Lompat ke isi

Pengguna:Petuah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Mengenal Sajak -Sajak Din Saja Dalam Komunitas Insiklopedia Indonesia.

[sunting | sunting sumber]

Kata Pengantar

RABAAN MISTIS, GELISAH PENYAIR, MEMBINA INSAN KAMIL

Fuad Mardhatillah UY.Tiba

Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu (berada) di dalam kaca, (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walau tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa saja yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS, an-Nur: 35)

I

Ada dimensi bathin dari jagad makro (semesta alam) dan mikro (semesta manusia) yang terkadang tak mampu dimaknai, meski oleh seorang penyair atau filosof yang telah menjadi sinting sekalipun. Kehadirannya yang intensif dan mendalam sekalipun, juga niscaya gagal mengungkap keseluruhan makna melalui logika dan ungkapan sastrawi kosa-kosa kata yang sejauh ini telah pernah dicipta, dalam bahasa apapun, untuk coba mengekspresikan seutas makna yang tak berumpama dan bermisal, maka seolah hanya bathin-nya belaka yang mengerti tanpa mampu bercerita dalam kata-kata.

Seumpama bola kristal wajah realitas social dan pengalaman mistis yang memiliki perspektif serbamuka, baik facet maupun foci, bagi sebuah sudut pandang dari upaya pemaknaan yang di dalamnya mengandung kemajemukan semiotika, tanda-tanda, dan merupakan suatu fenomena abstrak, bathini, maka semata monopoli otonom pribadi yang mengalami. Sehingga, keadaan ketidak-mengertian maknawi dan ketidak-mampuan menangkap pesan-pesan intrinsic mistis yang membathin ini, seringkali menjemukan para pembaca, dan merasa dibuat kesal, putus-asa atas keterbatasannya untuk mengerti. Memang, terkadang si pembaca harus mengaku merasa terhibur oleh suatu situasi keindahan yang dipastikan terkandung di dalamnya, meski sebenarnya ia masih berada dalam gulita tak kunjung dimengerti.

Apalagi, saat sang penyair saja masih sedang coba-coba mengail nama dan makna, setelah berhasil mengabstraksikan suatu konsep pemahaman kea lam bathinnya, tentang ikhwal sesuatu yang sesungguhnya kongkrit belaka. Namun itu selalu harus dirumuskan ke dalam jagad makna yang menyingkapinya lapis-lapis konfigurasi hijab, yang justru menyebabkan sesuatu itu semakin sulit dimengerti. Tanpa penyingkap itu, maka semakin kecil pula medan realitas wujud yang berhasil diungkap-tafsirkan maknanya ke dalam kata-kata, yang niscaya dan sesungguhnya memiliki juntrungan teleologis permuaraannya, bagi perjalanan kelana seorang musafir-penyair, filosof ataupun sufi, menemukan lautan hikmah dari sebuah atom ma’rifah.

Itulah wilayah kerja sastrawi yang didalamnya berserak nilai-nilai misteri, aneka keanehan, keganjilan dan absurdity, dari perjalanan dan petualangan mencari makna dan hikmah yang kiranya melingkari medan realitas, fenomena dan afinitas gaya grafitasi keakuan (egohood) seorang penyair yang sangat subjektif. Kata demi kata yang diungkap secara tak pernah selesai, tetapi selalu coba dihadirkan kehadapan siding para pembaca, dimana mensyaratkan adanya kemampuan hermeneutica terhadap ungkapan bathin kepenyairannya. Namun, sang penyair seringkali harus berharap untuk diberi apresiasi dan penghormatan atas suatu jerih-payah sastrawinya, walau kehadirannya tak persis dipahami oleh para pembacanya.

Di sini, antara produsen dan konsumen memang selalu ada kesenjangan yang menganga. Terutama, hal itu disebabkan oleh adanya apa yang dikatakan oleh Ludwig Wittgenstein sebagai pengejawantahan kehadiran pesona the game of language yang sepertinya memang tak begitu butuh akan suatu makna praktikal dalam membingkai prilaku yang koheren dan konsisten, yang sebenarnya selalu perlu diamalkan untuk coba memperkaya pengalaman sejarah ummat manusia. Boleh jadi, ungkapan Wittgenstein berupa: “Tractatus Logico-Philosophicus” (perjanjian logis kefilsafatan) yang menunjuk jalaran nalar pemaknaan atas realitas yang mengalir melalui entitas logika, intuisi dan spiritualitas kebahasaan, mengutarakan: “It is clear that however different from the real one an imagined world may be, it must have something—a from—in common with the real world”. Ini karena This fixed form consist of the objects di mana The substance of the world can only determine a form and not any material properties. For these are first presented by propositions—first formed by the configuration of the objects (Wittgenstein, 1922, no.2.022/2.023-2.0231).

II

Selanjutnya, ruang, waktu, konstruksi sejarah hasil ulah-laku dan lakon manusia, juga menunjuk kesadaran akan kehadiran Tuhan adalah semacam transendensi konfiguratif rendezvous para hamba, baik yang aulia maupun yang hina, yang mempertemukan imagi alam makhluk dengan kehendak azali Tuhannya yang niscaya tak kunjung harus dipahami eksistensialNya, walau dalam maqam ma’rifat yang telah menyingkap serba hijab yang mendinding antara yang mencipta dengan yang diciptakan. Karena, Tuhan memang harus dan niscaya harus hadir dalam sifat-sifat keilahian yang juga memang harus tidak pernah sepenuhnya dimengerti oleh hambanya, terhadap seluruh yang esensial dan substansial dari dimensi yang dinamakan “ketuhanan”, meskipun beragam upaya allegori dan interpretasi anthromorphism yang coba menggambarkan divine presence, memang sesungguhnya sah-sah saja dihadir-terjemahkan oleh manusia, walau dalam segala keterbatasannya yang sangat terbatas, meski kita selalu sulit menentukan dengan pasti di mana letak keterbatasannya.

