Lompat ke isi

Pengguna:Nadiantara/Islamic philosophy

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dalam agama Islam, terdapat dua kata yang sering diterjemahkan sebagai filsafat -- falsafa (secara harfiah "filsafat"),merujuk pada filosofi dan logika (matematika dan fisika);[1] dan Kalam (secara harfiah berarti "berbicara"), merujuk pada filsafat yang berdasar pada interpretasi dari Aristotelianisme dan Neoplatonisme. Filsafat Islam juga telah digambarkan sebagai penyelidikan sistematis terhadap permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan, alam semesta, etika, masyarakat, dan sebagainya, selama penyelidikan tersebut dilakukan di dalam dunia atau peradaban umat Muslim dan berhubungan dengan ajaran Islam.

Awal munculnya filsafat Islam diperkirakan dimulai pada abad ke-2 Hijriah dari kalender Islam, (awal abad ke-9 Masehi) dan berlangsung hingga abad ke-6 Hijriah (akhir abad ke-12 Masehi). Periode ini dikenal juga sebagai masa Keemasan Islam, dan keberhasilan yang dicapai oleh peradaban Islam pada periode ini memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan ilmu filsafat modern dan ilmu pengetahuan; terhadap era kebangkitan yang terjadi di Eropa, pengaruh ini dinyatakan sebagai "salah satu transfer teknologi terbesar sepanjang sejarah manusia."[2] Periode ini dimulai oleh Al-Kindi pada abad ke-9 dan diakhiri oleh Averroes (Ibnu Rusyd) pada akhir abad ke-12. Kematian Averroes secara nyata menandai akhir dari suatu disiplin dalam filsafat Islam yang biasanya dijuluki sebagai Sekolah Pergerakan Arab. Aktifitas yang berkaitan dengan kajian ilmu filsafat juga menurun dengan signifikan di negara-negara Islam bagian barat seperti di daerah Al-Andalus dan Afrika Utara.

Kajian ilmu filsafat bertahan lebih lama di negara-negara Islam bagian timur, seperti di Persia dan India, dimana beberapa perguruan filsafat terus mengalami perkembangan diantaranya : Avicennisme, filsafat illuminasionis, filsafat mistis, dan teosofi transenden. Pada masa ini, Ibn Khaldun, dalam bukunya Muqaddimah, membuat kontribusi penting untuk filsafat sejarah. Minat dalam filsafat Islam akhirnya kembali hidup setelah gerakan Nahda (kebangkitan) yang terjadi pada akhir abad 19 hingga awal abad ke-20, dan terus berlanjut hingga hari ini.

Pendahuluan[sunting | sunting sumber]

Sebagai pengertian pendahuluan, filsafat Islam merujuk pada kajian filsafat yang dihasilkan di dalam masyarakat Islam.

Filsafat islam adalah suatu istilah yang dapat didefinisikan dan digunakan dengan cara yang berbeda. Dalam artian yang lebih luas, filsafat Islam merupakan penafsiran dunia Islam terhadap literatur yang terdapat dalam ajaran Islam mengenai penciptaan alam semesta dan kehendak sang Pencipta. Dalam artian yang lain, filsafat Islam merujuk pada suatu aliran pemikiran terkait ajaran Islam, yang berkembang di bawah kerajaan Islam atau dalam pengaruh budaya Arab-Islam. Penafsiran tersempit dari istilah filsafat Islam adalah makna harfiah dari Falsafa; suatu aliran pemikiran yang mencerminkan pemikiran dalam sistem filsafat Yunani seperti Neoplatonism dan Aristotelianisme.

