Peucicap

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Peucicap adalah salah satu dari serangkaian upacara adat Orang Aceh yang dilakukan pasca ibu melahirkan. Pada Peucicap bayi diperkenalkan beberapa rasa makanan untuk yang pertama kalinya: asam, asin dan manis. Tradisi ini seperti latihan buat bayi agar mampu membedakan antara satu rasa dengan rasa yang lainnya.[1]

Pengenalan rasa manis kepada anak bayi menurut Adat Orang Aceh sangatlah penting. Pemberian rasa manis mengandung harapan agar ketika dewasa nanti sang anak memiliki akhlak yang baik, yang direpresentasikan dengan rasa manis.[2]

Rasa manis untuk tradisi Peucicap bisa berasal dari manisan (madu) lebah, tebu maupun dari air perasan buah-buahan, seperti sawo (sauh), mangga, rambutan maupun buah nangka.[3] Bisa juga lidah bayi diberikan gula, buah srikaya atau makanan-makanan lain yang rasanya manis[4] dan sifatnya lunak. Peucicap juga dapat dilakukan dengan menggunakan air zam-zam, bagi keluarga yang mampu membelinya.[5]

Meski sudah jarang dilakukan, ada juga yang memperkenalkan bayinya dengan (rasa) ikan. Maknanya adalah agar si anak nantinya tidak canggung hidup bermasyarakat, rajin bekerja seperti halnya nelayan yang memancing ikan di laut.[6]

Sebelum Upacara dilaksanakan, madu dan air perasan buah-buahan tadi, termasuk ikan, hati ayam, Surat Yasin dan Rencong, harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh nenek si bayi dari garis keturunan si ibu.[3]

Usia Bayi[sunting | sunting sumber]

Menurut Ulama Besar Imam An Nawawi, Mentahnik (atau Peucicap menurut Orang Aceh) dianjurkan kepada bayi yang baru lahir. Tindakan tersebut merupakan Sunnah dengan Ijmak (Kitab Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim:14 hal 124)[7].

Frasa "bayi baru lahir" dimaknai berbeda-beda dalam Tradisi Peucicap Orang Aceh Ada yang melakukannya pada saat bayi baru berumur 7 hari, 14 hari, 21 hari, 44 hari, 3 bulan, 5 bulan, maupun 7 bulan. Hal ini disesuaikan dengan kondisi-kondisi tertentu (kemampuan ekonomi, keluarga baru menikah, atau anak sulung).

Kebanyakan acara Peucicap digabung dengan Upacara Turun Tanah (Peutron Aneuk), Tepung Tawar (Peusijuek), Pemberian Nama (Geuboh Nan), Memotong Rambut (Cuko'ok) maupun Aqiqah, yang sangat dianjurkan oleh Nabi Rasulullah SAW kepada bayi yang baru lahir.

Contoh, dalam masyarakat Gampong Meunasah Pupu, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya, Peucicap dilaksanakan berbarengan dengan Upacara Peutron Aneuk, yakni saat bayi genap berusia 44 hari, 3 bulan, 5 bulan, atau bahkan saat bayi memasuki umur 7 bulan.[1][8]

Di daerah lain, berdasarkan ketentuan hukum adat tertulis di pemukiman Blang Me, Upacara Peucicap berlaku untuk keluarga baru dan untuk bayi yang baru lahir (anak pertama) pada hari ketujuh. Pada saat yang bersamaan dilakukanlah Tradisi Cuko'ok, atau memberikan nama kepada si bayi.[9]

Pada Masyarakat Adat Nagan Raya, Peucicap dilaksanakan pada hari ke-7, atau hari ke-14, atau hari ke-21 setelah kelahiran bayi (sunat melakukan peucicap dalam masa tersebut).[5]

Perbedaan ini salah satunya adalah karena apakah yang di-peucicap-kan adalah anak sulung, dan disesuaikan dengan kemampuan keluarga untuk membuat Kendurian (Aqiqah). Biasanya jika anak sulung dan orang tuanya mampu, maka kerbau dan lembu lah yang dipotong.[3][4]

Namun, jika keluarga dengan kemampuan ekonominya kurang mampu, maka bisa hanya dengan menyembelih kambing untuk dimakan para undangan atau tetangga.[10]

Peucicap Dalam Islam[sunting | sunting sumber]

Peucicap merupakan satu Sunnah Nabi saat bayi baru lahir. Tradisi Orang Aceh ini serupa dengan Tahnik (sering disebut juga sebagai Mentahnik) yang tertulis di dalam Kitab Suci Al Quran.[7]

Menurut definisi dari Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Bari: 9 hal 558, Tahnik merupakan tindakan mengunyah sesuatu, kemudian meletakkan atau memasukkannya ke mulut, lalu menggosokkan ke langit-langit mulut si bayi. Yang dianjurkan Mentahnik bisa orang tuanya, bisa juga laki-laki yang sholeh atau wanita yang dianggap sholeha.

Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar bayi terlatih dengan makanan. Yang dikunyah dan dimasukkan ke dalam mulut si bayi adalah kurma kuning atau bisa juga kurma basah. Jika tidak tersedia, kurma bisa diganti dengan sesuatu yang berasa manis seperti madu. Meskipun demikian, Tahnik dengan buah kurma tetaplah harus diutamakan (Imam Nawawi dalam Syarhu Muslim:14/372).

