Pembatasan sosial

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Menjaga jarak sosial)
Orang-orang mempraktikkan pembatasan sosial ketika mengantre untuk memasuki supermarket di London selama pandemi COVID-19 tahun 2020. Untuk memastikan para pembeli dapat menjaga jarak setibanya di toko, hanya sejumlah orang yang dibatasi dan diizinkan masuk sekaligus.
Pembatasan sosial mengurangi tingkat penularan penyakit dan dapat menghentikan wabah.

Pembatasan sosial atau penjarakan sosial (Inggris: social distancing), juga disebut pembatasan fisik atau penjarakan fisik (physical distancing),[1][2][3], atau secara informal jaga jarak, adalah serangkaian tindakan intervensi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk mencegah penyebaran penyakit menular dengan menjaga jarak fisik antara satu orang dan orang lain serta mengurangi jumlah orang yang melakukan kontak dekat satu sama lain.[1][4] Tindakan ini biasanya dilakukan dengan menjaga jarak tertentu dari orang lain (jarak yang ditentukan mungkin berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu negara dengan negara lain) dan menghindari berkumpul bersama dalam kelompok besar.[5][6]

Pembatasan sosial akan mengurangi kemungkinan kontak antara orang yang tidak terinfeksi dengan orang terinfeksi, sehingga dapat meminimalkan penularan penyakit, dan terutama, kematian.[1] Tindakan ini dikombinasikan dengan menerapkan higiene pernapasan yang baik dan kebiasaan mencuci tangan dalam suatu populasi.[7][8] Selama pandemi koronavirus 2019–2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan penggunaan istilah "pembatasan fisik" dan bukan "pembatasan sosial", sesuai dengan fakta bahwa jarak fisiklah yang mencegah penularan; sementara orang-orang dapat tetap terhubung secara sosial melalui teknologi.[1][2][9][10] Untuk memperlambat penyebaran penyakit menular dan mencegah fasilitas layanan kesehatan terbebani, khususnya selama pandemi, beberapa tindakan pembatasan sosial diterapkan, termasuk penutupan sekolah dan tempat kerja, isolasi, karantina, pembatasan perjalanan orang, dan pembatalan pertemuan massal.[4][11]

Meskipun istilah ini baru diperkenalkan pada abad ke-21,[12] langkah-langkah pembatasan sosial setidaknya telah ada sejak abad kelima SM. Salah satu rujukan paling awal tentang pembatasan sosial ditemukan dalam Kitab Imamat, 13:46: "Dan penderita kusta yang terkena wabah itu … ia akan tinggal sendirian; [di luar] tempat tinggalnya".[13] Selama wabah Yustinianus dari tahun 541 hingga 542, kaisar Yustinianus I memberlakukan karantina yang tidak efektif di Kekaisaran Romawi Timur, termasuk membuang mayat ke laut; ia menyalahkan luasnya penyebaran terutama pada "orang Yahudi, Samaria, pagan, Arianis, Montanis, dan homoseksual".[14] Pada zaman modern, langkah-langkah pembatasan sosial berhasil diterapkan dalam beberapa epidemi. Di Kota St. Louis, Missouri, tak lama setelah kasus influenza pertama kali dideteksi di kota tersebut selama pandemi flu 1918, pihak berwenang langsung menutup sekolah, melarang pertemuan publik, dan intervensi pembatasan sosial lainnya. Angka kematian kasus di St. Louis jauh lebih sedikit dibandingkan di Kota Philadelphia, Pennsylvania, yang meskipun memiliki kasus influenza, masih mengizinkan parade massal dan tidak melakukan pembatasan sosial sampai lebih dari dua minggu setelah temuan kasus pertama.[15] Pihak berwenang telah mendorong atau memberi perintah untuk melakukan pembatasan sosial selama pandemi COVID-19.

Pembatasan sosial lebih efektif dilakukan ketika infeksi menular melalui kontak percikan pernapasan atau droplet (seperti batuk atau bersin); kontak fisik langsung, termasuk hubungal seksual; kontak fisik tidak langsung (misalnya dengan menyentuh permukaan yang terkontaminasi seperti fomit); atau penularan melalui udara (jika mikroorganisme dapat bertahan hidup di udara untuk waktu yang lama).[16] Pembatasan sosial kurang efektif ketika infeksi ditularkan terutama melalui air atau makanan yang terkontaminasi atau oleh vektor seperti nyamuk atau serangga lain[17]

Kerugian dari pembatasan sosial dapat berupa kesepian, berkurangnya produktivitas, dan hilangnya manfaat lain yang berkaitan dengan interaksi manusia.[18]

Definisi[sunting | sunting sumber]

Sebuah poster (dalam bahasa Arab, Inggris, dan Urdu) yang mendorong pembatasan sosial selama pandemi COVID-19.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menggambarkan pembatasan sosial sebagai seperangkat "metode untuk mengurangi frekuensi dan kedekatan kontak di antara orang-orang untuk mengurangi risiko penularan penyakit".[11] Selama pandemi flu 2009, WHO menggambarkan pembatasan sosial sebagai "menjaga jarak setidaknya satu lengan dari orang lain, [dan] meminimalkan pertemuan".[7] Tindakan ini dikombinasikan dengan higiene pernapasan yang baik dan mencuci tangan, dan dianggap sebagai cara yang paling layak untuk mengurangi atau menunda pandemi.[7][19]

Selama pandemi COVID-19, CDC merevisi definisi pembatasan sosial sebagai "tetap berada di luar kondisi berkerumun, menghindari pertemuan massal, dan menjaga jarak (sekitar enam kaki atau dua meter) dari orang lain jika memungkinkan".[5][6] Tidak jelas mengapa enam kaki yang ditetapkan dalam definisi tersebut. Studi terbaru menunjukkan bahwa percikan dari bersin atau pernapasan yang kuat selama kegiatan fisik dapat mencapai jarak enam meter.[20][21][22] Beberapa orang menduga jarak yang ditetapkan tersebut didasarkan pada penelitian dari tahun 1930-an dan 1940-an yang sudah dibantah[23] atau akibat kebingungan dalam menggunakan unit pengukuran. Para peneliti dan penulis sains merekomendasikan pembatasan sosial yang lebih jauh[21][24][25] dan/atau memakai masker sekaligus membatasi jarak sosial.[21][26][27]

Tindakan[sunting | sunting sumber]

Pemahaman bahwa suatu penyakit sedang beredar dapat memicu perubahan perilaku orang-orang, yang memilih untuk menjauh dari tempat-tempat umum dan orang lain. Ketika diterapkan untuk mengendalikan epidemi, pembatasan sosial seperti ini dapat menghasilkan manfaat tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa tindakan ini harus diterapkan dengan segera dan secara ketat agar menjadi efektif.[28] Beberapa langkah pembatasan sosial digunakan untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular.[11][16][5][27]

Menghindari kontak fisik[sunting | sunting sumber]

Pembatasan sosial juga termasuk menghilangkan kontak fisik, misalnya jabat tangan yang umum, pelukan, atau hongi; ilustrasi dari Selandia Baru ini menawarkan delapan alternatif lain.

