Peristiwa Doktor Mochtar
Peristiwa Doktor Mochtar adalah peristiwa sabotase yang dilakukan oleh seorang doktor, bernama Achmad Mochtar (Mochtar) terhadap tenaga kerja romusha agar tentara Kekaisaran Jepang tidak dapat memaksa mereka untuk bekerja lagi atau setidaknya mereka tidak akan lagi menderita oleh tentara Kekaisaran Jepang.
Sabotase
[sunting | sunting sumber]Peristiwa ini terjadi pada November 1944, di daerah Jawa yang tak disebutkan lokasinya. Peristiwa ini terjadi saat ratusan pekerja romusha terkena wabah penyakit tetanus dalam waktu yang bersamaan, diduga hal ini terjadi karena vaksin tetanus telah terkontaminasi, sehingga vaksin itu justru menghidupkan virus, bukan melemahkannya.[1]
Untuk menyelidiki kasus ini, tentara Kekaisaran Jepang memutuskan untuk meminta Dr. Mochtar dari Lembaga Eijkman Institute sebagai penyedia vaksin untuk merawat para pekerja romusha yang terinfeksi tetanus. Namun, Dr. Mochtar kemudian menuduh bahwa tentara Kekaisaran Jepang lah yang menyebabkan wabah ini, karena kurangnya perhatian mereka terhadap keselamatan para pekerja romusha dan gegabah dalam memberikan vaksin tetanus.[1]
Tak terima dituduh oleh Dr. Mochtar, tentara Kekaisaran Jepang mengutus Kempetai untuk mengusut kasus ini. Hasil penyelidikan Kempetai menyatakan Dr. Mochtar yang telah menyabotase vaksin tetanus bagi tenaga kerja romusha agar terhindar dari kewajiban kerja paksa mereka. Akhirnya, Dr. Mochtar ditangkap dan dipenjara selama sembilan bulan, kemudian dipenggal dan jasad Dr. Mochtar dihancurkan dengan mesin giling.[2]
Presiden Soekarno pernah mendapat cerita ini dari Kempetai. Menurutnya, Kempetai telah kelewat batas dan melebih-lebihkan cerita itu.[3]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Nino Oktorino, Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013) hal. 25
- ^ Nino Oktorino, Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013) hal. 26
- ^ Nino Oktorino, Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2013) hal. 67