Malili, Luwu Timur
Malili | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Sulawesi Selatan |
Kabupaten | Luwu Timur |
Pemerintahan | |
• Camat | Nur Syaifullah Rahman |
Populasi | |
• Total | 43.910 jiwa |
• Kepadatan | 59/km2 (150/sq mi) |
Kode pos | 92981 |
Kode Kemendagri | 73.24.04 |
Kode BPS | 7325050 |
Luas | 715,19 km² |
Desa/kelurahan | 14 desa 1 kelurahan |
Malili adalah sebuah kecamatan yang juga merupakan ibu kota dari Kabupaten Luwu Timur, provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kecamatan Malili terletak sekitar 565 km dari Makassar.[2] Pada tahun 2021, jumlah penduduk kecamatan Malili sebanyak 43.910 jiwa dengan kepadatan 59 jiwa/km².[1]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Menurut sejarahnya, Malili adalah tempat bertemunya suku Padoe, suku asli penduduk Luwu Timur yang disegani oleh Datu Luwu. Populasi suku Padoe di Luwu Timur menyebar dari daerah Kawata, Malili, Mangkutana, Pakatan, Wasuponda, Wawondula, Tabarano, Lioka, Togo, Balambano, Soroako, Landangi, Matompi, Timampu, Karebbe, dan lain-lain.[butuh rujukan]
Suku Padoe telah mendiami daerah pegunungan dan lembah sejak tahun 1400 Masehi. Banyak ksatria yang hidup pada masa itu dikenal dengan sebutan "pongkiari". Kehebatan para Pongkiari ini terdengar oleh Datu Luwu, pemimpin Kerajaan Luwu. Saat Kerajaan Luwu di Palopo menghadapi musuh dari selatan, Datu Luwu meminta para Pongkiari untuk membantu dalam peperangan.[butuh rujukan]
Bantuan para Pongkiari bagi Kerajaan Luwu dalam menghadapi raja-raja dari Selatan membuat Datu Luwu memberikan penghormatan tersendiri kepada para Pongkiari dan seluruh suku Padoe. Karenanya, Suku Padoe tidak diminta memberikan upeti kepada Datu Luwu.[butuh rujukan]
Beberapa cerita rakyat tentang kehebatan Pongkiari ini menceritakan bahwa konon Danau Matano, Danau Mahalona, dan Danau Towuti terbentuk karena pertempuran para Pongkiari. Begitu dahsyatnya pertempuran itu, membuat terciptanya kubangan yang sangat luas dan dalam sehingga membentuk danau hingga saat ini. Namun seiring perkembangan zaman, eksistensi Pongkiari berangsur-angsur hilang.[butuh rujukan]
Demografi
[sunting | sunting sumber]Suku Padoe memiliki adat-istiadat, aturan adat, bahasa bahkan pola kepemimpinan yang masih eksis hingga saat ini. Pada era pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulsel, banyak orang Padoe lari meninggalkan tanah nenek moyang mereka ke arah Sulawesi Tengah seperti Beteleme, Poso, Taliwan, Parigi, juga sulawesi tenggara dan lain-lain. Hal ini menyebabkan sebagian Suku Padoe tersebar dan berdiam di wilayaha Sulawesi Tengah hingga kini.
Sementara dalam agama yang dianut, penduduk Malili beragam kepercayaan. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2021, pemeluk agama Islam sebanyak 92,84%. Kemudian yang beragama Kristen sebanyak 5,94%, dimana Protestan 5,36% dan Katolik 0,58% dan sebahagian lagi bergama Hindu yakni 1,22%.[1]
Perekenomoian
[sunting | sunting sumber]Saat investor tambang nikel masuk ke wilayah suku Padoe, sebagian besar penduduk asli sudah mengosongkan daerah wilayah mereka. Sekitar 10 tahun kemudian saat kondisi sudah aman, banyak eksodus kembali ke tanah nenek moyang mereka. Namun mereka menghadapi kesulitan baru dalam melanjutkan hidup akibat tanah mereka yang telah berubah fungsi menjadi daerah tambang. Sebagian dari mereka tetap menetap di daerah Padoe .yang sekarang ini bertempat di belakang bumper(bumi perkemahan)soroako.
Kini, setelah daerah Padoe menjadi bagian dari Kabupaten Luwu Timur, beragam kegiatan terus dikembangkan untuk dapat menyejahterakan suku Padoe. Organisasi adat yang berkembang sejak tahun 1970 PASITABE telah beberapa kali menyelenggarakan pesta adat dan rapat dewan adat Padoe. Hingga kini PASITABE tetap aktif dalam rangka konsolidasi dan pendampingan terhadap kasus-kasus yang melibatkan tanah ulayat, tanah nenek moyang suku Padoe.