Muraqabah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Muraqabah adalah keadaan merasakan kehadiran Allah di dalam segala kondisi. Dalil mengenai muraqabah adalah Surah Asy-Syu'ara ayat 218-219.[1] Muraqabah menjadi salah satu prinsip akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam.[2] Muraqabah merupakan salah satu ajaran tarekat.[3] Perolehannya melalui sintesis ajaran-ajaran tasawuf.[4] Muraqabah menghilangkan rasa takut kepada manusia tetapi menghasilkan rasa takut yang teramat takut kepada Allah. Muraqabah juga menghasilkan rasa takut dan malu untuk berbuat dosa meskipun tidak dilihat oleh orang lain.[5]

Terminologi[sunting | sunting sumber]

Secara harfiah, muraqabah berarti kegiatan saling mengawasi. Sedangkan secara bahasa, muraqabah berarti pengamatan terhadap tujuan atau penantian yang disertai dengan perhatian. Dalam terminologi, muraqabah berarti menjaga kesadaran akan adanya pengawasan dari Allah dalam segala kondisi sehingga segala tindakan didasarkan atas hukum yang ditetapkan oleh Allah.[6]

Dalil[sunting | sunting sumber]

Muraqabah disebutkan dalam Surah Asy-Syu'ara ayat 218-219. Ayat ini menyebutkan bahwa Allah mengetahui setiap gerakan salat yang dilakukan oleh hambaNya mulai dari berdiri hingga sujud. Ayat ini menyatakan bahwa Allah itu maha melihat. Surah Al-Hadid ayat 4 menyebutkan bahwa Allah selalu bersama dengan para hambaNya dimanapun ia berada. Kemampuan pengawasan Allah juga disebutkan dalam Surah Ali Imran ayat 5. Dalam ayat ini disebutkan bahwa Allah dapat melihat segala hal yang tersembunyi di Bumi maupun di langit.[7] Penegasan kemampuan pengawasan Allah disebutkan pada Surah Al-Fajr ayat 14.[8]

Tingkatan[sunting | sunting sumber]

Terdapat dua tingkatan dari muraqabah. Tingkatan pertama adalah muraqabah kejujuran dan muraqabah kebenaran. Muraqabah kejujuran adalah muraqabah yang dialami oleh orang-orang dengan keimanan yang benar sehingga selalu merasa dekat dengan Allah. Mereka telah merasakan keagungan dan kebesaran dari Allah sehingga meyakini tidak dapat hilang dari pengawasan Allah. Setiap tindakan yang dilakukan oleh tubuhnya hanya bertujuan untuk ketaatan kepada Allah. Ibadah dilakukan atas dasar kebiasaan dan bukan lagi sebuah paksaan. Sedangkan muraqabah kebenaran adalah tingkatan muraqabah yang dicapai oleh orang-orang yang wara'. Seluruh bagian dari dirinya telah terhubung dengan Allah, sehingga mereka meyakini telah melihat Allah dengan hati mereka.[9]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Muraqabah terbagi menjadi tiga jenis perhatian, yakni hati, ruh dan rahasia. Muraqabah terhadap hati berarti meningkatkan kewaspadaan dan memberikan peringatan kepada hati untuk selalu merasakan kehadiran Allah. Muraqabah terhadap ruh berarti meningkatkan kewaspadaan dan memberikan peringatan kepada ruh untuk selalu merasakan kehadiran Allah. Muraqabah terhadap rahasia berarti meningkatkan kewaspadaan dan memberikan peringatan terhadap rahasia dalam amal ibadah dan adab.[10]

Sikap[sunting | sunting sumber]

Malu[sunting | sunting sumber]

Rasa malu telah dibahas dalam salah satu hadis yang menyatakan bahwa rasa malu harus dilakukan dengan sebenar-benarnya kepada Allah. Rasa malu ini diwujudkan dengan pemeliharaan pikiran, perut dan makanan. Selain itu, rasa malu juga hadir ketika sedang menghadapi cobaan dengan selalu mengingat kematian dan bersabar. Rasa malu juga diwujudkan melalui penghindaran atas kemewahan dunia demi kehidupan akhirat.[11]