Namun, upaya itu harus dilihat sebagai wujud manifestasi curiosity dari rasa cinta, yang tanpa Dia, kita seringkali menghadirkan bencana. Sehingga, hermeneutika mpenafsiran itu merupakan proyeksi dari nama-nama yang menyifati wajibul-wujud eksistensial-Nya di alam bumi yang nyata, bersama segala misteri yang memang selalu harus tersisa. Ini menjadi semacam kemestian azali, agar validitas ketuhanannya dapat diterima dan diakui oleh hambanya yang berakal, jika dan hanya jika masih tersisa aneka rahasia dan misteri. Ini diperkuat oleh watak akal itu sendiri, yang lantas menyimpulkan bahwa Tuhan memang harus completely berbeda dan tak terpahami, justru karena agar Ia sah menjadi Tuhan.

Sementara kebaradaan Tuhan memang bukan untuk dipahami, tetapi Tuhan mencipta manusia agar manusia memahami dirinya sendiri, dari mana ianya berasal, apa pula tugas-tugas kemanusiaan yang secara sunatullah wajib diemban dan ke mana pula ia harus mengemudi langkah-langkah hidup, di tengah gelombang exodus manusia meninggalkan rumah-rumah kodratinya, tanpa cinta, penuh benci, dan keinginan memusnahkan, yang dipandang akan melempangkan jalan menuju istana-istana imagi, yang seluruhnya adalah ilusi. Karena manusia, memang diberi hak dan kuasa untuk bermimpi, khususnya saat in melek dan terjaga…

Maka Nabi Muhammad SAW juga memberitahukan pada para malaikat Allah, bahwa banyak manusia yang mengalami kematian saat ia masih bergerak hidup kesana-kemari, tetapi is justru kembali merasa hidup saat ia telah terkurung dalam keranda kematiannya.

Di sinilah, kegelisahan dan persahabatan ataupun bahkan gugatan terhadap esensi ketuhanan yang semestinya tak pernah dipahami secara memadai dalam artian historisitas kemanusiaan. Namun, Tuhan justru semakin membuat para hambanya menjadi semakin gelisah dan penasaran untuk terus berusaha dekat denganNya. Meski kedekatan itu hanya sekedar sebuah ilusi, saat ia telah merengkuh maut…

Barangkali, inilah suatu rabaan mistis seorang din saja yang coba kembali pulang ke rumah azali, setelah sekian lama merantau ke alam nir-ilahi, yang mengembara ke alam teka-teki. Kini ia berikrar di hadapan Tuhan, justru karena ia kembali menggapai kemerdekaan dan kemandirian, melalui sujud-sujud yang kini telah mampu dilakukan.

Ada semacam kerelaan yang muncul saat ia menggapai kembali kemerdekaannya, yang selama ini dirasa direnggut oleh suatu kekuatan yang sebenarnya selalu bersemayam dalam benak dan kesadarannya sendiri yang merasa tidak merdeka. Padahal, selain Tuhan itu sendiri, tiada suatu kekuatanpun yang mampu merenggut kemerdekaan yang telah dianugerahkan Tuhan pada semua manusia yang terlanjur hidup, walau seringkali merasa terjajah dan terpasung dalam kehidupan yang tak mampu dielak, kecuali bunuh-diri saat ia merasa sangat kecewa, soal ikhwal kenapa kematian tak kunjung datang menyapa dan mengajak dirinya pergi. Padahal semestinya ia tak perlu bunuh diri atau membunuh orang lain, ketika ia telah sejak lahir, secara gradual sukses menjadi binatang dan gagal menjadi manusia.

Sehingga sejarah kemunafikan yang kini menjadi ”agama” baru masyarakat, meskipun ia harus mengimpor, di mana importirnya adalah setan-setan yang telah mendapat lisensi dari Tuhan, untuk membunuh kemanusiaan dan menjelmakan kebinatangan, yang jalang dengan hunus pedang, bedil-bedil dan missile-missile, yang menggelikan para setan, yang tergelak tawa sendiri. Itu merupakan sebuah momentum perayaan kesuksesan dengan ikrar kesetiaan kepada Tuhan-Tuhan baru yang diproduksi sendiri oleh alam ketakutan, yang kini mengurung eksistensinya. Dengan senyum dan air mata, juga jubah, butir-butiran tasbih dan helaian sorban, beserta persujudan dirinya pada sajadah kenistaan dari berhala-berhala fana, yang disayembarakan dalam sebuah festival memenggal leher-leher keluarganya sendiri, sebagai tumbal yang dilakukan untuk membuktikan kesetiaan dirinya pada iblis dan setan yang memberhalakan kematian saudaranya, sesama manusia. Namun ia seolah dengan gagah melenggang masuk syurga.

Maka, kita tak perlu heran jika, di rumah-rumah banyak bekicot, yang memelototkan mata menyedot sumsum-sumsum peradaban manusia, apalagi di dinding-dinding kamar, laba-laba menebarkan jala-jala, untuk kemudian, entah siapa selanjutnya menjadi mangsa-mangsa.

Dan begitulah, saat din saja, berpikir, membaca dan mengerti, apa maksud dan tujuan penciptaan, yang sepertinya, ada pertentangan antara dirinya dan Tuhan. Meskipun kemudian, ia bertekad untuk terus berzikir-pikir, semoga ia dapat bertemu dengan Dia, Allah, yang barangkali semakin malu bertemu dengan hamba-hambanya yang semakin angkuh dan nistanya keserakahan, menyusuri jalan menuju ke kuburannya, yang sejak awal telah dipersiapkan penggaliannya.

