Lompat ke isi

Maskulinitas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
One of the most famous depictions of Heracles, originally by Lysippos (marble, Roman copy called Hercules Farnese, 216 CE)
Dalam mitologi yunani, Herakles identik dengan sifat maskulin.

Maskulinitas (disebut juga kejantanan) adalah sejumlah atribut, perilaku, dan peran yang terkait dengan anak laki-laki dan pria dewasa. Maskulinitas didefinisikan secara sosial dan diciptakan secara biologis.[1][2][3] Sifat maskulin berbeda dengan jenis kelamin.[4][5] baik laki-laki maupun perempuan dapat bersifat maskulin. Ciri-ciri yang melekat pada istilah maskulin adalah keberanian, kemandirian dan ketegasan.[6][7][8] ciri-ciri ini bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya.[9]

Gambaran Umum

[sunting | sunting sumber]

Karakteristik maskulin biasanya terdapat pada anak laki-laki maupun pria dewasa. Pada laki-laki sering kali dibuat perbandingan mengenai pria sangat maskulin, maskulin maupun tidak maskulin.[10] Konsep maskulinitas cukup bervariasi. Tergantung sejarah dan budayanya. Pada abad ke 19, seseorang yang suka berdandan baik pria maupun wanita dipandang bersifat masukin namun dalam standar modern disebut feminim.[11] Ronald F. Levant dalam bukunya Masculinity Reconstructed menjelaskan bahwa terdapat sifat-sifat khas pada seseorang yang dianggap maskulin diantaranya menghindari sifat kewanitaan, membatasi emosi, ambisius, mandiri, kuat dan agresif.[12] Sifat-sifat ini memperkuat peran gender yang dikelompokkan menurut jenis kelamin pria maupun wanita karena sebagian besar pria bersifat maskulin. Sebaliknya, sebagian besar wanita bersifat feminim.[13]

Studi tentang maskulinitas mendapat perhatian yang meningkat pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Di Amerika Serikat, mata kuliah maskulinitas meningkat dari 30 menjadi lebih dari 300 mata kuliah.[14] Hal ini telah memicu berbagai penelitian tentang maskulinitas dan pada akhirnya bidang ini berkembang lebih luas. Lahirnya teori-teori diskriminasi sosial, konstruksi sosial dan perbedaan gender merupakan perkembangan dari bidang studi ini.[15]

Namun perlu dicatat bahwa maskulinitas dan feminimitas bukanlah konsep dengan dimensi kategori tunggal. Ada berbagai bentuk maskulinitas dan feminimitas. Artinya konsep tersebut bervariasi antar masyarakat, kelas sosial, maupun tingkat peradaban. Dengan kata lain Maskulinitas dan Feminimitas adalah suatu konstruksi sosial yang dapat diberi makna yang berbeda oleh setiap masyarakat. Dengan menyadari maskulinitas sebagai konsep yang multi dimensi, terbuka ruang bagi kita untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi konsep tersebut. Laki-laki dan perempuan dapat menunjukkan ciri-ciri dan perilaku maskulin. Orang-orang yang mencampurkan karakteristik maskulin dan feminin dalam dirinya dianggap androgini. Pada masa lalu, klasifikasi gender secara umum hanya maskulin dan feminin. Namun dengan munculnya kajian androgini, para ahli feminisme berpendapat bahwa defenisi gender tersebut telah mengaburkan klasifikasi gender.[16][17]

Perkembangan

[sunting | sunting sumber]
Carpenter in a hard hat using a hand drill outdoors
Seorang pekerja konstruksi dianggap maskulin

Dalam beberapa budaya, menampilkan karakteristik yang tidak sesuai dari jenis kelamin yang dia miliki merupakan suatu masalah sosial. Dalam sosiologi, pengecapan ini dikenal sebagai asumsi gender. Perilaku di luar standar yang ditetapkan oleh tradisi dalam budaya tertentu dapat dianggap sebagai indikasi homoseksualitas untuk laki-laki dan lesbian untuk perempuan.[18] Karena itu perlu upaya sosialisasi dan genetika dalam pengembangan maskulinitas. Psikolog dan psikoanalis seperti Sigmund Freud dan Carl Jung meyakini bahwa aspek identitas "feminin" dan "maskulin" sebenarnya terdapat pada semua pria.

Sejarah perkembangan peran gender ini sering kali menjadi masalah yang ditangani oleh ahli genetika, psikologi evolusioner, ekologi manusia, antropologi dan sosiologi. Dalam setiap budaya manusia, peran gender sangat ditampilkan dalam sastra, pakaian dan nyanyian. Seperti dalam sastra Epos Homeros, cerita Hengist dan Horsa dan komentar normatif dari Konfusius. Perlakuan maskulinitas lainnya dapat ditemukan dalam Bhagavad Gita dan bushidō dari Hagakure.