Para Sahabat Nabi telah memberikan pengertian tersendiri mengenai rasa malu. Utsman bin 'Affan menyebutkan bahwa rasa malu di hadapan Allah itu sampai menundukkan diri ketika mandi di rumah yang gelap. Kemudian, dari sahabat Muhammad bin Abbas al-Muadzin dikatakan bahwa rasa malu dan cinta itu selalu hadir bersamaan di dalam hati manusia. Keduanya akan menetap jika hati manusia dalam keadaan zuhudn dan wara'. Namun, pada hati manusia yang tidak zuhud dan wara', kedua perasaan ini akan menghilang. Malu merupakan bentuk pendudukan ruh manusia dalam rangka pengagungan kepada Allah. Sedangkan cinta menjadi bentuk kesenangan atas keindahan Allah. Cita-cita yang agung akan tercapai ketika kedua sifat ini ada dalam keadaan menyatu. Dzun al-Nun memberikan pengertian terhadap rasa malu sebagai perasaan takut yang disertai dengan penyesalan atas perbuatan di masa lalu. Sementara itu, Ibnu `Atha' mengatakan bahwa kebaikan pada seorang hamba akan menghilang ketika rasa takut dan malu menghilang juga. Keduanya merupakan dua bentuk ilmu yang agung.[12]

Manfaat[sunting | sunting sumber]

Muhasabah[sunting | sunting sumber]

Muraqabah merupakan bentuk kebaikan dasar yang mengarah ke kondisi muhasabah. Kondisi muhasabah kemudian menyebabkan seorang muslim mengetahui kekurangan dan kelebihan dari amal perbuatannya kepada Allah. Karenanya, timbul tindakan untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Pada kondisi demikian, seorang muslim akan memperhatikan setiap tindakan yang akan dilakukannya dan mematuhi segala perintah Allah.[13]

Pandangan sufi[sunting | sunting sumber]

Kalangan sufi meyakini adanya kondisi kejiwaan yang terkadang berubah-ubah dan ada pula yang menetap menjadi kepribadian. Kondisi kejiwaan yang menjadi kepribadian ini disebut sebagai ahwal. Kalangan sufi meyakini bahwa ahwal terbagi menjadi tujuh jenis. Dalam tingkatan ahwal, muraqabah merupakan tingkatan pertama.[14]

Salah satu tokoh yang menyamakan muraqabah dengan samadi adalah Abu Yazid Al-Busthami. Dalam konsep muraqabahnya, Al-Busthami menyatakan adanya penyatuan antara hamba sebagai yang mendekati, dan Allah sebagai yang didekati.[15]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Badrudin 2015, hlm. 56.
  2. ^ Hardisman (2017). Tuntunan Akhlak Dalam Al-Quran dan Sunnah: Membentuk Pribadi Muslim Berkarakter dan Penerapannya pada Etika Kedokteran (PDF). Padang: Andalas University Press. hlm. 8. ISBN 978-602-6953-28-5. 
  3. ^ Badrudin 2015, hlm. 38.
  4. ^ Badrudin 2015, hlm. 30.
  5. ^ Bakhtiar, Nurhasanah (2018). Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PDF). Sleman: Aswaja Pressindo. hlm. 81. ISBN 978-602-18663-1-3. 
  6. ^ Badrudin 2015, hlm. 55.
  7. ^ An-Nawawi 2019, hlm. 65.
  8. ^ An-Nawawi 2019, hlm. 66.
  9. ^ Rajab 2020, hlm. 190.
  10. ^ Irham 2013, hlm. 144.
  11. ^ Rajab 2020, hlm. 188-189.
  12. ^ Rajab 2020, hlm. 189.
  13. ^ Irham 2013, hlm. 143.
  14. ^ Pakar 2013, hlm. 13.
  15. ^ Pakar 2013, hlm. 49-50.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]