Lompat ke isi

Musyawarah Desa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Musyawarah Desa atau Musdes adalah proses musyawarah antara Badan permusyawaratan desa (BPD), Pemerintah desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh BPD untuk menyepakati hal yang bersifat strategis. Musyawarah adalah forum pengambilan keputusan yang sudah dikenal sejak lama dan menjadi bagian dari dasar negara Indonesia Sila keempat Pancasila menyebutkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Pendamping Lokal Desa dan Pemerintahan Desa serta Badan Permusyawaratan Desa dan Masyarakat dalam sebuah Musyawarah desa.

Dasar Hukum

[sunting | sunting sumber]

Undang-undang desa

Pasal 54
(1) Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

(2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penataan Desa;

b. perencanaan Desa;

c. kerjasama Desa;

d. rencana investasi yang masuk ke Desa;

e. pembentukan Badan usaha milik desa atau BUM Desa;

f. penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan

g. kejadian luar biasa.

(3) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun. (4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Penjelasan
Ayat (1)

Musyawarah Desa merupakan forum pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di Desa, termasuk masyarakatnya, dalam rangka menggariskan hal yang dianggap penting dilakukan oleh Pemerintah Desa dan juga menyangkut kebutuhan masyarakat Desa. Hasil ini menjadi pegangan bagi perangkat Pemerintah Desa dan lembaga lain dalam pelaksanaan tugasnya. Yang dimaksud dengan “unsur masyarakat” adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat miskin. Ayat (2) Huruf a Dalam hal penataan Desa, Musyawarah Desa hanya memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Huruf b, huruf c, huruf e, huruf f, huruf g, serta ayat (3) dan ayat (4) cukup jelas.

Selain pada penjelasan pasal per pasal, bagian Penjelasan Umum UU Desa juga memuat penjelasan mengenai Musdes. Selengkapnya disebutkan: “Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa. Hasil musyawarah desa dalam bentuk kesepakatan dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa untuk menetapkan kebijakan Pemerintahan Desa”. Pembahasan di DPR

Pengaturan Musyawarah Desa dalam Undang-undang desa hanya diatur dalam satu Pasal berisi empat ayat. Keempat ayat yang ada pada pasal 54 tersebut berisi tentang fungsi musyawarah Desa; hal yang dibahas dalam musyawarah desa; waktu penyelenggaraan Musyawarah Desa; dan Pembiayaan Musyawarah Desa. Dalam proses pembahasan DIM, klausul Musdes juga relatif tak banyak diperdebatkan, semua fraksi setuju kecuali untuk penempatan bab. Pemerintah dan DPR sepakat mengenai pentingnya penyelenggaraan musyawarah desa sebagai forum pengambilan keputusan desa.[1]

Dalam RDPU 10 Oktober 2012, Sutoro Eko dari IRE menyampaikan pandangan berikut: “Ini ada persoalan kuasa desa dan kuasa rakyat ya, itu menyatu di dalam desa tetapi persoalannya begini pak, kuasa desa ini sekarang tidak berdaya karena berhadapan dengan kuasa negara dan kuasa modal, jadi banyak sumber daya lokal yang ini terkikis abis lah kalau ada intervensi modal misalnya soal air dan macam-macam, dan oleh karena ini kan persoalan agraria yang kita harus selesaikan juga, termasuk pembangunan pedesaan yang mengandung investasi ya, sebenarnya pikiran yang sudah berkembang, bagaimana desa itu secara kolektif mampu mengontrol usulan kita itu ada semacam musyawarah desa, musyawarah desa itu sebagai semacam institusi yang bisa kita panggil untuk mengambil keputusan strategis di desa, supaya ini tidak hanya diputuskan oleh segelintir orang tetapi oleh forum yang lebih besar, karena modalnya kan Bupati-Kepala Desa selesai gitu ya, jadi artinya keputusan mengenai investasi yang bersentuhan dengan desa itu tidak hanya dari tangan Bupati, tetapi juga itu basisnya ada di desa, dan desa itu pengambil keputusannya adalah musyawarah desa.” Tanggapan Musyawarah adalah forum bertemunya berbagai kepentingan para pemangku kepentingan. Keinginan umum (general will) dipertemukan dalam forum itu, dibahas, dan kemudian diputuskan bersama-sama mana yang terbaik di antara pilihan-pilihan yang ada. Dalam forum itu bersatu keinginan Kepala Desa dan mungkin juga keinginan pemerintahan kabupaten/kota yang disampaikan lewat Kepala Desa, keinginan warga desa, dan keinginan pemangku kepentingan lainnya. Konsep musyawarah pada hakekatnya menunjukkan bahwa forum tersebut bersifat partisipatif dan dialogis.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksanaannya, PP 72 tahun 2005, tak mengatur spesifik musyawarah Desa. Namun korelasi kedua regulasi ini bisa dilihat dari pembahasan perencanaan desa yang disebut dalam Pasal 54 UU Desa. Musyawarah Desa sebagaimana diinginkan dalam Pasal 54 merupakan sebuah tahapan yang cukup penting dalam pembangunan desa, khususnya perencanaan desa. Salah satu perencanaan desa yang berlangsung terjadwal tahunan adalah Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).

