Perang timbung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang timbung merupakan suatu tradisi suku Sasak di Desa Pejanggik kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah. Tradisi ini sudah lama ada dan dilakukan secara turun temurun.  Dalam pelaksanaan Perang Timbung dilakukan satu kali dalam setahun, tepatnya di hari jumat pada bulan keempat penanggalan suku Sasak[1].

Penanggalan Sasak merupakan kalender Sasak yang dibuat oleh orang sasak itu sendiri. Penanggalan ini dikenal oleh warga suku sasak dengan disebut Warige. Warige adalah sistem kalender Sasak yang cukup unik karena penetapan tanggalnya yang menggunakan peredaran bintang yang menggunakan deretan. Biasanya Warige digunakan dalam konteks kegiatan keagamaan, pertanian, ritual budaya dan kegiatan penangkapan ikan di laut.

Adapun kaitannya dengan pelaksanaan perang Timbung yang di laksanakan masyarakat Pejanggik pada bulan 4 penanggalan Sasak, memiliki maksud dan arti tertentu. Penentuan bulan yang dipilih dalam pelaksanaan perang Timbung ini salah satunya adalah bulan untuk bercocok tanam atau bertani. Masyarakat Pejanggik melaksanakan tradisi perang timbung tersebut dan terhindar dari bencana yang melanda wilayah Pejanggik. Hal ini juga seperti yang dititahkan oleh nenek moyang dahulu, dan sebagai salah satu untuk mengantisipasi terjadinya bencana, masyarakat melakukan upacara tolak balak dengan sesajensebagai penghormatan kepada Sang penciptanya. Setelah pelaksanaan upacara Perang Timbung, warga Pejanggik akan mulai menggarap ladang dan sawah mereka setelah hujan turun[2].

Asal mula[sunting | sunting sumber]

Tradisi Perang timbung ini mulai ada sejak kerajaan Datu Mas Pemban Aji Meraja Kusuma (Datu Mas Pempan Aji). Awalnya, Raja Datu Mas Pemban Aji Meraja Kusuma bermimpi buruk dan ditafsirkkan oleh para petinggi kerajaan bahwa mimpi itu menjadi pertanda adanya gempuran atau konflik dari dalam kerajaan yang disebabkan oleh kalangan petinggi-petinggi kerajaan Pejanggik.  Agar hal tersebut tidak terjadi, para penafsir mimpi memberikan saran untuk melakukan penumbalan. Mendengar hal itu raja terkejut dan ia berfikir bahwa yang dimaksud dengan penumbalan adalah mengorbankan nyawa seseorang. Hal ini dibantah oleh para penafsir mimpi, maksud penumbalan tersebut adalah mengadakan sebuah acara besar-besaran, acara penolak balak atau melakukan perang timbung. Berdasarkan musyawarah yang dilakukan oleh raja dengan para pemanting (penggawa), pandita (tabib), dan petinggi-petinggi kerajaan, disepakati bahwa untuk mengantisipasi bencana tersebut harus membuat jaje timbung atau jajan lemang untuk melakukan perang. Oleh karena itu, masyarakat desa Pejanggik harus melaksanakan ritual tersebut atau dikenal dengan tradisi perang timbung untuk mengantisipasi bencana yang akan terjadi. Selain itu, ritual tersebut juga digunakan untuk persembahan kepada Sang pencipta.

Tradisi perang timbung memiliki makna agar pihak-pihak musuh yang akan menyerang kerajaan Pejanggik pada saat itu akan tertahan karena melihat huru-hara yang sedang terjadi di kerajaan Pejanggik.

Ritual[sunting | sunting sumber]

Dalam pelaksanaan perang timbung terdapat beberapa ritual, seperti membuat tebung. Dalam membuat tebung, orang yang akan melakukannya harus dalam keadaan bersih atau orang yang memiliki wudhu. Tebung ini juga dibuat dari beras ketan dan santan yang dimasukkan dalam bantu, lalu dibakar[1][3]. Ritual selanjutnya adalah pengambilan air suci yang diambil dari 7 sumur suci yang berada di Dusun Gaong yang disemayamkan pada malam Jumat. Kemudian, siang harinya setelah selasai salat Jumat air tersebut di arak oleh petinggi-petinggi kerajaan dengan diiringi oleh masyarakat dari kraton Pejanggik menuju ke makam Serewe[3]. Setelah sampai pada makam tersebut Raja menghimbau kepada petinggi kerajaan dan masyarakat untuk berdoa, berdzikir, membaca berzanji, dan srakalan terlebih dahulu sebelum melaksanakan acara, lalu acara ditutup dengan pembacaan doa. Setelah pembacaan doa penutupan, dimulailah acara saling lempar dengan menggunakan timbung tersebut.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Dozan, Wely; Fitriani, Laily (2020-07-06). "Membangun Karakter Anak Usia Dini Melalui Nilai-Nilai Islam Dalam Tradisi Perang Timbung". Murhum : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 1–15. doi:10.37985/murhum.v1i1.2. ISSN 2723-6390. 
  2. ^ Hanafi, Hanafi Lalu Muhammad; Yuliani (2023-09-03). "NILAI SOLIDARITAS DALAM TRADISI PERANG TIMBUNG PADA MASYARAKAT SUKU SASAK DI DESA PEJANGGIK LOMBOK TENGAH". An-Nas : Jurnal Humaniora (dalam bahasa Inggris). 7 (2): 100–111. doi:10.32665/annas.v7i2.2053. ISSN 2597-7822. 
  3. ^ a b Nuruddin, Nuruddin; Nahar, Nur (2022-03-02). "Akulturasi Praktik Keberagamaan Islam Dalam Tradisi Perang Timbung Di Desa Pejanggik Lombok Tengah". JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan) (dalam bahasa Inggris). 6 (2). doi:10.58258/jisip.v6i2.2964. ISSN 2656-6753.