Pangeran Cokrokusumo (R. Abdurrasid)
Gaya atau nada penulisan artikel ini tidak mengikuti gaya dan nada penulisan ensiklopedis yang diberlakukan di Wikipedia. |
R. Abdurrasid alias Pangeran Cokrokusumo[1] adalah putra ke-25 dari Sultan Bangkalan II (Sultan Cokroadiningrat II / R. Abdul Kadirun) dengan Istri ke-V (Ratu Knoko). Pangeran Cokrokusumo dengan istri pertama Bok Hanafiah (Dorkas) yang merupakan keturunan R. Haryo Pecat Tondoterung – salah satu senapati Majapahit sekitar abad 16 dan menjadi bupati di kabupaten Terung (saat ini wilayah Krian, Sidoarjo), mempunyai putra dan putri antara lain:
- R. Muhammad Hanafiah
- R. Ngt. Kawistah Tabita
- R. Paing Karolus Wiryoguno
- R. Samodin Simson
- R. Ngt. Bainah Paulina
- R. Baren Eliso
Pangeran Cokrokusumo dilahirkan di Bangkalan dan dibesarkan dalam lingkungan Kesultanan. Setelah cukup dewasa, ia dididik ilmu keprajuritan dan ilmu tata negara sebagaimana layaknya para putera raja (Sultan) . Sesuai kebiasaan masyarakat pada saat itu, Pangeran Cokrokusumo juga mencari ilmu-ilmu kebatinan dan kanuragan. Berguru pada orang-orang ”pandai”, bertapa di gua-gua, di hutan-hutan dan di gunung adalah pekerjaannya sehari-hari. Hal ini untuk meningkatkan pertahanan diri dalam menghadapi ancaman, baik secara fisik maupun mistis yang saat itu masih sangat dipercayai. Lebih-lebih pada zaman itu sering terjadi pertikaian dan peperangan antar kelompok atau kerajaan akibat ulah pemerintah Belanda yang melakukan taktik ”adu domba”. Pangeran Cokrokusumo sendiri beranggapan bahwa memenuhi permintaan pemerintah Hindia Belanda ini sama dengan menciptakan penderitaan bagi sanak keluarganya. Akan tetapi ia sadar bahwa cepat atau lambat, dirinya akan menerima giliran memimpin barisan Madura untuk melawan sesama bangsa pribumi. Jika menolak tugas, berarti sama saja melawan pemerintah Hindia Belanda dan itu akan berakibat buruk baginya. Atas dasar itulah, akhirnya Pangeran Cokrokusumo memutuskan meninggalkan Bangkalan dengan membawa istri, anak-anak dan kerabat dekatnya. Selain menghindari tugas dari pemerintah Hindia Belanda tadi, Pangeran Cokrokusumo juga bercita-cita agar hari depan keluarga, anak-anak dan keturunannya bisa hidup damai dan sejahtera. Kejadian itu terjadi pada tahun 1835 dimana ia meninggalkan anak sulungnya: R. Muhammad Hanafiah gelar R. Ario Cokrokusumo di Bangkalan. Rombongan Pangeran Cokrokusumo menyeberangi selat Madura dan mendarat di pantai Gresik. Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah perguruan (Pesantren) Dosermo melalui Surabaya dan Wonokromo. Dalam perjalanan ini mereka berusaha menyembunyikan jati diri dengan mengubah nama dan identitas diri lainnya. Pangeran Cokrokusumo mengubah namanya menjadi “Kyai Mendhung”. Pangeran Cokrokusumo (Kyai Mendhung) meninggal pada tahun 1843, dimakamkan di Dusun kaliboto, Jati alun-alun, Prambon, Sidoarjo. Masyarakat setempat menyebut makam tersebut dengan sebutan makam “Mbah Demang”. Sampai saat ini makam tersebut dikeramatkan dan dirawat oleh penduduk desa karena ia dianggap sesepuh desa.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Sumber
[sunting | sunting sumber]- Sejarah Sultan R. Abdul Kadir Cakra Adiningrat II
- Madoera En Zijn Vorstenhuis
- Zainal Fattah, Sedjarah Tjaranja Pemerintahan Di Daerah-Daerah Di Kepulauan Madura Dengan Hubungannja
Referensi
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ R. Abdurrasid alias Pangeran Cokrokusumo adalah putra ke-25 dari Sultan Bangkalan II (Sultan Cokroadiningrat II / R. Abdul Kadirun) dengan Istri ke-V (Ratu Knoko)