Kajian filsafat Islam tidak selalu berkaitan dengan isu-isu agama, atau yang dihasilkan secara eksklusif oleh umat dan ajaran Islam.[3] Juga, tidak semua pemikiran dalam Islam mengakui manfaat atau memerlukan legitimasi dari suatu kajian filsafat. Beberapa pemikir Islam berpendapat bahwa, tidak ada indikasi yang menyatakan bahwa keterbatasan pengetahuan dan pengalaman manusia dapat membawa kita kepada suatu kebenaran mutlak. Hal ini kemudian menjadi penting untuk diketahui bahwa, "akal" ('aql) yang sering disebut sebagai sumber hukum Islam, dapat memiliki arti yang sama sekali berbeda dari "akal" dalam kajian ilmu filsafat.

Historiografi dari kajian filsafat Islam ditandai oleh perdebatan tentang bagaimana suatu subjek harus diinterpretasikan dengan benar. Beberapa permasalahan kunci dalam kajian ini melibatkan suatu perbandingan penting antara pemikir timur seperti Ibnu Sina (Avicenna) dan pemikir barat seperti Ibnu Rusyd,[4] juga apakah filsafat Islam dalam kajiannya menafsirkan suatu subjek berdasarkan nilai empiris atau hanya berupa penafsiran bersifat eksklusif yang hanya bisa dilakukan oleh kalangan tertentu. Pendukung dari pernyataan terakhir, seperti Leo Strauss berpendapat bahwa filsuf Islam menulis karya mereka sedemikian rupa untuk menyembunyikan makna sejati yang mereka maksud demi menghindari potensi persekusi terkait agama, namun terdapat pemikir seperti Oliver Leaman yang tidak setuju.[5]

Pengaruh dalam perkembangan filsafat Islam[sunting | sunting sumber]

Filsafat Islam seperti namanya merujuk pada aktivitas filosofis yang berlangsung dalam lingkungan Islam. Sumber utama dari filsafat Islam klasik atau filsafat Islam awal adalah agama Islam itu sendiri (terutama gagasan-gagasan yang berasal dan ditafsirkan dari al-Qur'an). Selain itu, terdapat pengaruh dari pada filsafat Yunani yang diwariskan pada peradaban Islam awal melalui penaklukan wilayah, bersama juga di dalamnya dengan pra-Islam filsafat India dan filsafat persia. Banyak dari awal perdebatan filosofis yang berpusat di sekitar mendamaikan agama dan alasan, yang terakhir dicontohkan oleh filsafat yunani.

Pendapat yang menentang ilmu filsafat dalam Islam[sunting | sunting sumber]

Sebagian umat Islam menentang gagasan dari kajian ilmu filsafat dan menganggapnya tidak Islami. Situs jejaring populer terkait paham Salafi, IslamQA.info (dibimbing dan dikelola oleh Syekh Muhammad Shaleh al-Munajjid dari Arab Saudi) menyatakan bahwasannya ilmu filsafat merupakan "entitas asing" dalam islam :

Terminologi filsafat Islam tidak muncul sebagai suatu cabang pengetahuan yang diajarkan dalam kurikulum pembelajaran Islam hingga diperkenalkan oleh Syekh Mustafa 'Abd al-Razzaaq – seorang Syaikh dari al-Azhar – sebagai reaksi akibat serangan barat terhadap Islam yang menyatakan bahwasannya Islam tidak memiliki kajian filsafat. Fakta dari permasalahan ini adalah kajian filsafat Islam merupakan entitas yang asing dalam tubuh Islam.[6]

Fatwa ini juga mengklaim bahwa mayoritas ahli fiqhtelah menyatakan bahwa pembelajaran filsafat merupakan sesuatu yang haram dalam Islam. Beberapa dari ahli fiqh tersebut teredapat dalam daftar ini:

  • Ibnu Nujaym (Imam Hanafi); dalam tulisannya pada Al-asybah wan-Nazaa muth'im.
  • Al-Dardeer (Imam Maliki); perkataan beliau dalam Al-Syarh al-Kabir;
  • Al-Dasuki; dalam tulisannya, Haashiyah (2/174);
  • Zakariya al-Anshari (Imam Syafi'i) dalam Asna al-Mathalib (4/182);
  • Al-Bahooti (Imam Hambali); mengatakan dalam Kashshaaf al-Qinaa' (3/34);