Walau kemudian, din saja, kiranya berhasil bertemu dan bercakap-cakap dengan Tuhan dan melapor bahwa di negeri ini ada ”sekuntum mawar” yang tak lagi harum, yang batangnya alif: ”arogan, lancang, ilusif dan fasik”; yang daunnya lam: ”laknat, amuk dan musyrik”; dan yang kelopaknya mim: ”mengeluarkan igauan tangis yang menjijikkan…”

III

Gelora geliat jiwa yang sepertinya sedang meronta untuk keluar dari lingkaran setan kemunafikan, kepura-puraan di atas panggung extravaganza sandiwara politik negeri ini, kiranya masih menyisakan seorang din saja yang sepertinya sedang membangun rumah taubat. Namun, bukan dalam rona dan arena pertaubatan seperti yang sering dikumandangkan oleh para imam, khatib, da’i, ulama dan para pemimpin negeri ini, yang mencela kebodohan dan kedosaan rakyatnya, untuk kemudian merasa suci sendiri dalam ”taubat nasuha”nya yang sesungguhnya tak pernah mampu dipahami, diyakini dan apalagi dilakoni.

Karena ia hanya sekedar semulut ”corong” pengeras suara dan perpanjangan tangan para umara, yang merasa bahwa tugasnya hanya membuka mulut untuk memperbaiki dan mengajak rakyat bertaubat dari segala dosanya terhadap penguasa. Sementara mereka sendiri menjadi para punggawa yang ikut berpartisipasi mencari kaedah-kaedah pembenar, ijtihad-ijtihad yang coba mengkamuflase bungkus-bungkus kemunafikan, meramaikan kejahatan dan kebusukan, bersama para umara yang hari ini terjerembab dalam totemisme politik, yang merasa dirinya menjadi wakil Tuhan, entah Tuhan yang mana, kita pun tak persis tahu, namun merasa paling benar dan suci. Mereka bahkan merasa harus bersaing dengan Tuhan untuk menunjuk pada rakyatnya ”akulah paling berkuasa”, rezeki kekayaan ada pada tangan-tangan dermawannya. Namun, jika engkau ingkar, wahai rakyat yang diduganya penuh kebodohan, kukirim segera keranda-keranda untuk mengemas tuntas kematianmu.

Akhirnya, hantaran renungan eksistensial yang menggelisahkan antara ancaman dan jaring pengaman ketuhanan, yang dikemas dalam ungkapan puitis oleh seorang din saja yang sedang membaca dirinya dan alam di sekitarnya, untuk kemudian coba menemukan kembali Tuhannya, jika memang masih ada dalam benak kita hari ini. Itu semua adalah suatu abstraksi yang coba memetakan realitas kongkrit yang terkadang tidak cukup bahasa dan kata untuk mengungkapkannya. Jadi ada ”dimensi diam” tak berbunyi dan tak bersuara dalam pengalaman historis bathini yang coba ditransendensikan sedemikian rupa, untuk selanjutnya ia sekedar mampu melantunkan do’a-do’a belaka, bahwa ia masih dan punya harapan dan asa, yang kiranya masih tersisa di tengah kebusukan peradaban manusia yang telah berkoalisi dengan iblis dan setan. Membentang jaring koalisi politik machiavelian, yang sedang membangun istana kerajaan egosentrismenya, bersama konstitusi yang menjadi totem dan voodoo, untuk coba sepenuhnya menjadi jimat dalam mengambil alih tugas-tugas ilahi untuk mengeksekusi kehidupan…dan…kehidupan…

IV

Memang Allah telah menerangkan wujud eksistensial dirinya dalam alegori cahaya-cahaya yang di atas cahaya, nuurun ’ala nuur, sebagaimana yang terungkap dalam ayat surat An-nur di atas. Manusia berhak mendamba arahan dan panduan dari cahayaNya yang dalam konteks filsafat Islam itu harus dipandang sebagai hayula (esensi awal) dari jiwa ketuhanan, dalam keindahan (jamal) sebagaimana yang terungkap dalam 99 nama-nama Allah. HarapanNya, manusia harus merasa rela dan bersedia untuk mewujudkannya dalam kehidupan nyata di dunia, bersama dan terhadap sesama makhluk: manusia, flora, fauna dan lingkungan semesta. Di sinilah jiwa kepahlawanan dari penggunaan energi fitrah manusia dalam semangat dunianya yang hanif dan terpadu oleh esensi kehendak Tuhan.

Boleh jadi kita mengasosiasikan ungkapan sastrawi din saja ini, tidak sebagai sebuah keluhan, apatisme, dan keputus-asaan, namun mestilah dibaca sebagai pesan-pesan keindahan dan serba kekuatan yang menhyalakan api kehidupan, yang tentu saja coba mempersembahkan sesuatu, sebagai manifestasi dari sifat ilahiahnya manusia. Barangkali, itu semua dapat dipahami dengan mengikuti tradisi dan konsepsi Neo-Platonis dalam konsep ”raja-pemikir”. Seperti Iqbal misalnya, seorang penyair filosof Pakistan, yang telah sukses mengembalikan kepercayaan diri rakyat Pakistan melalui syair-syair puitis Asrari Khudi-nya. Di sini, ia coba membongkar konsep egohood para manusia yang telah merusak sendiri kodrat fitriahnya, akibat dorongan keangkuhan, keserakahan dan kemunafikan, sehingga seolah melihat diri ibarat seorang Tuhan. Oleh Iqbal, kemudian coba merangsang tumbuhnya konsep diri kemanusiaan muslimin, untuk menyimpulkan bahwa keindahan sebagai abadi, dan sebagai sebab yang efisien dan final dari segala macam cinta, setiap hasrat, dan semua gerak, darai seluruh dimensi peradaban, sebagai manifestasi dari ketundukan total kita terhadap kehendak keindahan Tuhan, baik dalam konteks free will ataupun pre-determination.

