Pengguna:Rodina35/bak pasir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pemberontakan PETA di Blitar
Tanggal14 Februari 1945
LokasiBlitar, Indonesia
Hasil Pemberontakan berhasil dipadamkan
Pihak terlibat
PETA

 Kekaisaran Jepang

Tokoh dan pemimpin
  • Soeprijadi (MIA)
  • Moeradi  Dihukum mati
  • Soeparjono  Dihukum mati
  • S. Djono  Menyerah
  • Darsip  Menyerah
  • Tarmoedji  Menyerah
Kekaisaran Jepang Katagiri
Pasukan
Batalion Blitar
  • Kekaisaran Jepang Angkatan Darat ke-16
  • Batalion Blitar
  • Batalion Sukorame
  • Batalion Tulungagung
Kekuatan
c. 360 personel
  • 2 resimen
  • 3 batalion
Korban
  • 55 tertangkap (6 dieksekusi)
tidak diketahui

Pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar adalah sebuah peristiwa pemberontakan yang dilakuan oleh personel PETA di Blitar, Jawa Timur pada tanggal 14 Februari 1945. Pemberontakan ini dipimpin oleh Soeprijadi dan ditujukan terhadap pasukan Jepang.[1] Pemberontakan di Blitar merupakan pemberontakan besar yang pertama kali dilakukan oleh angkatan bersenjata di Indonesia selama masa pendudukan Jepang.[2] Pemberontakan dapat dipadamkan, dengan sebagian besar pasukan pemberontak menurunkan senjata serta beberapa di antaranya berakhir ditangkap oleh tentara Jepang. Meski begitu, peristiwa ini dipandang sebagai peristiwa bersejarah oleh Indonesia. Soeprijadi dinyatakan hilang dalam pemberontakan, dan diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 1975.[3]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Kedatangan tentara Jepang ke Indonesia[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 8 Maret 1942, Tentara Kerajaan Hindia Belanda menyerah kepada Jepang dan menandai dimulainya pemerintahan militer Jepang atas Hindia Belanda. Kedatangan tentara Jepang disambut oleh bangsa Indonesia yang merasa telah dibebaskan dari penjajahan Belanda.[4]

Berbeda dengan Belanda, Jepang cenderung mendukung semangat nasionalisme bangsa Indonesia sejak awal kedatangannya. Hal ini dilakukan untuk menarik dukungan masyarakat atas pendudukan Jepang. Tentara pendudukan Jepang tidak membungkam aspirasi bangsa Indonesia mengenai kemerdekaan, mengizinkan pemutaran lagu Indonesia Raya, serta membiarkan penggunaan bendera Merah Putih.[4] Jepang berusaha mencitrakan diri sebagai pembebas bangsa-bangsa di Asia dari penjajahan Eropa. Tokoh-tokoh yang sebelumnya dikenal menentang penjajahan Belanda kemudian bersedia membantu Jepang, dengan harapan dapat meraih kemerdekaan dan mencegah kembalinya kekuasaan Belanda.

Pembentukan Pembela Tanah Air[sunting | sunting sumber]

Sebagai bagian dari rencana memanfaatkan Indonesia untuk kepentingan di Perang Pasifik, Jepang mempertimbangkan untuk merekrut pemuda Indonesia sebagai personel militer. Pada awalnya, rekrutmen hanya dibuka untuk anggota dengan kapasitas militer yang sangat terbatas, yaitu Heiho. Kemudian, Jepang merencanakan pembentukan suatu satuan militer, tetapi permohonan pembentukan harus diusulkan oleh orang Indonesia sendiri agar dapat menarik minat masyarakat. Pada bulan September 1943, Raden Gatot Mangkoepradja menulis surat kepada Kepala Pemerintahan Militer Jepang yang berisi permohonan pembentukan satuan militer yang beranggotakan bangsa Indonesia. Permohonan ini mendapatkan dukungan dari berbagai tokoh dan masyarakat luas.

