Kosmologi Hindu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kosmologi Hindu adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam semesta menurut filsafat Hindu. Dalam ajaran kosmologi Hindu, alam semesta dibangun dari lima unsur, yakni: tanah (zat padat), air (zat cair), udara (zat gas), api (plasma), dan ether. Kelima unsur tersebut disebut Pancamahabhuta atau lima unsur materi.

Purusa dan Prakerti[sunting | sunting sumber]

Dalam ajaran Hindu, Purusa dan Prakerti merupakan dua unsur pokok yang terkandung dalam setiap materi di alam semesta. Purusa dan Prakerti merupakan unsur yang bersifat kekal, halus, dan tidak dapat dipisahkan. Purusa adalah unsur yang bersifat kejiwaan sedangkan Prakerti adalah unsur yang bersifat kebendaan atau material. Pada penciptaan alam semesta, Prakerti berevolusi menjadi Pancatanmatra yaitu lima benih yang belum berukuran. Pancatanmatra setelah melalui evolusi yang panjang akhirnya menjadi Pancamahabhuta, yakni lima unsur materi. Lima unsur materi ini kemudian membentuk anggota alam semesta, seperti misalnya matahari, bumi, bulan, bintang-bintang, planet-planet, dan lain-lain.

Penciptaan Alam Semesta[sunting | sunting sumber]

Dalam Kitab Weda[sunting | sunting sumber]

Dalam kitab Regweda terdapat nyanyian yang mengisahkan asal mula alam semesta. Nyanyian tersebut disebut Nasadiyasukta dan terdiri dari tujuh bait sebagai berikut:

Pada mulanya tidak ada sesuatu yang ada namun tidak ada sesuatu yang tidak ada. Tidak ada udara, tidak ada langit pula. Apakah yang menutupi itu, dan mana itu? Airkah di sana? Air yang tak terduga dalamnya?

Waktu itu tidak ada kematian, tidak pula ada kehidupan. Tidak ada yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernapas tanpa napas menurut kekuatannya sendiri. Di luar daripada Ia tidak ada apapun.

Pada mulanya kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Semua yang ada ini adalah sesuatu yang tak terbatas dan tak dapat dibedakan, yang ada pada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong.

Setelah itu timbullah keinginan, keinginan yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Rsi setelah bermeditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara yang ada dan yang bukan ada.

Sinarnya terentang keluar. Apakah ia melintang? Apakah ia di bawah atau di atas? Beberapa menjadi pencurah benih, yang lain amat hebat. Makanan adalah benih rendah, pemakan adalah benih unggul.

Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui? Siapakah di dunia ini yang dapat menerangkannya? Dari manakah kejadian itu, dan dari manakah timbulnya? Para Dewa ada setelah kejadian itu. Lalu, siapakah yang tahu, darimana ia muncul?

Dia, yang merupakan awal pertama dari kejadian itu, dari-Nya kejadian itu muncul atau mungkin tidak. Dia yang mengawasi dunia dari surga tertinggi, sangat mengetahuinya atau mungkin juga tidak.

Menurut filsafat Hindu dalam Regweda, elemen dasar dunia adalah Asat atau ketiadaan yang sama dengan Aditi yaitu ketidakterbatasan. Semua yang ada adalah Diti yaitu yang terikat. Ajaran dalam Regweda juga menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh Brahman dari unsur yang sudah ada. Hiranyagharba atau "Janin Emas" muncul dari lautan yang memenuhi angkasa lalu dari dalamnya muncul Brahma yang membangun dunia yang masih kacau tanpa bentuk agar teratur rapi.

Dalam Kitab Purana dan Upanisad[sunting | sunting sumber]

Menurut kepercayaan Hindu, alam semesta terbentuk secara bertahap dan berevolusi. Penciptaan alam semesta dalam kitab Upanisad diuraikan seperti laba-laba memintal benangnya tahap demi tahap, demikian pula Brahman menciptakan alam semesta tahap demi tahap. Brahman menciptakan alam semesta dengan tapa. Dengan tapa itu, Brahman memancarkan panas. Setelah menciptakan, Brahman menyatu ke dalam ciptaannya.

