Pelacuran di Malaysia
Pelacuran di Malaysia merupakan kegiatan yang dibatasi[1][2][3] di seluruh negara bagian walaupun kegiatan ini tersebar luas di seluruh negeri.[4] Kegiatan terkait seperti menjual diri dan rumah bordil merupakan hal yang ilegal[1][2]. Negara Bagian Terengganu dan Kelantan, jika seseorang yang beragama Islam dinyatakan melakukan kegiatan pelacuran mereka dihukum dengan pencambukan di muka umum.[5]
Diperkirakan terhadap 150.000 pekerja seks di Malaysia pada tahun 2014 dan industri seks di Malaysia menghasilkan pendapatan sejumlah US$963 juta.[6]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Selama 200 tahun, kecuali pada saat masa perang, pelacuran di Malaysia hanya muncul di area terbatas di Georgetown, Ipoh, Johor Bahru, Kuantan, dan Kuala Lumpur untuk melayani kebutuhan dari penebang pohon, penambang timah, dan pelaut.[7]
Pada masa Pendudukan Jepang di Malaya, Borneo Utara, dan Sarawak pada Perang Dunia II, Jepang mendirikan sejumlah rumah bordil untuk tentara mereka agar "mencegah tindakan pemerkosaan terhadap wanita lokal oleh tentara Jepang, dan untuk membatasi pelawaran anti-Jepang di daerah yang dikuasai, dan untuk melindungi tentara dari penyakit menular seksual dan menghindari aib internasional". Terdapat banyak wanita lokal yang berusia 17 sampai dengan 28 tahun yang dipaksa untuk bekerja di rumah bordil, pekerja tersebut memiliki julukan yang diperhalus sebagai Ianfu.[8]
Dimulai pada akhir abad ke-20, kegiatan pelacuran telah menyebar ke seluruh Malaysia, terutama dalam bentuk panti pijat[7] dan "pusat kesehatan".[9]
Pekerja Seks Asing di Malaysia
[sunting | sunting sumber]Pada awalnya pekerja seks di Malaysia merupakan penduduk lokal, tetapi terdapat arus pekerja seks asing pada 10 tahun belakang ini. Pekerja seks berasal dari Republik Rakyat Tiongkok, Myanmar, Vietnam, Thailand, Laos, dan Kamboja yang jumlahnya melebihi pekerja seks lokal.[7]
Pada 2012, divisi Anti-Kejahatan, Perjudian, dan Kelompok Rahasia dari kepolisian Malaysia menangkap 12.234 pekerja seks di seluruh negeri, dimana 9.830-nya merupakan warga negara asing, termasuk 5.165 pekerja seks dari Tiongkok, 2.009 dari Thailand, dan 1.418 dari Indonesia.[6]
Situasi Hukum
[sunting | sunting sumber]Malaysia tidak memiliki hukum federal yang melarang pelacuran tetapi terdapat peraturan yang melarang aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan pelacuran. Pasal 372 Undang-Undang Hukum Pidana menghukum prakit penjualan diri dimanapun dan hidup dari penghasilan sebagai pekerja seks[1], hukum ini kemudian juga berlaku kepada orang yang mengoperasikan rumah bordil[3].
Undang-Undang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Tahun 1988 menambahkan hukuman kepada orang yang mengekspos orang lain kepada risiko tertular HIV[1].
Peraturan kesehatan lokal mencegah usaha kesehatan dan kecantikan (termasuk panti pijat) untuk mempekerjakan pekerja seks sebagai pegawai[1].
Berbagai peraturan dan undang-undang untuk mencegah gelandangan juga digunakan untuk pekerja seks[1].
Kelantan
[sunting | sunting sumber]Undang-Undang Pelanggaran Hukum Syariah, yang memberlakukan hukum Syariat Islam di Kelantan[1][5]. Hukum syariah mengizinkan dendan dan pencambukan di muka umum untuk "pekerja seks"[1]. Membeli jasa seks juga dilarang[1]. Walaupun begitu, Wakil Perdana Menteri Ahmad Zahid Hamidi menyatakan hukuman ini hanya berlaku kepada masyarakat yang beragam Islam[5].
Kuala Lumpur
[sunting | sunting sumber]Kuala Lumpur memiliki beberapa distrik lampu merah dimana pekerja seks jalanan, panti pijat dan rumah bordil dapat ditemukan.[7]
Sedangkan untuk pasar pelacuran untuk kalangan menengah bisa ditemukan di Bukit Bintang. Sedangkan untuk kalangan lebih rendah bisa ditemukan di distrik lampu merah yang terletak di Lorong Haji Taib dimana pekerja seks asal India, Tiongkok, dan pekerja seks lokal beroperasi. Sedangkan untuk pekerja seks transgender bisa ditemukan di Chow Kit pada malam hari.[7]
Jalan Alor, Jalan Hicks, dan Jalan Thamibipilly di area Brickfields merupakan distrik lampu merah. Pekerja seks jalanan bisa ditemukan beroperasi di sekitar Jalan Petaling[7]
Di Lembah Kelang, pekerja asal Tiongkok, Vietnam, Thailand, dan Kamboja bekerja sebagai Pramusaji di karaoke dan bar Jepang. Setelah dibelikan beberapa gelas minuman, mereka akan memulai bernegosiasi untuk layanan seks. Pekerja asal Indonesia bekerja sebagai penari/pekerja seks di bar dangdut. Pekerja seks asal Afrika mencoba mencari pelanggan di luar klub malam di Bukit Bintang, Jalan Sultan Ismail, dan Jalan Imbi. Terdapat pula sejumlah escort agencies.
