Perjanjian 20 hal

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perjanjian 20 hal, atau Memorandum 20 hal, adalah sebuah daftar dari 20 hal yang disusun oleh Borneo Utara, mengusulkan persyaratan untuk penggabungan ke dalam federasi baru sebagai Negara Bagian Sabah, selama perundingan sebelum pembentukan Malaysia. Dalam Undang-Undang Malaysia 1963 mengenai Perjanjian Malaysia beberapa dari dua puluh hal ini dimasukkan, dalam tingkat yang berbeda, ke dalam naskah yang kemudian menjadi Konstitusi Malaysia; yang lainnya hanya diterima secara lisan, sehingga tidak mendapatkan status hukum. Perjanjian 20 hal ini sering berfungsi sebagai titik fokus di antara mereka yang berpendapat bahwa hak-hak Sabah dalam Federasi telah terkikis dari waktu ke waktu.[1]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani antara Britania Raya dan Federasi Malaya, isu penentuan nasib sendiri sehubungan dengan rakyat Borneo dan Sarawak merupakan sebuah tantangan untuk pembentukan Federasi Malaysia. Sebuah Pernyataan Bersama yang dikeluarkan oleh Britania dan Pemerintah Federal Malaya pada 23 Oktober 1961 mengumumkan bahwa sebelum sampai ke keputusan akhir, perlu untuk memastikan pandangan dari rakyat di Borneo Utara dan Sarawak. Diputuskan untuk membentuk sebuah komisi untuk melaksanakan tugas itu dan untuk membuat rekomendasi.

Pemerintah Britania, bekerja sama dengan Pemerintah Federasi Malaya, menunjuk sebuah Komisi Penyelidikan untuk Borneo Utara dan Sarawak pada Januari 1962 untuk memastikan jika rakyat mendukung usulan untuk membentuk Federasi Malaysia. Tim yang beranggotakan lima orang, yang terdiri dari dua etnis Melayu dan tiga perwakilan Britania, dipimpin oleh Lord Cobbold.[2] Sebuah komite antar pemerintahan (Komite Lansdowne) ditunjuk untuk menyusun rincian akhir Perjanjian Malaysia. Lord Lansdowne bertindak atas nama Britania dan Tun Abdul Razak, Wakil Perdana Menteri Federasi Malaya bertindak atas nama Malaya.[3]

Dua puluh hal ditulis dengan maksud untuk menjaga kepentingan, hak, dan otonomi rakyat Borneo Utara pada pembentukan federasi Malaysia. Proposal serupa, dengan beberapa perbedaan dalam isi, dibuat untuk Sarawak, dan biasanya disebut sebagai Perjanjian 18 hal.

Perhatian sering tertuju kepada memorandum ini oleh orang-orang yang percaya bahwa prinsip-prinsip mereka yang kemudian tidak dipatuhi setelah federasi. Ada banyak seruan untuk meninjau kembali memorandum 20 hal supaya memperhitungkan perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik dari waktu ke waktu.[4]

Daftar pasal[sunting | sunting sumber]

Berikut merupakan daftar pasal yang terisi dalam perjanjian tersebut.[5]

Pasal 1: Agama[sunting | sunting sumber]

Walaupun tidak ada bantahan terhadap agama Islam sebagai agama kebangsaan Malaysia akan tetapi agama resmi sepatutnya tidak akan diadakan di Borneo Utara, dan segala perundangan mengenai agama Islam yang terisi di dalam Perlembagaan Malaya tidak harus digunakan di Borneo Utara.

Pasal 2: Bahasa[sunting | sunting sumber]

  • Bahasa Melayu harus dijadikan Bahasa Kebangsaan Persekutuan
  • Penggunaan Bahasa Inggris harus diwajibkan untuk tempo sepuluh tahun setelah Hari Malaysia
  • Bahasa Inggris harus digunakan sebagai bahasa resmi Borneo Utara untuk semua tujuan berkaitan dengan negeri dan persekutuan, tanpa batas waktu.

Pasal 3: Perlembagaan[sunting | sunting sumber]

Walaupun Perlembagaan Persekutuan Malaya diterima sebagai asas untuk membentuk Perlembagaan Malaysia, akan tetapi Perlembagan Malaysia seharusnya dipersetujui oleh pergabungan negeri-negeri bebas dan sepatutnya bukan sesuatu susunan pindaan kepada sebuah perlembagaan yang telah digubal dan dipersetujui oleh negeri-negeri yang berasingan di dalam keadaan yang berlainan sekali. Sebuah perlembagaan baru untuk Borneo Utara sewajarnya amat diperlukan.

Pasal 4: Ketua Persekutuan[sunting | sunting sumber]

Yang Di Pertua Negara Borneo Utara tidak layak untuk dipilih sebagai Ketua Persekutuan.

Pasal 5: Nama Persekutuan[sunting | sunting sumber]

"Malaysia" bukan "Melayu Raya".

Pasal 6: Imigrasi[sunting | sunting sumber]

Kontrol atas migrasi dari luar ke mana-mana tempat di Malaysia seharusnya terletak di bawah kuasa pemerintahan Persekutuan tetapi kemasukan ke Borneo Utara sepatutnya juga memerlukan persetujuan Pemerintahan Negeri.

Pemerintahan Persekutuan tidak seharusnya berkuasa membatalkan kemasukkan sesiapa pun ke dalam Borneo Utara jika ia berkaitan dengan urusan pemerintahan negeri kecuali atas sebab-sebab keselamatan saja. Borneo Utara seharusnya mempunyai kuasa yang tidak terbatas ke atas pergerakan seseorang, kecuali mereka yang bertugas di bawah kerajaan Persekutuan dari tempat-tempat lain Malaysia di Borneo Utara.

