Pembicaraan Portal:Biografi/Kepentingan Gelar Haji dicantumkan pada artikel biografi

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kepentingan Gelar Haji dicantumkan pada artikel biografi[sunting sumber]

Saya ingin bertanya apakah perlu gelar haji dicantumkan di artikel biografi atau tidak seperti artikel Joko Widodo dan Epyardi Asda \

Agus Damanik (bicara) 26 September 2021 04.55 (UTC)[balas]

Kalau menurut saya sih tidak masalah. Acara-acara kenegaraan, pemerintahan, kepolisian, hingga perangkat desa, gelar di depan nama kerap dibacakan, baik gelar ilmiah seperti Profesor, maupun gelar keagaaman, seperti Haji, Pendeta, dll, dan itu sangat lumrah di Indonesia. Jadi artikel biografi di WBI adalah biografi versi Indonesia, jadi bisa saja berbeda dengan Wikipedia English, dan itu tidak apa-apa. Itu sih menurut saya. Herryz (bicara) 26 September 2021 09.17 (UTC)[balas]
Kalau ini kasusnya sama dengan imbuhan kehormatan lainnya seperti pangkat (mayjen, letjen, brigjen) dan gelar kebangsawanan (Raden, Tubagus, Andi). Yang mana harusnya semacam ini tidak dihapus. Mengingat bahwa terkadang gelar-gelar seperti ini bisa jadi bagian integral dari nama seseorang (cth. Raden Saleh, Haji Samanhudi, dsb). --Jeromi Mikhael (bicara) 26 September 2021 11.55 (UTC)[balas]
Mungkin maksud Agus mempertanyakan itu karna gelar Haji atau Hajjah tidak sama dengan gelar akademik, seperti Profesor, Mayor Jendral, Dokter, dll. Secara umumnya, Haji adalah gelar yang bisa didapatkan oleh semua umat Muslim, dan berbeda dengan gelar Mayor Jendral, Dokter, dll, yang adalah gelar resmi dan untuk mendapatkkannya harus melalui jenjang kepangkatan atau pendidikan tertentu yang pengangkatannya pun umumnya dilakukan secara resmi. Jadi menurut saya, tidak masalah gelar Haji itu disematkan, selama ada bukti kuat bahwa yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya sebagai Muslim untuk mendapat gelar Haji tersebut. Herryz (bicara) 26 September 2021 12.18 (UTC)[balas]
@Herryz: Gelar haji harus didapatkan melalui sejumlah prosedur. Punya uang yang cukup untuk pergi naik haji, masuk kuota pemerintah, dsb dsb. Sebaliknya juga dengan jenderal. Pangkat jenderal juga dapat diperoleh secara tituler alias diberi cuma cuma oleh pemerintah. Tidak harus selalu melalui pendidikan atau jenjang kepangkatan. Dan kalau masalah bukti, ya selama ada sumber terpercaya mencantumkan gelar itu di depannya ya silahkan dipakai. --Jeromi Mikhael (bicara) 26 September 2021 17.32 (UTC)[balas]
Baik-baik dipahami. Artinya perlu untuk disematkan ya sebagai bentuk keunikan dari artikel WBI. Sampai saat ini banyak yang setuju, saya menunggu jawaban yang lain. Agus Damanik (bicara) 26 September 2021 18.19 (UTC)[balas]
Tetapi sebelum dilanjutkan, perlu diketahui, apa yang menjadi alasan bung Agus mempertanyakan hal tersebut? Supaya maksud dan penyampaian saran bisa terkoneksi. Terima kasih Herryz (bicara) 27 September 2021 06.06 (UTC)[balas]
Maksud saya pada awalnya adalah mengacu pada artikel wikipedia bahasa Inggris yang tidak memasukkan gelar haji pada nama-nama biografi tokoh yang telah melakukan haji sebagai contoh pada artikel Aamir khan. Tapi bila melihat dari segi kultural hal ini menjadi keunikan WBI, maka saya akan mengikuti keputusan forum Agus Damanik (bicara) 27 September 2021 08.09 (UTC)[balas]