Payung hukum pelaksanaan Musrenbang secara umum diatur dalam Undang Undang No. 25 Tahun 2004 dan secara teknis pelaksanaannya diatur melalui Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang yang diterbitkan setiap tahun. Secara khusus Musrenbangdes diatur dalam Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa yang didalamnya termuat petunjuk teknis penyelenggaraan Musrenbang untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) tahunan yang kemudian ditekniskan lagi melalui Surat Dirjen PMD No. 414.2/1408/PMD tanggal 31 Maret 2010 tentang Petunjuk Teknis Perencanaan Pembangunan Desa.

Perencanaan dan penganggaran merupakan satu kesatuan konsep dan proses yang tak terpisahkan sehingga mustahil perencanaan pembangunan dilakukan tanpa membahas anggaran pembiayaannya. Oleh karena itu, bersamaan dengan penyusunan dokumen perencanaan, Desa juga menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Payung hukum penyusunan APB Desa adalah UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, PP No. 58 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, serta Permendagri No. 37 Tahun 2007 tentang Keuangan Desa. Pasal 54 UU Desa tidak menyebutkan secara jelas tentang rekomendasi pengaturan teknis pelaksanaan Musyawarah Desa. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 memuat sejumlah aturan mengenau musyawarah desa. Rinciannya antara lain:

  • Pasal 9 dan 10 tentang pembuatan kesepakatan dalam pembentukan desa oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
  • Pasal 18 tentang pembuatan kesepakatan dalam penggabungan desa oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
  • Pasal 22 tentang prakarsa perubahan status desa menjadi kelurahan;
  • Pasal 26 tentang prakarsa perubahandesa adat menjadi desa;
  • Pasal 45, 47, dan 56 tentang pemilihan Kepala Desa antarwaktu melalui musyawarah desa;
  • Pasal 111 tentang pengelolaan kekayaan milik desa;
  • Pasal114 tentang perencanaan pembangunan desa;
  • Pasal 121 tentang pelaksanaan pembangunan desa;
  • Pasal 125 tentang pembangunan kawasan perdesaan;
  • Pasal 126 dan Pasal 130 tentang pemberdayaan;
  • Pasal132 dan 136 tentang BUM Desa Masyarakat Desa.

Hal-Hal Strategis

[sunting | sunting sumber]

Pasal 54 ayat (2) UU Desa mengatur apa saja yang disebut sebagai hal yang bersifat strategis yang menjadi dasar penyelenggaraan musyawarah Desa. Tetapi tidak jelas apa maksud isu strategis dan penormaannya terkesan tidak membuka peluang untuk menambahkan hal strategis itu. Seolah-olah hanya ketujuh hal itu saja yang masuk kategori hal strategis. Berarti pula di luar ketujuh hal tersebut tidak harus diputuskan lewat musyawarah Desa. Dalam praktiknya sangat mungkin terjadi perbedaan pandangan antara warga desa dengan pemerintah desa mengenai sifat strategisnya sesuatu hal. Apalagi jika sudah menyangkut frasa ‘kejadian luar biasa’. Apa yang dimaksud dengan kejadian luar biasa? Banjir, misalnya, bisa disebut kejadian luar biasa. Lalu, apakah harus Musdes dulu sebelum banjir ditangani? Isu strategis dalam Pasal 54 lebih sebagai isu yang penting menurut pembentuk Undang-Undang, dan bukan isu strategis menurut kenyataan yang dihadapi masyarakat.

  • Pelaksanaan dan Pembiayaan Musdes

Berdasarkan UU Desa, Musdes diselenggarakan minimal satu kali dalam setahun. Undang-Undang tidak menyebutkan kapan waktu pelaksanaan dan berapa lama waktu penyelenggaraan Musdes. Pada praktiknya, musrenbang diselenggarakan pada Januari setiap tahun. Namun dilihat dari keragaman isu strategis, ada kemungkinan besar pelaksanaan Musdes lebih dari satu kali. Pembiayaan Musdes berasal dari APB Desa. Penyelenggaraan Musdes yang hanya bergantung pada APB Desa sebenarnya menimbulkan dua persoalan. Pertama, bila dana APB Desa tidak mencukupi untuk Musdes sekali setahun, bisakah Desa tak menyelenggarakan Musdes? Penyelenggara Musdes adalah BPD dengan difasilitasi pemerintah desa. Jika pemerintah desa berdalih tidak ada dana, apakah BPD bisa membatalkan pelaksanaan Musdes, dan lantas memberikan kewenangan kepada Kepala Desa untuk memutuskan hal-hal strategis tanpa melibatkan BPD? Kedua, persoalan pertama sebenarnya bisa diatasi dengan membuka peluang pendanaan Musdes diambil dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Tetapi akan muncul persoalan, apa kaedah yang harus ditaati peserta Musdes jika dana Musdes berasal dari pihak ketiga? Dilihat dari konstruksi hibriditas, sebenarnya peluang untuk mendapatkan biaya pelaksanaan Musdes dari luar desa tetap dimungkinkan. Sebagian biaya Musdes adalah dari pendapatan desa yang bisa berasal dari beragam sumber, antara lain ‘hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga’. Dari rumusan Pasal 72 ayat (1) huruf f UU Desa tersebut tergambar jelas salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah dana itu tidak bersifat mengikat. Jika ada penyimpangan dalam penggunaan dana pihak ketiga untuk Musdes tersebut, sesuai Pasal 75 ayat (1) UU Desa, yang akan dimintai tanggung jawab terutama adalah Kepala Desa sebagai ‘pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa’.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "4. Musyawarah Desa". Kedesa. Diakses tanggal 2021-02-20.