Manajemen emosi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ekspresi emosi di AS telah digambarkan sebagai penjinakan bertahap perilaku impulsif. Menurut Elias (1982), telah ada kecenderungan untuk mengubah secara sadar perilaku ekspresif kita menjadi perilaku yang menjadi standar kelompok. Liljestrom (1983) lebih jauh menjelaskan bahwa kultur kita menekankan rasionalitas dan akibatnya kurang menghargai perasaan. Hal ini cenderung menghambat individu menggunakan emosi dengan serius dan sering menghalangi mereka untuk menganalisis reaksi mereka terhadap situasi emosional. Begitu pula individu kesulitan untuk membedakan manipulasi dan pretensi yang salah dari emosi yang sejati dan spontan.

Emosi dapat dirasakan di permukaan dan di dalam (Denzin, 1985: Gorden, 1981). Emosi permukaan dengan mudah diketahui pengamat melalui pengungkapan ragawi dan kata-kata (Goffman, 1961). Di pihak lain, emosi batin kurang terlihat jelas karena disimpan dengan cermat oleh individu yang bersangkutan (Sommer, 1984). Kita belajar mengendalikan reaksi emosional kita melalui apa yang disebut Hochschild (1983) sebagai " norma emosi ". Ini merupakan pengalaman subjektif yang akan diharapkan dan diterima dalam situasi tertentu. Meskipun demikian, ada situasi individu yang tidak yakin apakah intensitas emosinya sesuai. Disitu mereka mungkin mendefinisakan reaksi emosional dengan membandingkan berbagai situasi (Schachte,1959). Pendek kata, individu menggunakan orang lain, yang menghadapi situasi yang sama, sebagai kelompok rujukan untuk mendeterminasikan intensitas dan kualitas ekspresi emosional kontekstual.

Satu unsur sosialisasi profesional adalah proses pembelajaran untuk mengembangkan secara sesuai pengaruh terkontrol ketika berinteraksi dengan klien (Kadushin, 1962). Profesional diharapkan bertindak "sesuai pribadi yang diharapkan" tetapi "tidak sesuai pribadinya" dalam hubungan mereka dengan pihak yang mereka layani (Smith dan Kleinman, 1989).

Menurut Shubutani (1961:383,385), jarak sosial menjadi maksimal ketika tiap orang menjaga dirinya. Selama seseorang sadar diri dan meyakinkan dirinya untuk memainkan peran konvensional, harapan hubungan profesioanl-klien semakin kuat.

Shibutani menegaskan bahwa perasaan itu secara langsung dikaitkan dengan empati dalam hal perasaan memuat makna personal yang diperoleh melalui identifikasi dengan orang lain, sedangkan reaksi emosional yang khusus digunakan dan dipahami dalam konteks situasi yang khusus pula. Sebaliknya empati dikaitkan dengan jarak sosial dan dengan demikian memungkinkan orang yang tidak dikenali diterima sebagai objek.[1]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ensiklopedia Ilmu Kepolisian. Jakarta: YPKIK. 2005.