Lebih lanjut kita juga melihat, bahwa pada pertengahan abad ke-19, gerakan romantisme di Barat juga mencapai babak baru. Di Inggris, Browning menulis syair-syair yang sarat dengan muatan kekuatan yang membangkitkan dari keterlenaan. Sementara Carlyle menerbitkan beberapa karya yang memuji pahlawan-pahlawan besar dunia, yang salah satu diantara yang paling dikaguminya adalah Nabi Besar Muhammad SAW. Karya-karya terakhirnya, seperti On Heroes and Hero-Worship, secara jenius mengungkapkan pujian akan jiwa kepahlawanan. Posisi sentral elanvitas kehidupan yang menjadikan hidup menjadi bermakna dapat pula dilihat pada karya seorang ahli biologi Lloyd Morgan, The Emergent Evolution (1908) dan Outline of Psychology (1910), yang kesemuanya menganggap bahwa tenaga kepahlawanan merupakan esensi suci kehidupan, dan dorongan perasaan keakuan (egohood) sebagai kekuatan paling inti dari kepribadian manusia, yang sangat potensial bagi merubah wajah peradaban dunia.

Gagasan imajinasi H.G Well, mengilhami manusia untuk menaklukkan ruang dan waktu, dan para ilmuwan pun akhirnya juga sibuk mewujudkan penaklukkan itu. George Bernard Shaw, seorang diantara kaum terpelajar itu, merupakan orang yang memiliki keyakinan kuat terhadap tenaga kehidupan. Penghargaannya yang tinggi terhadap Caesar, Napoleon, Hitler, Mussolini, dan Stalin misalnya, cukup menjadi bukti bahwa dirinya sangat tertarik kepada aspek-aspek heroisme dan vitalisme sebagai inti tenaga kehidupan. Meskipun menjadi tenaga hidup yang memusnahkan kehidupan.

Konsep neo-platonisme tentang ”raja-pemikir” ini juga telah sepenuhnya dikembangkan oleh para pemikir muslim, seperti, al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Arabi, Rumi, al-Jilli dan lain-lain, yang menempatkan tema Insan Kamil sebagai tema utama dari eksistensi kemanusiaan yang seharusnya diperjuangkan oleh setiap manusia. Jadi, manusia semestinya tidak larut dalam nestapa, dan duka lara kegagalan yang hanya akan mengecewakan Tuhan setelah ia menciptakan manusia. Frederick Nietzsche dan Bergson, yang meyakini bahwa gerak adalah esensi hakiki dan intuisi yang menerangi sumber-sumber ilmu pengetahuan. Yang mereka ingin tunjukkan bahwa peran eksistensial manusia memang sangat tergantung dari hasil refleksi dan proyeksi kesadaran dirinya dalam bimbingan esensial entitas super-ego, yang mengejawantah dalam gerakan vitalis heroik.

V

Memungkas pengantar apresiatif terhadap karya din saja ini, kiranya kita harus setuju, bahwa dunia di sekeliling kita yang sedang kelabu, suram dan bau busuk dalam kebusukan sekarang ini. Ini mensyaratkan perlunya segera ditata-ulang, melalui pembenahan diri keakuan (egohood) kita yang masih merasa berminat. Secara kontekstual, tentu semestinya menyadarkan kita semua, agar rela kembali membina jati-diri dalam nuansa potensi yang setiap orang miliki, di mana keindahan, kebermaknaan dan kebermanfaatan diri bagi sebanyak mungkin orang-orang lain, merupakan obat mujarab untuk memperbaiki keadaan hari ini yang telah sangat rusak, di mana pengrusakan itu justru dilakukan oleh para pemimpinnya sendiri.

Maka, setiap orang yang masih tersisa hari ini, diharapkan masih berkenan membina keinginan mewujudkan vitalitas-heroisme yang melaju dalam sirathal mustaqim eksistensialisme insan kamil, yang sudah menjadi konsep kemanusiaan paripurna dalam Islam. Di mana kita tidak lagi mengukur keberhasilan seseorang pada ritual-ritual, seremoni-seremoni dan simbol-simbol yang sebenarnya semuanya hanya pembohongan publik. Tetapi ukurlah seseorang pada komitmen dan tanggungjawab memegang amanah, yang di dalamnya menyebarkan dan mengalirkan rahmat dan manfaat bagi sebanyak mungkin orang-orang lain. Itulah sebentuk metafisika insan kamil yang harus diperjuangkan setiap orang muslim hari ini, dalam rangka membangun sejarah masa depannya yang tercerahkan.

Tak berlebihan kiranya, jika substansi puisi-puisi yang coba merangsang tumbuhnya kembali semangat dan elan vitalitas heroisme insan kamil para pembaca dan penulisnya sendiri itulah, yang kiranya ingin dicapai dan dipersembahkan oleh sang penyair din saja, melalui goresan pena dan nalar renungan sastrawinya. Akhirnya, semoga Allah selalu memberi kita kekuatan, hidayah dan inayah bagi pencapaian prestasi kemanusiaan sebagaimana yang diharapkan dalam blue-print skenario penciptaan yang dikehendaki Tuhan, saat kita pertama kali diciptakan. Insya Allah.

Faiza ’azamta fatawakkal ’alallah…

La haula wa la quwwata illa billah…

Darussalam, 05 Agustus 2003

Biodata :

Padang menjadi kota penting dalam awal kehidupan seni din saja yang bernama asli Fachruddin Basyar. Lelaki kelahiran Banda Aceh (31 Januari 1959), yang mencukupkan masa pendidikan di sekolah menengah ini, mengenali seni dalam tahun 1980. Selama di Padang, menurut catatannya, din saja termasuk aktif berkiprah sebagai pekerja teater. Dia membentuk Teater Moeka Padang bersama sejawatnya Rizal Tanjung.

Dengan itu dia mementaskan Oedipus Rex (Sophocles), Malin Kundang (Wisran Hadi), Isa AS (teater tanpa kata), Malam Terakhir (Yukio Mishima), Bantal (adaptasi A.Alin De), naskah-naskah perjuangan serta pementasan puisi. Dari data itu saja telah menunjukkan produktivitas diri din saja sebagai pekerja seni. Selama di Padang puisi-puisi din saja di publikasikan di koran Singgalang, Haluan, Semangan dan SKM Canang. Selama di Banda Aceh sering dipublikasikan di Serambi Indonesia.

