Pamabakng

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pamabakng adalah suatu simbol yang biasa digunakan oleh masyarakat Dayak Kanayatn sebagai solusi penyelesaian atau pencegahan konflik. Adat ini merupakan pengakuan bersalah dari pihak pelaku karena telah membunuh atau menganiaya pihak lain. Pamabangk merupakan simbol kedaulatan hukum adat, menolak cara-cara (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum adat. Adat pamabakng merupakan sebuah proses pembentengan diri secara pribadi maupun komunitas dari hal-hal yang bersifat mengancam. Bagi orang Dayak, adat pamabakng sangat dihormati, sehingga sekuat apapun niat untuk melakukan tindakan anarkis, biasanya diurungkan apabila telah terpasang simbol pamabakng.[1]

Adat pamabakng dan Mangkok Merah saling berseberangan dan mengandung makna yang bertentangan. Namun, keduanya mempunyai keterikatan yang sangat erat.[2]

Definisi[sunting | sunting sumber]

Adat pamabakng adalah suatu simbol yang digunakan sebagai solusi penyelesaian atau pencegahan konflik serta untuk membentengi diri secara pribadi maupun komunitas. Makna adat pamabakng bagi pihak pelaku (yang melakukan pelanggaran terhadap hukum adat) sebagai pernyataan bersedia untuk menyelesaikan konflik atau masalah tersebut secara adat dan bertanggung jawab dengan apa yang telah dilakukannya. M. Ikot Rinding mendefinisikan Pamabakng sebagai:[1]

"Pamabangk adalah adat yang harus dikeluarkan walaupun tanpa dituntut. Apabila pada suatu kasus yang terjadi situasi keamanan sangat rawan, terutama pada kasus Parangk Bunuh, sebagai upaya pengamanan secara adat. Maknanya adalah bahwa pihak pelaku dalam kasus itu telah menyatakan bersedia untuk menyelesaikan secara adat dan kasus itu sudah berada atau ditangani oleh pengurus adat."

Adat pamabakng ada dua macam, yaitu adat pamabakng mati (dipasang apabila korbannya meninggal dunia) dan adat pamabakng hidup (dipasang apabila korbannya hanya luka parah, tidak sampai meninggal). Siapapun yang tidak taat dengan adat, yaitu bila tapayatn pamabangk sudah diletakkan, orang tersebut harus membayar adat yang sudah ditetapkan.[1]

Menurut Ahmad Rabi’ul Muzammil, ada dua dimensi adat pamabakng, yaitu:[1]

"Dimensi religio-magis dan dimensi sosial. Persepsi warga Dayak Kanayatn terhadap adat pamabakng adalah menerimanya sebagai suatu kemestian tanpa mempersoalkannya lagi, sedangkan warga Melayu, menerimanya dengan syarat. Sementara itu, warga Dayak mempersepsikan adat pamabakng sebagai simbol penyelesaian konflik (perdamaian); warga Melayu mempersepsikan bahwa “orang Dayak siap untuk berperang”. Persepsi kedua etnik terhadap adat pamabakng itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, sejarah asal usul yang sama, dan pengalaman dalam interaksi sosial. Adat pamabakng sangat efektif dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi pada intra-etnik Dayak Kanayatn. Simbol ini juga dapat digunakan sebagai solusi konflik antar-etnik di wilayah adat Dayak Kanayatn."

Ritual[sunting | sunting sumber]

Jika ahli waris korban sudah mengadakan ritual Mangkok Merah, pengurus adat (dalam hal ini temenggung dibantu oleh pasirah dan pangaraga) harus segera mengantisipasinya. Mereka harus segera memberi tahu sekaligus memerintahkan ahli waris pelaku, yang dibantu oleh masyarakat kampung, untuk memasang adat pamabakng.[2]

Makna paling penting dari adat pamabakng adalah:[1]

Jika pamabakng tidak dipasang, dapat diartikan:
  1. Pihak pelaku menentang pihak ahli waris korban untuk berkelahi atau perang antar kelompok ahli waris.
  2. Pihak pelaku tidak mau sama sekali membayar adat.
  3. Pengurus adat seolah-olah membiarkan dan malahan menghasut kedua belah pihak untuk saling menyerang.
Jika pamabakng sudah terpasang, dapat diartikan:
  1. Kasus tersebut sudah ditangan pengurus adat.
  2. Pihak pelaku sudah mengakui kesalahannya dan bersedia membayar hukuman adat