Menjaga jarak setidaknya dua meter (enam kaki) (di Amerika Serikat atau Britania Raya) atau 1,5 meter (di Australia) atau 1 meter (di Prancis atau Italia) satu sama lain dan menghindari pelukan dan gestur yang melibatkan kontak fisik langsung, mengurangi risiko terinfeksi selama pandemi flu dan pandemi koronavirus pada tahun 2020.[5][29] Pemisahan jarak ini, selain langkah-langkah higiene pribadi, juga direkomendasikan di tempat kerja.[30] Jika memungkinkan, disarankan untuk bekerja dari rumah.[8][27]

Berbagai alternatif diusulkan untuk menggantikan tradisi berjabat tangan. Gerakan namaste, menangkupkan kedua telapak tangan, mengarahkan jari-jari untuk menunjuk ke atas, dan menggambar bentuk jantung, adalah beberapa alternatif yang bisa dilakukan tanpa bersentuhan dengan orang lain. Selama pandemi koronavirus di Britania Raya, gerakan ini digunakan oleh Pangeran Charles saat menyambut tamu, serta telah direkomendasikan oleh Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.[31] Alternatif lain misalnya melambaikan tangan, membuat isyarat shaka, dan meletakkan telapak tangan di jantung, seperti yang dilakukan di beberapa wilayah Iran.[31]

Penutupan sekolah[sunting | sunting sumber]

Kasus flu babi per minggu di Britania Raya pada tahun 2009; sekolah biasanya liburan musim panas pada pertengahan Juli dan dibuka kembali pada awal September.[32]

Pemodelan matematika menunjukkan bahwa penyebaran wabah dapat ditunda dengan menutup sekolah. Namun, efektivitasnya tergantung pada kontak yang dilakukan anak-anak di luar sekolah. Sering kali, salah satu orang tua harus mengambil cuti, dan penutupan yang berkepanjangan mungkin diperlukan. Faktor-faktor ini dapat mengakibatkan gangguan sosial dan ekonomi.[33][34]

Penutupan tempat kerja[sunting | sunting sumber]

Studi pemodelan dan simulasi berdasarkan data di AS menunjukkan bahwa jika 10% tempat kerja yang terdampak ditutup, tingkat penularan infeksi secara keseluruhan yaitu sekitar 11,9% dan waktu puncak epidemi sedikit tertunda. Sebaliknya, jika 33% tempat kerja yang terdampak ditutup, tingkat serangan berkurang menjadi 4,9%, dan waktu puncak tertunda selama satu minggu.[35][36] Penutupan tempat kerja termasuk penutupan bisnis dan layanan sosial "nonesensial" (artinya fasilitas tersebut tidak menjaga fungsi utama masyarakat, sebagai lawan dari layanan esensial).[37][27]

Pembatalan pertemuan massal[sunting | sunting sumber]

Pembatalan pertemuan atau kerumunan massal misalnya acara olahraga, film, atau pertunjukan musik.[38] Bukti menunjukkan bahwa apakah pertemuan massal meningkatkan potensi penularan penyakit infeksi ternyata tidak dapat disimpulkan.[39] Bukti anekdotal menunjukkan bahwa jenis pertemuan massal tertentu dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko penularan influenza, dan mungkin juga "benih" galur baru ke suatu daerah, yang memicu penularan komunitas dalam situasi pandemi. Selama pandemi influenza 1918, parade militer di Philadelphia[40] dan Boston[41] mungkin bertanggung jawab untuk menyebarkan penyakit ini dengan mencampurkan pelaut yang terinfeksi dengan kerumunan warga sipil. Membatasi pertemuan massal, yang dikombinasilan dengan intervensi pembatasan sosial lainnya, dapat membantu mengurangi penularan.[27][42]

Pembatasan perjalanan[sunting | sunting sumber]

Pembatasan di perbatasan negara atau pembatasan perjalanan internal tidak mungkin menunda epidemi lebih dari dua hingga tiga minggu kecuali jika diterapkan dengan cakupan lebih dari 99%.[43] Penapisan bandara dinyatakan tidak efektif untuk mencegah penularan virus selama wabah SARS 2003 di Kanada[44] dan AS.[45] Pengendalian perbatasan yang ketat antara Austria dan Kesultanan Utsmaniyah, yang diberlakukan sejak 1770 hingga 1871 untuk mencegah orang yang terinfeksi wabah pes memasuki Austria, dilaporkan efektif, karena tidak ada wabah mayor di wilayah Austria setelah pembatasan tersebut diterapkan, sedangkan Kesultanan Utsmaniyah terus menderita epidemi wabah sampai pertengahan abad ke-19.[46][47]

Sebuah studi dari Universitas Northeastern yang diterbitkan pada Maret 2020 menemukan bahwa "pembatasan perjalanan ke dan dari Tiongkok hanya bisa memperlambat penyebaran penyakit koronavirus 2019 secara internasional [ketika] dikombinasikan dengan upaya untuk mengurangi penularan pada tingkat masyarakat dan individu. [...] Perjalanan pembatasan tidak cukup kecuali kita menggabungkannya dengan pembatasan sosial."[48] Studi ini menemukan bahwa larangan bepergian di Wuhan menunda penyebaran penyakit ke bagian lain daratan Tiongkok hanya dalam tiga hingga lima hari, meskipun hal itu mengurangi penyebaran kasus internasional sebanyak 80 persen.[49]

Perlindungan umum[sunting | sunting sumber]

Penanda pembatasan sosial dan perisai kaca akrilik di kasir pasar grosir makanan di Toronto untuk mengurangi kontak fisik.

