Konservasi alam di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sebuah papan peringatan untuk tidak mengganggu orang utan di Taman Nasional Tanjung Puting

Konservasi alam di Indonesia mencakup upaya untuk melindungi keunikan lingkungan dan keanekaragaman hayati negara ini. Indonesia memiliki tingkat endemisme yang tinggi serta kaya akan hutan hujan tropis dan terumbu karang.

Pemeliharaan kebun hutan telah dipraktikkan secara tradisional untuk melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia. Upaya konservasi formal dimulai pada abad ke-19 pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan, konservasi di Indonesia dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia bersama dengan organisasi non-pemerintah dan para pemimpin agama. Indonesia telah menetapkan 21,3% luas daratan dan 9% wilayah lautnya sebagai kawasan lindung. Implementasi konservasi di negara ini terhambat oleh deforestasi dan pertambangan.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Penelitian menunjukkan bahwa kebun hutan yang dikelola oleh suku Dayak di Kalimantan Barat memiliki spesies pohon yang sama banyaknya dengan hutan alami. Hal ini menunjukkan bahwa secara tradisional, konservasi keanekaragaman hayati telah dilaksanakan pada kebun hutan.[1]

Sejak akhir abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda mulai memiliki kesadaran akan perlunya melestarikan satwa liar unik di Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menyadari bahwa burung-burung tertentu berperan penting untuk mengendalikan hama pertanian. Mereka memandang bahwa masyarakat adat menjadi ancaman utama bagi lingkungan sehingga Pemerintah Belanda menerapkan pengendalian ketat terhadap beberapa populasi satwa liar, terutama membatasi perburuan cenderawasih. Akan tetapi, anggota kelas menengah dan elit kolonial diizinkan berburu dengan membeli izin. Setelah Indonesia merdeka, keterkaitan antara konservasionisme dengan kolonialisme mengakibatkan terbatasnya dukungan masyarakat lokal terhadap konservasi alam.[2]

Konservasi alam di Indonesia mulai memperoleh perhatian pada tahun 1970-an. Sejak saat itu konservasi sumber daya alam di Indonesia mulai berkembang. Tujuan dilaksanakannya konservasi tersebut adalah untuk memelihara proses ekologi yang penting dan sistem penyangga kehidupan; menjamin keanekaragaman genetik; pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistem.[3]

Selama periode 1974-1982, bidang konservasi alam di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Perhatian para peneliti sudah mulai timbul dan tenaga-tenaga ahli Indonesia yang bekerja di bidang konservasi alam semakin meningkat jumlahnya. Pada tahun 1982, di Bali diadakan Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3 yang menghasilkan Deklarasi Bali. Terpilihnya Bali sebagai tempat kongres mempunyai dampak yang positif bagi pengelolaan Hutan Suaka Alam dan Taman Nasional di Indonesia. Perkembangan kawasan konservasi terus meningkat, hingga tahun 1986 luas kawasan perlindungan dan pelestarian alam mencapai 18,7 juta hektar. Di samping itu, dilakukan pula program perlindungan dan pelestarian terhadap satwa liar dan tumbuhan alam yang keadaan populasi serta penyebarannya mengkhawatirkan ditinjau dari segi kelestariannya. Pada tahun 1978 tercatat tidak kurang dari 104 jenis telah dinyatakan sebagai satwa liar yang dilindungi. Sampai dengan tahun 1985, keadaan berubah menjadi 95 jenis mamalia, 372 jenis burung, 28 jenis reptil, 6 jenis ikan dan 20 jenis serangga yang dilindungi.[4]

Kemajuan dan kegiatan konservasi alam di Indonesia juga banyak dirangsang oleh adanya World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Alam Sedunia), SKAS yang telah disetujui pada waktu sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Maret 1979. Pemerintah Indonesia menyambut positif SKAS tersebut, yang dituangkan dalam tanggapan dan petunjuk Presiden Republik Indonesia pada waktu sidang kabinet tanggal 5 Maret 1980, sebagai berikut:

  1. Pemerintah Indonesia mendukung SKAS, seperti disepakati Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
  2. Menugaskan setiap menteri menggunakan SKAS sebagai bahan masukan dalam merencanakan dan melaksanakan program pemerintah sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara.
  3. Menyebarluaskan SKAS terhadap masyarakat luas untuk diketahui dan dilaksanakan sesuai dengan semangat dan ideologi Pancasila [4]

