Pengawetan makanan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan.[1]

Dalam mengawetkan makanan harus diperhatikan jenis bahan makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara pengawetan, dan daya tarik produk pengawetan makanan.[1] Teknologi pengawetan makanan yang dikembangkan dalam skala industri masa kini berbasis pada cara-cara tradisional yang dikembangkan untuk memperpanjang masa konsumsi bahan makanan.[1] Selain itu, pengertian lain dari pengawetan merupakan suatu teknik dan tindakan yang dilakukan oleh manusia agar bahan makanan dapat bertahan lama dan tidak mudah rusak.[2]

Pada umumnya bahan pengawet memiliki kegunaan dalam memperpanjang masa penyimpanan bahan makanan. Bahan ini digunakan agar mikroba dalam makanan tidak terurai , memfermentasi hingga menimbulkan asam pada makanan. Bahan pengawet dapat berasal dari sumber alamiah maupun sintetik tergantung dari segi penerapan bahan pengawet itu kemudian disesuaikan dengan jenis bahan makanan yang akan diawetkan.

Tujuan[sunting | sunting sumber]

Sejak manusia dapat berbudidaya tanaman dan hewan, hasil produksi panen menjadi berlimpah.[1] Namun bahan-bahan tersebut ada yang cepat busuk, makanan yang disimpan dapat menjadi rusak, misalnya karena oksidasi atau benturan.[1] Contohnya lemak menjadi tengik karena mengalami reaksi oksidasi radikal bebas. Untuk menangani hal tersebut, manusia melakukan pengawetan pangan,[1] sehingga bahan makanan dapat dikonsumsi kapan saja dan dimana saja, tetapi dengan batas kedaluwarsa, dan kandungan kimia dan bahan makanan dapat dipertahankan.[1] Selain itu, pengawetan makanan juga dapat membuat bahan-bahan yang tidak dikehendaki seperti racun alami dan sebagainya dinetralkan atau disingkirkan dari bahan makanan.[1]

Teknik[sunting | sunting sumber]

Perlu diketahui bahwa tidak semua bahan makanan dapat bertahan lama sehingga tidak perlu diawetkan. Pengawetan makanan ini tergantung pada tujuannya agar dapat disimpan dalam waktu yang lama sehingga ketika di konsumsi bahan makanan tersebut masih layak dan baik. Ada banyak sekali pengawetan makanan berdasarkan jenis makanan tersebut. Seseorang harus memahami yang mana bahan makanan yang cocok untuk diawetkan kemudian mengetahui teknik tertentu.[3] Teknik pengawetan makanan tidak hanya dilakukan pada proses pembekuan saja melainkan teknik-teknik lainnya.

Cara[sunting | sunting sumber]

pendinginan di lemari pendingin merupakan salah satu cara untuk mengawetkan makanan

Cara pengawetan bahan makanan dapat disesuaikan dengan keadaan bahan makanan, komposisi bahan makanan, dan tujuan dari pengawetan.[1] Secara garis besar ada dua cara dalam mengawetkan makanan, yaitu fisik serta biologi dan kimia.[4]

Fisik[sunting | sunting sumber]

Pengawetan makanan secara fisik merupakan yang paling bervariasi jenisnya, contohnya adalah[butuh rujukan]:

  • pemanasan. Teknik ini dilakukan untuk bahan padat, tetapi tidak efektif untuk bahan yang mengandung gugus fungsional, seperti vitamin dan protein. Cara pemanasan ini banyak dijumpai pada bahan makanan berupa susu yang dipanaskan hingga suhu 121° tujuannya agar bakteri jahat mati.
  • pendinginan. Dilakukan dengan memasukkan ke lemari pendingin, dapat diterapkan untuk daging dan susu.
  • pembekuan, pengawetan makanan dengan menurunkan temperaturnya hingga di bawah titik beku air.
  • pengasapan. Perpaduan teknik pengasinan dan pengeringan, untuk pengawetan jangka panjang, biasa diterapkan pada daging.
  • pengalengan. Perpaduan kimia (penambahan bahan pengawet) dan fisika (ruang hampa dalam kaleng). proses pengalengan adalah salah satu proses dalam mengawetkan makanan dengan cara pengawetan bahan makanan dalam wadah yang tertutup rapat dan disterilkan dengan cuaca panas. Teknik ini dilakukan agar bahan makanan bebas dari kebusukan, bertahan nilai gizi, cita rasa dan daya tarik.[5]
  • pembuatan acar. Sering dilakukan pada sayur ataupun buah.
  • pengentalan dapat dilakukan untuk mengawetkan bahan cair
  • pengeringan, mencegah pembusukan makanan akibat mikroorganisme, biasanya dilakukan untuk bahan padat yang mengandung protein dan karbohidrat
  • pembuatan tepung. Teknik ini sangat banyak diterapkan pada bahan karbohidrat
  • Irradiasi, untuk menghancurkan mikroorganisme dan menghambat perubahan biokimia[6]