Menurut kitab Purana, pada awal proses penciptaan, terbentuklah Brahmanda. Pada awal proses penciptaan juga terbentuk Purusa dan Prakerti. Kedua kekuatan ini bertemu sehingga terciptalah alam semesta. Tahap ini terjadi berangsur-angsur, tidak sekaligus. Mula-mula yang muncul adalah Citta (ingatan/memori di alam pikiran),yang sudah mulai dipengaruhi oleh keinginan Triguna, yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas. Tahap selanjutnya adalah terbentuknya Triantahkarana, yang terdiri dari Buddhi (naluri); Manah (akal pikiran); Ahamkara (rasa keakuan). Selanjutnya, munculah Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, yang disebut pula Dasendria (sepuluh indria).

Dasendria
Pancabuddhindria Pancakarmendria
  1. Srotendria (rangsang pendengar; indria pada telinga)
  2. Twakindria (rangsang peraba; indria pada kulit)
  3. Caksuindria (rangsang penglihatan; indria pada mata)
  4. Ghranendria (rangsang pencium; indria pada hidung)
  5. Jihwendria (rangsang pengecap; indria pada lidah)
  1. Garbendria (penggerak perut; indria pada perut)
  2. Panindria (penggerak tangan; indria pada tangan)
  3. Padendria (penggerak kaki; indria pada kaki)
  4. Payuindria (penggerak organ pelepasan; indria pada organ pelepasan)
  5. Upasthendria (penggerak alat kelamin; indria pada alat kelamin)

Setelah timbulnya Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, maka sepuluh indria tersebut berevolusi menjadi Pancatanmatra, yaitu lima benih unsur alam semesta yang sangat halus, tidak berukuran. Lima benih tersebut dijelaskan sebagai berikut:

  1. Sabdatanmatra (benih suara)
  2. Rupatanmatra (benih penglihatan)
  3. Rasatanmatra (benih perasa)
  4. Gandhatanmatra (benih penciuman)
  5. Sparsatanmatra (benih peraba)

Pancatanmatra merupakan benih saja. Pancatanmatra berevolusi menjadi unsur-unsur benda materi yang nyata. Unsur-unsur tersebut dinamai Pancamahabhuta, atau Lima Unsur Zat Alam. Kelima unsur tersebut yaitu:

  1. Pertiwi (zat padat, tanah, logam)
  2. Apah (zat cair)
  3. Teja (plasma, api, kalor)
  4. Bayu (zat gas, udara)
  5. Akasa (ether)

Pancamahabhuta berbentuk Paramānu, atau benih yang lebih halus daripada atom. Pada saat penciptaan, Pancamahabhuta bergerak dan mulai menyusun alam semesta dan mengisi kehampaan. Setiap planet dan benda langit tersusun dari kelima unsur tersebut, namun kadang kala ada salah satu unsur yang mendominasi. Unsur Teja mendominasi matahari, sedangkan bumi didominasi Pertiwi dan Apah.

Struktur Alam Semesta[sunting | sunting sumber]

Lapisan Atas Lapisan Bawah
  1. Bhurloka Diarsipkan 2020-02-13 di Wayback Machine. Alam Paling Bawah
  2. Bhuwahloka Diarsipkan 2020-02-13 di Wayback Machine.
  3. Swahloka atau Swargaloka Diarsipkan 2020-02-13 di Wayback Machine.
  4. Mahaloka
  5. Janaloka
  6. Tapaloka
  7. Satyaloka atau Brahmaloka (Alam Para Dewa ,Bidadari Surga)
  1. Atala
  2. Witala
  3. Sutala
  4. Talatala
  5. Mahatala
  6. Rasatala
  7. Patala

Lapisan Atas Alam Semesta[sunting | sunting sumber]

Menurut agama Hindu, bagian atas alam semesta terdiri dari tujuh lapisan. Tujuh lapisan tersebut dikenal dengan istilah Saptaloka (tujuh alam). Bhurloka adalah lapisan yang paling bawah yang didiami para butha,dan raksasa; Bhuwahloka adalah lapisan alam di atasnya yang didiami oleh para manusia;tempat bumi berada. Swahloka atau Swargaloka atau surga adalah kediaman para dewa yang dipimpin oleh dewa Indra; Mahaloka adalah kediaman Resi Bhrigu; Janaloka adalah kediaman Sapta Resi; Tapaloka merupakan kediaman ras makhluk yang disebut Weragi; Satyaloka atau Brahmaloka merupakan kediaman penguasa satu alam semesta yakni dewa Brahma.[1]

