Perkembangan Usaha Kesejahteraan Sosial di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Perkembangan Usaha Kesejahteraan Sosial di Indonesia adalah suatu tahapan yang menggambarkan bagaimana Indonesia mewujudkan cita-citanya yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu sebagai negara kesejahteraan.[1] Tahapan ini dimulai dari memandang bagaimana nilai-nilai tradisional yang dianut oleh bangsa Indonesia dalam mendukung upaya perwujudan negara kesejahteraan ini.[1] Dan tentunya gambaran perkembangan kesejahteran sosial ini akan dilihat dari kondisi bangsa Indonesia sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.[1] Dengan memahami perbedaan kondisi ini, diharapkan kita dapat memahami bagaimana proses perkembangan usaha kesejahteraan sosial di Indonesia.[1]

Nilai-nilai Tradisional[sunting | sunting sumber]

Secara tradisional masyarakat Indonesia memiliki suatu bentuk dan cara penyelenggaraan usaha-usaha bantuan yang ditujukan untuk kepentingan bersama dan dilaksanakan bersama.[2] Usaha tersebut dikenal dengan sebutan "gotongroyong".[2] Meskipun istilah ini lebih dikenal didaerah Jawa tetapi bentuk-bentuk yang semasacam ini juga dikenal dimacam suku lain misalnya Tapanuli, Toraja, Minahasa, dan sebagainya. Prof. Dr. Koentjaraninggrat dalam pembahasannya mengemukakan bahwa gotongroyong itu pada hakikatnya mempunyai sifat kewajiban timbalbalik untuk saling membantu.[3]

Untuk mengenali masalah-masalah yang menyangkut usaha-usaha kesejahteraan sosial di Indonesia maka perlu dilihat latarbelakang sejarah bangsa Indonesia dimana telah bertahun-tahun hidup dalam penjajahan.[4] Oleh sebab itu tata kehidupan masyarakat dalam keadaan tidak wajar dan mengalami berbagai kepincangan sosial.[4] Disamping itu dalam masyarakat itu sendiri juga mengenal masalah-masalah yang secara umum dianggap mengganggu kesejahteraan hidup bersama.[4] Jenis-jenis masalah yang dirasakan menghambat dan mengganggu kesejahteraan hidup bersama disetiap daerah Indonesia ada yang dirasakan sama dan ada yang berbeda satu tempat dan tempat lainnya.[4]

Masyarakat Jawa sudah lama mengidentifikasi masalah yang dianggap dapat mengganggu atau merusak kesejahteraan hidup, yaitu apa yang disebut dengan istilah M - 5 (Malima): Main (berjudi), Madat (menghisap), Minum (minuman keras), Madon(perzinahan) dan maling (mencuri). Ayatroehadi mengemukakan bahwa dikerajaan sunda sebelum Islam sudah terdapa orang-orang yang memperoleh penghasilan dengan jalan yang tidak disukai masyarakat pada umumnya.[5] Pekerjaan itu antara lainnya, meor, ngodok,nyepet,ngerebut,ngabegal. Sifat kemasyarakatan asli yang terdapat dalam kehidupan bangsa Indonesia dimana setia warga masyarakat terikat pada hidup paguyuban (gamenschaft) dan pola patembayan (gasselschaft) dicerminkan kedalam tindakan tolong menolong dan berperan seta disetiap kegiatan untuk kepentingan umum.[5] Contoh: seperi yang telah dikemukakan adalah gotongroyong. Kegiatan semacam digunakan dengan istilah lain misalnya gugurgunung, sambatan, mapalus di Minahasa.[5] Lebih luas lagi sikap kemasyarakatan ini tercemin dalam peribahasa-peribahasa dan ajaran agama yang telah berakar di Indonesia.[5]

Kemudian juga secara umum dapat dikatakan bahwa di dalam kesusasteraan asli Indonesia yaitu peribahasa dan pantun banyak mengandung pandangan atau pemikiran tentang keberadaan manusia sebagai makhluk sosial.[6] Zuber Usman menyatakan bahwa puisi lama merupakan pancaran masyarakat yang memiliki ciri suatu persatuan yang lebih rapat, lebih padu, tidak pecah belah, dan dalam pergaulan sehari-hari anggota masyarakatnya sangat bermurah hat, pandang-memandang.[6]

Keadaan Sebelum Merdeka[sunting | sunting sumber]