Biokimia[sunting | sunting sumber]

Pengawetan makanan secara biokimia secara umum ditempuh dengan penambahan senyawa pengawet, seperti:[4]

  • penambahan enzim, seperti papain dan bromelin
  • penambahan bahan kimia, misalnya asam sitrat, garam, gula.
  • pengasinan, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk makanan
  • pemanisan, menaruh dalam larutan dengan kadar gula yang cukup tinggi untuk mencengah kerusakan makanan
  • pemberian bahan pengawet, biasanya diterapkan pada bahan yang cair atau mengandung minyak. Bahan pengawet makanan ada yang bersifat racun dan karsinogenik. Bahan pengawet tradisional yang tidak berbahaya adalah garam seperti pada ikan asin dan telur asin, dan sirup karena larutan gula kental dapat mencegah pertumbuhan mikrob. Kalsium propionat atau natrium propionat digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang, asam sorbat menghambat pertumbuhan kapang dalam keju, sirup dan buah kering.[butuh rujukan]

Prinsip[sunting | sunting sumber]

Prinsip pengawetan pangan ada tiga, yaitu:[7]

  • Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan
  • Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama
  • Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial. Bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet juga diharapkan dapat mengganggu kondisi optimal pertumbuhan mikrob.[4] Ditinjau secara kimiawi, pertumbuhan mikrob yang paling rawan adalah keseimbangan elektrolit pada sistem metabolismenya.[4] Karena itu bahan kimia yang digunakan untuk antimikroba yang efektif biasanya digunakan asam-asam organik.[4] Cara yang dapat ditempuh untuk mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial adalah:[7]
  1. mencegah masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis)
  2. mengeluarkan mikroorganisme, misalnya dengan proses filtrasi
  3. menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, misalnya dengan penggunaan suhu rendah, pengeringan, penggunaan kondisi anaerobik atau penggunaan pengawet kimia
  4. membunuh mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi atau radiasi.

Potensi kerusakan bahan makanan selama penyimpanan[sunting | sunting sumber]

Kerusakan yang timbul selama penyimpanan bahan makanan dapat dibagi ke dalam lima kategori yaitu kerusakan mekanis, kerusakan biologis, kerusakan mikrobiologis, kerusakan kimiawi, serta kerusakan fisik.[8]

Kerusakan biologis[sunting | sunting sumber]

Kerusakan jenis ini timbul karena adanya reaksi-reaksi metabolisme dalam bahan makanan serta aktivitas enzim yang menyebabkan terjadinya proses autolisis sehingga bahan makanan menjadi busuk.[9]

Kerusakan mikrobiologis[sunting | sunting sumber]

Kerusakan mikrobiologis disebabkan oleh adanya mikroorganisme perusak yaitu bakteri yang mudah merusak bahan makanan dengan kadar air serta kadar protein yang tinggi; khamir yang mudah merusak bahan makanan yang banyak mengandung gula; kapang yang merusak bahan pangan yang mengandung karbohidrat seperti pektin, selulosa, dan pati.[8] Kerusakan jenis ini sangat berbahaya bagi manusia karena adanya racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme.[10]

Kerusakan kimiawi[sunting | sunting sumber]

Kerusakan ini terjadi karena adanya reaksi kimia yang terjadi dalam bahan makanan, misalnya reaksi pencokelatan pada beberapa jenis buah dan sayur; adanya ketengikan pada minyak atau lemak karena proses oksidasi.[11]

Kerusakan fisik[sunting | sunting sumber]