Pasal 7: Hak Menarik Diri[sunting | sunting sumber]

Hak untuk memisah atau menarik diri dari Persekutuan seharusnya tidak ada.

Pasal 8: Borneonisasi[sunting | sunting sumber]

Proses untuk melantik orang-orang daerah ke dalam pelayanan umum negeri Borneo Utara seharusnya diwujudkan secepat mungkin.

Pasal 9: Pegawai-pegawai orang Inggris[sunting | sunting sumber]

Segala usaha harus dibuat untuk menggalakkan pegawai-pegawai orang Inggris untuk meneruskan perkhidmatan mereka dalam perkhidmatan awam sehingga tempat mereka boleh diganti oleh orang-orang tempatan yang berkelayakan.

Pasal 10: Kewarganegaraan[sunting | sunting sumber]

Tertakluk kepada perubahan berikut, Perenggan 148(k) cadangan dalam Laporan Cobbold seharusnya menentukan hak kewarganegaraan penduduk Borneo Utara di dalam Persekutuan:

  • Paragraf kecil (I) seharusnya tidak berisi syarat mengenai penetapan selama 5 tahun
  • Untuk diselaraskan dengan undang-undang kami, perenggan kecil (II) sepatutnya menyatakan "7 dari 10 tahun" dan bukan "8 dari 10 tahun"
  • Paragraf kecil (II) tidak sepatutnya berisi batasan berkenaan dengan kewarganegaraan ibu bapak seseorang yang dilahirkan di Borneo Utara setelah Hari Malaysia semestinya menjadi warganegara persekutuan.

Pasal 11: Cukai dan keuangan[sunting | sunting sumber]

Borneo Utara seharusnya mempunyai kuasa ke atas keuangan, tabung pembangunan, dan cukai sendiri.

Pasal 12: Kedudukan khas bangsa asli/bumiputera Borneo Utara[sunting | sunting sumber]

Pada prinsipnya bangsa asli Borneo Utara seharusnya menikmati hak keistimewaan seperti yang diberikan kepada bangsa Melayu di Malaya, tetapi formula yang dipraktikkan di Malaya tidak semestinya digunapakai oleh Borneo Utara.

Pasal 13: Pemerintahan Negeri[sunting | sunting sumber]

Ketua Menteri harus dipilih oleh ahli-ahli tidak resmi Majlis Perundangan. Borneo Utara seharusnya mempunyai suatu sistem kementerian yang sesuai.

Pasal 14: Masa Periode Peralihan[sunting | sunting sumber]

Sepatutnya tujuh tahun dan dalam masa ini kuasa perundangan mesti diberikan kepada Pemerintahan Borneo Utara mengikut perlembagaan dan tidak dipengaruhi oleh pemerintahan persekutuan.

Pasal 15: Pelajaran[sunting | sunting sumber]

Sistem pelajaran Borneo Utara yang wujud sekarang harus diteruskan dan dengan itu ia harus diletakkan di bawah kawalan pemerintahan negeri.

Pasal 16: Perlindungan kepada Perlembagaan[sunting | sunting sumber]

Tidak ada perbaikan, perubahan atau pembatalan dapat dilakukan oleh Pemerintahan Pusat kepada perlindungan-perlindungan yang diberikan khas kepada Borneo Utara tanpa persetujuan pemerintahan Borneo Utara. Kuasa ini adalah hak mutlak penduduk negeri ini.

Pasal 17: Perwakilan dalam Parlemen Persekutuan[sunting | sunting sumber]

Ini sepatutnya bukan hanya bergantung kepada jumlah penduduk Borneo Utara tetapi juga kepada keluasan dan keupayaannya, dan dalam mana-mana perkara ia sepatutnya tidak kurang dari jumlah perwakilan dari Singapura.

Perkara 18: Nama Ketua Negeri[sunting | sunting sumber]

Yang di-Pertua Negara Sabah.

Perkara 19: Nama Negeri[sunting | sunting sumber]

Sabah.

Perkara 20: Tanah, hutan, pemerintahan daerah dan lain-lain[sunting | sunting sumber]

Perkara dalam Perlembagaan Persekutuan mengenai kuasa Majelis Tanah Persekutuan tidak harus melibatkan Borneo Utara. Seperti itu juga, Majelis Kebangsaan Pemerintahan Daerah tidak harus melibatkan Borneo Utara.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Abdication of Responsibility: The Commonwealth and Human Rights, United States of America: Human Rights Watch, October 1991, hlm. 33–34, ISBN 1-56432-047-2, diakses tanggal 15 September 2010 
  2. ^ Cobbold was Governor of the Bank of England from 1949 to 1961. The other members were Wong Pow Nee, Chief Minister of Penang, Mohammed Ghazali Shafie, Permanent Secretary to the Ministry of Foreign Affairs, Anthony Abell, former Governor or Sarawak, and David Watherston, former Chief Secretary of the Federation of Malaya.
  3. ^ Bastin, John Sturgus (1979). Malaysia; Selected Historical Readings. Ann Arbor: University of Michigan Press. ISBN 9783262012165. 
  4. ^ "Sabah, S'wak urged to review agreements". Daily Express. 21 December 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 June 2011. Diakses tanggal 15 September 2010. 
  5. ^ Perjanjian 20 Perkara Sabah.

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]