Pembentukan Gender

[sunting | sunting sumber]

Salah satu cara untuk membahas isu laki-laki dalam masyarakat patriarkis adalah dengan membedah atau melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap konsep maskulinitas, dan mengaitkan konstruksi sosial baru tersebut dengan perubahan sosial yang lebih menyeluruh, yaitu proses pelembagaan hubungan sosial yang egalitarian. Maskulinitas adalah suatu stereotype tentang laki-laki yang dapat dipertentangkan dengan feminimitas sebagai stereotype perempuan. Maskulin dan feminim adalah dua kutub sifat yang berlawanan dan membentuk suatu garis lurus yang setiap titiknya menggambarkan derajat kelaki-lakian (maskulinitas) atau keperempuanan (feminimitas). Seorang laki-laki yang memiliki karakteristik yang identik dengan stereotype maskulin disebut laki-laki maskulin, jika karakteristik berlebihan disebut laki-laki super maskulin, jika kurang disebut laki-laki kurang maskulin atau laki-laki feminim. Demikian sebaliknya, jika dibaca variasi sifat seorang perempuan. Stereotype maskulinitas dan feminimitas mencakup berbagai aspek karakteristik individu, seperti karakter atau kepribadian, perilaku peranan, okupasi, penampakan fisik, ataupun orientasi seksual.[19]

Dalam hubungan individu laki-laki diakui maskulinitasnya jika terlayani oleh perempuan, sementara perempuan terpuaskan feminitasnya jika dapat melayani laki-laki. Dalam hal okupasi pekerjaan yang mengandalkan kekuatan dan keberanian seperti tentara, sopir, petinju, dsb, disebut sebagai pekerjaan maskulin, sementara pekerjaan yang memerlukan kehalusan, ketelitian, dan perasaan seperti salon kecantikan, juru masak, menjahit, dsb, dinamakan pekerjaan feminim. Stereotype inilah yang pada gilirannya menciptakan hubungan yang bias antara laki-laki dan perempuan, dimana hegemoni laki-laki atas perempuan dianggap sesuatu yang kodrati. Menjadi jelas pula disini bahwa tanpa melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap konsep maskulinitas, disamping sudah barang tentu dekonstruksi konsep feminimitas, hubungan laki-laki dan perempuan yang egalitarian sulit terwujud.[20]

Awal mula pembentukan gender masih diperdebatkan antara gender terbentuk secara alami atau rekonstruksi budaya. Bagaimana seorang anak mengembangkan identitas gender juga diperdebatkan. Beberapa percaya bahwa maskulinitas dikaitkan dengan tubuh laki-laki; Dalam pandangan ini, maskulinitas dikaitkan dengan alat kelamin laki-laki.[11] Pendapat lain menyarankan bahwa meskipun maskulinitas dapat dipengaruhi secara biologis, sifat maskulin merupakan konstruksi budaya. Penelitian terbaru tentang hubungan maskulinitas seseorang dengan hormon testosteron pada alat kelamin menunjukkan bahwa tingkat testosteron tidak memprediksi bagaimana seseorang akan memiliki perasaan maskulin atau feminin.[21] Pendukung pandangan ini berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pria secara hormonal dan fisik dan banyak aspek maskulinitas yang dianggap alami ternyata merupakan bentukan budaya.[11][22]

Dominasi Maskulinitas

[sunting | sunting sumber]
Two men wrestling in a gymnasium, watched by a group of uninformed soldiers
Pertandingan gulat adalah sifat maskulin berupa keterampilan fisik dan adu kekuatan.

Salah satu pemikiran konservatif tentang gender berpendapat bahwa cara pria untuk mendapatkan kehormatan adalah menyiapkan sekaligus memimpin keluarga mereka.[23] Hal ini dapat diartikan sebagai dominasi sifat maskulin. Raewyn Connell mengatakan "Hegemoni (dominasi) maskulinitas dapat didefinisikan sebagai konfigurasi praktik gender yang menjamin posisi dominan laki-laki terhadap perempuan."[11] Selain menggambarkan identitas maskulin yang kuat dan kejam, sifat maskulin juga digambarkan melalui aktivitas mereka yang berbeda dengan feminin.[24]

Maskulinitas Wanita

[sunting | sunting sumber]

