Lignifikasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sebuah kaktus yang batangnya mengalami lignifikasi

Lignifikasi adalah proses pengerasan dinding sel sekunder pada tumbuhan akibat penumpukan lignin. Proses lignifikasi umumnya dimulai ketika tumbuhan mulai mengalami penuaan. Sel tumbuhan yang mengalami lignifikasi adalah sel sklerenkim. Kondisi yang mendukung terjadinya lignifikasi adalah kandungan unsur tembaga dan boron, serta sel sklereid dan intensitas cahaya yang diterima oleh tumbuhan. Lignifikasi berperan dalam kestabilan mekanik tumbuhan dan mempengaruhi tingkat kecernaan tumbuhan.

Proses[sunting | sunting sumber]

Struktur umum dari lignin, senyawa yang menyebabkan lignifikasi.

Lignifikasi hanya terjadi pada dinding sel dan hanya terjadi pada tumbuhan. Proses lignifikasi berupa penimbunan lignin. Awal dimulainya lignifikasi bersamaan dengan proses penuaan pada tumbuhan. Liginifikasi membuat dinding sel pada tumbuhan menjadi liat dan kuat. Kondisi ini kemudian menjadikan dinding sel berperan dalam pelindungan dan pembentukan sel.[1]

Lignifikasi sering terjadi pada dua jenis sel sklerenkim pada organ tumbuhan. Keduanya yaitu serat dan sklereid. Namun sel-sel ini mengalami kematian ketika telah mencapai usia dewasa. Kondisi tersebut bertujuan untuk membuat kaku sel sklerenkim dan menambah berat pada organ tumbuhan.[2]

Proses lignifikasi pada sel sklerenkim berlangsung pada dinding sel sekunder.[3] Sintesis lignin pada dinding sekunder menjadi pembeda antara dinding sekunder dengan dinding primer pada dinsing sel tumbuhan. Dinding sekunder memiliki satu jenis senyawa polisakarida yang berbeda dengan dinding primer, yaitu lignin. Sementara polisakarida yang sama adalah selulosa dan hemiselulosa.[4] Sebaliknya, pada sel-sel kolenkim jarang terjadi lignifikasi.[5]

Kondisi[sunting | sunting sumber]

Proses lignifikasi memerlukan keberadaan unsur tembaga sebagai bagian dari reaksi reduksi-oksidasi. Reaksi ini hanya dapat terjadi ketika terdapat plastosianin, sitokrom oksidase, dan enzim oksidase di dalam tumbuhan.[6] Unsur lain yang diperlukan dalam proses lignifikasi adalah boron, terkhusus pada jaringan esktraseluler pada tumbuhan.[7]

Bagian akar tumbuhan akan mengalami lignifikasi sebagai bentuk toleransi terhadap salinitas.[8] Lignifikasi dindeng sel pada akar sangat dipengaruhi oleh tingginya kandungan tembaga di dalam lahan yang menjadi tempat tumbuh bagi tumbuhan.[9]

Bibit tumbuhan yang diletakkan di areal terbuka akan mengalami lignifikasi pada bagian batangnya dengan kondisi optimal.[10] Proses lignifikasi akan meningkat pula ketika bibit diletakkan di tempat dengan intensitas cahaya yang tinggi.[11] Lignifikasi yang terjadi secara minimal membuat batang tumbuhan yang tumbuh dengan cepat menjadi rapuh. Kondisi ini umum terjadi pada tumbuhan berusia muda yang tidak memiliki sklereid.[12] Sementara lignifikasi maksimal selalu terjadi pada sel sklereid.[3]

Dampak[sunting | sunting sumber]

Kestabilan mekanik tumbuhan[sunting | sunting sumber]

Tumbuhan berusia dewasa mengalami lignifikasi untuk menjaga kestabilan mekanik tumbuhan. Lignin yang terbentuk merupakan hasil dari air yang tidak dapat didaur ulang, yang berasal dari gula. Keberadaan air ini untuk membuat struktur aromatik pada tumbuhan. Kandungan lignin di dalam tumbuhan selalu berpusat di permukaan lumen dan daerah dinding sel yang berpori. Tujuan dari hal tersebut adalah meningkatkan kekakuan tumbuhan dengan penguatan dinding sel dan permeabilitas. Kondisi ini kemudian dapat membantu proses pengangkutan air di dalam tumbuhan. Selain itu, lignin tahan serangan mikroorganisme. Kebanyakan lignin berbentuk cincin aromatik yang tahan terhadap proses anaerobik. Kondisi ini membuat lambat terjadinya kerusakan akibat proses anaerobik pada lignin.[13]