Pada tanggal 3 Oktober 1943, Panglima Angkatan Darat ke-16, Kumakichi Harada, meresmikan pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). PETA dibentuk sebagai pasukan yang akan mempertahankan wilayah Indonesia dari serangan Sekutu. Pembentukan PETA disambut dengan antusias oleh bangsa Indonesia, yang merasa bahwa PETA merupakan tentara yang dibentuk untuk kepentingan Indonesia sendiri. Meski berada di bawah komando tentara Jepang, perwira dalam PETA adalah orang Indonesia, dan kebanyakan merupakan tokoh masyarakat atau berasal dari strata sosial tinggi. Hal ini mencegah kecurigaan bahwa pembentukan PETA semata-mata hanya demi kebutuhan perang Jepang.

Batalion Blitar[sunting | sunting sumber]

PETA dibentuk dalam satuan setingkat batalion yang disebut daidan (大団), yang bertanggung jawab untuk pertahanan keresidenannya masing-masing. Setiap keresidenan memiliki dua hingga lima batalion. Batalion PETA berada di bawah komando satuan tentara Jepang setempat, sehingga tidak ada hirarki yang lebih tinggi yang menghubungkan antar batalion meskipun berada dalam satu keresidenan yang sama. Setiap batalion akan dipimpin oleh para perwira PETA yang telah lulus pelatihan di Bogor. Perwira-perwira ini ditempatkan di daerah asal masing-masing untuk membentuk batalion PETA dengan merekrut dan melatih pemuda setempat. Hal ini membuat suatu batalion PETA memiliki keterikatan dengan daerah tugasnya.

Batalion Blitar merupakan salah satu batalion yang didirikan di Keresidenan Kediri, selain Batalion Sukorame (Kediri) dan Batalion Tulungagung. Batalion Blitar bermarkas di bekas Gedung MOSVIA di Bendogerit. Pada awal tahun 1944, personel Batalion Blitar menjalani pelatihan militer dasar. Selama masa pelatihan ini, para personel menjalani aktivitas yang terisolasi dari lingkungan sekitar dan tidak diperkenankan untuk pulang ke rumah masing-masing.

Pelatihan militer dasar selesai dilakukan pada pertengahan tahun 1944. Pada saat inilah para personel Batalion Blitar mengetahui kondisi masyarakat sekitar, termasuk kerabatnya sendiri. Kebijakan Jepang yang memeras segala sumber daya untuk kebutuhan perang membuat kondisi penduduk Indonesia semakin buruk. Para petani diharuskan menjual beras hasil panen kepada Jepang dengan harga murah, sehingga kebutuhan pangan bagi penduduk sendiri tidak dapat dipenuhi. Pangan yang tersedia bagi kebanyakan orang hanya ubi atau singkong dengan jumlah yang sangat terbatas. Kondisi kemiskinan yang parah membuat banyak orang tidak mampu hanya untuk sekadar membeli pakaian yang layak.

Pada paruh kedua tahun 1944, Batalion Blitar ditugaskan untuk membangun pertahanan di pesisir selatan dan di Ngantang. Pekerjaan ini dilakukan bersama dengan romusa. Romusa mengalami kondisi kerja yang berat: pekerjaan kasar dengan durasi panjang, ketersediaan makanan yang sangat sedikit, ketiadaan air bersih, dan tidak tersedianya tempat istirahat di malam hari. Perlakuan tentara Jepang terhadap para romusa juga buruk, sehingga sering terjadi keributan antara personel PETA dengan tentara Jepang, meski pada akhirnya personel PETA harus menahan diri. Kondisi kerja yang buruk membuat penyakit menular menyebar dalam beberapa minggu dan akhirnya menyebabkan banyak romusa kehilangan nyawa. Berkurangnya tenaga kerja yang tersedia membuat romusa yang masih bertahan memiliki beban tambahan, yang juga diperparah dengan pekerjaan memakamkan kawan-kawannya sendiri. Kekosongan ini kemudian diisi dengan gelombang romusa baru yang didatangkan, yang juga kembali mengalami nasib yang sama. Hal ini disaksikan langsung oleh personel Batalion Blitar.

Pemberontakan[sunting | sunting sumber]

Permulaan[sunting | sunting sumber]

Pada bulan September 1944, di tengah situasi Perang Pasifik yang kian memburuk, pemerintah Jepang memberikan janji kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Kabar ini turut didengar oleh Batalion Blitar. Kabar ini, beserta kemarahan dari pengalaman menyaksikan penderitaan penduduk di bawah kekuasaan Jepang, membuat para personel Batalion Blitar semakin mengidam-idamkan kemerdekaan. Kemerdekaan yang dinanti bukanlah kemerdekaan pemberian Jepang, melainkan kemerdekaan yang diraih oleh tangan sendiri. Desas-desus mengenai rencana pemberontakan terhadap tentara Jepang mulai beredar dalam satuan-satuan di Batalion Blitar.

