Lompat ke isi

Museum Karaeng Pattingalloang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Museum Karaeng Pattingalloang dari sisi depan.

Museum Karaeng Pattingalloang adalah museum khusus yang dibangun untuk mengenang riwayat hidup Karaeng Pattingalloang. Museum ini mulai dibangun sejak tahun 1989 dan selesai pada tahun 1995. Letak museum berada di sekitar Benteng Somba Opu, Barombong, Gowa. Koleksi yang dipamerkan dalam museum berupa mata uang, keramik, peninggalan budaya, teknologi, seni rupa, dan sejarah. Museum Karaeng Pattingalloang dapat dicapai melalui Bandar Udara Sultan Hasanuddin sejauh 26,3 km, dari Terminal Cappa Bunga sejauh 8,9 km, atau dari Pelabuhan Soekarno Hatta sejauh 10,7 km.[1]

Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang atau yang memiliki nama lengkap I Mangangada’-cina I Daeng I Ba’le Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud, Tuammenanga ri Bontobiraeng. Ia merupakan putra dari Raja Tallo VII Karaeng Matowaya. salah satu tokoh yang tersohor.[2] Terkenal karena minatnya terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi.”Dengan minat tinggi dia Karaeng Pattingalloang) telah membaca seluruh sejarah raja-raja Eropa. Dia selalu membawa buku-buku kita, khususnya yang berhubungan dengan matematika, yang sangat dia kuasai. Dia juga amat tertarik dengan seluruh aspek ilmu pengetahuan sehingga dia mengerjakannya siang dan malam. Mendengarnya berbicara tanpa melihatnya, orang akan menyangka dia seorang asli Portugis karena menggunakan bahasa ini dengan amat lancar sebagaimana yang biasa kita dengar di Lisbon”[3]

Papan nama museum Karaeng Pattingalloang

Nama Museum Karaeng Pattingalloang berasal dari nama seorang bangsawan Kerajaan Tallo yaitu Karaeng Pattingalloang. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri pada masa pemerintahan Sultan Kesultanan Gowa ke-15 yaitu Sultan Malikussaid. Karaeng Pattingalloang adalah seorang saudagar dan ahli hukum. Ia juga menguasai Bahasa Belanda, Bahasa Denmark, Bahasa Spanyol dan Bahasa Tionghoa.[4]

Pemanfaatan

[sunting | sunting sumber]

Museum Karaeng Pattingalloang digunakan sebagai tempat penyimpanan peninggalan bersejarah milik Kesultanan Gowa. Koleksi ini kemudian dimanfaatkan lagi untuk melakukan penelitian tentang penyebaran Islam di wilayah Kesultanan Gowa. Penelitian ini terutama berkaitan dengan Benteng Somba Opu yang menjadi pusat pemerintahan dan pusat perdagangan Kesultanan Gowa di kawasan Indonesia Timur selama abad ke-16 hingga ke-17 Masehi.[4]

Tata Pamer

[sunting | sunting sumber]
Interior Museum Karaeng Pattingalloang

Sejak tahun 1992, pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Kapariwisataan, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Koleksi dalam museum merupakan hasil ekskavasi dari Benteng Somba Opu.[5] Bentuk museum ini aalah rumah panggung dengan model rumah controleur Belanda di Bone. Pendesainnya adalah Ananto Yudono dari Universitas Hasanuddin. Museum ini memiliki dua lantai. Lantai atas digunakan sebagai tempat pameran tetap dengan beragam koleksi. Lantai bawah digunakan sebagai tempat memperoleh informasi mengenai koleksi yang ada di lantai atas. Selain itu, di lantai bawah terdapat beberapa koleksi peralatan makan, keramik, batu bata, lukisan, alat musik tradisional, dan mata tombak. Bagian luar museum juga terdapat meriam besi, berbentuk bulat panjang dengan warna cokelat kehitaman.[6]

