Pornografi di Jepang
Di Jepang, pornografi memiliki ciri-ciri unik sehingga mudah membedakannya dari pornografi barat.[1] Di Jepang, pornografi dikenal sebagai "video dewasa " (AV), sehingga video dewasa Jepang (JAV) merujuk pada industri film porno Jepang. Film animasi disebut sebagai hentai dalam bahasa Inggris, sedangkan di Jepang menggunakan istilah "anime dewasa " dan "animasi erotis " (atau ero anime). Selain dari video dan majalah porno yang menampilkan aktor manusia, sekarang ada manga dan anime berkategori porno[a] (yaitu, hentai), dan permainan komputer berpornografi (eroge; untuk PC dan konsol permainan).
Mencerminkan pandangan Jepang terhadap seksualitas dan budaya, pornografi Jepang menggali spektrum yang luas dari perilaku seksual heteroseksual, homoseksual, dan transgender ditambah dengan fetish dan parafilia yang lebih berbeda. Dimulai dengan cerita erotis dan cetak blok kayu dari sebelum abad ke-20, pornografi Jepang berkembang menjadi berbagai subkategori. Sebagian karena upaya menghindari hukum Jepang terkait penyensoran, tetapi juga untuk menjangkau fetish tertentu, aktor dan produser seringkali menampilkan materi yang tidak ada atau jarang digambarkan, dan hingga saat ini jarang sekali ditampilkan pada pornografi barat; bukkake (ejakulasi beramai-ramai), gokkun (mengonsumsi air mani), omorashi (dikencingi), dan erotika tentakel adalah beberapa genre erotika khas Jepang. Lolicon (gadis muda), shotacon (anak kecil laki-laki), dan kontribusi mereka terkait regulasi pornografi kartun yang menggambarkan anak kecil telah menjadi isu besar mengenai perlindungan anak, kebebasan berbicara, dan moralitas publik di dalam dan luar Jepang.
Hukum Pidana Jepang dari awal abad ke-20 memiliki ketentuan yang menentang materi tidak pantas, sehingga pornografi yang diproduksi secara legal harus menyensor alat kelamin para aktor dan aktris; tipe penyensoran seperti ini juga diterapkan pada manga, permainan video, dan anime hentai. Hingga pertengahan tahun 1990-an, rambut kemaluan (jembut) juga harus disensor. Anus hanya disensor saat kontak (bersentuhan) atau penetrasi (pemasukan). Payudara dan puting tidak disensor. Pikselisasi (pengaburan gambar) biasanya digunakan untuk mematuhi pedoman penyensoran untuk membuatnya tidak terlalu kelihatan.
Catatan
[sunting | sunting sumber]- ^ Aktivitas seksual yang digambarkan dalam animasi.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Malamuth, Neil; Donnerstein, Edward (1984). Pornography and Sexual Aggression. Elsevier. hlm. 173–183. ISBN 978-0-12-466280-3.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- da Silva, Joaquín (29 March 2016). "Obscenity and Article 175 of the Japanese Penal Code: A Short Introduction to Japanese Censorship". EigaNove.
- Anti-Pornography-&-Prostitution Research Group (APP-JP) (pro-censorship)