Langkah-langkah perlindungan untuk individu termasuk membatasi kontak tatap muka, melakukan bisnis melalui telepon atau dalam jaringan, menghindari tempat-tempat umum, dan mengurangi perjalanan yang tidak perlu.[50][51][52]

Karantina[sunting | sunting sumber]

Selama wabah SARS 2003 di Singapura, sekitar 8.000 orang menjadi sasaran karantina rumah wajib dan 4.300 lainnya diminta untuk memantau sendiri gejalanya dan menelpon petugas kesehatan setiap hari sebagai cara mengendalikan epidemi. Meskipun hanya 58 dari orang-orang ini yang akhirnya didiagnosis dengan SARS, pejabat kesehatan masyarakat puas bahwa tindakan ini membantu dalam mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut.[53] Isolasi diri secara sukarela mungkin telah membantu mengurangi penularan influenza di Texas pada tahun 2009.[54] Efek psikologis negatif jangka pendek dan jangka panjang telah dilaporkan.[18]

Perintah untuk tinggal di rumah[sunting | sunting sumber]

Tujuan dari perintah untuk tinggal di rumah adalah untuk mengurangi kontak dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengurangi penyebaran infeksi.[55] Selama pandemi penyakit koronavirus, ketika perintah ini diterapkan seawal dan seketat mungkin, hasilnya efektif untuk "meratakan kurva" dan memberi waktu yang sangat dibutuhkan oleh fasilitas layanan kesehatan untuk meningkatkan kapasitas mereka, sambil mengurangi jumlah kasus puncak pada gelombang awal penyakit.[27] Otoritas kesehatan masyarakat perlu selalu mengikuti tren penyakit untuk menerapkan kembali kebijakan pembatasan sosial yang tepat, termasuk perintah untuk tinggal di rumah, jika gelombang penyakit sekunder muncul.[27]

Cordon sanitaire[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1995, cordon sanitaire digunakan untuk mengendalikan wabah penyakit virus Ebola di Kikwit, Zaire.[56][57][58] Presiden Mobutu Sese Seko mengepung kota dengan pasukan dan menangguhkan semua penerbangan ke daerah itu. Di Kikwit sendiri, WHO dan tim medis Zaire menerapkan cordon sanitaire lebih lanjut, mengisolasi zona penguburan dan perawatan dari populasi umum, dan berhasil menahan infeksi.[59]

Pengasingan protektif[sunting | sunting sumber]

Selama epidemi influenza 1918, Kota Gunnison, Colorado, mengisolasi diri selama dua bulan untuk mencegah masuknya infeksi. Jalan raya dibarikade dan penumpang kereta yang tiba dikarantina selama lima hari. Hasilnya, tidak ada yang meninggal karena influenza di Gunnison selama epidemi.[60] Beberapa komunitas lain mengadopsi tindakan serupa.[61]

Tindakan lainnya[sunting | sunting sumber]

Tindakan lain misalnya menonaktifkan atau membatasi transportasi umum[62] dan menutup fasilitas olahraga (seperti kolam renang publik dan gimnasium).[63] Karena sifat sarana transportasi modern yang sangat terhubung, penyakit yang sangat menular dapat menyebar dengan cepat jika langkah-langkah mitigasi yang tepat tidak dilakukan sejak awal.[27] Upaya yang sangat terkoordinasi harus dilakukan sejak awal wabah untuk memantau, mendeteksi, dan mengisolasi setiap individu yang berpotensi menularkan penyakit.[27] Jika ada penularan lokal, perlu dilakukan tindakan yang lebih ketat, misalnya penghentian total perjalanan masuk atau keluar dari area geografis tertentu.[27]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Koloni penderita kusta dan lazaret didirikan sebagai cara untuk mencegah penyebaran kusta dan penyakit menular lainnya melalui pembatasan sosial,[64] sampai cara penularan penyakit dipahami dan pengobatan yang efektif ditemukan.

Epidemi polio di New York 1916[sunting | sunting sumber]

Selama epidemi polio Kota New York 1916, ada lebih dari 27.000 kasus dan lebih dari 6.000 kematian akibat polio di Amerika Serikat. Di Kota New York saja ada lebih dari 2.000 kematian.Di kota ini bioskop ditutup, pertemuan dibatalkan, pertemuan publik hampir tidak ada, dan anak-anak diperingatkan untuk tidak minum dari air mancur dan menghindari taman hiburan, kolam renang, dan pantai.[66][67]

Influenza, 1918 hingga saat ini[sunting | sunting sumber]

Selama pandemi influenza 1918, Kota Philadelphia mendeteksi kasus influenza pertamanya pada 17 September.[68][15] Kota ini tetap melaksanakan parade yang telah direncanakan sebelumnya dan mengumpulkan lebih dari 200.000 orang pada tanggal 28 September, dan tiga hari berikutnya, 31 rumah sakit di kota ini menjadi penuh. Selama seminggu yang berakhir pada 16 Oktober, lebih dari 4.500 orang meninggal.[40][69] Tindakan pembatasan sosial diperkenalkan pada 3 Oktober, atas perintah dokter dari Kota St. Louis, Max C. Starkloff,[70] lebih dari dua minggu setelah temuan kasus pertama.[15] Tidak seperti Philadelphia, St. Louis menemukan kasus influenza pertamanya pada tanggal 5 Oktober dan kota itu membutuhkan dua hari untuk menerapkan beberapa tindakan pembatasan sosial,[15] seperti menutup sekolah, teater, dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang. Kota ini melarang pertemuan publik, termasuk pemakaman. Tindakan-tindakan tersebut memperlambat penyebaran influenza di St. Louis; kota ini tidak mengalami lonjakan kasus dan kematian seperti yang terjadi di Philadelphia.[71] Laju kematian di St. Louis meningkat setelah gelombang kedua penyakit, tetapi secara keseluruhan tetap di bawah kota-kota lainnya.[72] Bootsma dan Ferguson menganalisis intervensi pembatasan sosial di 16 kota AS selama epidemi 1918 dan menemukan bahwa intervensi yang dibatasi waktu hanya mengurangi angka kematian total dalam tingkat menengah (mungkin 10–30%), dan bahwa pengaruhnya sangat terbatas karena intervensi diterapkan terlalu terlambat dan dicabut terlalu dini. Beberapa kota mengalami puncak epidemi kedua setelah kebijakan pembatasan sosial dicabut, karena individu yang rentan yang sebelumnya dilindungi sekarang menjadi terpapar.[73]

Penutupan sekolah terbukti mengurangi morbiditas flu Asia hingga 90% selama pandemi 1957–1958,[74] dan mengurangi hingga 50% dalam mengendalikan influenza di AS, 2004–2008.[75] Penutupan sekolah dan langkah-langkah pembatasan sosial lainnya dikaitkan dengan penurunan penularan influenza dari 29% menjadi 37% selama epidemi flu 2009 di Meksiko.[76]

Selama wabah flu 2009 di Britania Raya, dalam sebuah artikel berjudul "Penutupan sekolah selama pandemi influenza" yang diterbitkan dalam The Lancet Infectious Diseases, sekelompok ahli epidemiologi mendukung penutupan sekolah untuk mencegah jalannya infeksi, memperlambat penyebaran lebih lanjut, dan memberi waktu untuk meneliti dan memproduksi vaksin.[77] Setelah mempelajari pandemi influenza sebelumnya termasuk pandemi flu 1918, pandemi flu 1957, dan pandemi flu 1968, mereka melaporkan tentang dampak penutupan sekolah terhadap ekonomi dan tenaga kerja, terutama bahwa sebagian besar dokter dan perawat merupakan perempuan, yang setengahnya memiliki anak-anak di bawah usia 16 tahun. Mereka juga meneliti dinamika penyebaran influenza di Prancis selama liburan sekolah dan mencatat bahwa kasus flu turun ketika sekolah ditutup dan muncul kembali ketika sekolah dibuka kembali. Mereka mencatat bahwa ketika para guru di Israel mogok selama musim flu 1999–2000, kunjungan ke dokter turun lebih dari seperlima dan jumlah infeksi pernapasan turun lebih dari dua perlima.[78]

