Lompat ke isi

Pengguna:AMA Ptk/bak pasir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sandeq dari Majalah Tempo

Adu Gesit Perahu Bercadik Edisi : 14 September 2018 RATUSAN orang tampak berjajar di tepi Pantai Labuang, Majene, Sulawesi Barat, pada Selasa ketiga Agustus lalu. Ketika terdengar suara tembakan, mereka berlarian menuju perahu masing-masing dan segera mendorongnya ke arah laut. Tak lama kemudian, mereka melompat ke atas perahu, mendayungnya, dan mengembangkan layar untuk memacu perahu. Dengan cepat mereka terlihat meninggalkan bibir Pantai Labuang.

Adu Gesit Perahu Bercadik SANDEQ adalah perahu tradisional suku Mandar, Sulawesi Barat. Dulu, perahu kayu bercadik itu digunakan untuk menangkap ikan dan berdagang. Ia terkenal kuat dan gesit di laut. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, peran sandeq mulai tergantikan oleh perahu-perahu berteknologi modern. Untuk melestarikan sandeq, sejak 1995 digelar lomba adu cepat perahu itu di Sulawesi Barat. Mulanya lomba tersebut ditujukan untuk mengasah kemampuan melaut para passandeqawak sandeq. Belakangan, acara itu justru menjelma menjadi ajang adu gengsi. Tahun ini, lomba balap sandeq berlangsung selama tujuh hari pada pertengahan Agustus lalu, dengan rute Pantai Bahari, Polewali Mandar, hingga Pantai Manakarra, Mamuju. RATUSAN orang tampak berjajar di tepi Pantai Labuang, Majene, Sulawesi Barat, pada Selasa ketiga Agustus lalu. Ketika terdengar suara tembakan, mereka berlarian menuju perahu masing-masing dan segera mendorongnya ke arah laut. Tak lama kemudian, mereka melompat ke atas perahu, mendayungnya, dan mengembangkan layar untuk memacu perahu. Dengan cepat mereka terlihat meninggalkan bibir Pantai Labuang.

Total ada 22 perahu yang berlayar dari pantai itu. Setiap perahu terdiri atas delapan orang awak, yang disebut passandeq. Satu orang menjadi juru kemudi, sementara tujuh lainnya bertugas mengatur layar dan menjaga keseimbangan. Perahu-perahu yang mereka naiki itu disebut sandeq. Perahu tradisional suku Mandar, Sulawesi Barat, ini berbahan dasar kayu dengan cadik bambu di kanan-kirinya. Ukurannya tak besar. Panjangnya hanya 12-13 meter, sementara lebarnya 50-60 sentimeter. Kendati begitu, perahu ini mampu mengangkut beban hingga ratusan kilogram.

Dari Pantai Labuang, perahu-perahu itu beradu cepat menuju perairan Desa Banua Sendana, Majene. Jaraknya kurang-lebih 35 kilometer. Namun tak semua sandeq berhasil menyelesaikan perjalanan. Angin kencang yang bertiup di sepanjang rute membuat beberapa sandeq terbalik, antara lain perahu bernama Bintang Merdeka, Dewa Laut, Pammase, dan Surya Persada. "Angin membuat perahu kami bertabrakan dengan perahu lain sehingga terbalik," kata Abdullah, salah seorang awak Bintang Merdeka.

Sejumlah sandeq membutuhkan waktu hampir tiga jam untuk menuntaskan perjalanan dari Pantai Labuang ke perairan Desa Banua Sendana. Perahu bernama Masya Allah menjadi yang pertama, diikuti Cahaya Mandar, Merpati Putih, Merpati, dan GPS. Ullah, awak Masya Allah, mengungkapkan, sepanjang perjalanan, perahunya dan sandeq lain terus-menerus diterjang angin kencang yang membuat ombak makin tinggi. "Karena itu, para passandeq memilih rute di pinggir pantai," ujarnya.

Adu cepat perahu sandeq itu merupakan bagian dari Festival Sandeq Race 2018 yang berlangsung pada 11-17 Agustus lalu di Sulawesi Barat. Rutenya berawal dari Pantai Bahari, Polewali Mandar, menuju Pantai Manakarra, Mamuju. Rute ini berbeda dengan jalur dalam pergelaran tahun lalu, yang dimulai dari Pantai Manakarra dan berakhir di Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan. Selain menampilkan lomba balap sandeq, festival tahunan tersebut menghadirkan sejumlah acara, antara lain pentas seni, pemutaran film dokumenter, dan pesta kuliner rakyat.

Sama seperti pergelaran sebelumnya, festival tahun ini memperlombakan dua jenis balap sandeq, yakni racing segitiga dan maraton. Balap racing segitiga berlangsung di Pantai Bahari, Pantai Labuang, dan Pantai Manakarra. Adapun lomba maraton dibagi menjadi empat etape, yakni etape I dari Pantai Bahari menuju Pantai Labuang, etape II (Pantai Labuang-perairan Desa Banua Sendana), etape III (perairan Desa Banua Sendana-Pantai Deking, Majene), dan etape IV (Pantai Deking-Pantai Manakarra).

Perahu Masya Allah menjadi juara umum dalam perlombaan tahun ini, diikuti Cahaya Mandar dan Merpati Putih sebagai pemenang kedua dan ketiga. Juara pertama festival mendapatkan Rp 30 juta, piagam penghargaan, dan piala bergilir. Adapun juara kedua dan ketiga masing-masing memperoleh Rp 25 juta dan Rp 20 juta serta piagam penghargaan. Perahu yang menduduki peringkat keempat hingga terakhir juga mendapat hadiah, yakni Rp 11 juta dan piagam penghargaan.

Salah seorang passandeq, Jamaluddin, mengatakan rute lomba balap sandeq tahun ini sangat menantang karena arus laut cukup kuat. "Terutama di daerah perairan Majene hingga Pantai Deking," ucapnya. Passandeq lain, Gusman, menyebut etape I maraton dari Pantai Bahari hingga Pantai Labuang sebagai rute yang paling menantang. "Ombaknya besar dan anginnya kencang," kata awak Masya Allah itu.

l l l NAMA sandeq berasal dari bahasa Mandar, yang berarti "runcing". Perahu itu diduga diciptakan para pelaut suku Mandar pada 1930-an. Konon, modelnya terinspirasi perahu-perahu Belanda yang ketika itu dipakai untuk berdagang di Selat Makassar. Layar segitiga sandeq juga merupakan hasil adopsi terhadap perahu-perahu itu lantaran dianggap bisa memacu laju dan praktis digunakan saat berlayar mengarungi lautan. Model tersebut kemudian dilengkapi dengan cadik sebagai ciri khas budaya bahari Sulawesi Barat.

Menurut peneliti sandeq asal Jerman, Horst H. Liebner, sejak diciptakan, perahu tersebut dirancang bisa berlayar dengan cepat di laut untuk memburu aneka ikan. Salah satunya cakalang. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mata pancing, yang bisa menjerat ikan hanya jika kecepatan perahu lebih dari 5 knot. "Kalau tidak cepat, ikan cakalang tak mau menggigit umpan," tutur Liebner. Layar segitiga sandeq diperkirakan mampu mendorong perahu itu hingga mencapai kecepatan 20 knot atau melebihi laju perahu motor, seperti ketinting.

Pada 1980-an, sandeq tak hanya digunakan nelayan Mandar untuk mencari ikan, tapi juga untuk berdagang. Fungsi yang bertambah itu membuat ukuran sandeq menjadi sedikit lebih besar. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sandeq perlahan ditinggalkan. Dengan alasan efektivitas dan kepraktisan, para nelayan Mandar memilih menggunakan perahu berteknologi modern untuk melaut. "Perahu-perahu bermesin lebih nyaman dan gampang digunakan," ujar Liebner.

Kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran akan punahnya sandeq. Karena itu, sejak 1995, digelar lomba balap sandeq di Sulawesi Barat, yang kini dikenal sebagai Festival Sandeq Race. Lomba berawal di Pantai Manakarra dan berakhir di Pantai Losari. Lomba yang berlangsung setiap Agustus itu diinisiasi Liebner atas usul sejumlah nelayan Mandar asal Majene.

Peneliti sandeq, Muhammad Ridwan Alimuddin, mengatakan lomba itu hanya diikuti 15 perahu ketika pertama kali digelar. Jumlah peserta terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya, yang pada 2007 mencapai angka terbanyak dengan 53 perahu. Setelah itu, jumlah sandeq yang mengikuti lomba sekitar 20. Menurut Ridwan, lomba tersebut telah berkontribusi melestarikan sandeq. "Kalau tak ada lomba, sandeq pasti sudah ditinggalkan. Apalagi sudah tak ada sandeq yang dipakai untuk menangkap ikan," ucapnya.

Selain bertujuan melestarikan budaya bahari Mandar, lomba balap sandeq digelar untuk mengasah kemampuan melaut para passandeq, dari soal navigasi hingga membaca arus dan angin. Tapi kemudian lomba itu justru menjelma menjadi ajang adu kemampuan passandeq. "Ini semata-mata adu gengsi karena berlangsung satu tahun sekali," kata seorang passandeq, Masdar.

Belakangan, lomba balap sandeq memunculkan sejumlah inovasi pada bentuk perahu itu. Menurut Horst H. Liebner, para passandeq membuat perahu yang lebih ramping dan ringan, seperti sandeq yang sekarang dilombakan. Tujuannya adalah sandeq bisa lebih gesit melaju di laut. Selain itu, para passandeq membuat inovasi pada cat perahu. Mereka mencampur semacam kapur dan lem agar cat bisa bertahan lama. "Dulu perahu dicat setiap dua bulan, tapi sekarang tahan sampai satu tahun," ujar Liebner.