Kerusakan jenis ini merupakan kerusakan yang mungkin timbul karena salah dalam penanganan penyimpanan bahan makanan, misalnya kerusakan pada daging karena suhu penyimpanan terlalu rendah; tepung menjadi keras karena disimpan di tempat yang lembab.[12]

Kerusakan mekanis[sunting | sunting sumber]

Kerusakan jenis ini terjadi karena adanya benturan pada bahan makanan yang terjadi setelah proses pascapanen, selama distribusi bahan makanan, maupun selama penyimpanan. Kerusakan seperti ini contohnya adalah buah yang terjatuh sehingga menimbulkan kerusakan dan menurunkan kualitas buah tersebut.[13]

Sementara itu, ada beberapa faktor yang menentukan kualitas bahan makanan selama penyimpanan. Pertama, suhu. Laju reaksi biokimia terkait dengan suhu, dengan kata lain, penyimpanan pada suhu rendah mampu memperlambat kerusakan bahan makanan akibat reaksi biokimia; mampu mencegah pertumbuhan bakteri dan fungi. Namun demikian, ada beberapa bahan makanan yang sensitif terhadap suhu rendah, misalnya buah apel yang mengalami pencoklatan jika disimpan pada suhu di bawah 30C; buah nanas jika disimpan pada suhu di bawah 130C maka akan mengalami pencoklatan; dan juga buah-buah lain yang tidak cocok disimpan pada suhu rendah. Kedua, kelembaban. Jika kelembaban dari lingkungan penyimpanan lebih besar daripada kelembaban relatif pada bahan makanan, maka bahan makanan tersebut akan menjadi lembab dalam penyimpanan. Adanya air yang terserap ke dalam bahan makanan berpotensi ditumbuhi oleh mikroorganisme. Ketiga, kondisi atmosfer. Pengendalian atmosfer mampu mengurangi laju metabolisme sehingga memperlambat laju respirasi, proses pematangan dan pembusukan. Pengendalian atmosfer dilakukan dengan cara memasukan gas nitrogen (N2), mengeluarkan gas oksigen (O2), dan menambah konsentrasi gas karbondioksida (CO2). Hormon etilen pun dihilangkan selama penyimpanan terutama pada buah klimakterik.[14]

Teknik penyimpanan bahan makanan[sunting | sunting sumber]

Penyimpanan pada tekanan atmosfer[sunting | sunting sumber]

Ada dua metode penyimpanan pada tekanan atmosfer yaitu modified atmosphere storage (MAS) dan controlled atmosphere storage (CAS). Pada metode MAS, gas oksigen dipakai dan karbon dioksida dihasilkan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme; sedangkan pada metode CAS, komposisi antara gas oksigen, karbondioksida, dan etilen dimonitori dan diatur. Contoh dari aplikasi CAS pada buah apel adalah mengatur komposisi antara CO2 sebesar 8%; dengan O2 sebesar 13%; serta N2 sebesar 79%.[15]

Ada beberapa pertimbangan dalam memutuskan komposisi karbondioksida dan oksigen pada penyimpanan tergantung dari mikroorganisme yang berpotensi merusak bahan makanan. Mikroorganisme tersebut dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok. Pertama, Mikroorganisme aerobik membutuhkan oksigen agar dapat tumbuh seperti Pseudomonas, Psychrobacter, Shevanella, Acinetobacter/Moraxella, Micrococcus, beberapa spesies dari Bacillus. Agar mikroorgansme tersebut tidak berkembang dan merusak bahan makanan, maka harus dilakukan proses modifikasi atmosfer dengan mengeluarkan gas oksigen. Kedua, Mikroorganisme mikroaerofilik tidak membutuhkan kadar oksigen yang tinggi untuk dapat tumbuh; dan ada beberapa yang membutuhkan kadar karbondioksida yang tinggi untuk tumbuh seperti Campylobacter dan Lactobacillus. Ketiga, Mikroorganisme anaerobik fakultatif dapat tumbuh dengan atau tanpa adanya gas oksigen seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Brochothrix, Salmonella, Vibrio, Aeromonas, beberapa spesies dari Bacillus, dan ragi untuk fermentasi. Keempat, Mikroorganisme anaerobik yang dapat dibunuh atau dihambat pertumbuhannya dengan adanya gas oksigen seperti Clostridium dan Bifidobacterium. [16]

Penyimpanan pada suhu rendah[sunting | sunting sumber]