Pada 2012 sejumlah pujasera di distrik Pudu, Kuala Lumpur mendapatkan reputasi sebagai lokasi dimana pekerja seks asal Tiongkok beroperasi.[10]
Perdagangan Seks
[sunting | sunting sumber]Permintaan terhadap kegiatan pelacuran menimbulkan masalah perdagangan manusia yang ditujukan untuk digunakan sebagai pekerja seks secara paksa[11] yang berasal dari Tiongkok[12][13] dan Vietnam[14][15][16] bahkan sampai dari Uganda.[17] Penelitian pada 2009 oleh gereja memperkirakan terdapat 30.000 sampai dengan 32.000 korban dari perdagangan manusia di Sabah.[18] Korban ditahan tanpa akses ke layanan hukum, kesehatan, dan sosial di "tempat perlindungan", mereka akan dideportasi setelah 90 hari tinggal di tempat tersebut[1].
Perdagangan dan pelacuran anak juga menjadi masalah.[18]
Kantor untuk Urusan Pengawasan dan Pencegahan Perdagangan Manusia Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menempatkan Malaysia di "tingkat 2" dalam Laporan Perdagangan Manusia.[19]
Pekerja Seks Malaysia di Luar Negeri
[sunting | sunting sumber]Pada 2004, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat melaporkan bahwa wanita dan gadis asal Malaysia diperdagangkan untuk tujuan seksual, kebanyakan dijual ke Singapura, Makau, Hong Kong, dn Taiwan, tetapi juga ke Jepang, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat.[20]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j "Sex Work Law". Sexuality, Poverty and Law Programme. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-29. Diakses tanggal 21 November 2017.
- ^ a b "The Legal Status of Prostitution by Country". ChartsBin. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-31. Diakses tanggal 19 December 2014.
- ^ a b "100 Countries and Their Prostitution Policies". ProCon. 18 May 2016. Diakses tanggal 28 November 2017.
- ^ Sheith Khidhir Bin Abu Bakar (22 July 2017). "Prostitution a big problem in Malaysia, says ex-hotel security head". FMT News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-11. Diakses tanggal 28 November 2017.
- ^ a b c Worley, Will (13 July 2017). "Malaysian state introduces public canings for those who break Sharia law". The Independent. Diakses tanggal 28 November 2017.
- ^ a b "Prostitution In Malaysia: A Taboo Subject That Is Surprisingly Big Business". Malaysian Digest. 10 October 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-29. Diakses tanggal 28 November 2017.
- ^ a b c d e f Hunter, Murray (28 July 2015). "Why Kuala Lumpur could be on its way to becoming the sex capital of Asia". Asian Correspondent. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-01. Diakses tanggal 28 November 2017.
- ^ "Researcher details shattered lives of local comfort women". Malaysiakini. 11 Aug 2001. Diakses tanggal 28 November 2017.
- ^ Eliot, Joshua (2002). Malaysia Handbook: The Travel Guide. Footprint Travel Guides. hlm. 165. ISBN 1903471273.
- ^ Yip Yoke Teng; Vincent Tan (20 February 2012). "The spirit and flesh are willing". The Star. Malaysia.
- ^ "Human Rights in Malaysia". US Department of State. Diakses tanggal 28 April 2008.
- ^ "Girls from China tricked into forced prostitution in M'sia: MCA". Daily Express. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 February 2012. Diakses tanggal 11 April 2012.
- ^ "Malaysia just like home for prostitutes from China". Borneo Post. Diakses tanggal 11 April 2012.
- ^ "Vietnamese women top list of foreign prostitutes in Malaysia ABN News | Eng". News.abnxcess.com. 17 July 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 November 2014. Diakses tanggal 19 April 2014.
- ^ "Vietnamese Prostitutes Dominate Flesh Trade In Malaysia". Bernama. 16 July 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-14. Diakses tanggal 19 April 2014.
- ^ Nguyen, Hung (6 September 2012). "Vietnamese migrant women treated like slaves in Malaysia". AsiaNews. Hanoi.
- ^ "Ugandan women trapped in Malaysia by prostitution rings: report". Star. Toronto. 20 February 2012. Diakses tanggal 11 April 2012.
- ^ a b "Sex Trafficking of Children in Malaysia" (PDF). ECPAT. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-12-01. Diakses tanggal 28 November 2017.
- ^ "Malaysia 2018 Trafficking in Persons Report". U.S. Department of State. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 July 2018. Diakses tanggal 26 July 2018.
- ^ "U.S. Department of State Country Report on Human Rights Practices 2004 - Malaysia". UNHCR. United States Department of State.