Sandeq biasanya dicat warna putih sebagai lambang kebersihan dengan harapan disukai banyak orang. Di Mandar, sandeq bercat putih itu dikenal dengan sebutan "lopi sandeq malolo", yang berarti "perahu sandeq cantik itu putih". "Cat putih juga membuat perahu tak cepat rusak karena bisa memantulkan cahaya panas," kata Ridwan Alimuddin.

l l l PARA passandeq membutuhkan setidaknya sepuluh hari untuk mempersiapkan diri menghadapi lomba balap sandeq. Masdar, passandeq asal Desa Galung Tulu, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menjelaskan, persiapan itu antara lain pengecekan semua bagian perahu, termasuk perbaikan jika ada bagian yang rusak. Selain itu, passandeq bersiap dengan menjalani semacam ritual di rumah masing-masing. "Ritual ini untuk keselamatan," ucapnya.

Menurut Masdar, ritual setiap passandeq berbeda. Ada yang duduk di kursi lalu mengambil tali berwarna hijau dan mengikatkannya di kepala. Ada juga yang berpuasa satu hari sebelum bertanding. "Intinya, para passandeq membaca doa keselamatan sendiri-sendiri," ujarnya.

Pada hari dimulainya lomba, mereka yang tergabung dalam satu tim menjalani ritual berjalan kaki bersama-sama menuju tempat berkumpul di salah satu rumah passandeq. Di sana, mereka berdoa bersama sebelum menuju rumah pemilik sandeq. Pemilik sandeq pun menjalani ritual dengan mengumpulkan semua anggota tim dan masyarakat setempat. Selagi dupa dibakar dan doa dibacakan, disajikan berbagai jenis makanan di atas baki, seperti pisang, ikan, telur, nasi ketan putih dan hitam, nasi putih, serta aneka kue. "Ini supaya para passandeq selamat saat pergi dan kembali," tutur seorang pemilik sandeq, Syarifuddin.

Seusai doa, dupa yang dibakar bersama sabut kelapa diberikan kepada sandeq untuk dimasukkan ke lubang di tengah perahu, yang dikenal dengan istilah "pusar kapal". Kemudian baki berisi berbagai makanan kembali disajikan di dekat sandeq, sementara pemilik sandeq dan para passandeq membaca doa serta menyirami bagian tengah dan kedua ujung kapal dengan air. "Semua ini bertujuan agar sandeq tak mengalami masalah selama perjalanan," kata Syarifuddin.

Menurut seorang passandeq, Mustakim, ritual doa sebagai persiapan menghadapi lomba antara satu tim dan tim lain bisa jadi berbeda. Bahkan ada passandeq yang tidak menjalani ritual doa sebelum berlomba. "Kalau di Polewali Mandar, pasti ada ritual doa karena sudah dijalankan secara turun-temurun," ujar warga Desa Bala, Balanipa, Polewali Mandar, itu.

Didit Hariyadi (Makassar), Arif Budianto (Mamuju), Prihandoko

Pohon-pohon Sandeq Edisi : 14 September 2018 TAK sembarang kayu bisa dijadikan bahan utama pembuatan sandeq, perahu bercadik khas suku Mandar, Sulawesi Barat. Pembuat sandeq, Syahid, mengatakan perahu itu hanya bisa dibikin dari empat jenis kayu, yakni meranti, tipulu, palapi, dan binuang. Semua jenis kayu itu banyak terdapat di wilayah Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. "Biasanya diambil dari atas gunung," kata Syahid kepada Tempo.

Pohon-pohon Sandeq Kayu untuk membuat perahu sandeq harus khusus. Diperlukan ritual tertentu saat menebang pohonnya. TAK sembarang kayu bisa dijadikan bahan utama pembuatan sandeq, perahu bercadik khas suku Mandar, Sulawesi Barat. Pembuat sandeq, Syahid, mengatakan perahu itu hanya bisa dibikin dari empat jenis kayu, yakni meranti, tipulu, palapi, dan binuang. Semua jenis kayu itu banyak terdapat di wilayah Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. "Biasanya diambil dari atas gunung," kata Syahid kepada Tempo.

Pohon keempat jenis kayu itu juga tak boleh asal ditebang. Para penebang, yang dikenal dengan sebutan passenso, mesti menentukan hari baik agar kelak perahu yang dibuat bisa dimudahkan rezekinya. Penentuan hari baik biasanya dilakukan dengan rumusan kuno. Naiknya bulan purnama dianggap sebagai waktu yang tepat untuk menebang pohon. Adapun pemotongan kayu harus dilakukan ketika matahari menanjak naik dan angin sedang berembus. "Ini agar rezeki juga naik. Kalau bulan turun kan rezeki juga turun," ujar Syahid.

Menurut Syahid, penentuan hari baik untuk menebang dan memotong kayu bahan sandeq telah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat suku Mandar. Sebelum menebang pohon, warga Mandar menyediakan sesaji berupa aneka kue dan pisang di atas baki. Sambil mengelilingi pohon yang akan ditebang, mereka membakar dupa serta membaca doa untuk meminta izin kepada para penjaga pohon. "Pohon besar kan rata-rata punya penjaga. Jadi harus meminta izin," ucap warga Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, itu.

Setelah ritual itu, passenso akan meniup dan mengusap-usap pohon tersebut sambil melihat ke atas. Menurut seorang passenso, Nasaruddin, hal itu dimaksudkan untuk membuat para penghuninya datang. Dengan begitu, kata Nasaruddin, passenso bisa berbicara langsung dengan penghuni pohon agar mereka beralih ke pohon lain. "Penghuninya harus dikasih pindah ke pohon lain dulu, baru bisa ditebang," katanya.

Adapun aksi passenso melihat ke atas menjadi simbol permohonan agar para penghuni pindah ke pohon lain. Jika daun-daun pohon bergoyang, Nasaruddin melanjutkan, penghuninya telah mengizinkan penebangan. "Tapi ada juga yang daunnya tidak bergoyang. Artinya, kami tak diberi izin menebang pohon itu," ujar warga Desa Mambu, Kecamatan Luyo, Polewali Mandar, tersebut.

Para passenso akan langsung menebang pohon begitu mendapat isyarat diizinkan dari para penghuninya. Masyarakat Mandar percaya bahwa pohon yang baik batangnya akan jatuh ke arah matahari atau sesuai dengan arah tangkainya saat ditebang. "Semua ini memiliki makna untuk keselamatan dan rezeki," tutur Nasaruddin. Ketika pohon tumbang, warga Mandar di sekitarnya akan mengambil serpihan kayu dari tengah batang, kemudian mereka gigit. "Ini juga bermakna keselamatan untuk semua," ucap Mustakim, pembuat sandeq yang juga passandeqawak Sandeq.

Setelah pohon ditebang, bagian tengah batang digali menggunakan kapak atau cangkul kecil, lalu dikeringkan selama sepuluh hari agar ringan diangkat. Batang itu kemudian dibentuk secara kasar menyerupai perahu sandeq, dengan panjang 12-13 meter dan lebar 50-60 sentimeter. Setelah itu, barulah perahu setengah jadi tersebut dikeluarkan dari hutan melalui sungai atau ditarik warga. Pengerjaan lantas dilanjutkan hingga selesai dan dijalankan lagi ritual membakar dupa serta menyediakan sesaji berupa pisang, nasi ketan, serta telur. "Kami doakan lagi untuk keselamatan," kata Syahid.

Menurut Syahid, untuk membuat sandeq yang bagus, diperlukan kayu bertulang bengkok. "Kayunya harus yang melengkung supaya tidak cepat patah," ujarnya. Kayu itu kemudian dikeringkan selama satu bulan atau paling cepat 15 hari. Sebab, jika basah, kayu akan renggang sehingga tak bisa dibawa melaut. Syahid mengungkapkan, tak mudah memilih kayu yang bisa menghasilkan sandeq berkualitas. Bahkan kadang para pembuat sandeq mesti lama menunggu untuk menemukan kayu terbaik.

Mulanya sandeq dibuat warga Mandar untuk mencari ikan di laut dan dijadikan sarana transportasi perdagangan. Tapi, belakangan, perahu tradisional itu diadu dalam acara lomba balap sandeq tahunan yang dikenal sebagai Festival Sandeq Race di Sulawesi Barat. Menurut Syahid, sandeq yang akan ikut bertanding sengaja dibuat lebih ramping agar bisa cepat melaju dan membelah ombak. Perahu itu biasanya dibuat selama lima bulan sebelum lomba. "Harga satu perahu sekitar Rp 70 juta," tuturnya.

Passenso yang juga passandeq, Mustakim, menyebutkan perahu itu tak lagi dipakai warga Mandar untuk menangkap ikan di laut. Sebab, banyak warga Mandar kini menggunakan perahu berteknologi modern, yang lebih efektif dan praktis, untuk melaut. "Jadi sandeq hanya disimpan di samping rumah jika lomba sudah selesai," kata warga Desa Bala, Balanipa, Polewali Mandar, itu.