Rata-rata artikel yang memasukkan gelar haji di badan artikel adalah tokoh yang sudah biasa disematkan gelar haji, jauh sebelum masuk ke Wikipedia. Ezagren (메시지를 보내) 28 September 2021 09.03 (UTC)[balas]
Saya rasa alasan kenapa Wikipedia bahasa Inggris tidak memasukkan gelar haji karena gelar tersebut hanya ada di Indonesia. Setahu saya tidak ada gelar haji atau gelar serupa lainnya di negara lain. Ini karena gelar haji pertama kali dipelopori oleh pemerintah Hindia Belanda.[1] Saya sendiri tidak masalah jika gelar haji dihapus dari artikel biografi, yang saya takutkan adalah hal ini akan menimbulkan masalah di kemudian hari bagi Wikipedia bahasa Indonesia dan kontributor terkait. NawanP 11 Oktober 2021 15.51 (UTC)[balas]
Sepertinya salah. Gelar haji ini banyak dipakai di negara lain. Bahkan orang Bulgaria Kristen pakai gelar haji bagi mereka yang sudah berziarah ke Yerusalem. lih: Hadzhi Dimitar: When he was two years old, his family went on a pilgrimage to Jerusalem, from which point onward, Dimitar was considered to be a hajji (хаджия). --Jeromi Mikhael (bicara) 6 November 2021 06.57 (UTC)[balas]
Kurang tepat. Meski gelar itu benar-benar politis dan dapat digunakan untuk kegiatan politik, pernyataan "dipelopori oleh HB" itu kurang tepat. Haji yang kita bicarakan di sini sebenarnya adalah salah satu bentuk honorifik, salah satu fenomena linguistik, yang tentu memiliki konteks yang kaya. Menilik bukti seperti Jeromi Mikhael semakin memperkuat "haji" di sini bentuk honorifik, bukan gelar naif. Creutzen (bicara) 25 Desember 2021 08.31 (UTC)[balas]
Saya sepakat. Sepaham saya, gelar haji memang disematkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di masa lampau, yang kemudian menjadi semacam kebudayaan dan kebiasaan sampai hari ini. Jika memang di kemudian hari tidak terdapat permasalahan ketika gelar haji dihapuskan, ya monggo saja. Terkadang, aspek budaya juga perlu diperhatikan mengingat Indonesia yang amat beragam budayanya dan semoga tidak memunculkan potensi keributan yang tidak perlu di masa depan. Terima kasih. Henky Yoga (bicara) 24 November 2021 10.31 (UTC)[balas]
Tidak setuju. RXerself (bicara) 7 Oktober 2021 23.54 (UTC)[balas]
Setuju. Sebenar nya gelar Hajj atau Haji, juga bukan gelar resmi yang terverifikasi. Hanya harapan dan praduga manusia saja yang bersangkutan seseorang sudah mencapai maqom Haji. Secara ritual dan fisik, adalah benar seseorang sudah berangkat dan menjalankan ritual haji. Tetapi tidak ada seorang pun yang tahu bahwa itu sudah mabrur / diterima. Tak ada ujian atau norma standar untuk mengukur dan memverifikasinya. Sehingga terlalu berlebihan jika gelar haji disematkan selalu bersama nama.
Malu sama Allaah, apalagi ternyata tidak ada cerminan perilaku tawadhu dari orang yang diberi gelar Haji. Malu juga sama manusia. Biarlah itu urusan batin.
Sematkan gelar hanya untuk status akademik, Strata Sosial lainnya. Akan lebih baik hanya nama saja. demikian. Terimakasih WP+Rizvi-Kaluni (bicara) 11 November 2021 02.03 (UTC)[balas]
Saya setuju pendapat beliau ini, hal seperti ini bisa dibilang sangat lumrah oleh masyarakat indonesia. jadi saya rasa hal tersebut boleh-boleh saja. Supriadibinarif (bicara) 2 Januari 2022 11.09 (UTC)[balas]