Prosesi[sunting | sunting sumber]

Prosesi Peucicap biasanya disatukan dan dilakukan seusai Upacara Peutron Aneuk (turun tanah).[11] Namun ada juga yang tidak disatukan, alias baru beberapa bulan usia bayi baru kemudian dilaksanakan. Biasanya dipilih bulan-bulan ganjil. Misalnya, setelah bulan ketiga, kelima atau bulan ketujuh usia anak, barulah diadakan Upacara Peutron Tanoh (Peutron Aneuk).[1]

Peucicap dilakukan oleh orang-orang yang dianggap memiliki pengetahuan agama yang tinggi, terpandang dan dianggap bagus budi pekertinya. Hal tersebut sesuai dengan dalam Kitab Fathul Bari: 9 hal 558.[7] Orang Aceh juga percaya jika dilakukan orang-orang seperti mereka, maka si anak akan meniru berperilaku alim dan berakhlak mulia.[12] Orang Aceh menyebut mereka Teungku Gampong.[1]

Ketentuan Adat orang Aceh jenis kelamin bayi menentukan pula siapa yang bisa melakukan Peucicap. Jika kelamin si bayi laki-laki, maka yang bertugas adalah Teungku Agam (laki-laki). Sebaliknya, jika bayi berjenis kelamin perempuan, maka haruslah Teungku Inong (wanita) yang boleh melakukan Peucicap.[12]

Ketika prosesi dimulai, Teungku Gampong mengucapkan Bismillahirahmanirrahim ... beu mameh lidah, panyang umu, mudah raseuki, di thei lam kawom dan taat keu agama. Artinya dalam bahasa Indonesia: Bismillahirahmanirrahim ... Semoga lidahnya manis, panjang umur, mudah rezeki, terpandang dalam masyarakat, dan taat dalam beragama.

Berikutnya, Teungku mengolesi lidah bayi dengan madu dan air perasan dari buah-buahan yang manis. Biasanya (namun sudah jarang) ikan diolesi juga ke bibir sang bayi.

Setelah pengolesan, diambillah hati ayam untuk kemudian di letakkan di atas dada bayi, lalu dibalik-balikkan sambil membaca basmalāh. Proses membalik-balikkan hati ayam ini bermakna agar kelak sang anak akan selalu mendapatkan petunjuk agar tidak salah baik dalam bertindak maupun ketika mengambil keputusan.

Sebagai penutup prosesi ini, diperlihatkan kepada si bayi Surat Yasin dan senjata tradisional nenek moyang orang Aceh, Rencong. Ini adalah harapan agar kelak anak selalu taat kepada ajaran agama (Islam), juga bisa menjadi anak yang pemberani. Artinya, berani mempertahankan kebenaran dan keadilan serta tidak gentar ketika harus berhadapan dengan kejahatan.

Setelah Upacara Peucicap usai, para tamu undangan yang hadir lalu memberikan hadiah (namuin tidak wajib) atau uang yang jumlahnya sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.[13]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Zainun, Asnawi. "Anak Dalam Asuhan Adat". acehprov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-26. Diakses tanggal 25 Maret 2019. 
  2. ^ Madira, Salman (2 November 2014). "Makna di Balik Peutroen Anuek & Puecicap". okezone. Diakses tanggal 22 Maret 2019. 
  3. ^ a b c Koten, Thomas (14 November 2017). "Upacara Kelahiran Bayi Adat Aceh, Sungguh Unik, Tak Ada Bandingan". netralnews. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-25. Diakses tanggal 25 Maret 2019. 
  4. ^ a b Saifurrohman, Muzaki (Desember 2018). "Peutron Aneuk dalam Budaya Aceh". ReasearchGate. Diakses tanggal 21 Maret 2019. 
  5. ^ a b Jamaluddin; Faisal; Jumadiah; Rasyid, Laila; Herinawati; Amalia, Nanda (2016). Adat Dan Hukum Adat Nagan Raya. Nagan Raya: Unimal Press. ISBN 9786021373774. 
  6. ^ Sufi, Rusdi (2002). Adat-Istiadat Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh Darussalam. 
  7. ^ a b c Helmi Abu Bakar, El-Langkawi (14 Desember 2017). "Fiqh Kelahiran (I): Pentingnya Tahnik (Peucicap) Bayi dalam Islam". portalsatu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-26. Diakses tanggal 25 Maret 2019. 
  8. ^ Mardira, Salman (2 November 2014). "Ritual Peutroen Aneuk yang Tak Lekang Zaman". okezone. Diakses tanggal 25 Maret 2019. 
  9. ^ "Pendokumentasian Aturan Adat Kemukiman Blang Me". jkma-aceh. Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 24 Maret 2019. 
  10. ^ Gardjito, Murdiati (2018). Ragam Kuliner Aceh: Nikmat yang Sulit Dianggap Remeh. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-386-284-9. 
  11. ^ "Adat Peutron Aneuk, Upacara Turun Tanah Masyarakat Aceh". wacana. 2 Agustus 2015. Diakses tanggal 25 Maret 2019. [pranala nonaktif permanen]
  12. ^ a b Syamsudin, T. (1981). Upacara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  13. ^ Hoesin, Moehammad (1970). Adat Atjeh. Banda Aceh: inas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.