Meskipun sering diabaikan dalam diskusi tentang maskulinitas, wanita juga dapat mengekspresikan sifat-sifat maskulin dalam perilakunya.[25][26] Dalam budaya Barat, maskulinitas wanita telah dikotak-kotakkan menjadi identitas seperti "tomboy" dan "butch". Meskipun maskulinitas wanita sering dikaitkan dengan lesbianisme, mengekspresikan maskulinitas tidak harus berhubungan dengan seksualitas seorang wanita. Dalam filsafat feminis, maskulinitas perempuan sering dicirikan sebagai jenis kinerja gender yang menantang maskulinitas dan dominasi laki-laki.[27] Wanita maskulin sering mengalami stigma dan pelecehan sosial, walaupun pengaruh gerakan feminis telah menyebabkan penerimaan wanita yang mengekspresikan maskulinitas dalam beberapa dekade belakangan ini .[28]

Silhouetted man drinking a glass of beer
Seorang tentara Inggris minum segelas bir setelah ia kembali dari Afghanistan. Pertempuran dalam perang dan minum minuman beralkohol dianggap sebagai kegiatan maskulin dalam budaya Barat.

Kesehatan

[sunting | sunting sumber]

Bukti menunjukkan bahwa prilaku maskulin yang berlebihan memiliki dampak negatif terhadap kesehatan pria. Di Amerika, setidaknya pria telah mengunjungi dokter sebanyak 134,5 juta kunjungan per tahun. Studi tentang pria di Amerika Utara dan Eropa menunjukkan bahwa pria yang mengkonsumsi minuman beralkohol sering kali bertujuan untuk memenuhi harapan sosial tertentu mengenai kejantanan atau maskulinitas. Peran gender dan harapan sosial memiliki pengaruh yang kuat yang mendorong pria untuk melakukan hal itu.[29][30]

Pada tahun 2004, Arran Stibbe menerbitkan sebuah analisis tentang majalah kesehatan pria pada tahun 2000. Menurut Stibbe, meskipun majalah tersebut seolah-olah berfokus pada kesehatan, ia juga mempromosikan perilaku maskulin konservatif seperti konsumsi makanan dan konsumsi alkohol, konsumsi alkohol dan konsumsi berlebihan dan seks yang tidak aman.[31]

Penelitian kandungan bir-komersial oleh Lance Strate[32] menelurkan hasil yang relevan dengan studi maskulinitas.[11] Dalam iklan bir perilaku maskulin sangat ditonjolkan. Iklan yang sering menayangkan situasi di mana seorang pria baik dia seorang pekerja konstruksi, pertanian, koboi dan lainnya mampu mengatasi tantangan dalam sebuah kelompok. Permainan yang melibatkan risiko dan petualangan seperti memancing, berkemah, bermain olahraga atau bersosialisasi juga ditonjolkan sebagai prilaku maskulin. Dalam iklan-iklan bir ditunjukkan bahwa bar merupakan tempat berkumpulnya maskulinitas yang di dalamnya terdapat kegiatan minum bir.

Maskulinitas telah bervariasi menurut waktu dan tempat..[11] Studi tentang sejarah maskulinitas muncul pada tahun 1980-an, merupakan pengembangan sejarah gender perempuan.[33] Dalam sejarah, peran historis wanita banyak yang diabaikan meskipun pada dasarnya tokoh pria lebih banyak daripada tokoh wanita namun bukan berarti tidak ada. Studi tentang sejarah perempuan mulai menganalisis gender dan wanita untuk mengembangkan bidang ini.[34] Artikel Joan Scott, menyerukan agar meletakkan dasar studi gender sebagai konsep analitis untuk mengeksplorasi masyarakat, kekuasaan dan wacana.[35] Menurut Scott, gender harus diperlakukan dalam dua cara yaitu produktif dan diproduksi. Gender produktif memeriksa perannya dalam menciptakan hubungan kekuasaan sekaligus memproduksi gender yang mengeksplorasi penggunaan dan perubahan gender sepanjang sejarah. Hal ini telah mempengaruhi bidang maskulinitas, seperti yang terlihat pada definisi Pierre Bourdieu mengenai maskulinitas: diproduksi oleh masyarakat dan budaya, dan diproduksi ulang dalam kehidupan sehari-hari.[36]

Gender pada Zaman Dahulu

[sunting | sunting sumber]
Painting of Odysseus leaning on a ship
Odysseus, pahlawan Odyssey

