Mikoprotein

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Mikoprotein adalah bahan makanan kaya protein, kaya serat, dan rendah kolesterol yang terbuat dari fungi Fusarium venenatum.[1] Di daerah Amerika Serikat dan Eropa, produk mikoprotein hasil fermentasi F. venenatum yang ditumbuhkan pada kultur sistem continuous flow telah diproduksi secara komersial dengan merek dagang QuornTM.[2]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sejarah penemuan mikoprotein dimulai sekitar tahun 1950-an ketika terjadi kekhawatiran akan kekurangan sumber protein pada masa depan karena berbagai hewan ternak seperti sapi, ayam, dan babi tidak lagi mencukupi kebutuhan daging di dunia.[3] Saat itu juga terjadi wabah penyakit pada anak-anak yang terkait masalah malagizi protein sehingga menyebabkan banyaknya penderita kwashiorkor dan marasmus di negara-negara terbelakang.[3] Pada tahun 1955, suatu lembaga yang disebut Kelompok Konsultan untuk Protein dengan nama asli dalam bahasa Inggris Protein Advisory Group (PAG) dibangun untuk membantu FAO dan UNICEF dalam merumuskan pedoman keamanan, nutrisi, dan palatabilitas dari sumber makanan berprotein baru untuk konsumsi manusia.[3] Di dalam pertemuan PBB tahun 1968 International Action to Avert Impending Protein Crisis, dikemukakan bahwa dunia memerlukan sumber protein baru dari mikrob untuk memenuhi kebutuhan protein pada masa mendatang.[3] Sejak itu berbagai penelitian tentang sumber protein mikrobial marak dikembangkan, namun sebagian besar malah bertujuan untuk menciptakan pakan ternak kaya protein.[3] Pada tahun 1985, suatu perusahaan Inggris, Rank Hovis McDougall (RHM), berhasil menciptakan sumber protein pengganti daging bagi manusia dari F. venenatum.[2] Penelitian tersebut melibatkan lebih dari 3000 jenis fungi dari berbagai belahan dunia untuk dianalisis kadar protein di dalamnya, produksi toksin, dan memiliki pertumbuhan serta morfologi yang sesuai hingga akhirnya ditemukan F. venenatum sebagai fungi yang terbaik.[2]

Produksi[sunting | sunting sumber]

Produksi biomassa sel[sunting | sunting sumber]

Pada awalnya uji pembuatan mikoprotein yang aman dan sehat dilakukan dengan menumbuhkan sel fungi pada tangki bioreaktor teraduk dengan volume 300 L.[2] Namun setelah perizinan produksi mikoprotein secara komersial telah disetujui maka digunakan reaktor air-lift bervolume 40.000 L hingga 150.000 L dengan proses yang digunakan adalah aliran kontinu (continuous flow process).[2] Proses tersebut dipilih karena kecepatan dilusi yang tinggi pada proses ini dan secara ekonomi paling menguntungkan.[2] Dulunya, kultur dikontrol dengan mengatur penambahan nutrisi dan glukosa ke dalam reaktor dalam jumlah berlebihan dan konstan.[2] Proses produksi yang terbaru memanfaatkan kecepatan evolusi CO2 yang dapat diukur secara langsung untuk mengontrol kecepatan aliran media.[2] Media yang digunakan umumnya mengandung glukosa dan amonium (disuplemen dengan biotin) dan kultur diinkubasi dengan suhu 28-30 °C pada pH 6.0.[2]

Reduksi RNA[sunting | sunting sumber]

Struktur asam urat.

Sel mikrob yang memiliki kecepatan pertumbuhan yang tinggi memiliki kandungan asam nukleat (termasuk RNA) yang tinggi pula.[4] Pada manusia, RNA dapat dipecah menjadi asam urat yang berbahaya bagi kesehatan apabila terdapat di dalam tubuh dalam jumlah yang terlalu tinggi.[4] Oleh karea itu, PAG menetapkan konsentrasi RNA dari mikoprotein yang boleh dikonsumsi manusia adalah 2 gram per hari dengan total asam nukleat yang dikonsumsi manusia dari berbagai sumber tidak melebih 4 gram per hari.[3] Untuk mengurangi jumlah RNA dalam mikoprotein dapat dilakukan prosedur kejut panas setelah fungi selesai ditumbuhkan, yaitu menaikkan suhu kultur biomassa secara cepat (< 10 detik) hingga mencapai suhu 64 °C selama 20-30 menit.[3] Metode ini akan menyebabkan pertumbuhan terhenti dan RNase yang ada dalam sel menjadi aktif mendegradasi RNA.[3]

Pengolahan akhir[sunting | sunting sumber]

Setelah proses reduksi RNA berakhir, dilakukan pemanenan biomassa sel dengan filtrasi vakum kemudian ditambahkan pewarna, penambah rasa, dan putih telur sebagai protein pengikat filamen mikoprotein.[3] Untuk menstabilkan struktur mikoprotein dilakukan prosedur pemanasan yang dilanjutkan dengan mereduksi ukuran mikoprotein dan membekukannya untuk penyimpanan.[3] Berbagai variasi makanan berbahan mikoprotein telah dibuat, antara lain pai rasa ayam, kari, lasagna, dan lain-lain.[5] Produk mikoprotein tersebut bertekstur dan berasa mirip seperti daging namun merupakan sumber protein nabati yang baik untuk para vegetarian.[5]

Manfaat[sunting | sunting sumber]

Contoh produk olahan mikoprotein.

