Pekerjaan hijau

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pekerjaan hijau (bahasa Inggris: green job) adalah berbagai jenis pekerjaan yang mendukung pelestarian lingkungan. Organisasi Buruh Internasional menyebutkan pekerjaan hijau akan mendorong efisiensi bahan baku, energi terbarukan, pembatasan emisi gas rumah kaca, peminimalan sampah dan polusi, pelestarian ekosistem serta mendukung proses adaptasi terhadap perubahan iklim.[1]

Institute for Essential Services Reform (IESR) mendefinisikan pekerjaan hijau atau (bahasa Inggris: green jobs) sebagai mata pencarian yang mendukung pelestarian lingkungan. Bentuknya dapat berupa meminimalisasi sampah dan polusi, melestarikan ekosistem, mendukung proses adaptasi terhadap perubahan iklim, serta mendorong efisiensi bahan baku, energi terbarukan dan pembatasan emisi gas rumah kaca. Data yang diolah IESR dan dipublikasikan pada 1 Mei 2020 menyebutkan jumlah potensi serapan profesi hijau di bidang energi terbarukan pada 2030 diperkirakan mencapai 1,72 juta tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja ini berdasarkan penambahan kapasitas energi terbarukan sebear 69.652 megawatt.[2]

Tren Pekerjaan Hijau[sunting | sunting sumber]

Di Amerika Serikat, pertumbuhan pekerja kerah hijau tergolong stabil. Pada April 2019, Biro Statistik Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat merilis perkembangan jumlah sepuluh profesi pekerja kerah hijau dan besaran gaji tahunannya. Profesi teknisi kehutanan dan konservasi mengalami pertumbuhan pekerja yang lebih lambat dari yang ditargetkan dan profesi petugas kehutanan dan konservasi mengalami penurunan jumlah pekerja. Laporan tersebut juga menunjukkan delapan dari sepuluh profesi memiliki besaran rata-rata gaji tahunan melebihi rata-rata gaji tahunan semua pekerjaan lain pada tahun 2018.[3]

Research Fellow for Gender Generation and Climate Change University of Leeds, Desy Ayu Pirmasari berpendapat, green jobs tidak melulu harus datang dari sektor energi, kehutanan dan bidang lainnya yang berhubungan langsung dengan alam. Banyak peluang green jobs bisa diciptakan di luar sektor itu. Misalnya, pekerjaan pengadaan barang yang selalu ada di perusahaan. Bidang pekerjaan ini bisa menjadi green jobs jika memakai cara-cara pengadaan barang yang ramah lingkungan, seperti pengurangan ataupun peniadaan pemakaian kertas. Contoh lain adalah pekerjaan ahli hukum dan pengacara. Bidang pekerjaan ini bisa dikatakan green jobs jika pekerjanya membantu warga marjinal yang terdampak perubahan iklim. Hal ini umumnya banyak terjadi di negara berkembang. Menurut Desy, green jobs semestinya bisa melimpah jika kebijakan transisi energi dijalankan pemerintah dan pebisnis/pelaku industri secara serius.[4]

Potensi Mahasiswa Di Pekerjaan Hijau[sunting | sunting sumber]

Menurut CEO Ailesh Power, Fano Alfian Ardyansyah, mahasiswa yang saat ini masih duduk di bangku kuliah dapat memanfaatkan peluang membangun usaha rintisan di bidang energi terbarukan. Ailesh Power merupakan usaha rintisan energi terbarukan yang memanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan (agricultural waste) di area sekitar pembangkit listrik. Ada limbah jagung, padi, kelapa sawit, hingga karet. Limbah ini diolah menjadi biogas. Begitupun dengan usaha rintisan Biops Agrotekno yang dipengaruhi oleh kuliah yang diambil selama menjadi mahasiswa. Business Director Biops Agrotekno Dally Chaerul Shaffar mengatakan, usaha rintisannya memadukan keilmuan teknologi informasi dan hayati beserta mekanisasi dalam sistem irigasi tetes terintegrasi. Dia menambahkan, kolaborasi anak muda yang memiliki ilmu sosial, keuangan, dan ekonomi juga penting.[2]