Literatur kuno berusia sekitar 3000 SM, maskulinitas tersirat dalam mitos para dewa dan pahlawan. Dalam Alkitab ibrani dari 1000 SM, Raja Daud dari Israel mengatakan kepada anaknya, "aku pergi menjalani seluruh bumi: Jadilah engkau kuat. oleh karena itu tampakkanlah dirimu laki-laki."[37] Sepanjang sejarah, manusia telah memenuhi standar budaya yang ketat. Kate Cooper menuliskan konsep kuno tentang feminitas, "Karakter seorang wanita sering kali dihakimi oleh karakter pria."[38] Menurut Kode Hammurabi (sekitar tahun 1750 SM):

  • Aturan 3: "Jika ada orang yang menuduh, bahwa kejahatan apa pun di hadapan orang tua dan tidak membuktikan apa yang telah dituduhkan kepadanya, ia harus dihukum karena hal itu adalah pelanggaran berat."
  • Aturan 128: "Jika seorang pria membawa perempuan lain ke isterinya, namun tidak melakukan hubungan intim dengannya, maka wanita ini bukanlah isteri baginya."[39]

Cerita-cerita tentang legenda pahlawan kuno menunjukkan kualitas kepahlawanan yang menginspirasi, memberi rasa hormat, mencontohkan kebijaksanaan dan keberanian serta mengambil risiko yang orang lain tidak akan berani merupakan sifat-sifat maskulin yang berkembang di masa lalu.

Abad pertengahan

[sunting | sunting sumber]
Beowulf, holding a sword, blocks a dragon's fire with his shield.
Beowulf melawan naga

Jeffrey Richards menggambarkan "maskulinitas abad pertengahan" Eropa yang pada dasarnya bersifat dogma agama Kristen dan ksatria."[40] Keberanian, penghargaan terhadap wanita dari semua kelas dan kemurahan hati merupakan penggambaran pria. Cerita-cerita Hengest, Horsa dan Beowulf adalah contoh cita-cita maskulin abad pertengahan. Menurut David Rosen, pandangan tradisional para ilmuwan (seperti J. R. R. Tolkien) terhadap Beowulf adalah kisah kepahlawanan zaman pertengahan yang memandang persamaan antara Beowulf dan monster Grendel. Maskulinitas dicontohkan oleh Beowulf dalam cerita tersebut.[41]

Era Modern

[sunting | sunting sumber]

Pada awal abad ke-20, sebuah keluarga tradisional terdiri dari ayah sebagai pencari nafkah dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Ciri khas maskulinitas masa kini adalah kesediaan pria untuk melawan stereotip. Terlepas dari usia atau kebangsaan, pria lebih menginginkan kesehatan yang lebih baik, kehidupan keluarga yang harmonis dan hubungan baik dengan pasangan sama pentingnya dengan kualitas hidup mereka.[42]

Penelitian psikologis

[sunting | sunting sumber]

Menurut sebuah makalah yang diajukan oleh Tracy Tylka kepada American Psychological Association, "Alih-alih melihat penurunan objektivitas perempuan di masyarakat, baru-baru ini terjadi peningkatan objektivitas kedua jenis kelamin. Setiap orang dapat melihat hal itu di media saat ini. " Pria dan wanita membatasi asupan makanan dalam usaha mencapai apa yang mereka anggap sebagai tubuh yang kurus atau ideal. Dalam kasus ekstrim, ini menyebabkan gangguan makan.[43] Psikiater Thomas Holbrook mengutip sebuah penelitian di Kanada baru-baru ini yang menunjukkan bahwa sebanyak satu dari enam orang dengan gangguan makan adalah laki-laki.[44]

Penelitian di Inggris menemukan, "Pria dan wanita muda yang membaca majalah kebugaran dan mode secara psikologis dirugikan oleh gambaran fisik wanita dan pria yang sempurna." Wanita muda dan pria berolahraga secara berlebihan dalam upaya untuk mencapai apa yang mereka anggap sebagai tubuh yang bugar dan berotot sehingga kelihatan menarik, dapat menyebabkan gangguan dismorfik tubuh atau dismorfia otot.[45][46][47] Meskipun stereotipnya tetap konstan, nilai yang melekat pada stereotip maskulin telah berubah. Telah dikemukakan bahwa maskulinitas adalah fenomena yang tidak stabil dan tidak pernah tercapai.[11]

Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) melakukan penelitian meta-analisis yang melibatkan hampir 20.000 laki-laki yang didominasi orang kulit putih, beberapa Afrika-Amerika, dan Asia-Amerika. Beberapa studi menunjukkan korelasi antara kepatuhan terhadap norma-norma maskulinitas dengan kesehatan mental.[48] Peneliti menganalisis peserta dengan 11 norma yang dipercaya oleh para psikolog dapat mencerminkan standar maskulinitas dalam masyarakat. Kemudian hasilnya mereka hubungkan dengan kesehatan mental positif, negatif, dan perilaku dalam mencari bantuan. Penelitian menemukan bahwa laki-laki yang setuju terhadap standar maskulinitas dalam masyarakat cenderung memiliki kesehatan mental yang buruk.[49] Penelitian itu juga menunjukkan laki-laki yang setuju terhadap standar masyarakat cenderung untuk tidak mencari bantuan saat mengalami masalah psikologis.[50]

Peran Gender

[sunting | sunting sumber]
Dari usia muda, anak laki-laki biasanya diajarkan untuk menekan emosi mereka dalam rangka untuk menyesuaikan diri dengan stereotip maskulin.[51]

Norma sosial dan tekanan yang terkait dengan maskulinitas telah membuat pria harus menyesuaikan identitas diri mereka. Ini mungkin menyebabkan perasaan menurun kecakapan fisik dan seksual serta kehilangan identitas laki-laki. Perasaan bersalah dan kehilangan kontrol secara keseluruhan juga dialami."[52] Penelitian juga menunjukkan bahwa pria merasakan tekanan sosial untuk mendukung model pria maskulin tradisional dalam periklanan. Brett Martin dan Juergen Gnoth (2009) menemukan bahwa meskipun pria feminin lebih menyukai model feminin, mereka lebih menyukai model tradisional maskulin di depan umum. Hal ini mencerminkan tekanan sosial pada pria untuk mendukung norma maskulin tradisional.[53]

Dalam buku mereka Raising Cain: Melindungi Kehidupan Emosional Anak laki-laki, Dan Kindlon dan Michael Thompson menulis bahwa walaupun semua anak laki-laki terlahir dengan cinta dan empatik, keterpaparan terhadap sosialisasi gender (ideal laki-laki yang tangguh) membatasi kemampuan mereka untuk berfungsi secara emosional. Menurut Kindlon dan Thompson, anak laki-laki tidak memiliki kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan emosi secara produktif karena stres yang dipaksakan oleh peran gender maskulin.[54]

Dalam artikel "Sexual Ethics, Masculinity and Mutual Vulnerability" ("Etika Seksual, Maskulinitas, dan Saling Kerentanan"), Rob Cover melakukan penelitian untuk mengungkap studi Judith Butler tentang maskulinitas. Dalam penelitian tersebut dibahas masalah-masalah seperti pelecehan seksual dan bagaimana sebagian hal itu dapat dijelaskan oleh hipermaskulinitas.[55]

"Maskulinitas dalam krisis"

[sunting | sunting sumber]

Sebuah teori "maskulinitas dalam krisis" telah muncul.[56][57] Ahli arkeologi Australia Peter McAllister berkata, "Saya memiliki perasaan kuat bahwa maskulinitas dalam krisis. Manusia benar-benar mencari peran dalam masyarakat modern."[58] Yang lain melihat perubahan pasar tenaga kerja sebagai sumber stres. Deindustrialisasi dan penggantian industri cerobong dengan teknologi telah memungkinkan lebih banyak wanita memasuki angkatan kerja, mengurangi penekanannya pada kekuatan fisik.[11]

Krisis ini juga disebabkan oleh feminisme dan pertanyaan tentang dominasi dan hak laki-laki yang diberikan kepada laki-laki semata-mata berdasarkan jenis kelamin.[11] Sosiolog Inggris John MacInnes menulis bahwa "maskulinitas selalu dalam satu krisis atau yang lain" menunjukkan bahwa krisis timbul dari "ketidakcocokan mendasar antara prinsip inti modernitas bahwa semua manusia pada dasarnya sama (terlepas dari jenis kelamin mereka) dan inti prinsip patriarki bahwa manusia secara alami lebih unggul dari wanita dan karenanya ditakdirkan untuk memerintah mereka".[59]

Menurut John Beynon, maskulinitas dan laki-laki sering terkumpul dan tidak jelas apakah maskulinitas, pria atau keduanya berada dalam krisis. Dia menulis bahwa "krisis" bukanlah fenomena baru-baru ini, yang menggambarkan beberapa periode krisis maskulin sepanjang sejarah (beberapa mendahului gerakan perempuan dan masyarakat pasca-industri), menunjukkan krisis adalah hasil dari maskulinitas itu sendiri."[11] Sarjana film Leon Hunt juga menulis: "Kapan pun krisis maskulin 'benar-benar dimulai, pasti dampaknya sudah ada pada tahun 1970-an."[60]

