Noeroel Koesmen
Nurul Kusmen | |
---|---|
Bupati Jombang 12 | |
Masa jabatan 1983–1988 | |
Presiden | Soeharto |
Gubernur | Soenandar Prijosoedarmo Wahono |
Informasi pribadi | |
Lahir | 30 April 1937 Jember, Hindia Belanda |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Golongan Karya |
Almamater | AMN |
Profesi | Politikus, Militer |
Karier militer | |
Dinas/cabang | Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat |
Masa dinas | 1961–1982 |
Pangkat | Kolonel |
Sunting kotak info • L • B |
Kol. (Purn.) Noeroel Koesmen (EYD: Nurul Kusmen; lahir 30 April 1937) adalah Bupati Jombang yang menjabat pada periode 1983 hingga 1988. Ia juga anggota DPRD Jawa Timur periode 1992-1997.
Kehidupan awal
[sunting | sunting sumber]Noeroel Koesmen lahir pada 30 April 1937, di Jember. Bapaknya bernama M. Kusdi Wiryo Kusumo, dan ibunya bernama Rr. Rukanti.
Riwayat pendidikan
[sunting | sunting sumber]- SD, SMP, dan SMA di Jember.
- Akademi Militer (1958-1961).
Karier Militer
[sunting | sunting sumber]Sebagai seorang prajurit, ia pernah mengemban berbagai macam tugas seperti pendidikan Pusat Artileri Medan, di Cimahi, Jawa Barat, pada tahun 1961-1965. Batalion Armed II, di Medan, Sumatera Utara, sebagai Komandan Kompi, tahun 1966-1967. Depo Pendidikan Armed, sebagai wakil Komandan Batalion, di Pematang Siantar, pada tahun 1968-1972. Kepala Seksi Operasi di Resimen Armed 4, di Medan, Sumatera Utara, tahun 1972. Komandan Batalian Depo Pendidikan Armed, di Pematang Siantar, tahun 1973-1977. Komandan Batalion Armed 8, di Jember, tahun 1977. Komandan Kodim di Sumenep, tahun 1977-1980. Komandan Kodim di Kediri, tahun 1980-1982. dan Kepala Staf Korem di Kediri, tahun 1980-1982.
Menjadi Bupati
[sunting | sunting sumber]Ketika menjabat sebagai Komandan Kodim di Sumenep, ia memang sudah dikenal baik dan dekat dengan warga serta ulama setempat. Dari kemiliteran, lalu dia ditawarkan ke Partai Golkar. Berkas-berkas dilengkapi, kemudian disekolahkan ke Jakarta selama 9 bulan untuk belajar khusus tentang kepemimpinan, teknik sipil, manajemen pemerintahan dan teknologi pemerintahan. Setelah itu barulah dia bisa terjun ke lapangan sebagai Bupati Jombang. Prinsip kepemimpinan yang diterapkannya di Jombang menggunakan corak “ludrukan”, yakni: “Yo Opo Apike, Yo Opo Enake, Yo Opo Benere”. Artinya: “Bagaimana baiknya, Bagaimana Enaknya, Bagaimana Benarnya (seharusnya)”.
Pada masa dia memimpin sebagai bupati, Jombang memperoleh keberhasilan sebagai penghasil besar tertinggi se Indonesia selama tiga tahun berturut-turut, yakni tahun 1986, tahun 1987, dan tahun 1988. Mendapatkan juara Nasional selama tiga tahun berturut-turut dalam penghasilan tebu dengan dijalankannya TRIS (Tebu Rakyat Intensifikasi), dan juara harapan tingkat nasinal di bidang kopi rakyat.
Salah satu cita-citanya yang belum terlaksana adalah mendirikan semacam “Laboratorium Hama” yang rencananya ditempatkan di Kecamatan Mojoagung. Ini untuk mengatasi hama kutu loncat yang kerap menyerang padi dan membuat para petani gagal panen. “Laboratorium Tanah” juga belum tercapai, di mana usaha ini ditujukan untuk penelitian kondisi tanah yang selalu mengalami perubahan di saat pengolahannya dan situasi cuaca yang bisa berubah sewaktu-waktu. Kebutuhan akan air di lahan pertanian di Jombang tidak sepenuhnya bergantung pada Sungai Brantas dan Sungai Konto. Penggunaan air dari Kali Brantas misalnya yang mengalir ke Jombang juga tergantung pada kondisi kebutuhan para petani di daerah Nganjuk dan Kediri. Karenanya, penggalian “sumur bor” di sekitar daerah pertanian dipilih para petani untuk mengaliri sawah-sawah mereka, tanpa mempertimbangkan dampaknya.
Baginya, Jombang merupakan daerah penyanggah utama yang memiliki posisi sentral di wilayah Jawa Timur. Wilayah tengah sebagi penyanggah (buffer) ini sejak zaman dahulu pada masa Kerajaan Majapahit yang menempatkan posisi Jombang sebagai gerbang kerajaan sebelah barat. Jarak tempuh ini disamakan dengan jarak tempuh “kuda”. Rata-rata kecepatan kuda yang dikendarai prajurit misalnya sebagai penyampai berita berkisaran antara kurang lebih 30 km. Jombang-Kediri memiliki jarak tempuh sekitar 30 km. Kediri-Blitar, kurang lebih 30 km. Jombang-Nganjuk memiliki jarak tempuh sekisar 35 km. Demikian juga di wilayah sekirasan itu. Ini memperkirakan kekuatan lari kuda yang per 30 km harus istirahat.
Gambaran demikian digunakan asumsi oleh Noeroel Koesmen untuk menempatkan dan menyebut Jombang sebagai daerah penyanggah kota atau daerah lainnya. Oleh karena itu sumber daya padi dan lebih spesifik penggalakan dunia pertanian menjadi acuan penting untuk memproyeksikan Jombang sebagai pusat lumbung padi dan lalu-lintas niaga lainnya. Sangat disayangkan jika saat itu daerah Jombang tidak termasuk daerah Gerbangkertosusila di mana beberapa wilayah lainnya seperti Mojokerto, Lamongan, atau Surabaya masuk dalam kategori ini. Padahal posisi strategisnya memungkinkan Jombang untuk itu. Maka dari itu, pengembangan Jombang sebagai basis penghasil padi harus menjadi perhatian yang tidak bisa disepelekan. Jombang memiliki hamparan tanah pertanian yang luas dan humusnya (kadar kesuburan) sangat tinggi dan bagus. Jalur transportasi musti dioptimalkan. Peningkatan pengetahuan akan dunia pertanian harus digalakkan. Mempertajam ancangan pembangunan untuk menempatkan Jombang sebagai pusat agribisnis dan oleh sebab itu perlu meningkatkan teknologi pertanian yang baik. Saat itu yang diupayakan Noeroel Koesmen adalah menjadikan Kecamatan Peterongan dan Mojoagung sebagai daerah industri agar dapat melayani daerah-daerah lain maupun luar kota.
Setelah Menjadi Bupati
[sunting | sunting sumber]Setelah tidak lagi menjadi bupati, Noeroel pernah menjadi anggota DPRD Jawa Timur periode 1992-1997. Ia lalu menetap di Surabaya
Referensi
[sunting | sunting sumber]Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Achmad Hudan Dardiri |
Bupati Jombang 1983–1988 |
Diteruskan oleh: Tarmin Hariadi |