Didit Hariyadi (Makassar), Arif Budianto (Mamuju), Prihandoko

SOAL ISTIQLAL

[sunting | sunting sumber]

http://majalah.tempo.co/read/15501/upaya-menemukan-jati-diri

UPAYA MENEMUKAN JATI DIRI Edisi : 19 Oktober 1991 iUpaya menemukan jati diri Festival Istiqlal, pameran terbesar sejak kemerdekaan yang idenya dicetuskan 15 tahun lampau, digelar selama sebulan. Sebuah cermin besar untuk menemukan jati diri. INILAH kekayaan bangsa yang luar biasa. Sebuah pameran kolosal yang digelar selama sebulan, dipersiapkan selama satu setengah tahun. Festival Istiqlal, begitu pameran yang untuk pertama kali diselenggarakan, sejak kemerdekaan ini, sesungguhnya tidaklah bermaksud menampilkan wajah kesenian Islam semata, tapi kebudayaan Indonesia yang "bernapas Islam". Dananya, menurut Ketua Umum Badan Pelaksana Festival, Pontjo Sutowo, sekitar Rp 4 milyar. Selasa malam pekan ini Presiden Soeharto membuka festival tersebut dengan menabuh beduk. Di antara ratusan tamu, hadir Yang Dipertuan Agong Malaysia, Sultan Azlan Muhibbuddin Syah, dan Sultan Brunei Darussalam, Hassanal Bolkiah, dengan permaisuri mereka. Memang, festival ini tak hanya menggelar kekayaan budaya Islam Indonesia, tetapi juga Asia Tenggara. Usai menabuh beduk, Pak Harto mengawali penulisan mushaf Quran yang kemudian diteruskan oleh para penulis khat sampai selesai 30 juz. Penulisan kitab berukuran 125 x 75 cm ini diperkirakan bakal memakan waktu tiga sampai empat tahun. Lembaran-lembaran Quran ini berhiaskan ornamen yang khas Indonesia. Menurut A.D. Pirous, pelukis yang menjadi Wakil Ketua Badan Pelaksana Festival, yang istimewa dari festival ini adalah keragaman penampilan. Berbagai suku -- Aceh, Padang, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Sasak, Bugis, sampai Ternate dan Tidore -- semuanya menampilkan pikiran dan budaya Islam yang dicerna dengan latar belakang etnis yang berbeda. "Inilah kekayaan Indonesia yang luar biasa, dengan kebinekaan yang beragam. Lebih dari itu, festival ini merupakan penampilan sebagian wajah Asia Tenggara," katanya. Karena itu, benda-benda yang dipamerkan tidak hanya berasal dari 27 provinsi di Indonesia. Panitia Festival juga mengajak para seniman dan kolektor benda seni di antaranya dari Singapura, Malaysia, Brunei. Dari Malaysia datang 22 pelukis dengan karya-karya mereka. Menurut Pirous, benda-benda antik dari Pakistan, India, dan Cina juga akan ditampilkan. Di antara benda-benda yang dipamerkan di kompleks masjid yang terbesar di Asia Tenggara ini ialah mushaf Quran yang jumlahnya lebih dari 40 buah, rata-rata berusia ratusan tahun. Sebagian besar koleksi Yayasan Masagung, ada pula koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta. Bahkan, ada yang dipinjam dari Pesantren Buntet (Cirebon), dari Bali dan Irian Jaya, juga ada sebuah dari Irlandia. Yang menarik ialah Quran berusia 200 tahun koleksi Irwan Holmes. Quran yang diperkirakan berasal dari Demak, Jawa Tengah, itu berhiaskan prada emas di bagian pinggir lembaran halamannya. Ada pula teks "kitab kuning" (disebut begitu karena dicetak pada kertas kasar berwarna kuning) yang jumlahnya lebih dari 100 naskah. Seni arsitektur masjid dan elemen-elemennya, seperti mihrab, gapura, gerbang, mimbar, menara, sajadah, juga dipamerkan. Juga ada gentong air wudu berhiaskan kepala burak dari Desa Sitiwinangun, Cirebon. Memang banyak benda budaya yang unik dan menarik. Misalnya, bendera yang berusia seabad bertuliskan Surah Al Ikhlas dari kerajaan Cirebon kereta berukir untuk kendaraan anak berkhitan dari Keraton Surakarta berusia 70-an tahun pakaian kebesaran raja Kasultanan Yogyakarta, Hamengku Buwono VIII, yang bertatahkan hiasan berlian dan emas dari awal abad ini. Kaligrafi ayat suci Quran tentu saja juga ada. Dari yang berusia tua -- - berasal dari Banten dan Madura -- kaligrafi lukisan kaca dari Cirebon, sampai seni rupa kontemporer. Yang tradisional misalnya kain batik asal Jambi berusia 70-an tahun berhiaskan kaligrafi Arab. Namun, juga ada kursi kayu dari kerajaan Madura berhiaskan ayat suci Quran yang berusia 150 tahun. Yang kontemporer adalah lukisan-lukisan karya pelukis dari Jakarta, Bandung, Yogya, Solo, Malang, Surabaya, Padang. Ada nama-nama besar seperti Roesli, Pirous, Dede Eri Supria, Amri Yahya. Festival ini juga menampilkan kesenian rakyat yang merefleksikan tradisi Islam dari beberapa daerah, meliputi teater, tari, musik. Ada madihin (Kalimantan Selatan), japin (Riau), tabut (Sumatera Barat), saman dan seudati (Aceh), lenong (Jakarta), hadrah kuntulan (Jawa Timur), wayang golek (Jawa Barat). Juga tampil beberapa musikus muslim masa kini seperti Setiawan Djodi, Bimbo, Rhoma Irama, Trisutji Djuliati Kamal. Seni baca Quran sudah dipastikan ada. Begitu pula pemutaran beberapa film serta pembacaan puisi oleh 10 penyair, yang dinilai mewakili "napas keislaman". Seni pertunjukan tersebut dipentaskan di panggung Istiqlal dan Taman Ismail Marzuki. Bukan hanya itu. Ada satu acara festival yang serius, yaitu forum ilmiah dengan tema "Islam dan Kebudayaan Islam, Dulu, Kini, dan Esok". Simposium yang diselenggarakan selama empat hari sejak 21 Oktober itu berlangsung di gedung Indosat, Jakarta, mengetengahkan tiga subtema: ekspresi estetik Islam di Indonesia, tradisi dan inovasi keislaman dalam kebudayaan Indonesia, Islam dan masa depan peradaban dunia. Sekitar 25 pakar berbagai bidang akan tampil. "Dalam simposium ini dibicarakan apa saja yang dipikirkan oleh manusia Indonesia sekarang, Islam yang bagaimana yang dianut orang Indonesia, apakah Islam yang angker seperti di Timur Tengah ataukah Islam yang damai dan berbudaya seperti di Indonesia. Kita berhak menawarkan ini karena kita adalah warga terbesar di dunia Islam," kata Pirous bersemangat. Acara tambahan yang barangkali menarik ialah pameran dan diskusi busana muslimah. Bukan akhir-akhir ini saja busana seperti itu dikenal orang, tetapi pakaian tradisional para muslimah di beberapa daerah bahkan sudah lama mencerminkan napas Islam. Misalnya, batik basorek (Bengkulu) atau baju kurung dari Sumatera Barat. Beberapa desainer yang tampil antara lain Ida Royani, Yenny Rahman, Itang Yunaz, Anne Rufaidah, Ramli. Yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang ialah bahwa penggagas pertama festival ini ternyata Joop Ave. Sejak masih menjadi kepala protokol Istana, sampai menjabat Direktur Jenderal Pariwisata, setiap tahun ia selalu membicarakan gagasannya dengan Pirous. "Jadi, sudah sejak 15 tahun lalu gagasan ini dilontarkan. Joop adalah pencinta seni, bahkan dia pengagum kesenian yang bernapaskan Islam," ujar Pirous. Festival ini memang berusaha memperlihatkan "potret" Indonesia yang selama ini terbenam. "Akar dari apa yang disebut Indonesia sekarang ini ialah pikiran dan budaya Islam. Jadi, festival ini merupakan upaya menemukan jati diri bangsa Indonesia. Karena itu, muslim atau nonmuslim bukan persoalan lagi. Yang kita ungkapkan ialah: "Inilah napas Indonesia," katanya. Apa dan bagaimana kesenian Islam itu? Selama ini "wakil kesenian Islam" -- yang boleh dikatakan sudah dianggap baku -- antara lain kaligrafi ayat suci Quran, arsitektur Timur Tengah, atau kesenian rakyat yang berangkat dari kultur atau tradisi Islam. Dalam festival ini, adakah sesuatu yang baru yang muncul sebagai "kesenian Islam"? Batasan kesenian Islam memang sulit dirumuskan. Namun, setidaknya orang boleh berharap bisa lebih mudah mengenalinya. Secara sederhana Pirous menjelaskan bagaimana dahulu para wali memperkenalkan Islam kepada rakyat. "Antara lain dengan seni wayang. Padahal, tradisi menggambar untuk sebagian kaum muslimin dilarang. Tapi di sini ada kaligrafi ayat suci Quran yang menggambarkan tokoh Semar. Ini kan menunjukkan toleransi bangsa yang luar biasa. Nah, beginilah antara lain kesenian Islam," katanya. Begitu pula misalnya tikar yang dianyam oleh muslimah dari pedalaman Aceh, Kalimantan, dan Cirebon, digunakan untuk berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sajadah, tempat anak-anak lahir, sampai upacara menikah pun tikar beragam hias khas Islam itu dipakai. Ketika ada orang meninggal, tikar itu pun jadi kain kafannya. "Jadi, saya mengklaim, tikar ini adalah seni kerajinan hasil karya kaum muslimin," kata Pirous lagi. Menurut pelukis yang karya-karyanya menampilkan kaligrafi ayat-ayat suci Quran itu, seni Islam ialah karya yang dihasilkan masyarakat muslim, lahir dari pikiran dan budaya Islam, yang mengungkapkan keagungan Allah, yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kesenian Islam ternyata juga mampu melebur perbedaan etnis. "Aceh, Padang, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Ternate, jadi satu, karena Islam," tambahnya. Budiman S. Hartoyo dan Siti Nurbaiti.