Pria Herbivora

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 2008, kata "pria herbivora" menjadi populer di Jepang dan disebarkan di seluruh dunia. Pria herbivora mengacu pada pria muda Jepang yang secara alami melepaskan diri dari maskulinitas. Masahiro Morioka mencirikan mereka sebagai laki-laki yang bersifat lembut, tidak terikat oleh kejantanan, tidak agresif dalam hal asmara, memandang wanita sederajat dan tidak menyukai emosional yang berlebihan. Jenis pria yang demikian dikritik keras oleh pria yang mencintai maskulinitas.[61]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ van den Wijngaard, Marianne (1997). Reinventing the sexes: the biomedical construction of femininity and masculinity. Bloomington: Indiana University Press. ISBN 9780253210876. 
  2. ^ Martin, Hale; Finn, Stephen Edward (2010). Masculinity and Femininity in the MMPI-2 and MMPI-A. University of Minnesota Press. ISBN 9780816675203. 
  3. ^ Dunphy, Richard (2000). Sexual politics: an introduction. Edinburgh University Press. ISBN 9780748612475. 
  4. ^ Ferrante, Joan (2008), "Gender and sexualities: with emphasis on gender ideals", in Ferrante, Joan (ed.). Sociology: a global perspective (edisi ke-7th). Belmont, California: Thomson Wadsworth. hlm. 269–272. ISBN 9780840032041. 
  5. ^ "Gender, Women and Health: What do we mean by "sex" and "gender"?". who.int. World Health Organization. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 September 2014. Diakses tanggal 17 September 2014. 
  6. ^ Vetterling-Braggin, Mary (1982). "Femininity", "masculinity", and "androgyny": a modern philosophical discussion. Totowa, N.J: Littlefield, Adams. ISBN 9780822603993. 
  7. ^ Worell, Judith (2001). Encyclopedia of women and gender: sex similarities and differences and the impact of society on gender, Volume 1. San Diego, California: Academic Press. ISBN 9780122272462. 
  8. ^ Thomas, R. Murray (2001), "Feminist perspectives", in Thomas, R. Murray, ed. (2001). Recent theories of human development. Thousand Oaks, California: Sage. hlm. 248. ISBN 9780761922476. Gender feminists also consider traditional feminine traits (gentleness, modesty, humility, sacrifice, supportiveness, empathy, compassion, tenderness, nurturance, intuitiveness, sensitivity, unselfishness) morally superior to the traditional masculine traits (courage, strong will, ambition, independence, assertiveness, initiative, rationality and emotional control). 
  9. ^ Mikkola, Mari (2011), "Ontological commitments, sex and gender", in Witt, Charlotte, ed. (2011). Feminist metaphysics: explorations in the ontology of sex, gender and the self. Dordrecht: Springer. hlm. 77. ISBN 9789048137831. 
  10. ^ Roget, Peter Mark (1995). Roget's II: the new thesaurus (edisi ke-3rd). Boston: Houghton Mifflin Co. ISBN 9780395736791. 
  11. ^ a b c d e f g h i j ().
  12. ^ Levant, Ronald F.; Kopecky, Gini (1995). Masculinity reconstructed: changing the rules of manhood—at work, in relationships, and in family life. New York: Dutton. ISBN 978-0452275416. 
  13. ^ Dornan, Jennifer (August 2004). "Blood from the moon: gender ideology and the rise of ancient Maya social complexity". Gender & History. Wiley. 16 (2): 459–475. doi:10.1111/j.0953-5233.2004.00348.x. 
  14. ^ Bradley, Rolla M. (2008). Masculinity and self perception of men identified as informal leaders (Tesis PhD). University of the Incarnate Word. OCLC 1004500685. https://athenaeum.uiw.edu/uiw_etds/190/.  View online preview.
  15. ^ Flood, Michael (2007). International encyclopedia of men and masculinities. London New York: Routledge. hlm. viii. ISBN 9780415333436. 
  16. ^ Butler, Judith (2006) [1990]. Gender trouble: feminism and the subversion of identity. New York London: Routledge. ISBN 9780415389556. 
  17. ^ Laurie, Timothy (2014). "The ethics of nobody I know: gender and the politics of description". Qualitative Research Journal. Emerald. 14 (1): 64–78. doi:10.1108/QRJ-03-2014-0011.  Pdf.
