Perang dalam Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang dalam Islam hanya dilakukan dengan tujuan musuh yang berusaha menghilangkan kebebasan atas penyebaran dakwah dan perdamaian. Sikap yang wajib ada dalam peperangan dalam Islam adalah sikap kesatria.[1] Di dalam Al-Qur'an tidak ada perintah untuk melakukan peperangan dengan tujuan memaksakan kepada manusia untuk memeluk agama Islam.[2]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Perang pertama[sunting | sunting sumber]

Sebelum kepindahan mereka dari Makkah ke Madinah, Nabi Muhammad dan para pengikutnya tidak melakukan perang sama sekali. Perang tidak diadakan meskipun mereka telah mengalami penderitaan akibat permusuhan yang dilakukan oleh suku Quraisy. Suku Quraisy melakukan kekerasan, pengusiran dan perampasan harta dari para pengikut Nabi Muhammad. Nabi Muhammad dan para pengikutnya kemudian hijrah ke Madinah karena adanya rencana pembunuhan terhadap Nabi Muhammad di Makkah oleh suku Quraisy. Perang pertama dalam sejarah Islam dilakukan setahun setelah Nabi Muhammad dan para pengikutnya hijrah dari Mekkah ke Madinah. Perang ini merupakan perintah Allah melalui wahyu yang disebutkan dalam Surah Al-Hajj ayat 39-40. Ayat ini merupakan ayat pertama yang diturunkan khusus untuk berperang. Ayat ini mengizinkan perang terhadap musuh yang melakukan penganiayaan dan pengusiran tanpa adanya alasan yang benar. Peperangan diadakan pada bulan Safar, setahun setelah Nabi Muhammad dan para pengikutnya menetap di Madinah.[3]

Tujuan[sunting | sunting sumber]

Perang dalam Islam bertujuan untuk melindungi kebebasan penyebaran dakwah. Tujuan dari perang dalam Islam bukan untuk menyebarkan dakwah. Penyebaran dakwah dengan peperangan merupaka hal yang dilarang dalam Islam. Dakwah tidak dapat dilakukan dengan kekerasan. Pernyataan ini disebutkan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Baqarah ayat 256. Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa dalam beragam Islam tidak ada paksaan sama sekali. Jalan kebenaran telah dibuat jelas sehingga jalan kesesatan dapat dibedakan.[4] Penyebaran dakwah dengan peperangan dilarang karena tidak akan menimbulkan perubahan bagi pemeluk agama Islam. Keyakinan agama akan hilang bersama dengan hilangnya kekuasaan negara Islam jika menambah pengikutnya dengan jalan peperangan.[5]

Sifat[sunting | sunting sumber]

Tujuan peperangan dalam Islam hanyalah untuk melindungi kebebasan penyebaran dakwah. Kebebasan ini berperan dalam penjagaan akidah Islam. Peperangan dalam Islam juga dilakukan untuk mencegah serangan dari luar negara Islam. Batasan peperangan dalam Islam disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 190. Peperangan hanya dilakukan kepada musuh yang terlebih dahulu memulai perang. Allah menetapkan batasan terhadap perang dan tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas dalam peperangan.[5]

Sifat peperangan dalam Islam adalah perang pertahanan. Peperangan tidak boleh diawali oleh tindakan umat muslim. Peperangan juga hanya dilakukan jika terpaksa harus berperang. Selama perang, muslim harus bersikap mulia. Kemuliaan ini meliputi ketaatan atas perjanjian, menghindari pengkhianatan, menolong dan membantu orang-orang yang terluka, sakit atau menjadi tawanan. Selain itu, muslim juga dilarang menyerang warga sipil yang tidak terlibat dalam perang, seperti perempuan, anak-anak, orang tua yang lanjut usia, pendeta, dan petani.[6]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Peperangan antar-sesama umat muslim[sunting | sunting sumber]

Peperangan antar-sesama umat muslim merupakan permasalahan dalam lingkup internal bagi umat muslim. Peperangan ini umumnya terjadi akibat pemberontakan yang timbul akibat kezaliman dari penguasa kepada rakyatnya. Syariat Islam menyediakan aturan mengenai hal ini dalam rangka menjaga persatuan umat muslim. Selain itu, syariat Islam juga menetapkan aturan sehingga para penguasa tidak dapat bertindak sewenang-menang dalam menggunakan kekuasaan dan kepemimpinan yang diberikan kepadanya.[7]

Kondisi perselisihan antar-sesama umat muslim dinyatakan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Hujurat ayat 9 dan ayat 10. Aturan peperangan yang diberikan oleh kedua ayat ini adalah mendamaikan kedua pihak yang berselisih terlebih dahulu dengan membuat perjanjian. Jika salah satu pihak melanggar perjanjian, maka umat muslim wajib memerangi pihak yang melanggar ini hingga mengakui kekalahan. Setelah kalah, pihak yang memulai perang ini bersama pihak yang berselisih didamaikan kembali secara adil. Dalam ayat ini, aturan perdamaian lebih utama daripada peperangan karena Allah menyatakan bahwa setiap muslim adalah bersaudara.[8]

Peperangan dengan umat selain umat muslim[sunting | sunting sumber]

Syariat Islam untuk melakukan peperangan dengan umat selain umat muslim bertujuan untuk melawan kezaliman yang terjadi di negeri muslim. Selain itu, peperangan ini bertujuan untuk melindungi kegiatan dakwah dan melindungi kebebasan penyebaran dakwah. Dalam Al-Qur'an disebutkan mengenai larangan berperang dengan umat selain umat muslim hanya untuk keserakahan, monopoli dan menzalimi orang-orang yang lemah.[9]

Pengelolaan[sunting | sunting sumber]

Penguatan spritual bagi mujahidin[sunting | sunting sumber]

Penguatan spritual bagi prajurit di dalam pasukan muslim dilakukan dengan mengaitkannya dengan balasan dari Allah. Allah telah menetapkan balasan berupa pahala yang berlipat ganda bagi para mujahidin. Balasan pahala ini diberikan jika mereka berperang demi pembelaan atas orang-orang yang lemah, melawan kezaliman kekuasaan dan kesewang-wenangan dan menghindarkan keburukan dan kerusakan. Pahal juga diberikan sebagai balasan karena tindakan tersebut merupakan suatu perbuatan baik kepada manusia.[10] Pengelolaan spiritual bagi para mujahidin ini dijelaskan dalam Surah An-Nisa' ayat 74 dan ayat 76.[11]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Khaththab 2019, hlm. 73.
  2. ^ Khaththab 2019, hlm. 83.
  3. ^ Khaththab 2019, hlm. 73-74.
  4. ^ Khaththab 2019, hlm. 74-75.
  5. ^ a b Khaththab 2019, hlm. 75.
  6. ^ Khaththab 2019, hlm. 75-76.
  7. ^ Khaththab 2019, hlm. 78-79.
  8. ^ Khaththab 2019, hlm. 79.
  9. ^ Khaththab 2019, hlm. 80.
  10. ^ Khaththab 2019, hlm. 85.
  11. ^ Khaththab 2019, hlm. 86.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Khaththab, Mahmud Syait (2019). Rasulullah Sang Panglima: Meneladani Strategi dan Kepemimpinan Nabi dalam Berperang. Sukoharjo: Pustaka Arafah. ISBN 978-602-6337-06-1.