Perlu. Sepakat dengan pendapat Jeromi Mikhael, terkadang gelar-gelar ini menjadi bagian integral dari nama seseorang. Sebagai contoh, huruf "H" dari Hamka itu gelar haji (nama aslinya Abdul Malik Karim Amrullah). Rtnf (bicara) 27 September 2021 06.16 (UTC)[balas]
kalau ini setuju juga, karena lebih dikenal sebagai HAMKA. bukan Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Haji nya tidk disebutkan. tapi menjadi bagian dari akronim atau singkatan. WP+Rizvi-Kaluni (bicara) 11 November 2021 02.05 (UTC)[balas]
  • Saya pikir gelar haji dapat disematkan pada kotak info jika memang kehajian seseorang itu menjadi bagian yang integral dari figur publiknya (misalnya, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dan Haji M. Soeharto) dan memang ada sumber tepercaya yang membuktikannya (misalnya, liputan bahwa beliau pergi haji, atau wafat ketika sedang menunaikan haji seperti Sutomo). Lain dari pada itu saya rasa tidak penting untuk dicantumkan. Perlu dicatat juga penggunaan gelar haji yang sudah melekat pada nama populer seseorang (Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik tidak mungkin diubah jadi Miskin, Piobang, dan Sumanik) serta haji sebagai nama seseorang (El Hadji Diouf). Salam, dwadieff 27 September 2021 08.15 (UTC)[balas]
Haji adalah merupakan bagian daripada Ibadah yang diwajibkan bagi setiap muslim dan muslimah yang mampu atau memenuhi syarat, jika kita melihat bahwa haji sama saja dengan sholat dalam posisinya sebagai kewajiban bagi muslim yang memenuhi syarat walau syarat wajibnya haji dan sholat berbeda, tapi yang ingin saya tekankan di sini bahwa kedua duanya merupakan ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim untuk menunjukkan ketaatannya kepada Tuhannya, yang menjadi pertanyaan saya kenama seorang Musyolli ( Pelaku Sholat ) tidak mencantumkan gelar Musyolli di depan namanya ? apakah karena Sholat tidak harus orang kaya yang dapat melakukannya sehingga bukan merupakan kebanggaan tersendiri yang layak untuk dia cantumkan di depan namanya ? jika begitu jadi perlu dipertanyakan apa sih tujuannya mencantumkan Gelar Haji ini ? kalau tujuannya untuk menjadikan orang lain mencontohnya melakukan ibadah lantas mengapa dia enggan mencantumkan gelar Musholli ? dari sini saya berfikir jangan-jangan mencantumkan gelar haji hanya akan menimbulkan ria' ( ingin dipuji dan kebanggaan duniawi semata ), bukan berburuk sangka tapi seperti yang saya jelaskan diatas tadi, mengapa cuma ibadah haji saja yang dia banggakan dan dijadikan gelar ? kenapa tidak ibadah yang lain jika tujuannya untuk menjadikanya contoh yang baik?
Jadi kesimpulan saya, sebaiknya tidak mencantumkannya, karena ibadah yang ikhlas hanyalah urusan hamba dan Tuhannya. Prabu Wira Raja (bicara) 13 Oktober 2021 09.54 (UTC)[balas]
Saya setuju apabila gelar Haji itu memang sudah bagian yang dikenal orang dari namanya, seperti Haji Saidi, Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik, sebagaimana @David Wadie Fisher-Freberg bilang di atas. Kalau memang bukan gelar yang dikenal secara populer, maka mungkin bisa dimasukkan ke penulisan nama di artikel, tetapi bukan sebagai judul (persis kita memperlakukan gelar ksatria Inggris, misalnya). — ѯн00бит / bicara // 22 Oktober 2021 07.21 (UTC)[balas]