https://majalah.tempo.co/read/15501/upaya-menemukan-jati-diri?read=true

SEPOTONG JEJAK MUSLIM AL-ANDALUS Edisi : 16 November 2018 KAUM muslim pernah berjaya di Al-Andalus, hampir seluruh Semenanjung Iberia, pada Abad Pertengahan.

iSepotong Jejak Muslim Al-Andalus Pusat kekuasaannya, Cordoba—kini di Andalusia, Spanyol—menjadi pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan ekonomi global. Namun Islam musnah seiring dengan kekalahan serdadu muslim oleh pasukan Castilla dan Aragon pada masa Reconquista. Tapi banyak peninggalan masih tersisa. Misalnya sentuhan arsitektur Islam atau Moor pada berbagai bangunan, dari istana hingga gereja, yang kini selalu riuh oleh pelancong. Di antaranya Alhambra di Granada dan Masjid Katedral di Cordoba, juga sejumlah bangunan di Toledo. Namun, sejak diktator Francisco Franco meninggal pada 1975 dan Spanyol menjadi negara demokrasi, Islam kembali tumbuh. Akhir Agustus lalu, wartawan Tempo, Purwani Diyah Prabandari, menyusuri sepotong jejak kejayaan bangsa Moor tersebut di Spanyol dan menengok geliat komunitas muslim barunya.


JARUM jam mendekati tanda pukul 11 siang. Satu demi satu orang berdatangan dan berkerumun di depan bangunan di pinggir terminal di Sevilla, Spanyol, pada akhir Agustus lalu. Pintu gerbang dengan tulisan “Fundacion Mezquita de Sevilla” (Yayasan Masjid Sevilla) di atasnya masih tertutup rapat.

Setelah pintu dibuka, mereka menuju ruangan yang cukup luas di lantai dua. Ada partisi kayu berornamen yang membagi ruangan menjadi dua, yakni untuk jemaah perempuan dan jemaah laki-laki. Orang makin banyak berdatangan. Sejumlah perempuan mengenakan jilbab biasa. Ada pula yang berkerudung model turban, yang biasa dikenakan muslimah di Spanyol. Adapun di antara jemaah pria ada yang berkemeja, berkaus, dan satu orang mengenakan hem batik.

“Setiap Ahad kami mengaji,” kata seorang perempuan yang hadir awal pada hari itu.

Menjelang siang, mereka memang mendaras Al-Quran bersama-sama, tepatnya surat-surat pendek di pengujung kitab suci. Kebanyakan sudah hafal tanpa perlu menyimak Al-Quran atau lembaran-lembaran yang berisi surat yang dibaca. Awalnya saya sulit mengikuti mereka. Cara mendaras mereka begitu asing di telinga, dengan pemutusan bacaan ayat yang berbeda dengan cara membaca Quran yang saya pelajari di Indonesia. Setelah beberapa lama dengan saksama memelototi lembaran-lembaran surat pendek yang saya pegang, barulah saya bisa mengikuti.


Umat muslim melaksanakan Salat Idul Adha di Cerro del Aceituna, San Miguel Alto, Granada, Agustus lalu. -Ernest Hemingway Photo Collection

“Setelah mengaji, kami biasanya kumpul-kumpul santai,” ujar Aisha, seorang anggota jemaah.

Memang, acara pada Ahad menjelang siang itu, selain mengaji bersama, adalah kumpul-kumpul layaknya pertemuan keluarga besar. Banyak yang hadir membawa serta semua anggota keluarga, dari orang tua, orang dewasa, remaja, hingga anak-anak. Terlihat hubungan yang sangat dekat. Siang itu, beberapa orang memberikan kado kepada seorang bocah perempuan. “Dia berulang tahun,” tutur Fatima Azzahra Zamorano Garcia. Mereka potluck-an membawa camilan dan minuman yang dinikmati sembari mengobrol santai.

Tapi, siang itu, ada acara tambahan yang digelar di “musala” terbesar di ibu kota kawasan otonomi Andalusia tersebut. Begitu selesai mendaras Quran, para lelaki terlihat merangsek membuat kerumunan yang lebih kecil. “Ada yang mengucapkan syahadat,” seorang anggota jemaah perempuan memberi tahu saya dari jarak agak jauh. Partisi yang berdiri berornamen bolong-bolong sehingga jemaah perempuan juga bisa melihatnya.

Tak lama kemudian, jemaah mengucapkan takbir bersama: “Allahu akbar.” Takbir tersebut menutup acara pembacaan syahadat, dan para pria pun menyalami sang mualaf yang baru saja mendeklarasikan diri menjadi muslim.

Presiden Yayasan Masjid Sevilla Ibrahim Hernandez menyatakan hampir setiap satu atau dua pekan ada orang yang mengucapkan syahadat di musala yang dikelola organisasinya itu. “Perkembangan umat Islam cukup pesat di sini,” ujarnya.

Menurut Ibrahim, sekarang terdapat sekitar 2 juta muslim di Spanyol. “Jadi sekitar 4 persen dari total populasi Spanyol.” Data ini diperkuat Barbara Hayat Ruiz-Bejarano, Direktur Hubungan Internasional Institut Halal Spanyol. “Sekitar 40 persen memegang paspor Spanyol,” katanya saat ditemui di Jakarta, dua pekan lalu.

Ruiz-Bejarano menambahkan, saat ini lebih dari 1.100 organisasi Islam terdaftar di Kementerian Kehakiman Spanyol.

LEBIH dari 360 tahun Spanyol “sunyi” dari komunitas muslim. Hanya di dua kota yang berada di Afrika Islam tetap hidup, yakni di Melilla dan Ceuta. “Keduanya sangat dekat dengan Maroko,” ucap Raul Merchan, Atase Perdagangan Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta, dua pekan lalu.


Masjid Agung Granada. -JFK Library

Padahal pada Abad Pertengahan kaum muslim berjaya di Al-Andalus, hampir seluruh kawasan di Semenanjung Iberia yang meliputi Spanyol, Portugal, dan sebagian kecil Prancis. Cordoba, yang menjadi pusat kekuasaan muslim, dikenal sebagai pusat budaya dan pengetahuan, juga ekonomi global, pada masanya.

Kejayaan di Iberia tersebut bermula pada 711, saat pasukan Berber atau Moro (Moor) dan Arab di bawah Tariq Ibnu Ziyad mulai menancapkan kekuasaan di kawasan ini. Meski dinasti penguasa berganti-ganti, kelompok muslim berkuasa di Al-Andalus selama 781 tahun hingga satu per satu daerah kekuasaan mereka jatuh ke tangan pasukan kerajaan-kerajaan Katolik, yang dikenal dengan masa Penaklukan Kembali (Reconquista). Pada 1081, Toledo jatuh, disusul Cordoba pada 1236 dan Sevilla pada 1248. Pada 1492, “benteng” terakhir, Granada, runtuh. Emir Granada, Abu Abdullah Muhammad XII, menyerahkan kekuasaan kepada Ratu Isabella I dari Castile dan Raja Ferdinand II dari Aragon.

Awalnya, dengan adanya Traktat Granada, penduduk muslim masih bisa tinggal di kawasan Semenanjung Iberia. “Populasi muslim di bawah penguasa Nasrani 5-30 persen, tergantung daerahnya,” kata Barbara Hayat Ruiz-Bejarano. “Tapi, pada 1525, semua orang muslim dipaksa dibaptis dan menerima Katolik.” Masjid-masjid pun dialihfungsikan menjadi gereja.

“Bau Islam” makin terkikis saat dilakukan pengusiran terhadap warga muslim yang sudah menjadi Katolik, yang dikenal sebagai Morisco (kripto-muslim). Sebelumnya, terjadi beberapa kali ketegangan lantaran mereka dipaksa mengikuti segala budaya Nasrani. Pada 1609, Raja Philip III mengeluarkan kebijakan pengusiran Morisco. Pada 1614, pengusiran berakhir. Muslim pun punah di sana, meski masih banyak peninggalan bertahan. “Misalnya makanan, bahasa, siesta (budaya tidur siang sebentar),” tutur Ibrahim Hernandez. Tentu juga gaya arsitektur bangunan.


Masjid Agung Granada. -JFK Library

Baru setelah diktator Francisco Franco meninggal pada 1975 dan Spanyol menapaki langkah transisi menuju demokrasi, komunitas muslim kembali tumbuh. “Setelah ada Konstitusi 1978, Islam menjadi legal,” ucap Ruiz-Bejarano.

Pada 1978, pemerintah Spanyol mengeluarkan konstitusi baru yang melindungi kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Negara juga dinyatakan non-confessional, bukan lagi negara agama. “Perubahan ini memicu pengenalan kembali Islam,” ujar Ruiz-Bejarano.

Sebelumnya, Spanyol adalah negara Katolik dan sangat kanan. Franco memimpin negeri yang pernah sangat terkenal dengan matadornya ini menggunakan otoritarianisme. Saat itu, kata Raul Merchan, “Spanyol negeri yang menutup diri.”

Pada 5 Juli 1980, Madrid melahirkan Undang-Undang Kebebasan Beragama yang kian menguatkan perkembangan penganut agama-agama non-Katolik, terutama Islam. Pada tahun ini juga tercatat untuk pertama kalinya sekelompok muslim bersembahyang bersama secara terbuka di Mirador de San Nicolas, yang berjarak satu bangunan dari Masjid Agung Granada kini. “Mereka orang asli Skotlandia dan penganut tarekat sufi,” ujar Ruiz-Bejarano.

