Prasasti Petak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Prasasti Petak atau Prasasti Kembangsore, bertarikh tahun 1486 M, berupa batu andesit yang berbentuk oval berukuran tinggi 1,2 meter, lebar 1,5 meter. Pada bagian batu yang agak pipih terdapat pahatan huruf Jawa Kuno dengan gambar-gambar keris, ular membelit tongkat, batu Yoni, dengan sepasang tapak kaki dan sebuah payung songsong tiga, Surya Majapahit dan perlengkapan upacara. Dinamakan Prasasti Petak karena berisi anugerah sima perdikan desa Petak. Sedang dinamakan Prasasti Kembangsore karena berdasarkan temuan pertama di desa Kembangsore.

Prasasti Petak 1486 M, dikeluarkan untuk menguatkan atau meneguhkan kembali anugerah tanah pradesa Petak yang sebelumnya diberikan oleh Bhatara prabu sang mokta ring Mahawisesalaya (Dyah Wijayakarana) dan sang mokta ring Mahalayabuwana (Dyah Wijayakusuma) kepada Sri Brahmaraja Ganggadhara.

Pada waktu itu Sri Maharaja didampingi seorang mahapatih bernama Mpu Thahan. Dua tokoh yang sebelumnya memberi anugerah kepada Sri Brahmaraja Ganggadhara adalah kakak kandung Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.

Sebagaimana disebutkan dalam prasasti, penganugerahan tanah Pradesa petak merupakan balas jasa pihak istana Majapahit kepada sang Brahmaraja Ganggadhara yang sebelumnya berjuang membantu kejayaan dan kemenangan melawan Sang Muggwing Jinggan (Bhre Kahuripan Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya), pada perang dengan pihak Majapahit (empat putra dari Sang Sinagara).[1]

AlihAksara[sunting | sunting sumber]

Transkip[sunting | sunting sumber]

//O//swasti cri cakawarsatita 1408 dyesta masa, titi dacami cukla ma pa ra wuru tolu, aicanyastha grahanacara, citraksatra, twasta dewata kanya raci.Irika diwaca cri bhatara prabhu girindrawardhana, garbhopatinama dyah ranawijaya, wuddopadeca, hniring de rakryan patih pu thahan, hamagehaken sungsungira bhatara prabhu sang mokta ring mahawicecalaya mwang sang mokteng mahalayabhawana samasung ganjaraning cri brahmaraja ganggadara, decakalanya ring ptak sahampihanyengembu salbak wukir sakendeng sengkernya saprakaraning bhuktinja cri brahmaraja muktiha tke Santana pratisantana,yananaha paksabhumi salwiraning janmanya marihabhumi, cri brahmarajatah pramanamuktiha, kararaning sinung ganjaran hamrih kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun ayun ayunan yudha lawaning majapait.[irika cri bra] hma [raja ganggadara] maring ptek sumanggala pura ngaranya, dening kawewnanganing deca ha nuta ring saka wewnanganira cri brahmaraja, acandrarkasthayi, astabhogatajaswamnya, luputa saprakara, wnanga sakalwiranya, mwah yanana mangrudgha sarasa ning andika pala supracasti, sakalwiran ing janmanya, makadi sang anagata prabhu, dadya bhasmikretayatad ahning kaala kalibhuta picacadi tumpur bhrasta sahananya, astu, am. //O//

Terjemahan[sunting | sunting sumber]

//O// Selamatlah! Pada tahun saka 1408, pada hari komariah yang kesepuluh ketika perduaan bulan djesta sedang naik pada hari pecan majawulu minggu paing sedangkan bintang tetap bertempat di tenggara gugusan bulan citra dewata twastr tanda resi perawan.

Ketika itu Sri Batara prabhu Girindrawardhana dyah Ranawijaya, yang mahir dalam ajaran agama Buda, diiringkan rakryan apatih Pu Thahan, meneguhkan anugerah yang telah dikeluarkan Batara prabhu sang mokta ring Mahawisesalaya (Dyah Wijayakarana) dan sang mokta ring Mahalayabhuwana (Dyah Wijayakusuma), dimana mereka berdua telah menganugerahkan atau memberi ganjaran tanah pradesa di Petak berikut lembah dan bukitnya kepada Sri Brahmaraja Ganggadara, dan segala pengluasan dan pembatasan dan berbagai hasil, hanyalah Sri Brahmaraja yang diperkenankan memetik hasilnya sampai ke anak cucunya turun-temurun. Yang menyebabkan Sri Brahmaraja mendapat anugerah itu ialah karena ia berusaha keras mendukung kejayaan dan kemenangan melawan sang Munggwing Jinggan (Dyah Samarawijaya) (yang bersemayam di Jinggan) ketika terombang-ambing masa kemelut perang melawan Majapahit.

Ketika itu Sri Brahmaraja pergi ke Petak yang merupakan tempat persembahan dengan tanda paling baik. Segala hak desa itu menjadi milik Sri Brahmaraja selama bulan dan matahari bersinar di langit. Segala hak itu meliputi hawa napsu yang delapan ragam, tedjaswanya, dengan mengalami segala macam hak perdikan dan segala macam wewenang.

Selanjutnya barang siapa melanggar isi perintah Sebagaimana yang termuat dalam prasasti, siapapun mereka, terutama segala raja-raja yang akan datang, mereka akan hancur lebur menjadi abu dan akan menjadi makanan setan laku-laki dan perempuan, juga bagi buta dan picasa. Habis dan rusak binasalah mereka bersama seluruh kepunyaannya. Demikianlah hendaknya. Amien //O//

  1. ^ H.Muhammad Yamin. 1962. Tatanegara Majapahit, Parwa 1 - 2. Jakarta: Yayasan Prapantja