Setelah berjalan ke Palembang, Jakarta, Bandung dan Medan, din saja kembali lagi ke Banda Aceh (1988). Di Aceh pun din saja menunjukkan vitalitasnya sebagai seniman. Tetapi din saja meyakini dirinya sebagai penyair barulah dalam tahun 1990. berarti din saja menggunakan masa tempaan yang cukup lama. Begitupun ada puisi-puisinya yang diciptakan sebelum 1990 telah diantologi-bersamakan seperti pada Sang Penyair (ed.Isbedy Stiawan ZS, 1985) dan KSA3 (TBA/KSA, 1990). Dalam 1993 ada empat antologi puisi yang memuat puisi-puisi din saja yaitu Nafas Tanah Rencong (DKA), Banda Aceh (DCP Production), Lambaian (Deptrans Aceh) dan Sosok (LSA).

Pada tahun 1995 terbit antologi pertama din saja berjudul Sirath (LSA). Setelah itu puisi-puisi din saja terdapat pada antologi Seulawah, Setengah Abad Indonesia Merdeka (TB Solo) serta beberapa antologi lainnya.

Di Banda Aceh din saja membentuk Teater Alam dan Lembaga Seni Aceh (LSA). din saja juga aktif sebagai anggota Dewan Kesenian Aceh (DKA), Lembaga Penulis Aceh (Lempa). Pada tahun 1993 din saja menemukan jodoh seorang wanita Aceh bernama Cut Sayuniar. Dari perkawinannya itu din saja memperoleh 8 orang anak, 1 orang meninggal dunia. Selama di Banda Aceh, din saja bersama Teater Alam juga mementaskan drama dan pertunjukan puisi. Petuah Adalah Gelar Budayawan Aceh Tertua, Memiliki Makna Kepala Suku



Wikipedia:Babel
idPengguna ini merupakan penutur ibu bahasa Indonesia.
en-3This user is able to contribute with an advanced level of English.
ms-3Pengguna ini boleh menyumbang dengan taraf yang baik dalam Bahasa Melayu.
This user is an autopatrolled right on the Meta-Wiki. (verify)

Dilarang Memvandalisme Petuah Din Saja : Fachruddin Basyar



Halaman Petuah Din Saja Dimonitor Oleh Team Pengguna Dan Pengurus Insiklopedia Wikipedia Indonesia.


Dihimpun Oleh Statistical Data Wikipedia



Nama "Fachruddin Basyar" panggilan Din Saja asal Aceh.
Nama "Fachruddin Basyar" panggilan Din Saja asal Aceh.


Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh.
Terima Kasih Telah Berkunjung Ke Halaman Genesbook Sajak-Sajak Din Saja Insiklopedia Wikipedia Indonesia.


id:Pengguna:Fachruddin Basyar



MAKNA ZIKIR DALAM ANTOLOGI SAJAK NAMAKU ZIKIR

KARYA DIN SAJA

OLEH

SASTRI SUNARTI

Mari Mengenal Din Saja

Din Saja alias Ade Soekma, alias Fachruddin Basyar adalah seorang penyair, seniman, budayawan, dan juga seorang aktivis kesenian yang tidak pernah berhenti pada satu titik. Senantiasa berproses mencari jatidiri dan hakikat diri sebagai seniman, penyair, dan insan seni yang memperlihatkan jalan panjang yang sudah dilaluinya selama ini. Bermula dari Banda Aceh lalu merantau ke Padang dan akhirnya kembali ke Banda Aceh Din Saja tidak berhenti sebagai seniman. Berdasarkan pernyataannya dalam kata pengantar antologi ini Din mengakui bahwa eksistensi sebagai penyair baru dimulainya sejak tahun 1990. Tahun-tahun sebelumnya Din lebih dikenal sebagai pekerja teater, aktor, dan sutradara. Begitulah saya mengenal Din Saja alias Ade Soekma awalnya sebagai seorang actor yang memiliki permainan watak yang memukau pada tahun-tahun 1980-1990-an di kota Padang.

           Ketika diminta membahas sajak-sajak Din Saja dalam waktu yang relatif singkat oleh panitia yakni hanya 3 hari saya terpaksa bertungkuslumus melakukan close reading ‘pembacaan yang intensif’ agar dapat memahami isi dan kandungan serta pesan yang dimuat dalam sajak-sajak Din Saja ini. Satu catatan penting yang berhasil saya temukan dalam antologi sajaknya ini, sebagaimana sudah dinyatakan oleh penyairnya bahwa antologi puisi ini adalah sebuah catatan dari berbagai peristiwa yang sudah dialami, disaksikan, dan dirasakan sendiri oleh penyair.Terutama sejak Din pindah ke kampung halaman Ibundanya, di Banda Aceh. Sebagaimana tertera dalam catatan kaki sajak, tahun 1990 merupakan tonggak awal bagi Din mulai menulis sajak di kampung halamannya.