Meski tidak diketahui pasti siapa yang pertama kali mencetuskan ide pemberontakan, shōdanchō (小団長, 'komandan peleton') Soeprijadi merupakan salah satu sosok yang mulai menyusun rencana. Perencanaan ini dilakukan Soeprijadi bersama shōdanchō Moeradi serta dua orang budanchō (部団長, 'komandan regu'), Halir Mangkoedidjaja dan Soenanto, di bawah nasihat chūdanchō (中団長, 'komandan kompi') dr. Ismangil. Soeprijadi dan Moeradi mulai mencari orang-orang untuk turut berpartisipasi dan memulai rapat pertama pada pertengahan bulan September 1944.

Hari-hari pemberontakan[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 13 Februari 1945, diadakan rapat terakhir mengenai rencana pemberontakan dan diputuskan bahwa pemberontakan akan dilaksanakan keesokan harinya. Pasukan pemberontak akan dibagi menjadi empat kelompok, yang masing-masing akan meninggalkan wilayah perkotaan ke arah utara, barat, selatan, dan timur. Kelompok utara dan timur berada di bawah pimpinan Soeprijadi, dengan masing-masing kelompok dipimpin oleh Soenardjo dan Soenanto. Kelompok barat dipimpin oleh tiga orang, yaitu Moeradi, Soeparjono, dan S. Djono. Kelompok selatan dipimpin oleh Darsip dan Tarmoedji. Pasukan pemberontak akan menjadikan hutan di Gunung Kelud sebagai markasnya. Tujuan dari pemberontakan ini adalah membunuh seluruh tentara Jepang yang ditemui, dan tidak boleh membunuh personel orang Indonesia sendiri.

Pada tanggal 14 Februari 1945, pemberontakan dibuka dengan penyerangan terhadap Hotel Sakura, yang merupakan kediaman instruktur tentara Jepang, serta markas Kempetai di sekitar markas batalion. Akan tetapi, seluruh bangunan ini telah dikosongkan. Pasukan pemberontak kemudian pergi meninggalkan kota sesuai rencana.

Tentara Jepang berusaha menghindari terjadinya pertempuran dalam upaya pemadaman pemberontakan tersebut. Hal ini dilakukan untuk mencegah tersebarnya kabar pemberontakan ke batalion lain jika sampai terjadi pertempuran antara pasukan pribumi dengan tentara Jepang. Untuk melancarkan hal tersebut, personel Batalion Blitar yang tidak terlibat pemberontakan serta personel PETA lain dan Heiho di Keresidenan Kediri dikerahkan agar para pemberontak dapat dibujuk oleh saudara sebangsanya sendiri untuk meletakkan senjata. Akan tetapi, tentara Jepang juga menyertakan dua resimen sebagai pendukung untuk memberikan tekanan kepada pasukan pemberontak.

Pada hari pertama pemberontakan, kelompok timur langsung berhadapan dengan sesama personel PETA. Pasukan pemberontak enggan mengambil tindakan karena menghadapi sesama bangsa Indonesia. Setelah dibujuk oleh para perwira dari pasukan yang mengepung mereka, pasukan pemberontak bersedia menyerah dan kembali ke Blitar. Sesampainya di Blitar, pasukan pemberontak ditahan oleh tentara Jepang.

Setelah melewati malam pertama di sekitar Candi Penataran, kelompok utara dikepung oleh pasukan PETA dan kepolisian. Seperti kelompok timur di hari sebelumnya, para pemberontak enggan memberikan perlawanan terhadap saudara sebangsanya sendiri. Pasukan pemberontak akhirnya tertangkap dalam beberapa hari.