SARS 2003[sunting | sunting sumber]

Selama wabah SARS tahun 2003, tindakan pembatasan sosial seperti melarang pertemuan besar, menutup sekolah dan teater, serta tempat-tempat umum lainnya, melengkapi tindakan kesehatan masyarakat lain seperti menemukan dan mengisolasi orang-orang yang terinfeksi, mengarantina orang yang mengalami kontak dekat dengan mereka, dan menerapkan prosedur pengendalian infeksi. Hal-hal tersebut dikombinasikan dengan pemakaian masker untuk orang-orang tertentu.[79] Selama masa ini di Kanada, "karantina komunitas" digunakan untuk mengurangi penularan penyakit dengan tingkat keberhasilan sedang.[80]

Pandemi koronavirus[sunting | sunting sumber]

Simulasi yang membandingkan tingkat penyebaran infeksi dan jumlah kematian akibat kelebihan kapasitas rumah sakit, ketika interaksi sosial "normal" (kiri, 200 orang bergerak bebas) dan "terjarak" (kanan, 25 orang bergerak bebas).
Hijau = Individu sehat, tak terinfeksi
Merah = individu terinfeksi
Biru = Individu yang pulih
Hitam = Individu yang meninggal
[81]

Selama pandemi penyakit koronavirus 2019 (COVID-19), pembatasan sosial dan langkah-langkah terkait ditekankan oleh beberapa pemerintah sebagai alternatif dari kebijakan karantina wajib di wilayah yang sangat terdampak.[27] Menurut pemantauan UNESCO, lebih dari seratus negara telah menerapkan penutupan sekolah secara nasional sebagai respons terhadap COVID-19, yang berdampak pada lebih dari setengah populasi siswa dunia.[82] Di Britania Raya, pemerintah menyarankan masyarakat untuk menghindari ruang publik, sementara bioskop dan teater ditutup secara sukarela untuk mematuhi pesan pemerintah.[83]

Karena banyak orang yang tidak percaya bahwa COVID-19 lebih buruk daripada flu musiman,[84] sulit meyakinkan publik—terutama para remaja dan dewasa muda—untuk secara sukarela mengadopsi praktik-praktik pembatasan sosial. Di Belgia, media melaporkan sebuah rave dihadiri oleh setidaknya 300 orang sebelum dibubarkan oleh pihak berwenang setempat. Di Prancis, remaja yang melakukan perjalanan tidak penting didenda hingga US $ 150. Pantai di Florida dan Alabama ditutup untuk membubarkan pengunjung pesta selama liburan musim semi.[85] Pernikahan dibubarkan di New Jersey dan jam malam diberlakukan mulai pukul 8 malam di Newark. New York, New Jersey, Connecticut, dan Pennsylvania adalah negara bagian pertama di AS yang mengadopsi kebijakan pembatasan sosial yang terkoordinasi untuk menutup bisnis nonesensial dan membatasi pertemuan besar. Di California, Perintah untuk tinggal di rumah diperpanjang ke seluruh negara bagian pada 19 Maret. Pada hari yang sama, Texas mengumumkan bencana publik dan memberlakukan pembatasan di seluruh negara bagian.[86]

Langkah-langkah pencegahan ini, seperti pembatasan sosial dan isolasi mandiri, mendorong penutupan sekolah-sekolah dasar dan menengah, serta pendidikan tinggi yang tersebar di lebih dari 120 negara. Pada 23 Maret 2020, lebih dari 1,2 miliar siswa tidak bersekolah akibat penutupan sekolah sebagai respons terhadap COVID-19.[82] Mengingat rendahnya tingkat gejala COVID-19 di kalangan anak-anak, efektivitas penutupan sekolah dipertanyakan.[87] Bahkan ketika penutupan sekolah bersifat sementara, muncul biaya sosial dan ekonomi yang tinggi.[88] Namun, signifikansi anak-anak dalam menyebarkan COVID-19 tidak jelas.[89][90] Meskipun dampak penuh dari penutupan sekolah selama pandemi koronavirus belum diketahui, UNESCO menyarankan bahwa penutupan sekolah memiliki dampak negatif pada ekonomi lokal dan pada hasil pembelajaran bagi siswa.[91]

Kerugian[sunting | sunting sumber]

Ada kekhawatiran bahwa pembatasan sosial dapat berdampak buruk pada kesehatan mental partisipannya.[27][92] Tindakan ini dapat mengakibatkan stres, kegelisahan, depresi, atau panik, terutama bagi orang-orang yang sudah memiliki kondisi psikologis sebelumnya seperti gangguan kecemasan, gangguan kompulsif–obsesif, dan paranoid.[27][93] Liputan media yang luas tentang pandemi, dampaknya terhadap ekonomi, dan kesulitan yang ditimbulkannya dapat menciptakan kecemasan. Perubahan dalam situasi sehari-hari dan ketidakpastian tentang masa depan dapat menambah tekanan mental untuk menjauh dari orang lain.[27][94]

Dasar teori[sunting | sunting sumber]

Matematika di balik pembatasan sosial di tengah koronavirus yang bertujuan untuk mengurangi angka reproduksi efektif, , yang awalnya sama dengan , yaitu angka reproduksi dasar, yang merupakan jumlah rata-rata individu terinfeksi sekunder akibat tertular oleh satu individu terinfeksi primer dalam suatu populasi ketika semua individu sama-sama rentan terhadap penyakit koronavirus 2019.[95]

Dari perspektif epidemiologi, tujuan dasar di balik pembatasan sosial adalah untuk mengurangi angka reproduksi efektif, atau , yang tanpa adanya pembatasan sosial akan sama dengan angka reproduksi dasar, yaitu jumlah rata-rata individu yang terinfeksi secara sekunder akibat satu individu yang terinfeksi primer dalam suatu populasi ketika semua individu sama-sama rentan terhadap suatu penyakit. Dalam model dasar pembatasan sosial,[96] ketika proporsi dari populasi terlibat dalam pembatasan sosial untuk mengurangi kontak interpersonal mereka menjadi fraksi dari kontak normal mereka, angka reproduksi efektif yang baru dihasilkan dari:[96]

Sebagai contoh, 25% dari populasi yang mengurangi kontak sosial mereka menjadi 50% dari tingkat normalnya akan memberikan angka reproduksi efektif sekitar 81% dari angka reproduksi dasar. Pengurangan yang tampaknya kecil memiliki efek yang signifikan secara statistik dalam menunda pertumbuhan eksponensial dan penyebaran penyakit.[97][98]