Pada tahun 1983 dibentuk Departemen Kehutanan sehingga Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam statusnya diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) yang wawasan tugas dan tanggung jawabnya semakin luas. Di samping itu, kegiatan koordinasi yang menyangkut permasalahan lingkungan hidup, termasuk satwa liar, secara aktif dilakukan oleh Kantor Menteri Negara dan Kependudukan Lingkungan Hidup (KLH) misalnya Operasi Tata Liman pada tahun 1982, berhasil menggiring + 240 ekor gajah dari Lebong Hitam ke Padangsugihan (Sumatera Selatan). Di Sumatra telah dilakukan beberapa studi tentang AMDAL satwa liar, misalnya dampak eksploitasi minyak terhadap satwa liar di Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar dan Danau Bawah (Riau) dan studi AMDAL gajah untuk lingkungan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) Takseleri kelapa sawit di PT Perkebunan VI Kabupaten Kampar (Riau). Beberapa studi AMDAL yang banyak membahas pelestarian dan perlindungan satwa liar telah dilakukan.[4]

Pertumbuhan Kebun Binatang, Taman Burung dan Taman Safari di Indonesia sangat membantu program perlindungan dan pelestarian satwa liar. Oleh karena selain fungsinya sebagai tempat rekreasi dan koleksi binatang, Taman Safari dan Taman Burung juga mempunyai peranan dalam usaha melindungi dan melestarikan satwa liar. Beberapa kebun binatang di Indonesia telah berhasil mengembangbiakkan satwa liar, misalnya Komodo, Jalak Bali dan Anoa. Di samping itu, Kebun Binatang dan Taman Safari secara terbatas juga dapat menampung satwa liar sebagai titipan dari instansi PHPA, misalnya gajah Sumatra atau hewan hasil sitaan. Organisasi Kebun Binatang, Taman dan Taman Safari seluruh Indonesia bersatu di bawah satu perhimpunan, yaitu Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI). Perhatian dunia Internasional terhadap kepentingan perlindungan satwa liar juga sangat besar. Melalui Pertemuan IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) telah ada perjanjian-perjanjian internasional yang membahas masalah konservasi sumber daya alam antara lain:

  1. CITES, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Perjanjian ini telah diterima sejak tahun 1973 pada konferensi internasional di Washington D.C., Amerika Serikat. Perjanjian ini mulai diperkenalkan untuk mendapatkan anggotanya sejak tahun 1975. Sampai saat ini anggota CITES telah mencapai 90 negara, termasuk Indonesia. Tujuan CITES adalah untuk mengendalikan perdagangan kehidupan liar yang terancam kepunahan, di dalam lampiran CITES terdapat lebih dari 2000 spesies fauna dan flora yang terancam kepunahan.
  2. CMA, Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals. Perjanjian ini telah diterima pada tahun 1979 pada konferensi internasional di Bonn, Republik Federasi Jerman. Perjanjian ini baru dapat dikembangkan sejak tahun 1983 hingga 1985 yang anggotanya telah mencapai 19 negara. Tujuannya adalah untuk mengembangkan mekanisme kerja sama internasional dalam rangka konservasi dan pengelolaan spesies-spesies yang melakukan migrasi dan untuk melakukan identifikasi adanya spesies-spesies migrasi yang memerlukan perhatian khusus. Perjanjian ini juga berusaha untuk menghimpun dana dan mendistribusikan dana, teknik dan mengembangkan pendidikan serta latihan untuk kepentingan konservasi spesies-spesies migrasi.
  3. Ramsar Convention on Wetland of International Importance Especially as Waterfowl Habitat. Perjanjian Ramsar diterima sejak tahun 1971, bertujuan untuk menahan kehilangan daerah rawa-rawa dan melindunginya karena fungsinya yang sangat penting bagi proses-proses ekologi di samping kekayaan flora dan fauna yang tinggi. Sampai dengan tahun 1985 telah terdaftar 300 tempat yang mencapai luas 20 juta hektar sebagai daerah rawa yang mempunyai kepentingan internasional ditinjau dari segi ekologi, botani, zoology, limnologi ataupun hidrologi.
  4. ICRW (International Convention for the Regulation of Whaling) atau disebut Washington Convention 1946. Perjanjian ini bertujuan untuk melindungi jenis-jenis ikan Paus yang langka dan terancam kepunahan sehingga diperlukan suatu kebijakan, meliputi mengatur beroperasinya kapal-kapal penangkapan ikan Paus, pabrik pengolahan dan cara-cara penangkapan [5]

Permasalahan[sunting | sunting sumber]

Permasalahan lingkungan hidup yang kini menjadi permasalahan dunia tidak terlepas dari adanya pengelolaan terhadap lingkungan hidup yang tidak terkontrol dengan baik. Dampak negatif yang muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup tidak terlepas dari hakekat pembangunan yang secara sadar melakukan pemanfaatan sumber daya alam untuk dapat mencapai tujuan pembangunan. Didalam mengelola atau memanfaatkan lingkungan hidup, “tidak jarang manusia tertarik dan terpesona oleh tujuan yang dikejarnya saja sehingga tidak menyadari akibat-akibat sampingannya” berupa risiko yang bersifat langsung muncul maupun “laten” bagi kelanjutan kehidupan manusia beserta generasi di masa mendatang [6]