Salah satu metode penyimpanan pada suhu rendah adalah Atmospheric freeze drying yang memiliki kelebihan serta kelemahan. Kelebihan dari Atmospheric freeze drying adalah baik untuk melindungi komponen volatil/gas mudah menguap yang mengeluarkan aroma khusus pada bahan makanan, dapat melindungi kandungan vitamin pada bahan, mampu menjaga kadar air tetap rendah, tidak ada penyusutan bahan, serta mampu melndungi bahan makanan dari potensi kerusakan biologis. Sementara itu, kekurangannya adalah membutuhkan ruang yang banyak karena sistem Atmospheric freeze drying dilakukan secara masal; membutuhkan waktu lebih untuk menyiapkan alatnya, waktu untuk proses penghilangan kelembaban, serta untuk proses pengeringan beku pada alatnya. Alat untuk proses Atmospheric freeze drying dioperasikan pada rentang suhu (-5)-(-8)0C dan pada tekanan 4,56 sampai 0,1 mmHg.[17]

Umur simpan produk makanan[sunting | sunting sumber]

Umur simpan merupakan jarak waktu produk makanan mulai dari diproduksi sampai dengan sebelum produk tersebut mengalami kerusakan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Ada beberapa istilah yang digunakan terkait dengan umur simpan produk makanan seperti baik digunakan sebelum/best before dan tanggal kadaluarsa/expired date. Baik digunakan sebelum merupakan batas waktu di mana produk tersebut mengalami penurunan kualitas, namun masih aman untuk dikonsumsi. Sementara itu, produk makanan yang sudah melewati batas tanggal kadaluarsa, semestinya tidak boleh lagi dikonsumsi.[18]

Ada beberapa hal yang mempengaruhi umur simpan bahan makanan, baik faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Faktor-faktor intrinsik meliputi aktivitas air dalam bahan makanan /water activity (Aw); nilai pH dan total keasaman; oksigen; nilai gizi; kandungan mikrobiologis yang ada dalam bahan makanan; potensi biokimia seperti enzim, dan reaktan kimia; penggunaan pengawet alami ke dalam makanan seperti garam. Sementara itu, faktor ekstrinsik meliputi suhu dan waktu selama penyimpanan, pendistribusian, maupun pengolahan bahan makanan; kelembaban relatif selama penyimpanan, pendistribusian, dan pengolahan bahan makanan; pancaran sinar ultraviolet yang menembus bahan makanan selama penyimpanan, pendistribusian, dan pengolahan bahan makanan; komposisi udara sekitar pengemas.[19]

Metode penentuan umur simpan[sunting | sunting sumber]

Ada dua metode untuk menentukan umur simpan yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung merupakan metode yang sering dipakai.[20]

Ada beberapa tahapan dalam metode penentuan umur simpan secara langsung. Pertama, mengidentifikasi apa yang menyebabkan makanan menjadi rusak atau sudah tidak aman dikonsumsi. Menelusuri jejak produk mulai dari pembelian bahan baku hingga sampai ke tangan konsumen sehingga bisa dilacak pada alur yang mana yang menyebabkan produk menjadi rusak. Kedua, punya alasan yang kuat uji apa yang akan diterapkan. Secara umum, ada empat uji yang dipakai dalam pengujian umur simpan yaitu evaluasi indrawi/sensori, uji mikrobiologi, uji kimia, dan uji fisik. Ketiga, merencanakan analisis mengenai umur simpan. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk merencanakan analisis ini yakni uji apa yang perlu dilakukan, berapa banyak sampel yang harus diambil, berapa lama waktu yang diperlukan untuk menganalisis umur simpan, serta kapan mulai dilakukan analisis. Keempat, melaksanakan analisis umur simpan. Selama proses diujicoba, sampel produk berada di bawah kondisi yang normal sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hasil pengamatan harus selalu tercatat dan tersimpan dengan baik. Kelima, Menentukan umur simpan. Gunakan semua data yang telah teramati serta terekam untuk mengetahui umur simpan. Keenam, Adanya pengawasan secara berkala untuk menganalisis umur simpan. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan produk berkualitas bagus serta aman untuk dikonsumsi.[21]