Ketika nilai dapat dijadikan kurang dari 1 untuk waktu yang cukup lama, penahanan pun tercapai, dan jumlah orang terinfeksi akan berkurang.[98]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Harris, Margaret; Adhanom Ghebreyesus, Tedros; Liu, Tu; Ryan, Michael "Mike" J.; Vadia; Van Kerkhove, Maria D.; Diego; Foulkes, Imogen; Ondelam, Charles; Gretler, Corinne; Costas (20 March 2020). "COVID-19" (PDF). World Health Organization. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  2. ^ a b Hensley, Laura (23 March 2020). "Social distancing is out, physical distancing is in – here's how to do it". Global News. Corus Entertainment Inc. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  3. ^ Venske, Regula (26 March 2020). Schwyzer, Andrea, ed. "Die Wirkung von Sprache in Krisenzeiten" [The effect of language in times of crisis] (Interview). NDR Kultur (dalam bahasa Jerman). Norddeutscher Rundfunk. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 27 March 2020.  (NB. Regula Venske is president of the PEN Centre Germany.)
  4. ^ a b Johnson, Carolyn Y.; Sun, Lena; Freedman, Andrew (10 March 2020). "Social distancing could buy U.S. valuable time against coronavirus". The Washington Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 11 March 2020. 
  5. ^ a b c d Pearce, Katie (13 March 2020). "What is social distancing and how can it slow the spread of COVID-19?". The Hub (dalam bahasa Inggris). Johns Hopkins University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  6. ^ a b "Risk Assessment and Management" (dalam bahasa Inggris). Centers for Disease Control and Prevention. 22 March 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  7. ^ a b c "Pandemic influenza prevention and mitigation in low resource communities" (PDF). World Health Organization. 2 May 2009. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  8. ^ a b "Guidance on social distancing for everyone in the UK". GOV.UK (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  9. ^ Tangermann, Victor (24 March 2020) [2020-03-20]. "It's Officially Time to Stop Using The Phrase 'Social Distancing'". science alert (Futurism / The Byte). Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020.  [1]
  10. ^ Kumar, Satyendra (28 March 2020). "Corona Virus Outbreak: Keep Physical Distancing, Not Social Distancing" (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. SSRN 3568435alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |ssrn= (bantuan). 
  11. ^ a b c Kinlaw, Kathy; Levine, Robert J. (15 February 2007). "Ethical guidelines in Pandemic Influenza—Recommendations of the Ethics Subcommittee of the Advisory Committee to the Director, Centers for Disease Control and Prevention" (PDF). Centers for Disease Control and Prevention. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 5 February 2020. Diakses tanggal 23 March 2020.  (12 pages)
  12. ^ "social distancing". Merriam-Webster. Diakses tanggal 7 May 2020. 
  13. ^ "Bible Gateway passage: Leviticus 13 - Authorized (King James) Version". Bible Gateway. 
  14. ^ Drews, Kelly (1 May 2013). "A Brief History of Quarantine". The Virginia Tech Undergraduate Historical Review (dalam bahasa Inggris). 2. doi:10.21061/vtuhr.v2i0.16. ISSN 2165-9915. 
  15. ^ a b c d Ryan, Jeffrey R. (1 August 2008). "Chapter 6.3.3. Response and Containment: Lessons from the 1918 Pandemic Can Help Communities Today". Pandemic Influenza: Emergency Planning and Community Preparedness (dalam bahasa Inggris). CRC Press. hlm. 123–133 [133]. ISBN 978-1-4200-6088-1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  16. ^ a b "Information About Social Distancing" (PDF). www.cidrap.umn.edu. Public Health Department: Santa Clara Valley Health & Hospital System. 2017. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 17 March 2020. 
  17. ^ "Interim Pre-Pandemic Planning Guidance: Community Strategy for Pandemic Influenza Mitigation in the United States – Early, Targeted, Layered Use of Nonpharmaceutical Interventions" (PDF). Centers for Disease Control and Prevention. February 2007. CS10848. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 19 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  18. ^ a b Brooks, Samantha K.; Webster, Rebecca K.; Smith, Louise E.; Woodland, Lisa; Wessely, Simon; Greenberg, Neil; Rubin, Gideon James (14 March 2020). "The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence". The Lancet (dalam bahasa Inggris). 395 (10227): 912–920. doi:10.1016/S0140-6736(20)30460-8. ISSN 0140-6736. PMC 7158942alt=Dapat diakses gratis. PMID 32112714. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 March 2020. Diakses tanggal 20 March 2020. 
  19. ^ "Winning together: Novel coronavirus (COVID-19) infographic". ResearchGate. Diakses tanggal May 16, 2020. 
  20. ^ Xie, X.; Li, Y.; Chwang, A. T.; Ho, P. L.; Seto, W. H. (June 2007). "How far droplets can move in indoor environments – revisiting the Wells evaporation–falling curve". Indoor Air. 17 (3). hlm. 211–25. doi:10.1111/j.1600-0668.2007.00469.x. PMID 17542834. 
  21. ^ a b c Setti, L.; Passarini, F.; De Gennaro, G. (23 April 2020). "Airborne Transmission Route of COVID-19: Why 2 Meters/6 Feet of Inter-Personal Distance Could Not Be Enough". Int. J. Environ. Res. Public Health. 17 (8): 2932. doi:10.3390/ijerph17082932. PMID 32340347. 
  22. ^ Thoelen, J. (8 April 2020). "Belgian-Dutch Study: Why in times of COVID-19 you should not walk/run/bike close behind each other". Medium. Diakses tanggal 1 April 2020. 
  23. ^ Letzter, R. (31 March 2020). "Is 6 feet enough space for social distancing? Not everyone thinks that's enough distance". Live Science. Diakses tanggal 1 April 2020. 
  24. ^ Reynolds, G. (15 April 2020). "For Runners, Is 15 Feet the New 6 Feet for Social Distancing? When we walk briskly or run, air moves differently around us, increasing the space required to maintain a proper social distance". New York Times. Diakses tanggal 1 April 2020. 
  25. ^ Sheikh, K.; Gorman, J.; Chang, K. (14 April 2020). "Stay 6 Feet Apart, We're Told. But How Far Can Air Carry Coronavirus? Most of the big droplets travel a mere six feet. The role of tiny aerosols is the 'trillion-dollar question.'". New York Times. Diakses tanggal 1 April 2020. 
  26. ^ Huang, S. (26 March 2020). "Why we should all wear masks – There is new scientific rationale". Medium. Diakses tanggal 1 April 2020. 