Pekerjaan Hijau di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Tahun 2018 lalu, para menteri ketenagakerjaan di negara-negara ASEAN serta Jepang, Korea dan Republik Rakyat Tiongkok sepakat untuk mengampanyekan pekerjaan hijau. Kesepakatan tersebut disimpulkan dalam ASEAN Labour Ministers Meeting (ALMM) ke-25 di Malaysia. Menurut Menteri Ketenagakerjaan (2014-2019), Hanif Dhakiri, pemerintah Indonesia telah mengupayakan berbagai cara untuk mendukung pekerjaan hijau. Salah satunya, meningkatkan pelatihan vokasi seputar keahlian hijau, produktivitas hijau, keselamatan dan kesehatan kerja. Upaya lain termasuk akuntansi hijau dengan melibatkan perguruan tinggi.[5]

Pekerjaan hijau akan makin berkembang dengan adanya investasi hijau. Sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang luas, Indonesia memiliki peluang investasi hijau yang besar. Investasi hijau di Indonesia dari penanaman modal asing diprediksi mencapai $56 miliar dan Rp448 triliun dari penanaman modal dalam negeri pada tahun 2019. Angka ini meningkat dibanding kurun waktu 2010-2014 yang mencapai total Rp486 triliun. Untuk mendongkrak angka investasi hijau, pemerintah terus berupaya mengajak para investor di bidang lingkungan.[6]

Soal jumlah lapangan pekerjaan hijau, Organisasi Buruh Internasional mencatat terdapat lebih dari 5,8 juta pekerjaan di sektor energi terbarukan. Data ini dirilis pada tahun 2018 dan mencakup negara-negara di kawasan Asia Pasifik.[7]

Post-Doctoral Researcher Helmholtz-Zentrum Berlin, Jerman, Noor Titan Putri, berpendapat, penerapan energi terbarukan secara optimal mampu membuka lapangan green jobs yang luas asalkan industri pendukungnya dibangun.

Studi berjudul "Deep Decarbonization of Indonesia's Energy System: A Pathway to Zero Emissions by 2050", yang dikerjakan oleh IESR dengan Agore Energiewende dan Lappenranta University of Technology (Mei 2021), memprediksi akan ada 3,2 juta lapangan kerja baru pada 2050 jika Indonesia berhasil bertransisi 100 persen ke energi terbarukan. Sekitar 65 persen dari 3,2 juta lapangan kerja baru itu berasal dari sektor PLTS.[4]

Kebijakan Pemerintah Indonesia[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kebutuhan pendanaan ideal untuk pembangunan rendah karbon di Indonesia Rp. 306 triliun per tahun. Saat ini pemerintah menganggarkan Rp. 23 triliun-Rp. 34 triliun per tahun. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, ada lima kegiatan prioritas dalam pembangunan rendah karbon. Kelima kegiatan itu adalah pembangunan energi berkelanjutan, pemulihan lahan berkelanjutan, penanganan limbah, pengembangan industri hijau, serta rendah karbon pesisir dan laut. Diproyeksikan ada penyerapan 4,4 juta lapangan pekerjaan "hijau" dalam pembangunan rendah karbon di Indonesia. Dari kelima kegiatan prioritas itu, apabila dilaksanakan, potensi kontribusi terhadap perekonomian nasional di 2030 akan mencapai hampir Rp. 600 triliun.[8]

Dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menargetkan kapasitas terpasangan PLTS pada 2025 sebear 6.500 MW. Sampai dengan 2019, kapasitas terpasang PLTS, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), baru 231,9 MW. Proyek hijau itu, selain menyediakan lapangan kerja baru dan mengurangi subsidi, juga dapat mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan pada 2025.

Direktur Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Mahatmi Parwitasari pada Agustus 2023 mengatakan, pihaknya sedang menyusun Peta Jalan Pengembangan Lapangan Kerja Hijau. Tiga faktor melatarbelakangi penyusunan peta jalan ini. Pertama adalah ekonomi hijau yang menjadi salah satu komponen pengungkit transformasi ekonomi sehingga diperkirakan lapangan kerja hijau akan meningkat. Kedua, lapangan kerja hijau selama ini masih belum banyak diterjemahkan ke dalam kebijakan. Adapun faktor ketiga yang mendorong penyusunan peta jalan adalah seluruh pemangku kepentingan, termasuk kementerian/lembaga, harus berjalan sinergis untuk menciptakan sumber daya manusia yang kompeten mengisi lapangan kerja hijau tersebut.[9]

Tantangan[sunting | sunting sumber]