Bahkan, pada 1992, pemerintah menandatangani kesepakatan khusus dengan Komisi Islam Spanyol guna menjamin dukungan pemerintah terhadap kebebasan warga muslim menjalankan ajaran agama dan memiliki hak membangun masjid. Kesepakatan juga dijalin dengan komunitas evangelis dan Yahudi.

Menurut Ibrahim Hernandez, setelah ambruknya pemerintahan Franco, terjadi semacam revolusi, termasuk revolusi spiritual karena tadinya semua “dipaksa” memeluk Katolik. “Orang mencari jawaban dan banyak yang menemukannya dalam Islam,” katanya. “Karena itu, banyak orang yang kemudian memeluk Islam, sekitar akhir 1970-an dan awal 1980-an.” Tapi ternyata hal itu berlanjut hingga sekarang.

Musala Yayasan Masjid Sevilla, misalnya, banyak menerima orang yang bersyahadat. Hernandez sendiri adalah generasi kedua penduduk muslim Spanyol. Ayahnya yang pertama kali memeluk Islam dalam keluarganya. Istri Hernandez, Aisha, juga mualaf. Demikian pula Fatima Azzahra Zamorano Garcia, yang baru setahun memeluk Islam, dan suaminya.

Ruiz-Bejarano pun baru menjadi muslim pada 2002. Di masjid tempat dia aktif di Valencia, tercatat rata-rata 100 orang bersyahadat setiap tahun. Di berbagai musala atau masjid di Spanyol, para mualaf gampang ditemui. Misalnya saat saya mengunjungi Masjid Tauhid di Cordoba, yang lokasinya hanya sekitar 200 meter dari Mezquita-Cathedral (Masjid Katedral). Aisha Barnabeu mengisahkan kemuslimannya yang baru berumur beberapa bulan. “Saya merasa lebih damai dan tenang,” ucap perempuan 44 tahun ini. Jawaban yang hampir sama dinyatakan beberapa mualaf yang saya temui, seperti Fatima Azzahra.


Musala Yayasan Masjid Sevilla. -Ernest Hemingway Photo Collection

Siang itu, pada akhir Agustus lalu, di masjid yang letaknya tersembunyi di gang kecil dan terlihat seperti gang buntu bila dilihat dari ujung gang yang penuh dengan restoran dan toko cendera mata, Aisha Barnabeu berdiskusi tentang agama dengan Housna Mekhelef dan Wafa Chahbounia. “Saya sedang belajar mengenakan jilbab,” katanya.

Ruiz-Bejarano menambahkan, penduduk muslim kembali mendapat momentum tumbuh pesat setelah tragedi 11 September 2001, yang merobohkan World Trade Center di New York, Amerika Serikat. “Tragedi 11 September memicu ketertarikan pada Islam,” tuturnya.

Meski demikian, populasi muslim di Spanyol tetap tidak didominasi mualaf, terutama mualaf Spanyol. Sebanyak 60 persen muslim bukan warga negara Spanyol. Adapun dari 40 persen dari sekitar 2 juta muslim berpaspor Spanyol, menurut Ruiz-Bejarano, hanya 10 persen yang merupakan mualaf Spanyol atau mualaf Inggris yang lama tinggal di Spanyol.

Muslim pendatang, yang sudah berkewarganegaraan Spanyol ataupun warga asing, kebanyakan berasal dari Maroko dan Aljazair. Lainnya datang dari berbagai negara, di antaranya Somalia, Sudan, dan Pakistan. Wafa Chahbounia dan Housna Mekhelef, yang saya temui di Masjid Tauhid di Cordoba, berasal dari Maroko dan Aljazair.

Di Masjid Agung Granada, saya juga berbincang dengan penjaga masjid, Latif Thomson, yang keluarganya bermigrasi dari Inggris, dan Zeshaan Karim asal India. “Kami pindah ke sini saat saya masih kecil,” ujar Thomson, yang kini berusia 20 tahun.

Tak mengherankan, musala dan masjid pun terus tumbuh. Menurut Ruiz-Bejarano, jumlahnya lebih dari 450. Bahkan beberapa media menyebutkan lebih dari 1.000. “Tapi yang besar hanya beberapa, seperti di Granada dan Madrid. Kebanyakan kecil seperti garasi,” ucapnya.

Ibrahim Hernandez juga menjelaskan bahwa kebanyakan musala adalah ruangan yang disewa komunitas muslim untuk beraktivitas, terutama sembahyang Jumat bersama yang merupakan kewajiban bagi pria. “Masjid Agung Granada satu-satunya masjid besar yang dibangun di tanah wakaf,” katanya.

Komunitas muslim Sevilla, menurut Hernandez, sedang dalam proses membangun masjid. Dia dan kawan-kawannya telah beberapa kali datang ke Indonesia untuk mensosialisasi rencana pembangunan itu sekaligus berupaya mengumpulkan dana. “Baju batik yang bapak itu kenakan oleh-oleh yang saya beli waktu ke Indonesia,” tuturnya sembari menunjuk satu-satunya orang yang mengenakan baju batik siang itu.

MESKI relatif tak mendapat banyak ancaman yang membuat surut nyali, bukan berarti kaum muslim Spanyol tak menghadapi tantangan. Misalnya dalam pembangunan masjid seperti yang diinginkan. “Membangun masjid sulit, tapi mendirikan musala tidak begitu sulit,” Hernandez menerangkan.

Dalam pembangunan musala, yang penting adalah menjaga kebersihan dan hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Sedangkan pendirian masjid sudah susah sejak proses mendapatkan tanah. Selain itu, ”Sulit mengumpulkan dana yang cukup, juga mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar dan pemerintah,” ujar Hernandez. “Masjid Granada butuh waktu 25 tahun,” Latif Thomson menjelaskan lebih detail masalah pembangunan Masjid Agung Granada, yang dari halamannya pengunjung bisa menikmati Alhambra dan Pegunungan Sierra Nevada. Dalam pembangunan masjid, menurut Thomson, pengurus menghadapi berbagai masalah, dari urusan izin bangunan hingga soal ketinggian minaret. “Masyarakat pun awalnya menentang,” kata pria yang kadang bertugas menjaga masjid Granada ini. Tapi, akhirnya, masjid berdiri dengan minaret rendah.


Acara pensyahadatan muslim baru di musala Yayasan Masjid Sevilla. -JFK Library

Pandangan “miring” terhadap Islam alias islamofobia juga masih dihadapi muslim di negeri yang dulu dikenal dengan acara adu bantengnya ini. Apalagi dalam kondisi sekarang, ketika berkali-kali serangan teror dilakukan orang Islam di beberapa negara di Eropa. Di Spanyol, terjadi serangan di Madrid pada 2004 dan di Barcelona serta Cambrils pada 2017. Selain itu, belakangan, marak pengungsi dari Timur Tengah ke kawasan Eropa. “Setelah serangan di Barcelona, ada grafiti di sini,” kata Hernandez.

Beberapa mualaf mengisahkan berondongan pertanyaan kurang menyenangkan yang mereka terima. “Misalnya ’Kamu sekarang jadi radikal?’, ’Kamu jadi muslim karena suami?’,” ujar Fatima Azzahra.

Muslim perempuan yang mengenakan jilbab tak jarang sulit mendapatkan pekerjaan. “Saya sedang dalam proses menjadi polisi. Saya ingin berjuang untuk bisa menjadi polisi dengan tetap mengenakan jilbab,” ucap Azzahra.

Menurut Ibrahim Hernandez, kehidupan minoritas muslim di mana pun di dunia tidak mudah akibat cap teroris belakangan ini. Jadi, ia melanjutkan, tantangan bagi muslim adalah mengubah persepsi masyarakat luas terhadap Islam dan muslim. “Saya percaya bahwa yang mesti kami lakukan bukan sembunyi atau menyatakan kami bukan ini, bukan itu. Tapi, sebaliknya, kami menunjukkan kepada orang-orang siapa kami dengan aktif dan bersih.”

Karena itulah, Hernandez menambahkan, masyarakat muslim Sevilla ingin membangun masjid. “Dengan begitu, ada tempat terbuka untuk menunjukkan siapa kami dan aktivitas kami. Semoga ini bisa mengubah persepsi terhadap Islam.”

MONUMEN-MONUMEN MASJID Edisi : 16 November 2018 Spanyol banyak menyimpan dan merawat warisan peradaban Islam saat muslim berkuasa di Al-Andalus.

iMonumen-Monumen Masjid PRIA yang selalu berjaga di meja resepsionis Hotel Hospederia Luis de Gongora di Cordoba itu memberikan peta dan menjelaskan arah menuju Mezquita-Cathedral (Masjid Katedral). Tak jauh, hanya sekitar 800 meter. Namun jalanan kecil seperti gang-gang yang berkelok-kelok, tidak bersistem blok, memang membuat orang gampang tersasar. “Masjidnya ya di dalam katedral itu,” ujarnya. Dengan ramah dia menjelaskan bangunan yang menjadi salah satu tujuan utama pelancong di Kota Cordoba, Andalusia, Spanyol, tersebut. Memang aneh. Masjid dan katedral bersatu dalam satu bangunan anggun dengan gaya arsitektur campuran Moorish, Gothic, Renaissance, dan Baroque. Bahkan warga yang akan mengikuti misa biasa mengatakan akan pergi bersembahyang di masjid. Pagi itu, pintu masuk Masjid Katedral terbuka lebar. “Boleh masuk,” kata petugas di pintu masjid. Ternyata, saat pagi, Masjid Katedral dibuka sebentar untuk umum tanpa tiket masuk alias gratis. Bila masuk pada pukul 10.00, pengunjung sudah kena tiket wajib seharga 10 euro.