Bidang Ekonomi[sunting | sunting sumber]

Kerusakan lingkungan bukan saja akan mengurangi kemampuan sumber daya alam dan jasa lingkungan dalam menyuplai kebutuhan manusia, namun juga memiliki konsekuensi yang cukup dalam di tengah penderitaan yang diderita oleh masyarakat akibat kerusakan lingkungan, seperti kekeringan dan kekurangan pangan. Ada kecenderungan yang meningkat terhadap kerusakan alam yang terjadi di wilayah lndonesia. Kecenderungan ini dalam beberapa hal dipicu oleh semakin meningkatnya kebutuhan ekonomi dengan terus meningkatnya pertambahan penduduk. Dengan demikian bukan saja pada jumlah sumber daya alam dan lingkungan yang semakin banyak dikomsumsi namun juga intensitas yang semakin meningkat. Sifat sumber daya alam yang merupakan barang publik kemudian menimbulkan eksternalitas yang berakibat pada over consumtion dan over extraction terhadap sumber daya alam dan lingkungan. Berbagai peristiwa menyangkut menurunnya kualitas lingkungan seperti kasus pencemaran akibat penambangan di Teluk Buyat, penggundulan dan kebakaran hutan, polusi udara, pencemaran wilayah pesisir dan lain sebagainya menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang hanya memenuhi keinginan pasar semata pada akhirnya hanya akan mengorbankan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan. Manakala sumber daya alam dan lingkungan telah terdegradasi, maka akan menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri[7]

Bidang Sosial[sunting | sunting sumber]

Ketidakpahaman masyarakat akan lingkungan dapat berakibat fatal bagi kehidupan local maupun dunia. Masalah sosial yang sering ditemukan adalah ketidakpedulan masyarakat terhadap permasalahan lingkungan tersebut.[7]

Bidang Politik[sunting | sunting sumber]

Gerakan konservasi SDA yang dilahirkan atas kepentingan sebuah warisan keindahan dunia bagi generasi mendatang telah mendunia. Berbagai konferensi internasional melingkupinya. Dewasa ini, konservasi kemudian dipahami berbeda antara dunia utara dan dunia selatan. Pemaknaan konservasi di dunia utara lebih mengutamakan warisan keindahan, yang kemudian menjadikan kawasan konservasi steril dari manusia, menjadi sebuah petaka ketika gagasan dialirkan ke wilayah selatan belahan dunia [7]

Bidang Kelembagaan[sunting | sunting sumber]

Persoalan kelembagaan dalam pemerintahan bersumber dari bentuk dari kelembagaan itu sendiri (portofolio atau nonportofolio), keterbatasan mandat, cakupan kewenangan, dan lemahnya koordinasi. Cara pandang bahwa aspek lingkungan hidup merupakan urusan Komisi VIII DPR RI (Komisi yang membidangi lingkungan), dan bukan merupakan urusan komisi-komisi lainnya (misalnya yang menangani bidang kehutanan, perdagangan, dan industri) masih sangat kental. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila isu-isu tertentu contohnya Lapindo yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang membawa dampak pada lingkungan hidup, kesehatan dan kehidupan masyarakat di Sidoarjo ditanggapi secara berbeda oleh komisi yang satu dengan yang lainnya [7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Marjokorpi, Antti; Ruokolainen, Kalle (2003). "The role of traditional forest gardens in the conservation of tree species in West Kalimantan, Indonesia". Biodiversity & Conservation. 12 (4): 799–822. doi:10.1023/A:1022487631270. ISSN 1572-9710. 
  2. ^ Cribb, Robert (2007). "Conservation in Colonial Indonesia". Interventions. 9 (1): 49–61. doi:10.1080/13698010601173817. ISSN 1369-801X. 
  3. ^ Joko, Christianti (2014). "Ruang Lingkup Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan" (PDF). Ruang Lingkup Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. 
  4. ^ a b c Setiadi, Dede; Sulistijorini; Muhadiono; Hadijaya, Dodit; Santosa, Imam; Rosdiana, Ina (2014). Indrawan, Andry, ed. "Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan" (PDF). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2 Februari 2020. 
  5. ^ "Global, Taman Nasional dan Praktek Lokal di Pulau Siberut, Sumatera Barat". Jurnal Ilmu Kehutanan. 2011. 
  6. ^ Soemarwoto, Otto (2001). Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. 
  7. ^ a b c d Fauzi, Akhmad (2009). "Sinergi antara Pembangunan Ekonomi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan" (PDF). Jurnal Ekonomi Lingkungan. 13 (2). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-05-17. Diakses tanggal 2020-02-02.