IslamQA mengutip pendapat Al-Ghazali yang menyatakan bahwa "empat cabang" dalam ilmu filsafat (geometri dan matematika, logika, teologi, dan ilmu pengetahuan alam) "melawan syariat, Islam dan kebenaran", dan terkecuali untuk ilmu medis, "tidak ditemukan kebutuhan untuk dilakukannya pembelajaran terhadap ilmu alam".[7]

Maani' Hammad al-Juhani, (anggota dewan konsultasi dan direktur umum dari Perkumpulan Pemuda Muslim Dunia)[8] dikutip dari pernyataannya, menyatakan bahwa, kajian ilmu filsafat tidak mengikuti pedoman moral dari Sunnah, "ilmu filsafat, seperti yang didefinisikan oleh para filsuf, adalah salah satu kepalsuan yang paling berbahaya dan kejam di dalam pertempuran iman dan agama terhadap dasar-dasar logika, yang mana hal ini kemudian sangat mudah digunakan untuk membingungkan orang-orang dengan memakai nama akal, interpretasi, dan metafora yang kemudian mendistorsi makna dari teks-teks keagamaan".[9]

Ibnu Abi al-Izz, salah seorang penafsir Al-Tahhaawiyyah, mengutuk para filsuf sebagai orang-orang yang "paling menyangkal kebenaran dari Hari Akhir dan kejadian-kejadian di dalamnya. Dalam pandangan mereka Surga dan Neraka tidak lebih dari perumpamaan yang dibutuhkan agar konsep agama dapat dipahami oleh masyarakat, sehingga di luar itu, surga dan neraka bukan merupakan sesuatu yang nyata."

Awal filsafat Islam[sunting | sunting sumber]

An Arabic manuscript from the 13th century depicting Socrates (Soqrāt) in discussion with his pupils

In early Islamic thought, which refers to philosophy during the "Islamic Golden Age", traditionally dated between the 8th and 12th centuries, two main currents may be distinguished. The first is Kalam, which mainly dealt with Islamic theological questions, and the other is Falsafa, which was founded on interpretations of Aristotelianism and Neoplatonism. There were attempts by later philosopher-theologians at harmonizing both trends, notably by Ibn Sina (Avicenna) who founded the school of Avicennism, Ibn Rushd (Averroës) who founded the school of Averroism, and others such as Ibn al-Haytham (Alhacen) and Abū Rayhān al-Bīrūnī.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hassan, Hassan (2013). "Don't Blame It on al-Ghazali". qantara.de. Diakses tanggal 5 June 2017. 
  2. ^ History of Europe – Middle Ages – Reform and renewal – Christianity, Judaism, and Islam, use TOC
  3. ^ Oliver Leaman, Routledge Encyclopedia of Philosophy.
  4. ^ See Henry Corbin, History of Islamic Philosophy
  5. ^ Oliver Leaman (2002). An Introduction to Classical Islamic Philosophy (edisi ke-2). Cambridge University Press. hlm. 211–12. ISBN 0521793432. 
  6. ^ Shaykh Saalih al-Munajjid, Muhammad (General Supervisor) (2006-12-06). "88184: Ruling on studying philosophy. What is the ruling on studying philosophy? Please note that studying it is compulsory for us in Algeria". Islam Question and Answer. Diakses tanggal 27 November 2016. 
  7. ^ Al-Ghazaali Ihya' ulum al-din, "Revival of Religious Sciences" (1/22)
  8. ^ Blankenhorn, David. The Islam/West Debate: Documents from a Global Debate on Terrorism, U.S. Rowman & Littlefield. hlm. 79. 
  9. ^ Al-Mawsoo’ah al-Muyassarah fi’l-Adyaan al-Madhaahib wa’l-Ahzaab al-Mu’aasirah 1/419–423

[[Kategori:Budaya Arab]] [[Kategori:Budaya Iran]]