Masjid Katedral Cordoba merupakan salah satu peninggalan kejayaan kaum muslim di Spanyol dan sekitarnya di Semenanjung Iberia yang tercatat di daftar situs warisan dunia UNESCO. Kota Cordoba, yang dulu menjadi salah satu pusat sains, ekonomi, dan budaya dunia pada masa muslim berkuasa, pun tercatat sebagai pusat sejarah versi UNESCO.


Interior Masjid Katedral Cordoba. -TEMPO/Purwani Diyah Prabandari

“Kami menghargai warisan Islam, termasuk semua infrastruktur yang dibuat. Mereka sangat maju pada waktu itu,” tutur Atase Perdagangan Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta, Raul Merchan, dua pekan lalu.

Masjid Katedral awalnya sebuah kuil dewa Romawi, Janus, yang kemudian diubah menjadi gereja saat Visigoth menguasai Cordoba pada 572. Ketika muslim, dimulai dengan Dinasti Umayyah yang kabur dari Damaskus, mulai berkuasa pada 711, tempat ibadah ini digunakan bersama oleh kaum muslim dan Katolik. Namun, pada 784-786, Emir Abdul al-Rahman I membeli bagian gereja dan menghancurkan seluruh bangunan, yang kemudian dibangun lagi menjadi masjid baru. Masjid ini diperluas beberapa kali pada abad ke-9-10.

Pada 1236, pada masa Penaklukan Kembali (Reconquista), saat pasukan Katolik mulai merebut kawasan-kawasan muslim, masjid dialihfungsikan menjadi gereja Katolik Roma. Pada abad ke-16, Raja Carlos I menambah katedral Renaissance di dalamnya. Perubahan-perubahan fisik dilakukan, meski masih tersisa sebagian kecil seperti mihrab dan minaret, yang sekarang menjadi menara lonceng. Juga beberapa tulisan Arab dan gaya arsitektur di sebagian bangunan.

EKSPRESI kekaguman pasti terpancar dari muka para pengunjung begitu memasuki Masjid Katedral. Di pinggir ruangan, berjajar kapel-kapel terbuka dengan patung-patung dan ornamen khas Katolik yang ditutup dengan jeruji sehingga pengunjung tak bisa masuk. Di tengah, jajaran pilar keramik, granit, oniks, dan jasper berjumlah 856 (dari aslinya 1.293) yang begitu teratur langsung mengundang mata untuk mencoba menghitungnya. Satu, dua, tiga… sepuluh sampai tak sanggup lagi. Di bagian atasnya, menambah elok, lengkungan-lengkungan tapal kuda Moorish dengan sentuhan warna merah dan putih.

Di tengah ruangan penuh pilar tersebut terlihat gaya Renaissance. Altar tinggi khas Renaissance, atap Gothic, mimbar Baroque, serta tembok Renaissance ditandai dengan Salib Utara dan Salib Selatan harmonis dengan lengkungan-lengkungan gaya Islam.

Beberapa orang duduk diam di barisan kursi yang ada, berdoa atau sekadar menikmati keindahan bangunan dalam sunyi. Meski ada banyak orang, kebanyakan menikmati bangunan dengan diam atau berbicara pelan. Melangkah pun seolah-olah begitu berhati-hati, takut mengganggu. Masjid Katedral yang juga dikenal dengan nama Our Lady of the Assumption Cathedral ini memang masih berfungsi sebagai tempat ibadah umat Katolik. Misa pun rutin diadakan.

Melangkah ke sisi bagian belakang, terlihat pagar membatasi sebagian ruangan. Rupanya, inilah bekas masjid yang masih jelas. Di tembok ini terdapat mihrab dengan arsitektur dan ornamen khas Islam. Mihrab ini memiliki bentuk lengkung tapal kuda di atasnya dan dihiasi kaca bening dengan latar belakang keemasan yang membentuk seperti pita kaligrafi bermotif vegetasi.

Memandang atas, tampak kubah yang tak kalah eloknya. Warna keemasan dan kaligrafi ayat Al-Quran juga mewarnainya. Tak seperti di bagian gereja yang masih digunakan untuk misa, di bagian ini orang tidak boleh melaksanakan salat. Uniknya, mihrab tersebut tidak menghadap ke tenggara, ke Mekah, tapi ke selatan, seperti masjid-masjid di Damaskus—asal Dinasti Umayyah, yang mengawali kekuasaan muslim di Al-Andalus.

Eksterior masjid pun tak sepi dari jejak Moorish. Selain tembok-tembok luar yang ramai dengan warna arsitektur bangsa Moor dan kaligrafi Arab, di halaman dalam masjid terdapat kebun dengan pohon jeruk dan air mancur khas Moor yang dikenal sebagai Patio de los Naranjos. Di pojok depan kiri, berdiri megah menara lonceng setinggi 93 meter yang dulu minaret masjid.

Masjid Cordoba bukan satu-satunya masjid peninggalan bangsa Moor yang kemudian menjadi gereja setelah masa Reconquista atau perang perebutan kembali kekuasaan oleh pasukan Katolik. Menyusuri kota-kota di Spanyol yang dulu bagian dari Al-Andalus, kita masih bisa menemukan kisah-kisah masjid yang begitu marak pada Abad Pertengahan. Ada yang tinggal reruntuhan, ada yang telah menjadi gereja dan tanpa bekas masjid lagi, tapi tak sedikit yang menjadi gereja tapi dengan potongan-potongan arsitektur atau ornamen khas Islam yang terawat.

Di Cordoba, diperkirakan dulu terdapat 300-an masjid dan berarsitektur “tinggi” khas Islam saat kota ini menjadi salah satu kota terbesar di dunia. Keadaan tersebut membuat Cordoba setara dengan Konstantinopel, Damaskus, dan Bagdad. Namun yang tersisa jejak fisiknya tak banyak. Adapun Granada, juga di Andalusia, diperkirakan pernah memiliki 137 masjid dan bangunan lain. Di Toledo, sekitar 72 kilometer dari Madrid (ibu kota Spanyol), hanya tinggal beberapa bangunan bekas masjid yang masih terawat potongan-potongan sisa masjidnya. Kota kecil ini penuh dengan peninggalan yang menunjukkan umat Islam, Katolik, dan Yahudi hidup damai bersama. Pada arsitektur setiap bangunan tempat ibadah juga selalu bercampur gaya Islam, Nasrani, dan Yahudi atau salah satu dari keduanya.

Di Mezquita-Iglesia de El Salvador dan Cristo de la Luz contohnya. Cristo de la Luz, yang tadinya bernama Mezquita Bab-al-Mardun, dibangun pada 999 di dekat gerbang Kota Toledo. Pada 1186, masjid itu diganti fungsinya menjadi kapel. Tembok kiblat dan mihrab diubah.

Memasuki Cristo de la Luz, kita langsung disambut pilar-pilar dengan lengkungan tapal kuda yang mengingatkan pada Masjid Katedral Cordoba. Di sebelah kiri, patung Yesus atau Isa Almasih tegak di atas. Beberapa tulisan kaligrafi Arab masih terlihat di dinding dan lengkungan tapal kuda.

Adapun di Sevilla, ibu kota Andalusia, kita bisa menemukan jejak masjid di Catedral de Santa Maria de la Sede atau biasa disebut Katedral Sevilla. Katedral ini bekas masjid yang menjadi gereja pada 1248, tapi runtuh akibat gempa pada 1365. Pada 1401, didirikan bangunan katedral baru. Bekas bagian masjid yang masih tegak berdiri adalah minaret, yang sekarang menjadi menara lonceng gereja yang dikenal sebagai Menara La Giralda. Namun di beberapa bagian katedral juga tetap terawat sebagian kecil sisa masjid lain, seperti tulisan kaligrafi Arab di pintu keluarnya. Seperti Masjid Katedral di Cordoba, katedral ini masuk daftar situs warisan dunia UNESCO, bersama beberapa bangunan lain di Sevilla, di antaranya kompleks Alcazar di sebelahnya yang juga penuh “warna Moorish”.


Sisa kaligrafi islam di Cristo de la Luz, Toledo. -TEMPO/Purwani Diyah Prabandari

Tak mengherankan, banyak pelancong muslim ikut meriuhkan pariwisata di Spanyol. Menurut Raul Merchan, total pelancong di Spanyol tahun lalu sekitar 82 juta. “Penduduk Spanyol sendiri 47 juta,” katanya, sembari menambahkan bahwa di negerinya terdapat 45 situs warisan dunia.

Menyaksikan potongan-potongan peninggalan kejayaan Islam, pengunjung muslim kadang spontan ingin melaksanakan salat, terutama di Masjid Katedral Cordoba. Pada 2010, pernah ada pengunjung yang salat di bagian “masjid”. Petugas keamanan langsung menariknya.

Ada pula sekelompok muslim Spanyol yang meminta izin kepada otoritas gereja di Spanyol dan Vatikan agar muslim bisa bersembahyang di Masjid Katedral. Namun permintaan itu ditolak. Selain itu, ada upaya dari komunitas gabungan muslim dan sekuler agar bagian masjid lebih difungsikan sebagai monumen. “Kami tidak menginginkan bangunannya (kembali menjadi masjid), tapi bangunan tersebut lebih untuk publik,” kata Barbara Hayat Ruiz-Bejarano, Direktur Hubungan Internasional Institut Halal Spanyol.