  27. ^ a b c d e f g h i j k l m n "The 2019–2020 Novel Coronavirus (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) Pandemic: A Joint American College of Academic International Medicine‑World Academic Council of Emergency Medicine Multidisciplinary COVID‑19 Working Group Consensus Paper". ResearchGate. Diakses tanggal May 16, 2020. 
  28. ^ Maharaj, Savi; Kleczkowski, Adam (2012). "Controlling epidemic spread by social distancing: Do it well or not at all". BMC Public Health. 12 (1): 679. doi:10.1186/1471-2458-12-679. PMC 3563464alt=Dapat diakses gratis. PMID 22905965. 
  29. ^ "Guidance on Preparing Workplaces for an Influenza Pandemic". Occupational Safety and Health Act of 1970. United States Department of Labor. OSHA 3327-02N 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 March 2020. Diakses tanggal 18 March 2020.  [2]
  30. ^ "Social Distancing". safety-security.uchicago.edu. Department of Safety & Security, The University of Chicago. 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  31. ^ a b Barajas, Julia; Etehad, Melissa (13 March 2020). "Joined palms, hands on hearts, Vulcan salutes: Saying hello in a no-handshake era". Los Angeles Times (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 18 March 2020. 
  32. ^ "2009 Press Releases". Health Protection Agency. 24 December 2009. Archived from the original on 2009-12-24. Diakses tanggal 24 December 2009. 
  33. ^ Zumla, Alimuddin; Yew, Wing-Wai; Hui, David S. C. (31 August 2010). Emerging Respiratory Infections in the 21st Century, An Issue of Infectious Disease Clinics (dalam bahasa Inggris). 24. Elsevier Health Sciences. hlm. 614. ISBN 978-1-4557-0038-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  34. ^ Cauchemez, Simon; Ferguson, Neil Morris; Wachtel, Claude; Tegnell, Anders; Saour, Guillaume; Duncan, Ben; Nicoll, Angus (August 2009). "Closure of schools during an influenza pandemic". The Lancet Infectious Diseases. 9 (8): 473–481. doi:10.1016/S1473-3099(09)70176-8. ISSN 1473-3099. PMC 7106429alt=Dapat diakses gratis. PMID 19628172. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  35. ^ Rousculp, Matthew D.; Johnston, Stephen S.; Palmer, Liisa A.; Chu, Bong-Chul; Mahadevia, Parthiv J.; Nichol, Kristin L. (October 2010). "Attending Work While Sick: Implication of Flexible Sick Leave Policies". Journal of Occupational and Environmental Medicine. 52 (10): 1009–1013. doi:10.1097/jom.0b013e3181f43844. PMID 20881626. 
  36. ^ Kumar, Supriya; Crouse Quinn, Sandra; Kim, Kevin H.; Daniel, Laura H.; Freimuth, Vicki S. (January 2012). "The Impact of Workplace Policies and Other Social Factors on Self-Reported Influenza-Like Illness Incidence During the 2009 H1N1 Pandemic". American Journal of Public Health. 102 (1): 134–140. doi:10.2105/AJPH.2011.300307. PMC 3490553alt=Dapat diakses gratis. PMID 22095353. 
  37. ^ "Social Distancing Support Guidelines For Pandemic Readiness" (PDF). Colorado Department of Public Health and Environment. March 2008. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 13 February 2017. Diakses tanggal 13 February 2017. 
  38. ^ Booy, Robert; Ward, James (2015). "Evidence compendium and advice on social distancing and other related measures for response to an influenza pandemic" (PDF). Paediatric Respiratory Reviews. National Centre for Immunisation Research and Surveillance. 16 (2): 119–126. doi:10.1016/j.prrv.2014.01.003. PMID 24630149. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 15 May 2015. Diakses tanggal 15 May 2015.  (13 pages)
  39. ^ Inglesby, Thomas V.; Nuzzo, Jennifer B.; O'Toole, Tara; Henderson, Donald Ainslie (2006). "Disease Mitigation Measures in the Control of Pandemic Influenza". Biosecurity and Bioterrorism: Biodefense Strategy, Practice, and Science. 4 (4): 366–375. CiteSeerX 10.1.1.556.2672alt=Dapat diakses gratis. doi:10.1089/bsp.2006.4.366. PMID 17238820. 
  40. ^ a b Davis, Kenneth C. (21 September 2018). "Philadelphia Threw a WWI Parade That Gave Thousands of Onlookers the Flu". Smithsonian Magazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 March 2020. Diakses tanggal 27 March 2020. 
  41. ^ "The Flu in Boston". American Experience. WGBH Educational Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 March 2020. Diakses tanggal 28 March 2020. 
  42. ^ Ishola, David A.; Phin, Nick (December 2011). "Could Influenza Transmission Be Reduced by Restricting Mass Gatherings? Towards an Evidence-Based Policy Framework". Journal of Epidemiology and Global Health. 1 (1): 33–60. doi:10.1016/j.jegh.2011.06.004alt=Dapat diakses gratis. PMC 7104184alt=Dapat diakses gratis. PMID 23856374. 
  43. ^ Ferguson, Neil Morris; Cummings, Derek A. T.; Fraser, Christophe; Cajka, James C.; Cooley, Philip C.; Burke, Donald S. (2006). "Strategies for mitigating an influenza pandemic". Nature. 442 (7101): 448–452. Bibcode:2006Natur.442..448F. doi:10.1038/nature04795. PMC 7095311alt=Dapat diakses gratis. PMID 16642006. 
  44. ^ Bell, David M. (2004). "Public health interventions and SARS spread, 2003". Emerging Infectious Diseases. 10 (11): 1900–1906. doi:10.3201/eid1011.040729. PMC 3329045alt=Dapat diakses gratis. PMID 15550198. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 November 2009. 
  45. ^ Cetron, Martin (2004). "Isolation and Quarantine: Containment Strategies for SARS, 2003". Learning from SARS: Preparing for the Next Disease Outbreak. National Academy of Sciences. ISBN 0-30959433-2. 
  46. ^ Kohn, George Childs, ed. (2008) [2001, 1998]. Encyclopedia of Plague and Pestilence: From Ancient Times to the Present. Facts On File—Library Of World History (edisi ke-3). New York: Infobase Publishing. hlm. 30. ISBN 978-1-43812923-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  47. ^ Byrne, Joseph P., ed. (2008). Encyclopedia of Pestilence, Pandemics, and Plague (PDF). 1&2. Westport, Connecticut / London: Greenwood Publishing Group, Inc. / Greenwood Press. LCCN 2008019487. 978–0–313–34102–1 (vol 1), 978–0–313–34103–8 (vol 2). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 15 February 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  48. ^ Arntsen, Emily (6 March 2020). "Closing borders can delay, but can't stop the spread of COVID-19, new report says". News@Northeastern. Northeastern University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 March 2020. Diakses tanggal 28 March 2020. 
