen ritmik kecil) atau musik yang dibatasi sampai repertoar klasik Barat saja, serta ketidaksadaran umum terhadap peran musik dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Revolusi kognitif menjadikan para ilmuwan lebih sadar terhadap aspek-aspek ini.

Dua puluh tahun yang lalu, musik nyaris tidak disebutkan di buku-buku psikologi atau hanya muncul di subbagian tentang persepsi nada atau ritme. Sekarang, bersama penglihatan dan bahasa, musik diakui sebagai domain penting dan informatif untuk mempelajari berbagai aspek kognisi yang mengaktifkan proses psikik, termasuk harapan (ekspektasi), emosi, persepsi dan memori, dan cara menerapkannya ke dalam terapi.[4] Peran sarjana dan ilmuwan musik terhadap penelitian terakhir ini tampak lebih besar daripada sebelumnya. Bisa jadi karena kognisi musik akan berubah menjadi disiplin utama yang berkontribusi pada pemahaman manusia terhadap musik sebagaimana kerangka kerja analitis tradisional.

Penelitian telah dilakukan untuk mempelajari jalur-jalur persepsi emosi dalam otak saat menanggapi musik dan ekspresi vokal. Hasilnya adalah jalur-jalur semacam itu sifatnya serupa sehingga mereka dengan akurat membawa emosi tertentu, dan bahwa acuan akustik tertentu bersifat istimewa terhadap emosi tertentu.[5]

Meski ide bahwa musik berdampak terhadap kognisi sifatnya baru, para peneliti mengatakan bahwa pelatihan musik meningkatkan kinerja perilaku. Penelitian yang menghubungkan musik dan kognisi ini membantu para ilmuwan memahami kekuatan besar yang diberikan musik terhadap lingkungan manusia saat ini.[6]

Dampak identitas terhadap preferensi musik

[sunting | sunting sumber]

Para psikolog umumnya menerima gagasan bahwa perbedaan individu nonklinis dapat dirangkum sesuai lima dimensi yang berbeda.[7] Dimensi-dimensi ini dikenal sebagai lima sifat besar kepribadian dan terdiri dari keterbukaan terhadap pengalaman baru, kehati-hatian, keterbukaan, keramahan, dan neurotisisme. Peneliti yang tertarik mempelajari bahwa kepribadian berkorelasi dengan preferensi musik telah berfokus pada lima sifat besar tadi dan menemukan banyak hubungan antara jenis musik populer dan lima sifat besar kepribadian.

Metode umum

[sunting | sunting sumber]

Berbagai kuesioner telah dibuat untuk mengukur lima sifat besar kepribadian dan preferensi musik. Kebanyakan studi yang berusaha menemukan hubungan antara kepribadian dan preferensi musik memanfaatkan kuesioner untuk mengukur kedua sifat tersebut.[7][8][9][10][11][12][13] Peneliti lain memakai kuesioner untuk menentukan sifat kepribadian, kemudian meminta peserta menilai petikan musik dengan beragam skala seperti menyukai, persepsi kerumitan, emosi yang dirasakan, dan lain-lain.[14][15][16]

Lima sifat besar kepribadian

[sunting | sunting sumber]

1. Neuroticism (N) 2. Extraversion (E) 3. Openness to New Experience (O) 4. Agreeableness (A) 5. Conscientiousness (C)

Keterbukaan terhadap pengalaman baru

[sunting | sunting sumber]

Keterbukaan adalah sifat besar kepribadian yang paling kuat saat mengaitkan musik dengan kualitas kepribadian.[8] Kualitas ini memprediksi preferensi musik yang sifatnya reflektif (merenung) dan kompleks dan musik yang sifatnya intens dan semangat.[8][12][17][18] Genre reflektif dan kompleks meliputi musik klasik, blues, jazz, dan musik rakyat, sementara musik intens dan semangat meliputi rock, alternatif, dan heavy metal.[12] Hal ini juga berkorelasi positif dengan penggunaan musik secara intelektual atau kognitif, yang berarti bahwa orang ini suka menganalisis komposisi musik yang kompleks (rumit).[7][9][10][13] Selain itu, seseorang lebih terbuka memilih tema melodi berjumlah besar dalam karya musik.[11][19] Keterbukaan terhadap pengalaman juga telah dihubung-hubungkan dengan orang-orang yang menyukai musik sedih, terutama karena sifat kepribadian ini juga berkaitan dengan apresiasi yang lebih besar terhadap pengalaman estetis dan keindahan.[16] Terakhir, orang-orang yang terbuka memperlihatkan preferensi terhadap berbagai macam gaya musik, namun tidak memilih bentuk musik kontemporer yang populer, sehingga menunjukkan bahwa ada batasan terhadap keterbukaan ini.[20]