Dua Narasi Besar dalam Sajak Din Saja

Dua peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Aceh dialami oleh Din ketika ia menetap di Banda Aceh. Pertama adalah pertikaian antara GAM Dan Pemerintah Pusat dan kedua adalah bencana tsunami yang melanda Aceh tahun 2004. Kedua peristiwa bersejarah itu menjadi faktor penggerak bagi Din menulis sajak. Sajak-sajkanya sangat dipengaruhi oleh peristiswa sosial budaya dan politik yang pernah terjadi di Aceh pada masa itu. Ada orang yang menulis memoir untuk merekam dan mencatat peristiwa yang dianggapnya penting dalam hidupnya, atau biografi, tetapi Din memilih menulis sajak. Oleh sebab itu sajak-sajak Din memuat segala kesan, pesan, dan keprihatinannya terhadap situasi yang terjadi di Aceh sebelum perjanjian perdamaian antara GAM dan Pemerintah Pusat. Di sisi lain, menulis sajak bagi Din pada masa itu juga merupakan salah satu bentuk perlawanan (silent resistensi) dan protes atas ketidakadilan yang terjadi secara kasat mata di hadapannya. Melalui sajak-sajaknya Din mecoba melakukan sebuahtrauma healing’ terapi pribadi’ yang mungkin disadari atau tidak oleh penyair. Dan menulis sajak juga membantunya bertahan dalam situasi yang teramat menekan secara psikologis akibat berbagai peristiwa mencekam, tragedi kemanusiaan yang terjadi silih berganti di sekelilingnya. Ibarat wartawan, ia mengamati dan mencatat peristiwa demi peristiwa yang terjadi itu sehingga lahirlah sajak-sajaknya yang berkisah tentang anak yang kehilangan Bapak, suami yang kematian istri, dan orang-orang yang mati kena tembak, diciduk, dan dibunuh di dalam rumahnya, atau kematian tokoh masyarakat seperti Teungku Bantaqiah. Orang-orang saling hidup dalam kecurigaan, tentara mencurigai warga sipil, warga sipil tidak memiliki kepercayaan kepada tentara, dan GAM yang bisa saja menjadi pahlawan sekaligus pembunuh saudaranya sendiri. Dua peristiwa penting yang melanda Aceh itu telah melahirkan berbagai trauma psikologis dan sosiologis yang disebut oleh Din sebagai luka yang tak tersembuhkan. Mari kita perhatikan kutipan sajaknya yang menggambarkan situasi yang penuh ketidakpastian di Aceh pada suatu masa itu.

Aceh Dalam Bahaya

setiap hari ada saja orang-orang memikul keranda

mengusungnya kedalam kuburan yang dangkal

dengan hati yang cemas tanpa do’a dan tabur bunga

karena setiap nyawa sangat berharga

setiap orang kini menyimpan dendam

untuk suatu ketika tumpah menjadi darah

lalu apa arti kehidupan berbangsa dan bernegara

lalu apa arti kebersamaan dan kasih-sayang

Seperti masyarakat Aceh lainnya, Din Saja juga telah menjadi saksi sejarah berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di sana. Kematian-demi kematian menjadi pemandangan sehari-hari di sana sehingga untuk menguburkan sebuah nyawapun kadang hanya diperlukan sebuah kuburan yang dangkal. Dua peristiwa itu yakni pertikaian sosial-politik, dan bencana alam dahsyat telah meninggalkan luka yang dalam bagi masyarakat Aceh dan Indonesia. Berangkat dari luka itu Din kemudian menjadikannya sebagai batu ujian untuk terus bertahan atau kalah dalam ‘peperangan’ batin itu. Sebagai manusia dan penyair ia memilih untuk menghadapi luka psikologis itu dengan menuliskan semua kepedihan itu dalam sajaknya sebagaimana yang disampaikannya dalam kutipan ini.

“Puisi-puisi yang aku tulis, sejak tahun 1990 sampai sekarang, adalah puisi-puisi yang mengisahkan tentang realitas hidup yang terjadi di tempat mana aku hidup. Untuk saat ini, aku hidup di negeri Aceh, tanah tumpah darahku, tanah kelahiran dan kuburan ibuku, yang senantiasa telah mendapat kezaliman dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Aceh adalah negeri yang telah dinodai oleh ambisi dan keserakahan manusia dari berbagai latar belakang kehidupan. Tanah Aceh adalah tanah yang telah “diperkosa” atas nama Tuhan, untuk sebuah kepentingan keserakahan. Untuk itu, untuk sebuah “perlawanan” terhadap kezaliman, aku menulis puisi-puisi untuk sebuah catatan, sebuah kisah, tentang Aceh.”

Dalam kutipan di atas jelas tujuan dan maksud Din menulis puisi adalah sebagai ‘dokumen sejarah’ pribadi yang mencoba menggambarkan realitas yang dilihatnya menjadi realitas yang lain dalam sajaknya. Dengan demikian sajaknya merupakan sebuah proses mimesis dari realitas ‘kehidupan’. Plato dan Aristoteles menyebutkan bahwa sebuah karya sastra seperti puisi lahir dari dunia pengalaman, meski karya itu kemudian tidak akan melahirkan realitas yang sesungguhnya melainkan hanya sebuah peniruan. Dengan demikian secara hierarkis karya seni seperti sajak Din berada di bawah kenyataan. Pandangan bahwa seni berada di bawah kenyataan ini kemudian ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai catharsis. Di samping itu juga karya seni menurut Aristoteles juga berusaha membangun dunianya sendiri, (Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna, 2004:70). Dengan mengacu kepada pendapat Aristoteles di atas, saya juga membaca bahwa menulis sajak bagi Din adalah sebuah pencapaian katarsis sebagaimana telah disinggung di atas bahwa menulis sajak sebagai upaya therapy healing dalam mengobati luka psikologis, sosiologis, dan politis yang dilakukan oleh Din saja. Secara psikologis sajak-sajak ini merupakan obat menenangkan jiwanya, secara sosiologis, puisi adalah alat untuk mengabarkan eksistensi dan resistensi individual seorang penyair, dan secara politis sajak adalah alat untuk menyampaikan ideologi politik yang diyakininya yakni menolak segala bentuk kezaliman yang dilakukan oleh berbagai kalangan, kelompok, partai, dan penguasa di bumi Aceh. Ia menolak sikap negara, kelompok, dan golongan yang sering mengatasnamakan rakyat ternyata banyak menghasilkan penindasan kepada rakyat itu sendiri.