Penyampaian informasi dalam Museum Karaeng Pattingalloang dimulai dengan pengantar mengenai keistimewaan Karaeng Pattingalloang dan penjelasan tentang tema pameran. Setelah itu, diberikan informasi mengenai Kareang Pattingalloang sebagai negarawan dan sejarahnya hingga mampu menjadi perdana menteri. Informasi yang diberikan pada sesi ini adalah kegiatan Karaeng Pattingalloang selama menjadi Perdana Menteri. Sesi dilanjutkan dengan minat Kareang Pattingaloang terhadap ilmu pengetahuan. Sesi ini dimulai dengan pemesanan bola dunia, peta dunia, teleskop, dan atlas oleh Karaeng Pattingalloang. Kemudian dijelaskan tentang keahliannya dalam menguasai berbagai bahasa dan melakukan diplomasi. Sesi berikutnya berupa penyampaian informasi tentang Karaeng Pattingalloang sebagai saudagar yang yang berdagang untuk Kesultanan Gowa dan Kerajaan Tallo. Selain itu, juga diberikan informasi tentang usahanya dalam mengembangkan Somba Opu sebagai pusat perdagangan. Sesi terakhir berupa akhir hayat dari Karaeng Pattingalloang. Sesi ini menjelaskan kegiatannya yaitu menerjemahkan berbagai risalah bangsa Eropa, pemesanan perahu Galley dan atlas Maior Blaeu. Selain itu, sesi ini memberikan informasi tentang pesan terakhir dari Karaeng Pattingalloang sebelum wafat.[7]

Serpihan batu bata dengan tulisan kuno di Museum Karaeng Pattingalloang

Batu bata

[sunting | sunting sumber]

Dalam Museum Karaeng Pattingalloang terdapat 14 batu bata polos dengan ukuran yang beragam. Panjangnya berkisar antara 23 hingga 31 cm dengan lebar antara 13 hingga 18,5 cm dan tebalnya antara 2,5 hingga 5 cm. Batu bata ini diperolah dari hasil ekskavasi Benteng Somba Opu dan digunakan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat terhadap warisan budaya dan identitas bangsa.[8]

Batu Bata Bermotif Bunga Parenrengi

[sunting | sunting sumber]
Batu Bata yang Bermotif Bunga Parenreng

Pola tumbuhan dalam seni hias Bugis digambarkan dalam bentuk bunga yang terbuka Bunga atau pohon ini dianggap sebagai simbol pohon hidup yang menguasai dunia, seperti yang terlihat pada beberapa suku di Indonesia Dalam kosmologi Bugis, motif bunga ini  disebut dengan Motif Bunga Palenren yang artinya bunga yang menarik Apalagi hidupnya terbentang kemana-mana, seolah tak ada habisnya Bentuk bunga Palenlen artinya aliran yang tak berujung, seperti hamparan bunga Palenlen Selain itu, bunga Palenlen merupakan simbol kesuburan dan kemakmuran Namun  perlu dikemukakan pendapat beberapa ahli  bahwa pengaruh agama Hindu di Sulawesi Selatan jauh lebih kecil dibandingkan di  Jawa dan Bali Oleh karena itu, kemunculan motif hias bunga Palenlen (motif sulur) yang diyakini mempunyai pengaruh Hindu dalam  seni hias Bugis merupakan “penyimpangan” dari  banyak motif hias yang terdapat pada rumah-rumah Bugis Oleh karena itu, seni hias Bugis, khususnya rumah Bugis Sulawesi Selatan , mungkin memiliki sedikit pengaruh Hindu[9].

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Rusmiyati; et al. (2018). Katalog Museum Indonesia Jilid II (PDF). Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 378. ISBN 978-979-8250-67-5. 
  2. ^ Juliano, Adrian (2024-08-08). "Sosok Karaeng Pattingalloang, Raja Tallo yang Dikenal Punya Pengetahuan Luas". Merdeka.com. Diakses tanggal 2024-12-22. 
  3. ^ Arsyad, Edy (2024-10-01). "Karaeng Pattingalloang, Tokoh Tersohor karena Kecerdasannya". Fajar.Com. Diakses tanggal 2024-22-12. 
  4. ^ a b Muhaeminah 2014, hlm. 310.
  5. ^ Perdana 2020, hlm. 60-61.
  6. ^ Perdana 2020, hlm. 61.
  7. ^ Perdana 2020, hlm. 65.
  8. ^ Muhaeminah 2014, hlm. 311.
  9. ^ Paita Yunus, Pangeran (2012-06-01). "Makna Simbol Bentuk Dan Seni Hias Pada Rumah Bugis Sulawesi Selatan". Jurnal Seni & Budaya Panggung. 22 (3): 278. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]