Keterbukaan

[sunting | sunting sumber]

Orang-orang terbuka (ekstravert) yang enerjik sering dikaitkan dengan preferensi musik yang menyenangkan, ceria, dan konvensional, serta musik yang enerjik dan ritmik, seperti rap, hip hop, soul, electronik, dan musik tari.[10][12] Musik ceria dengan tempo cepat, banyak tema melodi, dan vokal juga dipilih oleh orang-orang terbuka.[11][13][18] Mereka lebih suka mendengarkan musik sebagai latar sambil melakukan aktivitas lain, seperti berlari, bercengkerama dengan teman, atau belajar.[7][9][10] Orang-orang seperti ini juga cenderung memakai musik untuk melawan sifat monoton aktivitas sehari-hari, seperti menyetrika baju.[7] Dalam sebuah studi di Turki, peneliti menemukan bahwa kaum ekstravert memilih musik rock, pop, dan rap karena genre-genre tersebut mengikutsertakan tari dan gerakan. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa banyak preferensi musik dapat direplikasikan secara lintas budaya.[15]

Neurotisisme

[sunting | sunting sumber]

Semakin neurotis seseorang, semakin besar ketidaksukaan mereka terhadap musik intens dan semangat (seperti rock dan heavy metal), namun memilih musik ceria dan konvensional, seperti country, soundtrack, dan musik pop.[12] Selain itu, neurotisisme terkorelasikan secara positif dengan pemakaian musik yang emosional.[9][10] Orang-orang yang memiliki nilai neurotisisme tinggi cenderung memakai musik untuk mengatur emosi dan mengalami intensitas pengaruh emosi yang lebih tinggi, khususnya emosi negatif.[7][10]

Kehati-hatian

[sunting | sunting sumber]

Kehati-hatian dihubungkan secara negatif dengan musik intens dan semangat, seperti rock dan heavy metal.[12] Meski studi sebelumnya berhasil menemukan hubungan antara kehati-hatian dan pengendalian emosi, hasilnya tidak dapat diterapkan secara lintas budaya. Para peneliti tidak bisa menemukan hubungan ini di Malaysia.[7]

Keramahan

[sunting | sunting sumber]

Orang-orang ramah memilih musik yang ceria dan konvensional.[12] Selain itu, pendengar dengan keramahan tinggi menampilkan respon emosi yang intens terhadap musik yang belum pernah mereka dengarkan.[14]

Pengaruh suasana terhadap preferensi musik

[sunting | sunting sumber]

Telah ditunjukkan bahwa situasi bisa memengaruhi preferensi seseorang terhadap jenis-jenis musik tertentu. Para peserta studi tahun 1996 memberikan informasi mengenai musik yang akan mereka dengarkan dalam suasana tertentu, dan menunjukkan bahwa suasana sangat menentukan preferensi musik mereka. Misalnya, suasana melankolis akan menghasilkan musik yang sedih dan muram, sementara suasana yang menggairahkan akan menghasilkan musik yang lantang, beritme kuat, dan semangat.[21]

Jenis kelamin

[sunting | sunting sumber]

Wanita cenderung merespon musik secara lebih emosional ketimbang pria.[9] Selain itu, wanita lebih suka musik populer ketimbang pria.[20] Dalam studi kepribadian dan gender mengenai preferensi bass berlebihan dalam musim, para peneliti menemukan bahwa pria lebih menyukai musik bass ketimbang wanita. Preferensi musik bass ini juga berkorelasi dengan kepribadian antisosial dan mengurung diri.[22]