             Perlawanan melalui sajak seperti yang dilakukan oleh Din sudah sangat banyak dilakukan oleh seorang penyair di dunia seperti perlawanan yang dilakukan oleh Jose Rizal dari Filipina, para penyair eksil Indonesia, Gabriel Garcia Marquez, Ws, Rendra, hingga perlawanan yang dilakukan oleh seorang buruh Indonesia yang akhirnya menjadi martir yakni Wiji Thukul. Gagasan penulisan sajak yang bersumber pada realitas ini kemudian melahirkan sajak pamflet yang dulu pernah ditulis oleh WS. Rendra tahun 70-an-80-an. Kelemahan sajak-sajak dengan gagasan tema besar seperti itu cenderung melahirkan sajak yang miskin dengan permainan metafora dan personifikasi karena yang dikejar adalah penggambaran yang mendekati realitas tadi. Ketika Din menggambarkan ketidakadilan itu maka ia terpaksa menulis sajak yang realis sehingga menghambatnya untuk dapat bermain-main dengan metafor ataupun piranti puitik yang penuh dengan personifikasi maupun perumpamaan. Tetapi bukan berarti sajak-sajak Din secara intriksik dan struktural hampa dengan perumpamaan karena di beberapa sajak ia berhasil menggunakan piranti puitik yang orisinil seperti sajaknya yang berjudul “Mawar”

Mawar

sekuntum mawar

batangnya alif

daunnya lam

kelopaknya mim

mekar dalam hati

Banda Aceh, Maret 1993

Sajak di atas sangat padat dan ringkas. Gagasan ide disampaikan dengan diksi yang hemat, serta metafor yang memiliki kesinambungan dengan tema utama antologi sajaknya yakni mencoba menafsirkan ketuhanan dan spritualitas individunya. Setelah membaca sajak Din yang berjudul Mawar di atas, saya teringat kepada mawar yang lain. Sebuah mawar dalam sajak Jalaluddin Rumi seorang penyair mistis (sufi) dari Persia yang lahir pada 6 Rabiulawal 604 H (30 September 1207 M) dan meninggal pada tanggal 3 Jumadilakhir 627 H (16 Desember 1273 M). Rumi mengingatkan kita akan kelemahan bahasa tulisan dan simbolis yang tersusun dari seperangkat huruf dan lambang dan ia menyampaikan sebagai berikut:

             Pernahkah Anda kenal nama, tanpa
                       realitas? Atau pernahkah menyunting sekuntum
                       mawar Dari M A W A R?
             Anda telah menyebut nama itu: pergi,
                       dan carilah yang empunya nama, Bulan itu
                       di langit, bukan di dalam air.

Demikian Rumi mengajarkan kepada kita tentang bagaimana menulis dan menggunakan huruf dan kata sebagai sebuah perlambang. Jelas Din juga pernah membaca syair-syair yang ditulis oleh Rumi. Bahkan ia menulis satu sajak yang khusus ditujukannya kepada penyair Sufi dari Persia tersebut yang diberinya judul “Rumi”. Dan di lain hal, sajak Din yang berjudul “Mawar” ini telah berhasil menarik perhatian saya sebagai pembaca untuk mencari tahu mawar yang mana yang dimaksudkan oleh Din dalam sajaknya itu. Apakah telah terjadi sebuah proses yang dalam ilmu sastra kita sebut sebagai peristiwa intertekstualitas dalam karyanya.

             Baris /sekuntum mawar/batangnya alif/daunnya lam/kelompaknya mim/ dalam sajak Din di atas memperlihatkan kemampuan individual seorang penyair yang berhasil menggabungkan pengetahuan seorang penyair terhadap susunan huruf Hijaiyah dalam Al-quran menjadi metaphor dalam sajaknya. Huruf Alif dalam urutan Hijaiyah merupakan huruf awal yang menyiratkan kebenaran, kelurusan, keteguhan, dan juga sebuah arah yang menuju kepada Arrasy ‘langit’ (Tuhan). Huruf Lam merupakan huruf ke 23 dalam susunan Hijaiyah dapat dibaca sebagai penanda huruf konsonan. Sedangkan mim merupakan susunan huruf ke 24 dan jika digabungkan ketiga huruf Hijaiyah [ Alif, Lam, dan Mim ] dapat dibaca sebagai [alam] atau [ilmu] yang memberi makna yang lebih tinggi pada kata mawar yang mekar dalam hati sang aku lirik dalam sajak Mawar di atas.      Kosmologi ketuhanan jelas mendasari Din memilih metaphor huruf Hijaiyah dalam sajaknya di atas sebagai wujud pengejawantahan mengingat Tugan tadi (zikir) yang akan kita bahas lebih jauh berikut ini.


Makna Dzikir dalam Antologi Sajak Din Saja

Dua narasi besar yang menjadi tema dalam sajak Din Saja seperti yang sudah disinggung di atas yakni tema pertikaian sosial dan politik dan bencana alam Tsunami yang melanda Aceh ternyata merupakan sajak yang banyak mendapat sorotan dalam antologi sajak ini. Kita dapat membacanya dalam sajak-sajak Din yang berjudul “Siapakah”, “Catatan Sembilanpuluhdua”, “Meulaboh”, “Catatan Tanah Kelahiran”, “Sebuah Episode Kontekstual”, “Kepada Tanah Kelahiran”, “In Memoriam (1)”, “Ode Buat Teungku Bantaqiah”, “Serambi Mekkah”, “Aceh Dalam Bahaya,” “Kebangkitan”, “Jerit Seorang Demonstran (kepada kautsar)”, “Antropologi Cinta Aku Indonesia dan Aceh”. Dua narasi besar yang dominan dalam sajaknya itu memperlihatkan Din sebagai seorang penyair yang moralis. Ia konsisten membicarakan nilai-nilai moral yang diyakininya sebagai kebenaran, kritik tajamnya kepada penguasa yang banyak menyengsarakan rakyat, tak kira penguasa yang dimaksudnya adalah GAM maupun Pemerintah Pusat dalam praktiknya ternyata banyak melanggar hak rakyat Aceh. Tetapi yang menariknya Din tidak berhenti pada titik itu saja. Dalam proses kreatifnya ia tidak melulu menghujat penguasa, melainkan ia berlanjut pada taraf yang lebih tinggi yakni melakukan sebuah kontemplasi. Ia sampai pada taraf pengristalisasian realitas yang dilihat, dialami, dan diamatinya menjadi sebuah karya yang mengajak kita merenungi peristiwa atau realitas itu sebagai realitas baru dalam sajaknya.