Tujuh Hari dan Benda Semesta[sunting | sunting sumber]

Saptawara atau tujuh hari yang masing-masing memiliki benda semesta:

No. Indonesia Inggris Surya-siddhanta Bali Benda Semesta
1. Senin Monday Soma Soma Bulan
2. Selasa Tuesday Angaraka Anggara Mars
3. Rabu Wednesday Buddha Buda Merkurius
4. Kamis Thursday Brhaspati Wraspati Jupiter
5. Jumat Friday Sukra Sukra Venus
6. Sabtu Saturday Saniscara Saniscara Saturnus
7. Minggu Sunday Aditya Radite Matahari

Ketujuh benda angkasa tersebut berada di Bhurloka.[2] Saptaloka bukan merupakan tujuh lapisan langit, sebab loka berarti alam dan di dalam satu loka terdapat banyak planet. Lapisan langit disebut Akasha (IAST: Ākāśa) yang berarti angkasa.

Lapisan Bawah Alam Semesta[sunting | sunting sumber]

Menurut agama Hindu, di bawah Bhurloka terdapat tujuh lapisan alam bawah yang dihuni oleh makhluk dengan unsur kasar. Saptapatala terdiri dari: Atala, Witala, Sutala, Talatala, Mahatala, Rasatala, Patala. Atala identik dengan Mahamaya; Witala dipimpin oleh manifestasi Siwa yang disebut Hatakeswara; Sutala dipimpin oleh raksasa Bali; Talatala dipimpin oleh Maya; Mahatala kediaman ular raksasa; Rasatala dihuni para Detya dan Danawa; Patala dipimpin oleh Basuki, raja para naga. Planet-planet naraka atau neraka berada di Patala. Dengan demikian satu alam semesta menurut Weda terdiri dari 14 lapisan alam.[1]

Usia Alam Semesta[sunting | sunting sumber]

Dalam kitab-kitab suci Hindu disebutkan bahwa alam semesta diciptakan, dimusnahkan, dan dibuat ulang menurut suatu siklus yang berputar abadi. Siklus tersebut disebut Kalpa atau masa seribu Yuga. Satu Kalpa sama dengan 4.320.000.000 tahun bagi manusia sedangkan bagi Brahma satu Kalpa sama dengan satu hari. Dalam kosmologi Hindu, alam semesta berlangsung selama satu Kalpa dan setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat itu, Brahma istirahat selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya. Proses itu disebut Pralaya (Katalismik) dan berulang-ulang selama seratus tahun bagi Brahma (311 Triliun tahun bagi manusia) yang merupakan umur Brahma.

Menurut pandangan umat Hindu, alam semesta sedang berada pada tahun ke-51 bagi Brahma atau 155 Triliun tahun telah berlangsung semenjak Brahma lahir. Setelah Brahma melewati usianya yang ke-100, siklus yang baru dimulai lagi dan segala ciptaan yang sudah dimusnahkan diciptakan kembali. Proses ini merupakan siklus abadi yang terus berulang-ulang dan tak akan pernah berhenti.

Masa hidup Brahma dibagi setiap satu siklus Mahayuga. Yuga terdiri dari empat bagian, yang mana dalam setiap bagian merupakan zaman yang memiliki karakter berbeda-beda. Mahayuga memiliki 71 Divisi, dan setiap divisi merupakan 14 Manvantara (1000) tahun. Setiap Mahayuga berlangsung 4.320.000 tahun. Manwantara adalah siklus Manu, leluhur manusia menurut kepercayaan Hindu.

  1. ^ a b Wikana, Ngurah Heka: "Loka", 2010:2
  2. ^ http://narayanasmrti.com/2010/07/misteri-di-balik-nama-nama-hari/

Kesalahan pengutipan: Tag <ref> dengan nama "surya-siddhanta" yang didefinisikan di <references> tidak digunakan pada teks sebelumnya.

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]

  • Ajaran ketuhanan dan kosmologi dalam Veda, oleh: Drs. I Gede Sura.
  • Wikana, Ngurah Heka. 2010. Merekonstruksi Hindu, Merangkai Kembali Filsafat Weda yang Terdistorsi. Yogyakarta: Narayana Smrti Press
  • Upadesa.