Dalam studi preferensi musik remaja di Inggris, para peneliti menemukan bahwa perempuan menganggap musik sebagai aktivitas yang berharga ketimbang laki-laki, namun baik laki-laki dan perempuan setuju musik tidak perlu diajarkan di sekolah. Temuan ini membuktikan bahwa preferensi dan pilihan musik bisa berubah seiring usia.[23] Dalam sebuah studi di Kanada mengenai bagaimana preferensi musik remaja berhubungan dengan kepribadian, peneliti menemukan bahwa remaja yang memilih musik berat memiliki kepercayaan diri yang rendah, ketidaknyamanan tinggi di dalam keluarga, dan cenderung merasa dijauhi orang lain. Remaja yang memilih musik ringan asyik melakukan hal yang pantas dan sulit menyeimbangkan kebebasan dengan ketergantungan. Remaja yang memilih musik eklektik mudah beradaptasi dengan masa remajanya dan fleksibel memanfaatkan musik sesuai suasana hati dan kebutuhan tepat pada waktunya.[24]

Musim juga bisa memengaruhi preferensi. Setelah melihat musik gugur atau dingin, orang-orang biasanya memilih musik reflektif (merenung) atau kompleks, sementara setelah melihat musim panas atau semi, orang-orang akan memilih musik yang enerjik dan ritmik. Meski begitu, musik pop tampaknya lebih bersifat universal dan tidak tergantung musim.[25]

Familiaritas

[sunting | sunting sumber]

Familiaritas dan kerumitan (kompleksitas) sama-sama memiliki dampak unik terhadap preferensi musik. Seperti yang terlihat di tipe media artistik lain,hubungan U terbalik bisa terlihat saat mengaitkan kerumitan subjektif dengan menyukai petikan musik. Seseorang menyukai kompleksitas sampai tingkat tertentu, kemudian mulai tidak menyukai musik tersebut saat kompleksitasnya menjadi terlalu tinggi. Selain itu, terdapat hubungan monoton positif yang jelas antara familiritas dan menyukai musik.[26]

Pandangan diri

[sunting | sunting sumber]

Preferensi musik juga bisa dipengaruhi oleh bagaimana seseorang ingin dipandang, khususnya pada pria.[10] Preferensi musik dapat dipakai untuk menciptakan klaim identitas yang dibuat sendiri. Seseorang dapat memilih gaya musik yang memperkuat pandangan diri mereka. Misalnya, orang dengan pandangan diri konservatif memilih gaya musik konvensional, sementara orang berpandangan diri atletik memilih musik yang bersemangat.[13]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Bidang terkait