Lignifikasi tidak menyebabkan gangguan yang berat terhadap permeabilitas dinding sel atas air dan bahan-bahan terlarut. Namun, lignifikasi membuat sifat fisik dan kimiawi dinding sel mengalami perubahan. Dinding sel yang mengalami lignifikasi menjadi lebih keras dan lebih tahan terhadap tekanan. Tingkat kekerasan dan daya tahan tekanannya lebih tinggi dibandingkan dengan dinding sel yang berselulosa.[14]

Tingkat kecernaan[sunting | sunting sumber]

Pada tumbuhan yang berusia tua, proses lignifikasi terus berlanjut. Proses ini akan membentuk lignoselulosa dan lignohemiselulosa yang kompleks. Pada kondisi demikian, jumlah lignin meningkat sehingga tingkat kecernaan menjadi rendah. Tumbuhan akhirnya menjadi lebih sulit untuk dicerna.[15] Pada limbah pertanian yang dijadikan pakan ternak sapi, lignifikasi mengurangi nilai nutrisi. Gabungan lignin yang kompleks dengan selulosa dan hemiselulosa merupakan polisakarida yang sulit dicerba oleh bakteri rumen ternak sapi.[16] Salah satu jenis limbah pertanian yang telah mengalami lignifikasi lanjutan adalah jerami padi.[17]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Susilawati dan Bakhtiar, N. (2018). Biologi Dasar Terintegrasi (PDF). Pekanbaru: Kreasi Edukasi. hlm. 12. ISBN 978-602-6879-99-8. 
  2. ^ Ramdhini, dkk. 2021, hlm. 60.
  3. ^ a b Ramdhini, dkk. 2021, hlm. 80.
  4. ^ Cahyandaru, N., Parwoto, dan Gunawan, A. (2010). Setyoharjono, Yustinus Suranto, ed. Konservasi Cagar Budaya Berbahan Kayu dengan Bahan Tradisional (PDF). Magelang: Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. hlm. 3. ISBN 978-602-98592-1-8. 
  5. ^ Ramdhini, dkk. 2021, hlm. 78.
  6. ^ Sutarman dan Miftakhurrohmat 2019, hlm. 54.
  7. ^ Sutarman dan Miftakhurrohmat 2019, hlm. 59.
  8. ^ Tuheteru, F. D., dan Mahfudz (2012). Ekologi, Manfaat & Rehabilitasi Hutan Pantai Indonesia (PDF). Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado. hlm. 52. ISBN 978-602-96800-2-7. 
  9. ^ Widowati, H., Sutanto, A., dan Sulistiani, W. S. (2018). Fitoteknologi dan Efek Fitoremediasi (PDF). Magister Pendidikan Biologi, Pasccasarjana Universitas Muhammadiyah Metro. hlm. 23. ISBN 978-602-52714-6-5. 
  10. ^ Jayusman (November 2014). Na’iem, M., Mahfudz, dan Prabawa, S. B., ed. Mengenal Pohon Kemenyan (Styrax spp.) Jenis dengan Spektrum Pemanfaatan Luas yang Belum Dioptimalkan (PDF). Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 41. ISBN 978-979-493-735-8. 
  11. ^ Sudrajat, D. J., Nurhasybi, dan Bramasto, Y. (11 Agustus 2015). "Teknologi Penanganan Benih dan Bibit untuk Memenuhi Standar Benih dan Bibit Bersertifikat". Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan: 24. ISBN 978-602-98588-4-6. 
  12. ^ Ramdhini, dkk. 2021, hlm. 59.
  13. ^ Af’idah, Noer (2020). Manasikana, Oktaffi Arinna, ed. Biokomposit dari Limbah Organik (PDF). Jombang: LPPM Unhasy Tebuireng Jombang. hlm. 28–29. ISBN 978-623-7872-41-2. 
  14. ^ Purwanti, Siwi (Oktober 2021). Sains Dasar (PDF). Bantul: Penerbit K-Media. hlm. 18. ISBN 978-623-316-503-7. 
  15. ^ Partama, ida Bagus Gaga (2013). Nutrisi dan Pakan Ternak Ruminansia (PDF). denpasar: Udayana University Press. hlm. 81. ISBN 978-602-7776-59-3. 
  16. ^ Lamid, Mirni (10 Desember 2016). Peran Bioteknologi Pakan Ternak Terhadap Pertambahan Berat Badan Sapi Sebagai Upaya Pemenuhan Konsumsi Daging Nasional (PDF). Airlangga University Press. hlm. 8. 
  17. ^ Saidy, Akhmad Rizalli (2021). Stabilitas Bahan Organik Tanah: Peningkatan Kesuburan Tanah dan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (PDF). Sleman: Penerbit Deepublish. hlm. 92. ISBN 978-623-02-2670-0. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Ramdhini, R. N., dkk. (2021). Anatomi Tumbuhan (PDF). Yayasan Kita Menulis. ISBN 978-623-6840-86-3. 
  • Sutarman dan Miftakhurrohmat, A. (2019). Kesuburan Tanah. Sidoarjo: Umsida Press.