  18. ^ "Gender identity and expression issues at colleges and universities". National Association of College and University Attorneys NACUAN. 2 June 2005. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 March 2014. Diakses tanggal 2 April 2007. 
  19. ^ Brod, Harry (ed), Tha Making of Masculinities, The New Men’s Studies, Boston: Allen & Unwin, 1987.
  20. ^ Gallagher, Saly K. & Christian Smith, “Symbolic Tradisionalism & Pragmatic Egalitarianism; Contemporary Evangelians, Families, and Gender, “Gender and Society,” Vol. 13, No. 2, April 1999: 211-233.
  21. ^ Pletzer, Belinda; Petasis, Ourania; Ortner, Tuulia M.; Cahill, Larry (2015). "Intereactive effects of culture and sex hormones on the role of self concept". Neuroendocrine Science. Frontiers Media. 9 (240): 1–10. doi:10.3389/fnins.2015.00240. PMC 4500910alt=Dapat diakses gratis. PMID 26236181. 
  22. ^ Mills, Sara (2003). "Third wave feminist linguistics and the analysis of sexism". Discourse Analysis Online. Sheffield Hallam University. 2 (1). 
  23. ^ George, Annie (July 2006). "Reinventing honorable masculinity: discourses from a working-class Indian community". Men and Masculinities. Sage. 9 (1): 35–52. doi:10.1177/1097184X04270379. 
  24. ^ Laurie, Timothy; Hickey-Moody, Anna (2017), "Masculinity and ridicule", in Papenburg, Bettina, ed. (2017). Gender: laughter. Farmington Hills, Michigan: Macmillan Reference. hlm. 215–228. ISBN 9780028663265. 
  25. ^ Keith, Thomas (2017). Masculinities in contemporary American culture: an intersectional approach to the complexities and challenges of male identity (dalam bahasa Inggris). New York: Routledge. hlm. 4–5. ISBN 9781317595342. 
  26. ^ Halberstam, Judith (1998). Female Masculinity. Durham, North Carolina: Duke University Press. hlm. xi–. ISBN 9780822322436. 
  27. ^ Gardiner, Judith Kegan (December 2009). "Female masculinities: a review essay". Men and Masculinities. 11 (5): 622–633. doi:10.1177/1097184X08328448. 
  28. ^ Girshick, Lori B. (2008), "The social construction of biological facts", in Girshick, Lori B. (ed.). Transgender voices: beyond women and men. Hanover, New Hampshire: University Press of New England. hlm. 48. ISBN 9781584656838. 
  29. ^ Lemle, Russell; Mishkind, Marc E. (1989). "Alcohol and masculinity". Journal of Substance Abuse Treatment. 6 (4): 213–22. doi:10.1016/0740-5472(89)90045-7. PMID 2687480. 
  30. ^ Berkowitz, Alan D. (2004). "Alcohol". Dalam Kimmel, Michael S.; Aronson, Amy. Men and Masculinities: A Social, Cultural, and Historical Encyclopedia: Volume 1 (dalam bahasa Inggris). Santa Barbara: ABC-CLIO. hlm. 17–18. ISBN 9781576077740. 
  31. ^ Stibbe, Arran (July 2004). "Health and the social construction of masculinity in "Men's Health" magazine". Men and Masculinities. 7 (1): 31–51. doi:10.1177/1097184X03257441. 
  32. ^ Strate, Lance (1992), "Beer commercials: a manual on masculinity", in Craig, Steve (ed.). Men, masculinity and the media. Thousand Oaks, California: Sage. ISBN 9780803941632. 
  33. ^ Tosh, John (1999), "Introduction: masculinity and domesticity", in Tosh, John, ed. (1999). A man's place: masculinity and the middle-class home in Victorian England. New Haven, Connecticut: Yale University Press. hlm. 2. ISBN 9780300077797. 
  34. ^ Davis, Natalie Z. (Spring–Summer 1976). ""Women's history" in transition: the European case". Feminist Studies. Feminist Studies, Inc. 3 (3–4): 83–103. doi:10.2307/3177729. JSTOR 3177729. 
  35. ^ Scott, Joan W. (December 1986). "Gender: a useful category of historical analysis". The American Historical Review. Oxford Journals. 91 (5): 1053–1075. doi:10.1086/ahr/91.5.1053. JSTOR 1864376. 
  36. ^ Bourdieu, Pierre (2001). Masculine domination. Cambridge, UK: Polity Press. ISBN 9780745622651. 
  37. ^ "Bible Gateway passage: 1 Kings 2:2 - King James Version". biblegateway.com. Bible Gateway. Diakses tanggal 29 September 2017. 
  38. ^ Cooper, Kate (1996), "Private lives, public meanings", in Cooper, Kate (ed.). The virgin and the bride: idealized womanhood in late antiquity. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. hlm. 19. ISBN 9780674939509. 