Perlengkapan[sunting | sunting sumber]

Perlengkapan simbol pamabangk terdiri atas:[1][2]

  1. Satu buah tempayan jampa (melambangkan tubuh korban jika terjadi pada kasus pembunuhan, dan sebagai tanda pengakuan adat bagi pelaku) diletakkan di atas jarungkakng bambu kuning ditutup pahar dengan posisi telungkup.
  2. Adat palantar ditaruh di atas talam lengkap dengan topokng atau tempat sirih (dipergunakan untuk menyapa bala atau orang yang datang) dan beras beserta alat-alat palantar lainnya lengkap dengan ayam satu ekor sedapatnya berwarna putih (simbol perdamaian).
  3. Papangokng (panggung kecil dari kayu) diletakkan dekan tempayan untuk meletakkan palantar.
  4. Bide (tikar) di sekitar pamabakng untuk tempat duduk dan bermusyawarah dengan bala yang akan datang.
  5. Baras banyu sebagai simbol pengampunan sekaligus untuk menenangkan hati yang sedang dilanda emosi.
  6. Sebuah bendera putih diletakkan di dekat tempayan jampa sebagai simbol perdamaian

Pelaksanaan[sunting | sunting sumber]

Sebelum pamabakng digunakan sebagai solusi konflik, terlebih dahulu dilakukan komunikasi antar budaya supaya tidak salah persepsi atau memiliki persepsi yang sama terhadap adat pamabakng. Pemasangan adat ini menunjukkan bahwa pelaku bersedia untuk membayar sanksi atau denda adat atas perbuatan yang dilakukannya.[1]

Pamabakng harus ditunggu oleh timanggong. Apabila timanggong berhalangan hadir, pamabakng ditunggu oleh pasirah atau tua-tua adat yang dianggap mengerti tentang adat serta bijaksana.[1] Biasanya, orang yang ditunjuk juga dipercaya memiliki ilmu dalam untuk menangani kasus, misalnya mantra yang disebut sanga bunuh, bungkam, kata gampang, pelembut hati, dan lain-lain. Ilmu tersebut dipercaya untuk memperkuat saran serta nasihat kepada pihak bala yang sedang emosi.[2]

Apabila keadaan yang sangat gawat dan rawan, pamabakng dapat dipasang lebih dari satu, yaitu dipersimpangan jalan masuk dan diujung pante (pelataran). Maksudnya adalah, apabila pamabakng yang satu tetap dilanggar, masih ada lagi pamabakng lain yang terakhir. Pamabakng yang terakhir ini merupakan pertahanan terakhir sehingga apabila pamabakng terakhir inipun dilanggar maka tidak ada alternatif lain selain harus mengadakan perlawanan, dan perang kelompok ahli warispun tidak dapat terelakan. Perbuatan ini dapat menyebabkan ririkngnya adat raga nyawa, artinya adat raga nyawa tidak dibayar. Namun, sepanjang sejarah, hal seperti ini tidak pernah terjadi.[1]

Pada saat bala tiba di tempat pamabakng, penunggu pamabakng segera menyapanya dengan topokng sekaligus mempersilakan duduk. Ia mulai membentangkan arti dan makna pamabakng bahwa pihak pelaku mengaku bersalah dan bersedia menyelesaikannya secara hukum adat. Biasanya setelah mendengar penjelasan itu, pihak bala melampiaskan emosi dengan menikamkan senjata ke tanah disertai tangisan karena kesal tidak mendapat perlawanan.[1]

Pamabakng tetap terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama selama 3 hari.[1]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k Alipius Sadaniang. 16 Maret 2012. Akses=4 April 2013. “Makna Pamabakng dalam Masyarakat Dayak Kanayatn”[pranala nonaktif permanen].
  2. ^ a b c d F. Bahaudin Kay. Akses=4 Mei 2013. Adat Mangkok Merah dan Pamabakng.