Pada hari kedua, kelompok selatan bertemu dengan Batalion Sukorame (Kediri). Ketika melihat tentara Jepang yang memimpin batalion, pasukan pemberontak mulai menembakinya. Baku tembak berlangsung singkat sebelum akhirnya para pemberontak menarik diri dan disusul oleh pasukan PETA yang melanjutkan perjalanannya menuju Blitar. Pada akhirnya, kelompok selatan didatangi oleh daidanchō (大団長, 'komandan batalion') Blitar sendiri, Soerachmad, dan dibujuk untuk kembali ke Blitar. Kelompok selatan pun ditahan sesampainya di sana.

Kelompok barat berhasil mencapai hutan di sekitar Gunung Kelud dan bertahan selama beberapa hari. Berbagai usaha untuk membujuk pasukan pemberontak agar menyerah tidak membuahkan hasil. Akhirnya, Kolonel Katagiri, salah satu komandan pasukan Jepang yang melakukan pengepungan, menawarkan negosiasi. Tawaran ini diterima oleh Moeradi. Pasukan pemberontak akan bersedia menghentikan aksinya dengan syarat: mereka dibiarkan kembali ke Blitar dalam keadaan bersenjata dan tanpa pengawalan, mereka akan dibebaskan dari pengadilan militer, pihak Jepang harus menindak tentaranya yang berbuat semena-mena terhadap orang Indonesia, serta tentara PETA harus diperlakukan setara dengan tentara Jepang. Katagiri menerima permintaan ini. Pasukan pemberontak pun kembali ke Blitar. Meski beberapa orang diberikan kesempatan melarikan diri oleh Moeradi, pada akhirnya mereka tertangkap.

Akhir[sunting | sunting sumber]

Sebab dan Akibat[sunting | sunting sumber]

Shodancho Soeprijadi merasa prihatin pada nasib rakyat Indonesia, khususnya di Blitar, Jawa Timur yang hidup sengsara dibawah kekuasaan Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II. Penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi dikarenakan Kekaisaran Jepang menerapkan kebijakan yang sangat brutal, seperti kerja paksa (romusha), perampasan hasil pertanian, dan perlakuan rasial seperti halnya kekuasaan fasisme di Eropa, perlakuan rasis tersebut juga dialami oleh tentara PETA yang notabene adalah bentukan Jepang. Berdasarkan hal-hal itulah, Soeprijadi kemudian mengkonsolidasikan pasukannya untuk melakukan pemberontakan melawan Tentara Kekaisaran Jepang.[1]

Pemberontakan itu sendiri berhasil membunuh sejumlah tentara Jepang dan pasukan PETA pimpinan Soeprijadi berhasil melarikan diri dengan membawa banyak perlengkapan dan logistik Jepang, seperti senjata Arisaka dan senapan mesin Type 99. Namun, struktur komando Jepang yang tidak mebuatkan PETA memiliki komando terpusat sendiri, melainkan tetap terpusat pada komando Tentara Jepang berhasil mencegah pemberontakan itu menyebar ke ''daidan'' lainnya. Kemudian Jepang akhirnya memutuskan untuk mengirim tentara PETA yang masih setia pada Jepang untuk memburu Soeprijadi dan pengikutnya.[5]

Tentara PETA yang tertangkap kemudian diadili di Jakarta, pusat komando pemerintahan pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia. Sebanyak 68 orang anggota PETA yang memberontak berhasil ditangkap - 8 orang dihukum mati, 2 orang dibebaskan - sementara Soeprijadi sendiri tidak ditemukan sampai hari ini. Banyak spekulasi beredar tentang keberadaan Soeprijadi, ada yang mengatakan ia ditangkap dan dibunuh di tempat, melarikan diri ke Trenggalek, kota kelahirannya yang letaknya cukup dekat dengan Blitar dan kondisi geografisnya yang memungkinkan Soeprijadi untuk mengasingkan diri dan bersembunyi, atau sebenarnya Soeprijadi telah tewas dalam pertempuran 14 Februari 1945 itu, sampai sekarang tidak ada yang tahu.[6]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Oktorino 2013, hlm. 14.
  2. ^ Lebra 2010, hlm. 153.
  3. ^ Said, Wulandari & Sutjiatiningsih 1995, hlm. 52.
  4. ^ a b Vickers 2005, hlm. 93.
  5. ^ Oktorino 2013, hlm. 14-15.
  6. ^ Oktorino 2013, hlm. 15.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]