Pandemi Covid-19 menyebabkan harga komoditas minyak dan batubara dunia jatuh. Padahal, pemanfaatan energi terbarukan selalu dikompetisikan dengan harga energi fosil. Dampaknya jelas, harga energi fosil yang murah membuat publik meminggirkan energi terbarukan. Politik anggaran di Indonesia mendukung pemberian subsidi bagi energi fosil. Begitu pula tarif listrik yang disubsidi untuk kelompok pelanggan tidak mampu. Di Indonesia, 60 persen listrik diperoleh dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang membakar batubara.[8]

Survei LinkedIn[sunting | sunting sumber]

LinkedIn melalui laporan risetnya yang bertajuk "Global Green Skills Report 2023" menyebutkan, sejak Maret 2020, pekerja dengan keterampilan hijau telah dipekerjakan untuk pekerjaan baru di tingkat yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki keterampilan hijau di setiap negara yang diteliti. Kemudian, diantara 2018 dan 2023, talent yang memiliki green skills tumbuh 5,4 persen per tahun dan pekerjaan yang membutuhkan setidaknya satu green skills tumbuh 9,2 persen per tahun. Di negara-negara Eropa Seperti Islandia, Denmark, Prancis, dan Spanyol, lebih dari 2 persen anggota LinkedIn di sana bekerja di energi terbarukan dan sekitar 1 persen atau kurang bekerja di industri terkait bahan bakar fosil. Di Arab Saudi dan Indonesia, sebaliknya, lebih dari 5 persen anggota LinkedIn bekerja di industri terkait bahan bakar fosil dan kurang dari 1 persen bekerja di energi terbarukan.[9]

Dari sisi perekrutan di Indonesia, LinkedIn dalam laporan yang sama mencontohkan kondisi pekerjaan analis energi, agronomi, dan manajer berkelanjutan pada tahun 2022. Peresentase perekrutan analis energi tanpa pengalaman hijau mencapai 40 persen pada 2022 atau tumbuh 24,6 persen dibandingkan 2021. Kemudian, persentase perekrutan agronomi tanpa pengalaman hijau mencapai 35,1 persen atau tumbuh 37,3 persen secara tahunan. Adapun persentase perekrutan manajer berkelanjutan mencapai 21,6 persen atau tumbuh 19 persen dibandingkan 2021.

Survei JobStreet[sunting | sunting sumber]

Menurut Country Marketing Manager JobStreet by Seek untuk Indonesia Sawitri Hertoto, saat ini terdapat lebih dari 3.500 lowongan pekerjaan bidang lingkungan. Hanya 1 persen di antaranya menyebutkan adanya kebutuhan pekerjaan untuk industri berkelanjutan. Ia mengatakan, realitas ini mengindikasikan bahwa green jobs sudah berkembang, tetapi belum diimbangi dengan permintaan green skills secara khusus. Dia menambahkan, di Indonesia, tren green skills dan green jobs berjalan mirip dengan tren global. Dengan meningkatnya kesadaran tentang perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan ekonomi berkelanjutan, perusahaan-perusahaan membutuhkan karyawan yang memiliki pemahaman tentang praktik industri berkelanjutan.[9]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "What is a green job ?" (dalam bahasa Inggris). 2019-12-12. 
  2. ^ a b J, M. Paschalia Judith (2020-09-07). "Mahasiswa dan Rajutan "Kerah Hijau" di Sektor Energi". kompas.id. Diakses tanggal 2023-09-16. 
  3. ^ Torpey, Elka. "Earning green by working green: Wages and outlook in careers protecting the planet : Career Outlook: U.S. Bureau of Labor Statistics". www.bls.gov (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-12-10. 
  4. ^ a b Mediana (2021-11-06). "Penciptaan "Green Jobs" Mesti Dimaksimalkan". kompas.id. Diakses tanggal 2023-09-16. 
  5. ^ Kemnaker. "Menteri Ketenagakerjaan ASEAN+3 Sepakat Perkuat 'Green Jobs'". CNN Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-12-10. 
  6. ^ Indonesia.go.id, Redaksi. "Peluang Investasi Ramah Lingkungan". Indonesia.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-12-10. 
  7. ^ Green jobs, the key to sustainable development, diakses tanggal 2019-12-10 
  8. ^ a b PRASETYO, ARIS (2020-12-24). "Saatnya Pulih dengan Energi Bersih". kompas.id. Diakses tanggal 2023-09-16. 
  9. ^ a b c MEDIANA (2023-08-26). "Tenaga Kerja Transisi Energi di Indonesia Menantang". kompas.id. Diakses tanggal 2023-09-16.