  49. ^ Chinazzi, Matteo; Davis, Jessica T.; Ajelli, Marco; Gioannini, Corrado; Litvinova, Maria; Merler, Stefano; Pastore y Piontti, Ana; Mu, Kunpeng; Rossi, Luca; Sun, Kaiyuan; Viboud, Cécile; Xiong, Xinyue; Yu, Hongjie; Halloran, M. Elizabeth; Longini, Jr., Ira M.; Vespignani, Alessandro (6 March 2020). "The effect of travel restrictions on the spread of the 2019 novel coronavirus (COVID-19) outbreak". Science. 368 (6489): 395–400. doi:10.1126/science.aba9757. PMC 7164386alt=Dapat diakses gratis. PMID 32144116. 
  50. ^ Glass, Robert J.; Glass, Laura M.; Beyeler, Walter E.; Min, H. Jason (November 2006). "Targeted Social Distancing Designs for Pandemic Influenza". Emerging Infectious Diseases. Centers for Disease Control and Prevention. 12 (11): 1671–1681. doi:10.3201/eid1211.060255. PMC 3372334alt=Dapat diakses gratis. PMID 17283616. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  51. ^ "Social Distancing Guidelines (for workplace communicable disease outbreaks)". Society for Human Resource Management. 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 April 2017. Diakses tanggal 23 April 2017. 
  52. ^ "What's the difference between shielding, self-isolation and social distancing?". www.bhf.org.uk (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  53. ^ Tan, Chorh-Chuan (May 2006). "SARS in Singapore—Key Lessons from an Epidemic" (PDF). Annals Academy of Medicine. 35 (5): 345–349. PMID 16830002. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 24 April 2017. Diakses tanggal 23 April 2017. 
  54. ^ Teh, Benjamin; Olsen, Karen; Black, Jim; Cheng, Allen C.; Aboltins, Craig; Bull, Kirstin; Johnson, Paul D. R.; Grayson, M. Lindsay; Torresi, Joseph (2012) [2011-11-22, 2011-09-26, 29 June 2011]. "Impact of swine influenza and quarantine measures on patients and households during the H1N1/09 pandemic". Scandinavian Journal of Infectious Diseases. 44 (4): 289–296. doi:10.3109/00365548.2011.631572. PMID 22106922. 
  55. ^ "Staying at home and away from others (social distancing)". GOV.UK. 
  56. ^ Garrett, Laurie (14 August 2014). "Heartless but Effective: I've Seen 'Cordon Sanitaire' Work Against Ebola". The New Republic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 September 2017. Diakses tanggal 5 June 2017. 
  57. ^ "Outbreak of Ebola Viral Hemorrhagic Fever—Zaire, 1995". Morbidity and Mortality Weekly Report. 44 (19). 19 May 1995. hlm. 381–382. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 August 2019. Diakses tanggal 5 June 2017. 
  58. ^ Kaplan Hoffmann, Rachel; Hoffmann, Keith (19 February 2015). "Ethical Considerations in the Use of Cordons Sanitaires". Clinical Correlations. NYU Langone, New York: New York University. eISSN 1944-0030. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  59. ^ Garrett, Laurie (2011). Betrayal of Trust: The Collapse of Global Public Health. Hachette Books. ISBN 978-1-40130386-0. 
  60. ^ "Gunnison: Case Study". Center for the History of Medicine. University of Michigan Medical School. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 June 2018. Diakses tanggal 6 June 2017. 
  61. ^ Markel, Howard; Stern, Alexandra Minna; Navarro, J. Alexander; Michalsen, Joseph R.; Monto, Arnold S.; DiGiovanni, Jr., Cleto (December 2006). "Nonpharmaceutical Influenza Mitigation Strategies, US Communities, 1918–1920 Pandemic" (PDF). Emerging Infectious Diseases. 12 (12): 1961–1964. doi:10.3201/eid1212.060506. PMC 3291356alt=Dapat diakses gratis. PMID 17326953. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 16 February 2017. Diakses tanggal 6 June 2017. 
  62. ^ Taylor, Kate (20 March 2020) [2020-03-17]. "No Bus Service. Crowded Trains. Transit Systems Struggle With the Virus.—U.S. cities with public transit systems are being forced to adapt to the risks posed by the coronavirus, implementing new sanitation protocols while contending with fewer riders and workers." The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 March 2020. Diakses tanggal 25 March 2020. 
  63. ^ "Flu Pandemic Mitigation—Social Distancing". globalsecurity.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 March 2020. Diakses tanggal 23 March 2020. 
  64. ^ Souvay, Charles Léon (1913). "Leprosy". Catholic Encyclopedia. 9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-28. Diakses tanggal 28 March 2020. 
  65. ^ Popular science monthly. New York: D. Appleton. 1916. hlm. 400. 
  66. ^ Pabst Battin, Margaret; Francis, Leslie P.; Jacobson, Jay A.; Smith, Charles B. (2009). The Patient as Victim and Vector: Ethics and Infectious Disease (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 351. ISBN 978-0-19-533583-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 March 2020. Diakses tanggal 28 March 2020. 
  67. ^ Melnick, Joseph L. (1 July 1996). "Current Status of Poliovirus Infections" (PDF). Clinical Microbiology Reviews. American Society for Microbiology. 9 (3): 293–300. doi:10.1128/CMR.9.3.293. PMC 172894alt=Dapat diakses gratis. PMID 8809461. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 30 April 2019. Diakses tanggal 28 March 2020. 
  68. ^ Hatchett, Richard J.; Mecher, Carter E.; Lipsitch, Marc (1 May 2007) [2007-04-06, 2007-02-14, 9 December 2006]. Singer, Burton H., ed. "Public health interventions and epidemic intensity during the 1918 influenza pandemic". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 104 (18): 7582–7587. Bibcode:2007PNAS..104.7582H. doi:10.1073/pnas.0610941104. PMC 1849867alt=Dapat diakses gratis. PMID 17416679. 
  69. ^ Starr, Isaac (1 October 1976). "Influenza in 1918: Recollections of the Epidemic in Philadelphia". Annals of Internal Medicine (dalam bahasa Inggris). 85 (4): 516–518. doi:10.7326/0003-4819-85-4-516. PMID 788585. 
  70. ^ McKinsey, David S.; McKinsey, Joel P.; Enriquez, Maithe (Jul–Aug 2018). "The 1918 Influenza in Missouri: Centennial Remembrance of the Crisis". Missouri Medicine. 115 (4): 319–324. ISSN 0026-6620. OCLC 7850378090. PMC 6140242alt=Dapat diakses gratis. PMID 30228752. 
  71. ^ Smith, Richard (30 June 2007). "Social measures may control pandemic flu better than drugs and vaccines". British Medical Journal. 334 (7608): 1341. doi:10.1136/bmj.39255.606713.DB. ISSN 0959-8138. PMC 1906625alt=Dapat diakses gratis. PMID 17599996. 
  72. ^ Kalnins, Irene (September 2006). "The Spanish influenza of 1918 in St. Louis, Missouri". Public Health Nursing. Boston, Massachusetts. 23 (5): 479–483. doi:10.1111/j.1525-1446.2006.00586.x. ISSN 0737-1209. PMID 16961567. 