Karena Haji/Hajjah itu gelar kultural di Indonesia, tidak masalah disematkan ke orang yang pulang lepas berhaji. Saya kontra dengan pendapat para salafi soal sindiran mereka tentang Haji Muhammad, Haji Abu Bakar, dsb. itu karena tempat tinggalnya dekat dengan Mekah. Lah Indonesia jauh sekali dari sana. Hanya orang tertentu yang bisa berhaji karena butuh biaya yang besar untuk naik kapal laut sampai ia sekarang bisa terbang. Terlebih gelar itu sudah jadi penanda kalau seseorang di Indonesia pernah berhaji. Soal dia riya karena dapat gelar haji itu dia tanggung sendiri dosanya. Soal mabrur tidaknya itu urusan Allah. Kita yang belum berhaji tidak usah memandang mereka sebagai figur teladan/contoh/panutan. Cukup memandangnya sebagai orang yang sudah mampu menunaikan ibadah haji. LWMYREN (bicara) 17 Desember 2021 23.14 (UTC)[balas]
Tidak setuju. Sepanjang diskusi yang saya baca di halaman ini kelihatannya belum kentara batas antara gelar honorifik/dekoratif dan gelar "naif" seperti gelar akademis atau pangkat militer. Gelar honorifik/dekoratif seperti haji tampak pula pada gelar kehormatan yang akademikus miliki seperti honoris causa atau cum laude (cf. gelar akademikus institusional seperti gelar magister atau sarjana). Jika pun mereka sepadan, pantaskah gelar dekoratif dicantumkan? Apa batas bawahnya? Apakah gelar naif yang politis yang dianugerahkan kepada tokoh masyarakat seperti gelar "Dr. (H.C.)" Sukarno dari 26 tempatnya dapat dicantumkan?
Demarkasi ini penting mengingat ada dua entitas yang berbeda tersebut. Hal ini perlu dipoles sehingga tidak ada kebingungan di waktu mendatang. Tentu hal ini terlepas sikofansi yang mengitari kebiasaan orang untuk menyebut orang dengan gelar di luar konteks yang dinilai perlu. Creutzen (bicara) 25 Desember 2021 09.16 (UTC)[balas]
Setuju. Di WBI kalau memang ingin mencantumkan gelar, kita tentukan batas bawahnya gelar apa. Contoh doktor HC-nya Soekarno yang berjumlah 26 buah apa ingin kita cantumkan, bagaimana dengan gelar lainnya yang juga bersifat kultural. Gelar almarhum misalnya, atau gelar raja-raja/bangsawan yang panjang seperti gelar Sultan Hamengkubuwana X dengan 196 karakter, 26 kata. Saat ini, gelar tersebut biasanya tercantum di artikel dengan tersirat (tokoh sudah meninggal berarti sudah almarhum), atau dalam paragraf dan dijelaskan beserta konteks (seperti pada artikel Hamengkubuwana X). Saya kira gelar-gelar lain pun dapat dicantumkan seperti ini. RXerself (bicara) 27 Desember 2021 07.50 (UTC)[balas]

Gelar haji tetap dipertahankan selama tidak masuk ke judul utama dan hanya di kotak biografi, misal Joko Widodo, bukan Ir. H. Joko Widodo . Kecuali jika memang sudah sangat lumrah dan melekat pada identitas tersebut, misal Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Gelar keagamaan, akademik, kebangsawanan, profesi dianggap sama-rata tanpa diskriminasi, selama ada sumber rujukan bahwa yang bersangkutan memang menyandang gelar tersebut. – komentar tanpa tanda tangan oleh aris riyanto (bk). 26 Oktober 2021 06.57 (UTC)[balas]

OK Google hanya membacakan profil sampai tanda titik (kalau belum ada perubahan). Kalau Ir. H. Joko Widodo, yang dibacakan hanya Ir. Dengan adanya gelar di depan, Google tidak dapat membacakan ringkasan profil tokoh secara baik yang bersumber dari Wikipedia. Jadi, masalahnya tidak hanya gelar haji, tapi semua gelar di depan. :D Sabjan Badio (bicara) 17 Desember 2021 23.24 (UTC)[balas]

Hiđro 171.234.12.201 16 November 2023 16.53 (UTC)[balas]