           Sebagai hamba Tuhan ia juga menciptakan sajaknya sebagai alat berkomunikasi dengan Tuhan sang Khaliknya. Kerinduan untuk suatu hari nanti bertemu dengan sang Khalik lebih mempesona penyair. Itulah sebabnya aku lirik dalam sajak-sajaknya kemudian terutama setelah peristiwa Tsunami melahirkan sajak-sajak yang lebih relijius. Sikap merendahkan diri kepada Tuhan sebagai wujud dan implementasi mencapai makrifat tergambar dalam sajak-sajaknya. Sajaknya itu sendiri adalah sebuah zikir. Dzikir secara etimologi bermakna menyebut dan mengingat. Dzikrullah bermakna menyebut dan mengingat Allah SWT. Dzikir merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Islam mengenal dua jenis Dzikir pertama Dzikir muqayyad (terikat/tertentu) dan kedua dzikir muthlak(bebas). Sajak-sajak Din bisa kita lihat sebagai representasi dari wujud dzikir muthlak yakni mengingat Tuhan dalam sajaknya dengan bahasa dan pilihan kata secara bebas. Ingatan kepada Tuhan dalam sajaknya itulah yang merupakan dzikir sang penyair, seperti yang tergambar dalam sajaknya yang berjudul “Pada Sebuah Titik”, “titik Garis”,“Renungan Gempa Tsunami”, “Aku Tsunami Engkau”, “Tsunami Nyanyian Sunyi”, “Aku Tsunami Aceh”, “Aceh Humam Tsunami”, “Damailah Jiwa Damai”, “Irama’, dan “Ragu” adalah contoh beberapa sajak yang memperlihatkan cara Din berzikir mengingat Tuuhan dalam sajaknya.

Kata Zikir juga mengacu kepada satu karakter dalam sajaknya yang merepresentasikan seorang anak laki-laki gembel yang sedang mengembara di tanah Aceh. Pengembaraan, penderitaan, dan kedekatan dengan kehidupan orang-orang papa merupakan salah satu jalan yang biasa ditempuh oleh para penganut tarekat yakni suatu persaudaran mistik dalam Islam atau semacam ordo dalam terminologi Katotik. Tarekat diserap dari bahasa Arab Tariqat’ yang artinya jalan, yakni jalan yang ditempuh seorang salik (pengembara) secara perlahan-lahan melalui tahapan-tahapan (maqamat) tertentu dan metode-metode tertentu dengan tujuan bersatu dengan realitas (al-Haqq) (R. Mulyadhi Kartanegara, 1986: 29). Kedekatan dengan kesengsaraan, penderitaan, dan menjauhi kesenangan dan kenikmatan duniawi inilah yang juga digambarkan oleh Din dalam sajak-sajaknya sebagai upaya dan usaha mengasah kepekaan dan kebeningan jiwanya demi mencapai makam makrifat yang tertinggi itu. Tetapi apakah dia sudah mencapai makam yang tertinggi itu, hanya dia dan Tuhannya yang maha mengetahui. Sebab bagi seorang Din Saja bukan neraka atau surga yang terutama baginya karena penentuan surga dan neraka itu adalah hak tertinggi Allah yang termaktub dalam sajaknya. Ketakberdayan, kelemahan, kehinaan dan sikap merendahkan diri seorang hamba di hadapan Khaliknya adalah sebuah wujud kepasrahan yang kerap disampaikan oleh seorang penganut tarekat seperti yang juga kita jumpai dalam sajak Din di bawah ini.

Ragu

o Yang Maha Menentukan

hidupku dalam genggaman-Mu

bakarlah hatiku yang angkuh ini

sampai hangus tak berbentuk

sampai aku tak berdaya

untuk menyatakan kehendak

Banda Aceh, 2006


Keterpesonaan dan kekuatan yang dimiliki oleh sebuah laku zikir juga menjadi salah satu cara yang kerap digunakan oleh penganut tarekat untuk semakin mendekatkan diri dan menyatukan dirinya dengan Al-Haqq. Keterpesonaan kepada kekuatan zikir itu digambarkan oleh Din dalam salah satu sajaknya di bawah ini

Zikir Hujan

mendengar hujan zikir

aku terpana dalam gigil

terbayang ribuan saf

bersujud dalam derai airmata

melihat hujan zikir

aku tergamang dalam sepi

terkenang perjalanan lampau

dalam lembah untaian hitam

mengenang zikir hujan

ada embun menyelinap

membasuh luka yang karat

Banda Aceh, April 1998

Dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan ada upaya lain yang lebih penting yang perlu dilakukan oleh seorang penganut tarekat yakni mengenal diri sendiri yang bila sudah sampai pada maqam ini bermakan telah mengenal sang Pencipta itu sendiri. Din menggambarkan upaya pengenalan diri itu dalam baris-baris sajaknya yang berbunyi sebagai berikut /akhirnya semua mati/jadi penyair tiada arti/bila raga hampa, jiwa tiada apa/lebih tak berarti/kiranya hidup mengenali diri/. Demikianlah Din memformulasikan laku zikir dalam sajak-sajak-sajaknya yang memperlihatkan sebuah proses panjang pencapaian maqam demi maqam untuk dapat mencapai maqam tertinggi yakni makrifat tadi. Apakah Din sudah mencapai tujuannya hanya Tuhan dan dirinya yang mengetahuinya.


Daftar Pustaka

Abul Hasan An-Nadwi.1986. Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair terbesar. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Kartanegara, R. Mulyadhi.1986. Renungan Mistik Jalal Ad-din Rumi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kutha Ratna, S.U., Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme

Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh, Fachruddin Basyar Active Year 11 Juni 2020 Up To Now From User Status Being a business and Come Share Your Experiences And Articles On Community And business Millions Insiklopedia Free Simple Life Fused Together In Insiklopedia Association of Non Wikipedia. Success Create User And business Thank you.

Sponsor & Support by; Komunitas Desainer Aceh & TVTV, inc.