Mikoprotein memiliki banyak manfaat positif bagi kesehatan manusia, beberapa di antaranya adalah mengurangi risiko obesitas, menurunkan kolesterol dalam darah, dan mengontrol glikemia (kadar gula dalam darah).[6] Peningkatan penderita obesitas di dunia dapat diakibatkan terlalu banya mengonsumsi makanan dengan kadar lemak dan kadar gula tinggi.[6] Semakin lama, kesadaran manusia untuk mengonsumsi makanan sehat mulai meningkat.[6] Makanan sehat yang dimaksudkan haruslah bernutrisi, mengenyangkan, namun densitas energi rendah serta memiliki kandungan asam lemak jenuh, garam, dan gula yang rendah.[6] Mikoprotein dapat memenuhi persyaratan untuk menjadi salah satu makanan sehat dengan kriteria yang telah disebutkan karena memiliki kandungan serat yang tinggi, kandungan asam lemak jenuh relatif rendah, dan secara alami memiliki kandungan natrium yang rendah.[6] Konsumsi mikoprotein juga dapat mengurangi dan mengendalikan diabetes tipe 2 karena kandungan di dalam mikoprotein dapat mereduksi glikemi dan insulinemia.[5] Selain itu, beberapa studi juga membuktikan bahwa mikoprotein memiliki efek memuaskan atau mengenyangkan yang lebih tinggi dibandingkan konsumsi daging ayam pada jumlah yang sama.[6]

Nutrisi yang diperoleh dari mikoprotein[5]
Nutrisi Amount per 100g*
Energi (kcal) 85
Protein (g) 11
Karbohidrat (g) 3
Gula (g) 0.5
Lemak (g) 2.9
Lemak jenuh (g) 0.7
Serat (g) 6**
b-glukan (g) 4
w-3 Asam Linolenat (g) 0.4
Kalsium (mg) 42.5
Magnesium (mg) 45
zink (mg) 9
Besi (mg) 0.5
Kalium (mg) 100
Vitamin B1 Tiamin (mg) 0.01
Vitamin B2 Riboflavin - (mg) 0.23
Vitamin B3 Niasin (mg) 0.35
Vitamin B5 Asam Pantotenat (mg) 0.25
Vitamin B6 Piridoxin - (mg) 0.125
Biotin (mg) 0.02
Fosfor (mg) 260
Tembaga (mg) 0.5
Mangan (mg) 6
Selenium (ug) 20
Kromium (ug) 15
Molibdenum (ug) < 25
Natrium (mg) 5
Garam (g) 0.0125

Dampak negatif[sunting | sunting sumber]

Konsumsi fungi sebagai sumber protein memiliki kekhawatiran akan adanya kadar RNA yang tinggi sehingga mengakibatkan penyakit asam urat dan juga kekhawatiran akan adanya alergi pada konsumen.[4] Pada sel fungi yang tumbuh dengan cepat, kadar RNA di dalamnya tinggi dan apabila dikonsumsi maka RNA akan terurai menjadi purin dan pirimidin.[4] Di dalam tubuh, purin akan dikonversi menjadi asam urat dan apabila terjadi peningkatan tinggi pada kadar asam urat maka terjadi peningkatan risiko menderita gout dan batu ginjal pada individu yang rentan.[4] Namun kekhawatiran akan meningkatnya asam urat berhasil diatasi dengan reduksi RNA pada proses produksi mikoprotein.[4] Pada beberapa individu yang menderita alergi terhadap kapang, inhalasi ataupun konsumsi mikoprotein dapat menyebabkan reaksi alergi berat terhadap makanan tersebut.[7] Hal ini disebabkan karena adanya reaksi silang antara antigen F. venenatum yang dapat dikenali di dalam tubuh individu tertentu memiliki kemiripan dengan antigen fungi patogen seperti Aspergillus fumigatus, Cladosporium herbarum, atau Alternaria alternata sehingga dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas.[8] Reaksi tersebut hanya terjadi pada sebagian kecil penderita alergi kapang karena antibodi di dalam tubuh merespon antigen mikoprotein sebagai antigen asing yang diduga berbahaya.[8]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Inggris) B. J. F. Hudson (1994). New and developing sources of food proteins. Springer. ISBN 978-0-412-58420-6. 
  2. ^ a b c d e f g h i (Inggris) MARILYN G. WIEBE (2004). "QuornTM Myco-protein – Overview of a successful fungal product" (PDF). Mycologist. 18 (1): 17–20. doi:10.1017/S0269915X04001089. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2008-08-28. 
  3. ^ a b c d e f g h i j (Inggris) ANTHONY P. J. TRINCI (1992). "Myco-protein: A twenty-year overnight success story" (PDF). Mycol. Res 96 (1): (1992). 96 (1): 1–13. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b c d e f (Inggris) Alexander N. Glazer, Hiroshi Nikaidō (2007). Microbial biotechnology: fundamentals of applied microbiology. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-84210-5. 
  5. ^ a b c d (Inggris) Marlow Foods Ltd (2008). "Information sheet for A-level Home Economics" (PDF).  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "j" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  6. ^ a b c d e f (Inggris) A. Denny, B. Aisbitt, J. Lunn (2008). "Mycoprotein and health". Nutrition Bulletin. 33 (4): 298–310. doi:10.1111/j.1467-3010.2008.00730.x. 
  7. ^ (Inggris) M. Hoff, R. Trüeb, B. Ballmer-Weber, S. Vieths, B. Wuethrich. "Immediate-type hypersensitivity reaction to ingestion of mycoprotein (Quorn) in a patient allergic to molds caused by acidic ribosomal protein P21". Journal of Allergy and Clinical Immunology. 111 (5): 1106–1110. 
  8. ^ a b (Inggris) Tee RD, Gordon DJ, Welch JA, Newman Taylor AJ (1993). "Investigation of possible adverse allergic reactions to mycoprotein ('Quorn')". Clin Exp Allergy. 23 (4): 257–60.