  73. ^ Bootsma, Martin C. J.; Ferguson, Neil Morris (1 May 2007) [2007-03-13, 13 December 2006]. Singer, Burton H., ed. "The effect of public health measures on the 1918 influenza pandemic in U.S. cities". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America. 104 (18): 7588–7593. Bibcode:2007PNAS..104.7588B. doi:10.1073/pnas.0611071104. PMC 1849868alt=Dapat diakses gratis. PMID 17416677.  [3] (6 pages)
  74. ^ Chin, Tom D. Y.; Foley, John F.; Doto, Irene L.; Gravelle, Clifton R.; Weston, Jean (February 1960). "Morbidity and mortality characteristics of Asian strain influenza". Public Health Reports. Sage Publications, Inc. 75 (2): 149–158. doi:10.2307/4590751. JSTOR 4590751. PMC 1929395alt=Dapat diakses gratis. PMID 19316351.  (19 pages)
  75. ^ Wheeler, Colleen C.; Erhart, Laura M.; Jehn, Megan L. (November–December 2010). "Effect of School Closure on the Incidence of Influenza Among School-Age Children in Arizona". Public Health Reports. 125 (6): 851–859. doi:10.1177/003335491012500612. PMC 2966666alt=Dapat diakses gratis. PMID 21121230. 
  76. ^ "Flu Pandemic Study Supports Social Distancing". NIH Research Matters. National Institutes of Health. 6 June 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 April 2017. Diakses tanggal 22 April 2017. 
  77. ^ Wardrop, Murray (21 July 2009). "Swine flu: schools should close to halt spread of virus, ministers told". The Telegraph (dalam bahasa Inggris). ISSN 0307-1235. Diarsipkan dari versi asliPerlu langganan berbayar tanggal 16 February 2020. Diakses tanggal 17 March 2020. 
  78. ^ Walsh, Eric, ed. (20 July 2009). "Closing schools won't stop pandemics: study" (dalam bahasa Inggris). Reuters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 April 2020. Diakses tanggal 17 March 2020. 
  79. ^ Bell, David M. (November 2004). "Public Health Interventions and SARS Spread, 2003". Emerging Infectious Diseases. 10 (11): 1900–1906. doi:10.3201/eid1011.040729. ISSN 1080-6040. PMC 3329045alt=Dapat diakses gratis. PMID 15550198. 
  80. ^ Bondy, Susan J.; Russell, Margaret L.; Laflèche, Julie M. L.; Rea, Elizabeth (24 December 2009). "Quantifying the impact of community quarantine on SARS transmission in Ontario: estimation of secondary case count difference and number needed to quarantine". BMC Public Health. 9 (1): 488. doi:10.1186/1471-2458-9-488. PMC 2808319alt=Dapat diakses gratis. PMID 20034405. 
  81. ^ Stevens, Harry (14 March 2020). "These simulations show how to flatten the coronavirus growth curve". Washington Post (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  82. ^ a b "COVID-19 Educational Disruption and Response". UNESCO (dalam bahasa Inggris). 4 March 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 23 March 2020. 
  83. ^ "Most UK cinemas shut after virus advice". BBC News (dalam bahasa Inggris). 17 March 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 March 2020. Diakses tanggal 21 March 2020. 
  84. ^ 'We're going to have more deaths': Influenza kills more people than the coronavirus so everyone is overreacting, right? Wrong—and here's why Diarsipkan 8 April 2020 di Wayback Machine., MarketWatch, Quentin Fottrell, 9 March 2020.
  85. ^ "Parents, police struggle to social distance the young in coronavirus outbreak". 20 March 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 March 2020. Diakses tanggal 23 March 2020. 
  86. ^ Young, Elise; Baker, David R. (20 March 2020). "Uh-Oh Moment Finally Hits States Slow to Adopt Social Distancing". Bloomberg News. Bloomberg L.P. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 March 2020. Diakses tanggal 29 March 2020. 
  87. ^ Frieden, Tom. "Lessons from Ebola: The secret of successful epidemic response". CNN. Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 March 2020. Diakses tanggal 23 March 2020. 
  88. ^ "Coronavirus deprives nearly 300 million students of their schooling: UNESCO". The Telegram (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 March 2020. Diakses tanggal 23 March 2020 – via Reuters. 
  89. ^ Lipsitch, Marc; Swerdlow, David L.; Finelli, Lyn (26 March 2020) [2020-02-19]. "Defining the Epidemiology of Covid-19—Studies Needed". New England Journal of Medicine. 382 (13): 1194–1196. doi:10.1056/NEJMp2002125alt=Dapat diakses gratis. ISSN 0028-4793. PMID 32074416. 
  90. ^ Zimmermann, Petra; Curtis, Nigel (18 March 2020). "Coronavirus Infections in Children Including COVID-19: An Overview of the Epidemiology, Clinical Features, Diagnosis, Treatment and Prevention Options in Children". The Pediatric Infectious Disease Journal (dalam bahasa Inggris). Online First (5): 355–368. doi:10.1097/INF.0000000000002660alt=Dapat diakses gratis. ISSN 0891-3668. PMC 7158880alt=Dapat diakses gratis. PMID 32310621. 
  91. ^ "Adverse consequences of school closures". UNESCO (dalam bahasa Inggris). 10 March 2020. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 March 2020. Diakses tanggal 23 March 2020. 
  92. ^ Ao, Bethany (19 March 2020). "Social distancing can strain mental health. Here's how you can protect yourself". The Philadelphia Inquirer (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 March 2020. Diakses tanggal 24 March 2020. 
  93. ^ "Stress and Coping". Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) (dalam bahasa Inggris). Centers for Disease Control and Prevention. 23 March 2020 [2020-02-11]. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 March 2020. Diakses tanggal 24 March 2020. 
  94. ^ Willis, Olivia (22 March 2020). "Coronavirus: Social distancing and isolation can take a toll on your mental health, here's how some people are coping—Managing mental health in the time of coronavirus". ABC News (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 March 2020. Diakses tanggal 24 March 2020. 
  95. ^ Lu, Marcus (28 March 2020). "The Math Behind Social Distancing". Visual Capitalist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 16 April 2020. 
  96. ^ a b Becker, Niels (2015). Modeling to Inform Infectious Disease Control. CRC Press. hlm. 104. ISBN 978-1-49873107-2. 
  97. ^ Jonathan M Read, Jessica RE Bridgen, Derek AT Cummings, Antonia Ho, Chris P Jewell (28 January 2020). "Novel coronavirus 2019-nCoV: early estimation of epidemiological parameters and epidemic predictions" (dalam bahasa Inggris). doi:10.1101/2020.01.23.20018549. Diakses tanggal 20 April 2020. 
  98. ^ a b "Ending coronavirus lockdowns will be a dangerous process of trial and error" (dalam bahasa Inggris). Science. 14 April 2020. Diakses tanggal 20 April 2020.