Dari kerajaan kuno di Indonesia belum ditemukan suatu sistem yang menunjukkan penyelenggarakan usaha pelayanan sosial.[1] Beberapa peninggalan yang berupa prasasti atau yupa hanya menyebutkan bahwa raja telah memberikan kurban besar-besaran dan hadiah-hadiah untuk kemakmuran negara serta rakyatnya.[1] Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang tidak dikenal usaha-usaha yang dijalankan oleh pemerintah dalam bidang sosial.[1] Yang ada hanya berupa inisiatif swasta seperti perawatan anak yatim piatu dan lanjut usia.[1] Meskipun insiatf pihak swasta telah banyak dilakukan akan tetapi usaha pelayanan sosial belum meliputi dan memenuhi segala lapisan penduduk Indonsia.[1] Dari pihak pemerintah Belanda atau Jepang malah banyak memeras penduduk bangsa Indonesia.[1] Misalnya kewajiban rodi (kerja paksa) pada zaman penjajahan Belanda dan romusha pada zaman Jepang.[1]

Pada akhir abad ke 19 banyak reaksi terhadap kekejaman dan penghisapan Belanda atas bangsa Indonesia. Di antarareaksi yang paling keras datang dari Multatuli dalam karya tulisannya Max Havelaar.[1] Reaksi lain terkembang ke dalam gagasan ''Van Deventer'' yang mengajukan saran kepada pemerintah Belanda untuk mengadakan perbaikan kehidupan di Indonesia sebagai tindakan balas budi. Gagasan yang dikenal dengan Etische politiek ini meliputi tiga bidang usaha yaitu emigrasie, educatie, dan irrigatie bagi Jawa. Namun dalam perwujudannya tidaklah seperti yang diharapkan, bangsa Indonesia tetap dibatasi oleh penjajah untuk dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik.[1] Hal ini tampak dari tindakan pemerintah Belanda yang melarang atau menganggap liar penyelenggaraan pendidikan yang diusahakan oleh bangsa Indonesia seperti Taman Siswa. Sedangkan usaha transmigrasi dan irigasi diadakan masih tetap berpusat kepada kepentingan pemerintah Belanda.[1]

Usaha-usaha sesudah Proklamasi Kemerdekaan[sunting | sunting sumber]

Setelah proklamasi kemerdekaan, untuk mewujudkan kegiatan dalam bidang sosial secara nasional dibentuk Kementrian Sosial pada tanggal 19 Agustus 1945 yang didasarkan pada Keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan.[1] Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada masa perang kemerdekaan antara lain: penanggulangan masalah pengungsian, pemulangan bekas bekas romusa dan heiho, rehalibitasi penderita cacat dan penanggulangan anak-anak yatim piatu serta orang-orang terlantar.[1] Kesadaran umum masyarakat Indonesia untuk menangani masalah sosial pada masa perang kemerdekaan diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional yaitu 20 Desember 1948, sehari setelah akasi militer Belanda kedua di di Yogyakarta. Waktu itu masyarakat Indonesia dimana-mana mengumpulkan bahan-bahan pokok dan mengadakan dapur umum.[1]

Pada tahun 1960-an, usaha-usaha kesejahteraan sosial dituangkan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Mulai tahun ini dilaksanakan usaha-usaha kemasyarakatan suku-suku terasing dan pengembangan Lembaga Sosial Desa. Usaha pengembangan masyarakat suku terasing ditujukan kepada peningkatan kehidupan suku-suku dipedalaman yang taraf perkembangan sosial budayanya jauh tertinggal dari perkembangan masyarakat Indonesia umumnya.[1] Usaha pelayanan terhadap mereka antara lain berupa pemukiman menetap, penyedian sarana-sarana pembinaan, dan penyuluan serta bimbingan sosial.[1]

referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s T.Sumarnonugroho. 1984. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta:PT.Hanindita. Hal 153,154,155,156,157,158,159,160
  2. ^ a b Ina Slamet.1963. Pokok-pokok Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta:Bharatara. Hal 52
  3. ^ Koentjaraninggrat. 1997.The System and Spirit of Gotong Royong. Jakarta. Hal 24
  4. ^ a b c d Dr. J. Verkuyl. 1978.Etika Kristen Jilid II. Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia.Hal 24
  5. ^ a b c d Ayatroehadi.1975. Budaya Djaja. Jakarta:Balai Pustaka. Hal 413
  6. ^ a b Zuber Usman.1963. Kesusteraan Lama Indonesia. Jakarta:Gunung Agung. Hal 139-141