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Mithen, Steven (2007). The Singing Neanderthals: The Origins of Music, Language, Mind and Body. Cambridge, MA: Harvard University Press. ISBN 978-0674025592. 
  2. ^ Pinker, Steven (2009). How the Mind Works. New York, NY: W. W. Norton & Company, Inc. hlm. 534. ISBN 978-0393334777. 
  3. ^ Daltrozzo, J., Schön, D. (2009). Conceptual processing in music as revealed by N400 effects on words and musical targets. Journal of Cognitive Neuroscience, 21(10): 1882-1892.[1] Diarsipkan 2011-08-14 di Wayback Machine.
  4. ^ Lehtonen, Kimmo (1987). "Creativity, the Symbolic Process and Object Relationships". The Creative Child and Adult Quarterly. Cincinnati, OH: National Association for Creative Children and Adults. 12 (4): 259–270. ISSN 0884-4291. ; cited in Degmečić, Dunja; Požgain, Ivan; Filaković, Pavo (December 2005). "Music as Therapy". International Review of the Aesthetics and Sociology of Music. Zagreb, Croatia: Croatian Musicological Society. 36 (2): 287–300. ISSN 0351-5796. 
  5. ^ Juslin, Patrik (Sep 2003). "Communication of emotions in vocal expression and music performance: Different channels, same code?". Psychological Bulletin. American Psychological Association. 129 (5): 770–814. 
  6. ^ Moreno, Sylvain (2009). "Can Music Influence Language and Cognition?". Contemporary Music Review. 28 (3): 23–36. 
  7. ^ a b c d e f g Chamorro-Premuzic, Tomas (1 January 2009). "The Big Five Personality Traits and Uses of Music". Journal of Individual Differences. 30 (1): 20–27. doi:10.1027/1614-0001.30.1.20. 
  8. ^ a b c Zweigenhaft, Richard L. (1 January 2008). "A Do Re Mi Encore". Journal of Individual Differences. 29 (1): 45–55. doi:10.1027/1614-0001.29.1.45. 
  9. ^ a b c d e Chamorro-Premuzic, Tomas (1 January 2009). "Personality, self-estimated intelligence, and uses of music: A Spanish replication and extension using structural equation modeling". Psychology of Aesthetics, Creativity, and the Arts. 3 (3): 149–155. doi:10.1037/a0015342. 
  10. ^ a b c d e f g Chamorro-Premuzic, Tomas (1 January 2010). "Personality and uses of music as predictors of preferences for music consensually classified as happy, sad, complex, and social". Psychology of Aesthetics, Creativity, and the Arts. 4 (4): 205–213. doi:10.1037/a0019210. 
  11. ^ a b c Kopacz, Malgorzata (2005). "Personality and music preferences: The influence of personality traits on preferences regarding musical elements". Journal of Music Therapy. 42 (3): 216–239. 
  12. ^ a b c d e f g Langmeyer, Alexandra (1 January 2012). "What Do Music Preferences Reveal About Personality?". Journal of Individual Differences. 33 (2): 119–130. doi:10.1027/1614-0001/a000082. 
  13. ^ a b c d Rentfrow, Peter J. (1 January 2003). "The do re mi's of everyday life: The structure and personality correlates of music preferences". Journal of Personality and Social Psychology. 84 (6): 1236–1256. doi:10.1037/0022-3514.84.6.1236. 
  14. ^ a b Ladinig, Olivia (1 January 2012). "Liking unfamiliar music: Effects of felt emotion and individual differences". Psychology of Aesthetics, Creativity, and the Arts. 6 (2): 146–154. doi:10.1037/a0024671. 
  15. ^ a b Tekman, Hasan Gürkan (1 October 2002). "Music and social identity: Stylistic identification as a response to musical style". International Journal of Psychology. 37 (5): 277–285. doi:10.1080/00207590244000043. 
  16. ^ a b Vuoskoski, Jonna K. (1 February 2012). "Who Enjoys Listening to Sad Music and Why?". Music Perception: An Interdisciplinary Journal. 29 (3): 311–317. doi:10.1525/MP.2012.29.3.311. 
  17. ^ Rentfrow, Peter J. (1 January 2011). "The structure of musical preferences: A five-factor model". Journal of Personality and Social Psychology. 100 (6): 1139–1157. doi:10.1037/a0022406. 
  18. ^ a b Brown, R. A. (1 August 2012). "Music preferences and personality among Japanese university students". International Journal of Psychology. 47 (4): 259–268. doi:10.1080/00207594.2011.631544. 
  19. ^ Steele, Anita (2011). "A descriptive study of myers-briggs personality types of professional music educators and music therapists with comparisons to undergraduate majors". Journal of Music Therapy. 48 (1): 55–73. 
  20. ^ a b Rawlings, D. (1 October 1997). "Music Preference and the Five-Factor Model of the NEO Personality Inventory". Psychology of Music. 25 (2): 120–132. doi:10.1177/0305735697252003. 
  21. ^ North, Adrian (1996). "Situational influences on reported musical preference". Psychomusicology. 15: 30–45. 
  22. ^ McCown, William (1997). "The role of personality and gender in preference for exaggerated bass in music". Personal Individual Differences. 23 (4): 543–547. 
  23. ^ Crowther, R (1982). "Sex- and age-related differences in the musical behavior, interests and attitudes towards music of 232 secondary school students". Educational Studies. 8 (2): 131–139. 
  24. ^ Schwartz, Kelly (2003). "Music preferences, personality style, and developmental issues of adolescents". Journal of Youth and Adolescence. 32 (3): 205–213. 
  25. ^ Pettijohn, Terry F. (26 November 2010). "Music for the Seasons: Seasonal Music Preferences in College Students". Current Psychology. 29 (4): 328–345. doi:10.1007/s12144-010-9092-8. 
  26. ^ North, Adrian (1995). "Subjective complexity, familiarity, and liking for popular music". Psychomusicology. 14: 77–93. 

Bahan bacaan

[sunting | sunting sumber]

Entri ensiklopedia

[sunting | sunting sumber]
  • Palmer, Caroline/Melissa K. Jungers (2003): Music Cognition. In: Lynn Nadel: Encyclopedia of Cognitive Science, Vol. 3, London: Nature Publishing Group, pp. 155–158.

Bacaan perkenalan

[sunting | sunting sumber]

Bacaan pelengkap

[sunting | sunting sumber]

Artikel jurnal

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]