Yang pasti, memang banyak penduduk muslim Spanyol yang tidak ingin berupaya membuat bekas masjid itu kembali menjadi masjid. “Itu bukan lagi milik kita,” ucap Presiden Yayasan Masjid Sevilla Ibrahim Hernandez.

https://majalah.tempo.co/read/156580/monumen-monumen-masjid?read=true

SEORANG NEGARAWAN YANG ARIEF Edisi : 13 Februari 1993 iSeorang negarawan yang arief TAK banyak orang mampu memutuskan pilihan strategis secara demokratis dan terhormat. Mohammad Natsir, yang wafat Sabtu siang lalu dalam usia 84 tahun, termasuk di antara sedikit orang itu. Di akhir hanyatnya, Mohammad Natsir dikenal sebagai ulama besar, ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia. Jenazah bapak empat anak dan kakek 15 cucu ini Minggu pagi lalu dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet, Jakarta Pusat. Salah satu jasa Natsir yang monumental ialah perjuangannya membidani kelahiran kembali negara kesatuan RI. Berkat mosi integralnya, Natsir berhasil menyatukan kembali negara dan wilayah Tanah Air -- yang semula dipecah-pecah Belanda menjadi 15 negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Ketika RIS terbentuk pada pertengahan 1949, lima bulan kemudian -- sebagai keputusan Konperensi Meja Bundar -- Belanda mengakui RIS, dan selanjutnya mengikatnya dalam Uni Indonesia-Belanda. Ketika itulah Natsir diminta Wakil Presiden Moh. Hatta menjadi perdana menteri RI. Ia menolak, karena ketika itu RI pun hanyalah salah satu negara bagian. Ia lebih suka sebagai ketua Fraksi Masyumi. Dalam tubuh RIS sendiri terjadi pergolakan: beberapa negara bagian ingin bergabung dengan RI yang berpusat di Yogya ketika itu. Melihat itu Natsir tak berpangku tangan. Selama dua bulan ia dengan alot melobi semua fraksi, termasuk PKI, juga dengan BFO (Bijzonder Federal Overleg) yang terdiri dari kepala-kepala negara bagian bikinan Belanda. Ia juga menemui Mr Assaat, Presiden RI Yogya, yang juga sebuah negara bagian. Dalam sidang Parlemen RIS 3 April 1950 Natsir berpidato dengan bahasa yang halus dan diplomatis -- agar tak ketahuan maksudnya oleh Belanda -- mengajak terbentuknya kembali negara kesatuan. Pidato itu diakhiri dengan Mosi Integral Natsir yang bermaksud sama, ditandatangani semua fraksi. Setelah melalui berbagai proses perundingan, 15 Agustus 1950 Presiden Sukarno mengumumkan piagam terbentuknya (kembali) negara kesatuan RI, yang diproklamasikan kembali dua hari kemudian. Langkah Natsir itu merupakan pilihan strategis, yang dicapai secara konstitusional, demokratis, dan terhormat. Itulah sebabnya Presiden Sukarno kemudian menunjuknya sebagai perdana menteri yang pertama ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia pulih. Ketika wartawan Asa Bafagih dari Merdeka menanyakan calon yang ditunjuk membentuk kabinet, Bung Karno kontan berkata, Siapa lagi kalau bukan Natsir yang mempunyai konsepsi menyelamatkan Republik melalui konstitusi. Dalam beberapa hal, sikap Natsir mencerminkan kecenderungannya sebagai nasionalis yang teguh. Misalnya di tahun 1951, ketika Belanda akan menyerahkan semua wilayah Republik, kecuali Irian Barat, sebagai hasil Konperensi Meja Bundar. Semua pejabat setuju, kecuali Natsir yang ketika jadi Menteri Penerangan. Ia lalu mengundurkan diri. Berat buat saya sebagai Menteri Penerangan menjelaskan soal itu kepada rakyat, katanya empat tahun lalu kepada TEMPO. Sikap Natsir memang prinsipiil. Misalnya ketika ia bergabung dengan PRRI. Dalam wawancaranya dengan TEMPO, ia menyatakan keikutsertaannya dalam PRRI itu lantaran Presiden Sukarno -- dengan Konsepsi Presiden-nya yang akan merombak struktur negara secara keseluruhan -- telah melanggar konstitusi. Bung Karno bermaksud mengikutsertakan PKI dalam kabinet, yang juga ditentang Bung Hatta. Keikutsertaannya sebagai penandatangan Petisi 50 barangkali juga lantaran sikapnya itu. Gara-gara PRRI itulah ia dijebloskan oleh pemerintahan Sukarno dalam penjara. Belakangan ia dibebaskan pemerintah Orde Baru, tapi diamankan kembali. Meski begitu, ia dengan jiwa besarnya bersedia membantu Pemerintah. Suatu hari seorang utusan Ali Murtopo menemuinya di Rumah Tahanan Militer Jalan Keagungan, Jakarta, minta agar ia membantu memperbaiki hubungan diplomatik dengan Malaysia -- yang pernah terputus gara-gara politik konfrontasi Bung Karno. Dari tahanan saya menulis surat tulisan tangan: Ini ada niat dari pemerintah Indonesia untuk memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Mudah-mudahan Tengku bisa menerima. Saya memang mengenal Tengku Abdul Rahman, perdana menteri Malaysia. Waktu memperjuangkan Malaysia dari cengkeraman Inggris, ia datang ke Jakarta dan kami bertemu di sebuah resepsi, ceritanya suatu hari kepada TEMPO. Hubungan RI-Arab Saudi yang memburuk di zaman Bung Karno juga diperbaikinya. Suatu hari seorang utusan lain menyampaikan pesan Ali Murtopo agar Natsir membantu mendapatkan kredit dari negara-negara Arab. Ketika itu Natsir, yang sampai akhir hayatnya menjadi salah seorang pimpinan Rabithah Alam Islami, memang akan ke sana menghadiri sebuah sidang. Sampai di sana ia menulis surat kepada pemerintah Kuwait mengenai kredit itu. Beberapa waktu kemudian, suatu malam Ali Murtopo menemuinya, memberitahukan bahwa Kuwait setuju menanam modal di bidang perikanan laut. Natsir juga membantu menembus lobi Kaidanren. Sebelumnya usaha mendapatkan kredit dari organisasi para pengusaha dan industriwan Jepang itu gagal. Kebetulan saya diundang ke Jepang. Di sana saya meyakinkan mereka bahwa Jepang tidak bisa mengabaikan Indonesia, tutur Natsir kepada TEMPO 21 tahun berselang. Lalu para tokoh Kaidanren menganjurkan agar delegasi Indonesia datang setelah peraturan mengenai kredit disempurnakan oleh parlemen Jepang. Berhasil. Bagi Natsir, itu semua mungkin hal yang biasa-biasa saja, sebagai salah satu pengabdian kepada bangsa dan negara. Apalagi sesungguhnya ia lebih menonjol sebagai tokoh nasional yang banyak dikenal di dunia internasional, terutama dunia Islam. Ia adalah wakil ketua Kongres Muslim Sedunia, anggota pimpinan Rabithah Alam Islami, dan Dewan Mesjid Sedunia. Politik dan dakwah itu tak bisa dipisahkan. Kalau kita berdakwah, itu semuanya politik. Dakwah tak lebih rendah dari politik, politik tanpa dakwah itu hancur, katanya suatu hari. Dan di usianya yang mulai uzur, sebagai ulama besar yang jadi anutan dan tempat banyak orang bertanya, Pak Natsir selalu melontarkan nasihat resep panjang umur. Yaitu memperbanyak ibadah. Budiman S. Hartoyo, Wahyu Muryadi, dan Iwan Qodar

https://majalah.tempo.co/read/2657/seorang-negarawan-yang-arief?read=true

Insiden Wamena

[sunting | sunting sumber]

Govt claims armed group behind deadly Wamena riot, dismisses concerns of ethnic violence

Ivany Atina Arbi and Andi Hajramuni The Jakarta Post (30 Sept. 2019)


Govt claims armed group behind deadly Wamena riot, dismisses concerns of ethnic violence Ivany Atina Arbi and Andi Hajramuni The Jakarta Post

PREMIUM Jakarta/Makassar / Mon, September 30, 2019 / 08:04 pm Evacuees wait for their turn to board an Indonesian Military (TNI) aircraft at Wamena Airport in Jayawijaya regency on Sept. 28 following a deadly riot on Sept. 23. (Antara/Iwan Adisaputra) The government has accused a Papuan armed group of being behind the deadly riot in Wamena, Papua, last week that led to the deaths of at least 33 people and resulted in thousands of residents fleeing the city. President Joko “Jokowi” Widodo said in a press conference on Monday that the armed group provoked the deadly unrest and dismissed concerns the riot was the result of an ethnic conflict between native Papuans and non-natives.

“I have ordered Coordinating Political, Legal and Security Affairs Minister [Wiranto], the Indonesian Military [TNI] and the police to pursue the rioters,” Jokowi said, after sending his condolences to victims’ families.

The President called on Wamena residents to stay in the region and go on with their lives. He guaranteed their security by saying that the police had managed to capture a number of the rioters.

“The security forces have worked hard to protect all citizens,” Jokowi added.

Minister Wiranto, at a separate press conference, said the rioters involved in the Wamena unrest were mobilized by two forces, namely the Free Papua Movement (OPM) and an international organization led by United Kingdom-based Papuan exile Benny Wenda.