  39. ^ Hammurabi (1910). Hooker, Richard, ed. The Code of Hammurabi. L.W. King (translator). Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 May 2011. 
  40. ^ Richards, Jeffrey (1999). "From Christianity to Paganism: The New Middle Ages and the Values of 'Medieval' Masculinity". Cultural Values. Taylor and Francis. 3 (2): 213–234. doi:10.1080/14797589909367162. 
  41. ^ Rosen, David (1993), "The armor of the man-monster in Beowulf", in Rosen, David (ed.). The changing fictions of masculinity. Urbana: University of Illinois Press. hlm. 11. ISBN 9780252063091. 
  42. ^ "Research and insights from Indiana University" (Siaran pers). Indiana University. 26 August 2008. Diakses tanggal 13 March 2017. 
  43. ^ Grabmeier, Jeff (10 August 2006). "Pressure to be more muscular may lead men to unhealthy behaviors". Ohio State University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 June 2008. Diakses tanggal 29 July 2008. 
  44. ^ Goode, Erica (25 June 2000). "Thinner: the male battle with anorexia". The New York Times. Diakses tanggal 12 May 2010. 
  45. ^ "Magazines 'harm male body image'". BBC News. 28 May 2008. Diakses tanggal 12 May 2010. 
  46. ^ Lee, Ian. "Muscle dysmorphia". askmen.com. Ask Men. 
  47. ^ "Men muscle in on body image problems". livescience.com. LiveScience. 6 August 2015. 
  48. ^ Wong, Y. J., Ho, M. H. R., Wang, S. Y., & Miller, I. S. (2017). Meta-analyses of the relationship between conformity to masculine norms and mental health-related outcomes. Journal of counseling psychology, 64(1), 80.
  49. ^ Aziz, Abdul. "Laki-Laki Seksis Beresiko Terkena Penyakit Mental". tirto.id. Diakses tanggal 2019-04-27. 
  50. ^ "Sexist Men Are More Likely To Have Mental Health Problems, Study Finds". HuffPost (dalam bahasa Inggris). 2016-11-23. Diakses tanggal 2019-04-27. 
  51. ^ Worell, Judith (2001). Encyclopedia of Women and Gender: Sex Similarities and Sifferences and the Impact of Society on Gender. San Diego, California: Academic Press. hlm. 835. ISBN 0122272455. 
  52. ^ Hutchinson, Susan L.; Kleiber, Douglas A. (January 2000). "Heroic masculinity following spinal cord injury: Implications for therapeutic recreation practice and research". Therapeutic Recreation Journal. Sagamore Journals. 34 (1). 
  53. ^ Martin, Brett A.S.; Gnoth, Juergen (December 2009). "Is the Marlboro man the only alternative? The role of gender identity and self-construal salience in evaluations of male models". Marketing Letters. Springer. 20 (4): 353–367. doi:10.1007/s11002-009-9069-2.  Pdf.
  54. ^ Kindlon, Dan; Thompson, Michael (2000), "The road not taken: turning boys away from their inner life", Raising Cain: protecting the emotional life of boys, New York: Ballantine Books, hlm. 1–20, ISBN 9780345434852.  More than one of |ISBN= dan |isbn= specified (bantuan)
  55. ^ Cover, Rob (2014). "Sexual ethics, masculinity and mutual vulnerability: Judith Butler's contribution to an ethics of non-violence". Australian Feminist Studies. 29 (82): 435–451. doi:10.1080/08164649.2014.967741. 
  56. ^ Horrocks, Rooger (1994). Masculinities in Crisis: Myths, Fantasies, and Realities. St Martin's Press. ISBN 0333593227. 
  57. ^ Robinson, Sally (2000). Marked Men: White Masculinity in Crisis. New York: Columbia University Press. hlm. 5. ISBN 978-0-231-50036-4. 
  58. ^ Rogers, Thomas (November 14, 2010). "The dramatic decline of the modern man". Salon. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-12. Diakses tanggal June 3, 2012.  More than one of |work= dan |newspaper= specified (bantuan)
  59. ^ MacInnes, John (1998). The end of masculinity: the confusion of sexual genesis and sexual difference in modern society. Philadelphia: Open University Press. hlm. 11. ISBN 978-0-335-19659-3. 
  60. ^ Hunt, Leon (1998). British low culture: from safari suits to sexploitation. London, New York: Routledge. hlm. 73. ISBN 978-0-415-15182-5. 
  61. ^ Morioka, Masahiro (September 2013). "A phenomenological study of "Herbivore Men"". The Review of Life Studies. 4: 1–20.  Pdf.

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]

Kontemporer

[sunting | sunting sumber]