Sementara itu, metode tidak langsung dilakukan tanpa harus menempuh semua langkah demi langkah pada metode langsung. Ada dua metode yang dipakai dalam metode tidak langsung yaitu Accelerated Shelf Life Studies (ASLS) dan model prediksi menggunakan persamaan matematika yang biasa dipakai untuk menghitung jumlah mikroorganisme. (NZFSA hal 13) Metode tidak langsung ini cocok digunakan untuk perusahaan pangan yang tidak memiliki cukup waktu serta biaya yang cukup untuk melaksanakan metode langsung, dan juga untuk perusahaan yang tidak memiliki cukup waktu untuk segera meluncurkan produk barunya ke pasar.[22]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i Aryulina Diah. 2004. Biologi SMA untuk kelas XII. Jakarta: Esis.
  2. ^ Websmaster (16/03/2016). "Pengertian dan Tujuan Pengawetan Makanan". karyatulisilmiah.com. Diakses tanggal 9/1/2022. 
  3. ^ "Teknik Pengawetan Makanan yang Paling Sering Digunakan Agar Tahan Lama". www.pergikuliner.com. 23 September 2020. Diakses tanggal 8/1/2022. 
  4. ^ a b c d e Tanty. 2008. Pengawetan Makanan Diakses pada 12 Apr 2010.
  5. ^ "Teknik Pengalengan Makanan (Gudeg Kaleng)". lipi.go.id. Diakses tanggal 8/1/2022. 
  6. ^ (Inggris) Fellow FJ. 2000. Food Processing Technology: Principles and Technology 2nd ed. Cambridge: Woodhead Publishing Limited.
  7. ^ a b Syamsir E. 2008. Prinsip dan Teknik Pengawetan Makanan (Pangan) Diarsipkan 2012-05-08 di Wayback Machine. Diakses pada 12 Apr 2010.
  8. ^ a b Ilmu, Pedia (17 Januari 2020). "Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Bahan Pangan". Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  9. ^ Ilmu, Pedia (17 Januari 2020). "Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Bahan Pangan". Diakses tanggal 23 januari 2020. 
  10. ^ IPB, Himagizi (30 Juli 2017). "Kerusakan Bahan Pangan". Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  11. ^ IPB, Himagizi (30 Juli 2017). "Kerusakan Bahan Pangan". Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  12. ^ IPB, Himagizi (30 Juli 2017). "Kerusakan Bahan Pangan". Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  13. ^ IPB, Himagizi (30 Juli 2017). "Kerusakan Bahan Pangan". Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  14. ^ Grandison, Alistair S (2012). "Postharvest Handling and Preparation of Foods for Processing" (PDF): 9–12. 
  15. ^ Fellows, P. (2000). Food Processing Technology: Principles and Practice (PDF). Cambridge: Woodhead Publishing Limited. hlm. 407. ISBN 1 85573 533 4. 
  16. ^ Bhat, Rajeev (2012). Progress in Food Preservation (PDF). West Sussex: Wiley-Blackwell. hlm. 50. ISBN 978-0-470-65585-6. 
  17. ^ Bhar, Rajeev (2012). Progress in Food Preservation (PDF). West Sussex: Wiley-Blackwell. hlm. 144–145. ISBN 978-0-470-65585-6. 
  18. ^ Asiah, Nurul (2018). Panduan Praktis Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan (PDF). Jakarta: Penerbitan Univeritas Bakrie. hlm. 1–2. ISBN 978-602-7989-15-3. 
  19. ^ Kilcast, David (2000). The Stability and Shelf-Life of Foods. Cambridge: Woodhead Publishing Limited. hlm. 3. ISBN 1 85573 500 8. 
  20. ^ Food Safety Authority, New Zealand (2005). A Guide to Calculating the Shelf Life of Foods (PDF). Wellington: New Zealand Food Safety Authority. hlm. 8. ISBN 0-478-07865-X. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-11-26. Diakses tanggal 2022-01-27. 
  21. ^ Food Safety Authority, New Zealand (2005). A Guide to Calculating the Shelf Life of Foods (PDF). Wellington: New Zealand Food Safety Authority. hlm. 9–13. ISBN 0-478-07865-X. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-11-26. Diakses tanggal 2022-01-27. 
  22. ^ Sucipta, I Nyoman (2017). Pengemasan Pangan (PDF). Denpasar: Udayana University Press. hlm. 122. ISBN 978-602-294-141-5.