Pertempuran Tha'if

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Perang Tha'if pada hakikatnya merupakan perpanjangan dan kelanjutan dari Perang Hunain. Sebab, mayoritas pelarian Hawazin dan Tsaqif masuk ke Tha'if bersama komandan tertinggi mereka, Malik bin Auf An-Nashri. Mereka bertahan di sana. Karena itu, Rasulullah berangkat ke Tha'if seusai dari Hunain dan setelah proses pengumpulan harta rampasan di Ji'ranah selesai. Khalid bin Al-Walid berangkat lebih dahulu ke sana bersama seribu prajurit, kemudian Rasulullah menyusul ke sana, dengan melewati Nakhlah Al-Yamaniyah, Qarnul Manazil, hingga tiba di Liyyah. Di sana ada benteng kepunyaan Malik bin Auf. Beliau memerintahkan untuk menghancurkan benteng tersebut.[1]

Beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Tha'if. Beliau berhenti tak jauh dari benteng mereka dan bermarkas di sana. Kemudian memerintahkan untuk mengepung benteng itu. Pengepungan ini berjalan cukup lama. Dalam riwayat Muslim dari Anas, tempo pengepungan itu selama empat puluh harie Tetapi, menurut beberapa sumber sejarah tidak sampai selama itu. Ada yang mengatakan dua puluh hari, yang lain mengatakan delapan belas hari, lima belas hari, dan sepuluh hari lebih.[1]

Selama pengepungan itu terjadi serangan anak panah dan lontaran peluru-peluru batu. Pada awal pengepungan orang-orang Muslim mendapat serangan anak panah secara gencar. Cukup banyak orang Muslim yang cedera dan ada dua belas orang yang meninggal dunia. Hal ini memaksa mereka mengalihkan pertahanan ke tempat yang lebih tinggi, tepatnya di tempat didirikannya Masjid Tha'if saat ini. Mereka pun bermarkas di sana. Nabi memasang manjaniq ke arah penduduk Tha'if di dalam benteng dan melontarkan peluru-peluru batu, hingga dapat merontokkan sebagian dinding benteng dan beberapa prajurit Muslim masuk ke dalam benteng lewat dinding yang sudah terlubangi itu. Mereka masuk ke arah pagar benteng untuk membakarnya. Tetapi, musuh melempari dengan besi yang sudah dibakar panas dan juga serangan anak panah ke arah kaum Muslimin yang masuk ke dalam benteng hingga sebagian di antara mereka gugur. Sebagai bagian dari siasat perang, Rasulullah memerintahkan untuk menebangi pohon anggur dan membakarnya. Karena cukup banyak pohon-pohon anggur yang ditebangi, pihak musuh dari penduduk Tsaqif memohon atas nama Allah dan hubungan kekerabatan, agar penebangan itu dihentikan. Beliau mengabulkan permohonan mereka. Lalu beliau berseru, "Siapapun yang mau turun dari benteng dan datang ke sini maka dia bebas."[1]

Ada dua puluh orang yang turun dari benteng dan mendatangi pasukan Muslimin. Di antara mereka ada yang dijuluki Abu Bakrah. Pekerjaannya memanjat dinding benteng Tha'if lalu mengulur kerekan bundar untuk mengambil air minum. Beliau pun menjulukinya Abu Bakrah (tukang kerek). Beliau membebaskannya dan setiap orang di antara mereka diserahkan kepada seorang Muslim untuk diberi makanan. Setelah pengepungan berjalan sekian lama dan benteng tidak mudah ditaklukkan begitu saja, sementara musuh bisa bertahan di dalam benteng selama setahun, maka Rasulullah meminta pendapat Naufal bin Mu'awiyah Ad-Dili. Dia berkata, "Mereka adalah rubah di dalam lubang. Jika engkau tetap mengepung mereka, maka mereka pun akan bertahan. Namun, jika engkau tinggalkan mereka, mereka pun tidak akan berbahaya."[1]

Pada saat itu beliau bermaksud hendak meninggalkan benteng dan pergi. Beliau memerintahkan Umar bin Al-Khaththab untuk mengumumkannya kepada orang-orang, "Insyaallah, besok kita akan pergi." Tetapi, mereka ada yang keberatan dengan rencana ini. Mereka berkata, "Apakah kita akan pergi begitu saja dan tidak menaklukkannya?" Beliau menjawab, "Kalau begitu serbulah mereka!" Namun, justru serbuan yang mereka lakukan mengakibatkan banyak orang yang terluka, karena benteng musuh memang cukup kuat. Maka beliau bersabda, "Insyaallah, besok kita akan pergi." Perintah ini justru membuat mereka merasa senang. Karena itu, mereka pergi. Melihat hal ini beliau hanya bisa tersenyum. Setelah mereka beranjak pergi, beliau bersabda, "Ucapkanlah: Kami pasrah, bertaubat, menyembah dan kepada Rabb, kami memuji." Ada yang berkata, "Wahai Rasulullah, berdoalah untuk kemalangan Tsaqif." Maka beliau bersabda, "Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada penduduk Tsaqif dan karuniailah mereka."[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman (2021). Sirah Rasulullah (Sejarah Hidup Nabi Muhammad). Jakarta: Ummul Qura. ISBN 978-602-6579-57-7.