“The OPM and Benny Wenda tried to build up the riots and expose them to the world. It was a conspiracy to separate Papua and West Papua [from Indonesia],” the minister said. The unrest happened shortly before the annual United Nations General Assembly held at the UN headquarters in New York, the United States, last week and Wiranto claimed that it was not a coincidence.

The government claimed previously the turmoil was intentionally created by separatist groups with the intention for it to be brought up at the General Assembly. “[Luckily,] no country has given special attention to the attempt [to separate Papua and West Papua from Indonesia], which is against UNGA Resolution No. 2504 of 1969,” Wiranto said.

Wamena saw violent unrest erupt on Monday, Sept. 23, when a mob, reportedly of native Papuans, set buildings on fire, destroyed vehicles and attacked people with weapons. At least 33 people were killed in the incident — most of whom were people of non-Papuan descent. Authorities said the victims had died of stab wounds or burns.

The National Commission on Human Rights (Komnas HAM) described the events in Wamena as “a tragedy of humanity” that affected all Indonesian citizens, regardless of their ethnicity or religion.

“In this kind of situation, we are all grieving,” said Komnas HAM chairman Ahmad Taufan Damanik. He also shrugged off accusations that what happened in Wamena was a war against certain ethnic groups coming from outside Papua, saying the incident stemmed from “something complex that had been in Papua for an extensive period of time.”

More than 7,000 Wamena residents took shelter including at the police and TNI headquarters, while another 2,670 people fled the city with the help of the Air Force. Roughly 10,000 residents have reportedly signed up to be airlifted to the provincial capital of Jayapura as well as to other provinces.

Jayawijaya Regent Jhon Richard Banua said 7,278 residents had been displaced and that schools had not reopened.

The chairman of a South Sulawesi community association in Wamena, Rudi Hartono, said the majority of the evacuees were afraid to return homes amid fears of further violence. “We need security guarantees,” he said, adding that many people staying at the shelters had lost their homes in the riot.

“Wamena is like a dead city with almost no one brave enough to continue with their normal activities.”

https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/30/govt-claims-armed-group-behind-deadly-wamena-riot-dismisses-concerns-of-ethnic-violence.html

Insiden Wamena (artikel II)

[sunting | sunting sumber]

Fear grips Wamena after deadly riots

https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/30/fear-grips-wamena-after-deadly-riots.html

Ivany Atina Arbi, Benny Mawel and Syofiardi Bachyul

The Jakarta Post (30 Sept. 2019)

Tension remains in Wamena, the capital of Jayawijaya regency in Papua, following deadly riots that paralyzed a part of the city and left more than 30 people dead.

Thousands of residents have fled the affected area, and thousands more are ready to leave amid fear of further violence.

Roughly 6,700 residents are currently put up at a number of evacuation sites in Wamena, including at the Indonesian Military (TNI) headquarters, while some 2,670 others have fled the city with the help of the Air Force.

The commander of the Silas Papare Air Base in Jayapura, Air Cdre. Tri Bowo Budi Santoso, said another 10,000 people had signed to be airlifted out.

“We expect to finish [the mission] in the next three or four days,” Bowo said as quoted by kompas.com, adding that the Air Force operated two Hercules planes to transfer the people to Jayapura.

The commander of the Jayawijaya Military District Command, Lt. Col. Candra Dianto, said separately that the evacuees urgently needed supplies, including staple food, clothes, sanitary pads and diapers.

“Please help us spread the info to get as much help as possible for the evacuees,” Candra said on Saturday, as reported by news agency Antara.

Wamena descended into chaos last Monday as a mob, reportedly native Papuans, ran amok, setting buildings on fire, destroying vehicles and attacking people with weapons. At least 33 people have been killed, mostly non-native Papuans, according to authorities.

Authorities have not stated what may have triggered the riot, which followed a mass protest triggered by an alleged racist slur by a non-native Papuan teacher against a Papuan student at senior high school SMA PGRI in Wamena days earlier. The offended students are believed to have assembled with other Papuans.

Whether that protest is connected to the riots remains unclear. Residents said they had witnessed people from outside Wamena among the rioters.

Papuans living in Wamena told the Post they had not recognized the faces of the rioters, saying they might have come from other districts. “We don’t know where they come from,” said a local, Obet Mabel, who helped at least 58 families fleeing their homes and seeking protection.

It is difficult to independently verify information as the government restricts access for journalists to Papua.

Obet, along with other natives of Wamena, said he blocked the way of the rioters as they chased the fleeing residents. “[After the situation had calmed down], we transferred them to the center of the city, which was considered safer,” he said.

A witness whose home was attacked with rocks, Ami, told The Jakarta Post on Sunday that the mob had assaulted everything they encountered along the way, including people. “They became more aggressive once they met non-Papuans,” said the man resident from the area of Hom Hom, Wamena.

The 34-year old added that the assault seemed to be targeting non-native Papuans, as the majority of residents living in Hom-Hom region were non-natives. Ami himself is of Javanese descent, although he was born and raised in Papua’s capital city of Jayapura.

The father of one has moved to another part of the city, which he considered safer, along with his family. Other residents of Hom Hom, he added, had sought shelter at the police and military headquarters.

Some native Papuans also fled the region out of fear of more violence. “The mob blindly attacked properties in my neighborhood. They don’t care whether they’re owned by non-natives or not,” Ami added.

Meanwhile, Azhari, the head of state-run broadcaster Radio Republik Indonesia (RRI) in Wamena, told the Post separately that the atmosphere in Wamena was “tense”, as a number of destroyed and burned buildings had yet to be cleaned up by the authorities.

It was possible that more bodies were buried in the properties, given the fact that the majority of bodies found so far were found under debris, he further said.

“Those victims run into their houses to escape from the riots. Unluckily, the buildings were set ablaze by the angry mob, meaning the settlers were burned alive,” Azhari said, citing info he gathered in the field.

At least four native Papuans were also killed in the violence, according to authorities.

The 33 fatalities confirmed so far include nine people from West Sumatra, causing outrage among West Sumatrans outside Papua.

West Sumatra Deputy Governor Nasrul Abit visited Papua on Sunday to check on the condition of hundreds of West Sumatrans in the country’s easternmost region, particularly those staying at evacuation sites.

Nasrul revealed that around 1,300 West Sumatrans currently live in Wamena. More than 80 shops owned by people from the province were reportedly burned to ashes in Monday’s riots.

West Sumatra authorities are currently raising funds for the affected residents to help them either recover their livelihoods in Wamena or go back to West Sumatra.

Various NGOs and mass organizations have conveyed their condolences regarding the violence.

The chairman of Muhammadiyah, the country’s second-largest Muslim organization, Haedar Nasir, urged the government to immediately address the problem, saying the state should protect all Indonesian people without exception.

Rights group Amnesty International Indonesia said Monday’s incident was one of the bloodiest Papua had seen in the past 20 years, with at least 24 lives lost within 24 hours.

“Indonesian authorities must initiate a prompt, impartial, independent and effective investigation into the incident,” the group’s executive director, Usman Hamid, said in a statement, adding that those responsible for human rights violations should be held accountable in a fair trial.

Amnesty International noted in a past report how unlawful killings by security forces in Papua often occurred under the pretext of enforcing law and order. Transparency, in this case, was an essential part of preventing potential abuse of power by officials, it said.

Masalah satwa Sumatra

[sunting | sunting sumber]

Disoriented wild elephants in Jambi to be returned to ‘original habitat’

https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/30/disoriented-wild-elephants-in-jambi-to-be-returned-to-original-habitat.html

Jon Afrizal

The Jakarta Post (30 Sept. 2019)

Authorities in Jambi have been trying to catch three wild elephants that have reportedly been disturbing residents of Batanghari regency for three months, in an effort to return the animals to their habitat of origin in Tebo regency.

The elephants had become disoriented because of land clearing and illegal logging and were feeding on rice plants and oil palm shoots, said Jambi Natural Resource Conservation Agency (BKSDA) head Rahmad Saleh.

A team of 20 conservationists from the BKSDA Jambi and the Frankfurt Zoological Society (FZS) as well as two veterinarians had been dispatched to the location in Sengkati Baru village, Mersam district, over the weekend.

Veterinarian Anhar Lubis of the Leuser Conservation Forum (FKL) said the wild animals would be anesthetized once they were transferred to trucks with the help of three trained elephants from the Elephant Training Center (PLG) Minas in Riau.

"The anesthetic injection uses a combination of sedative and analgesics," Anhar said on Saturday.

He said each of the wild elephants would be escorted by three tamed elephants to get into the truck to be transported to their habitat of origin in the Bukit Tigapuluh National Park (TNBT), some 80 kilometers from their present location.

"Theoretically, that is what is supposed to happen. We estimate we will need three days to return them to their habitat," he said, adding that each of the wild elephants would also need three animal handlers in the process.

The three wild mammals are predicted to be over 18 years of age and weigh between 2 and 4 tons each. They are at the present site because they lost their orientation while looking for food. “They are eating rice plants and oil palm shoots,” he said.

The translocation was aimed at returning the three elephants to their original habitat, thus preventing their life cycle from being disrupted.

“This is an effort to save Sumatran elephants,” BKSDA Jambi head Rahmad Saleh said, adding that, unless it was done, the animals were at danger of falling victim to poaching, especially because they were males and already had tusks.

Rahmad also expressed hope that the translocation would avoid possible conflict between the elephants and humans or damage to plantations.

He added that the word “pest” was often attached to elephants in reference to the destruction of crops, noting, however, that the elephants had become disorientated because of damage to their habitat due to land clearing and illegal logging.

Data show that there are some 150 elephants in Jambi, living mainly in the TNBT and the Hutan Harapan area