Suluk (wayang kulit)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suluk (Jawa) adalah lagu vokal yang dilantunkan oleh dalang untuk memberikan suasana tertetu dalam adegan-adegan pertunjukan wayang.[1] Suluk berisi tembang-tembang dalam bahasa Jawa.[1] Suluk dapat berisi puji-pujian, mantra, dan petuah.[1] Syair suluk bersumber dari tembang atau kakawin yang berupa sekar ageng, sekar tengahan, dan sekar macapat.[1] Suluk adalah keahlian khas seorang dalang dan merupakan ciri khas pentas wayang.[2][3] Ketepatan dalam melafalkan dan menyanyikan suluk sesuai dengan nada gamelan adalah mutlak dalam pendidikan pedalangan.[2] Tiap wilayah budaya memiliki istilah khusus untuk menyebut suluk.[1] Ketika seorang dalang melantunkan suluk, iringan gamelan mengalun pelan dan samar-samar.[4] Sang dalang sendiri melantukan suluk sambil mengetok-ngetok kotak penyimpanan wayang dan membunyikan kepyak.[4] Dalam kondisi tertentu suluk dapat dilantunkan oleh sinden atas perintah dalang.[5]

Melantunkan suluk adalah keahlian khusus seorang dalang

Arti Suluk[sunting | sunting sumber]

Suluk atau sulukan berasal dari bahasa Jawa yang artinya adalah ajaran yang berhubungan dengan mistik Jawa.[1] Suluk biasanya berbentuk tembang seperti, Suluk Wujil, Suluk Dewa Ruci, dan Suluk Malang Sumirang.[1] Namun, dalam pentas wayang artinya menyempit menjadi lagu yang dilantunkan oleh dalang sekalipun isi yang esensial dari keduanya mirip.[1]

Jenis-jenis Suluk[sunting | sunting sumber]

Setiap wilayah budaya memiliki beragam jenis sulukan dengan istilahnya masing-masing.[1] Misalnya di wilayah Surakarta sulukan dibagi dalam tiga jenis, yaitu pathetan, sendhon dan ada-ada.[1] Di wilayah Yogyakarta, sulukan berbentuk lagon, kawin, ada-ada dan sendhon.[1] Sementara di wilayah Jawa Timur suluk terdiri dari sendhon dan gurisa atau greget saut.[1]

Jenis suluk wilayah Surakarta[sunting | sunting sumber]

  • Pathetan, merupakan jenis suluk yang memberi kesan wibawa, tenang dan mantab.[1] Instrumen yang mengiringinya adalah rebab, gender, gambang, dan suling.[1]
  • Sendhon, jenis suluk yang memberikan kesan suasana sendu, haru, dan susah.[1] Tempo suluk sendhon pendek-pendek.[1] Iringan yang digunakan sama dengan pathetan hanya tidak dengan rebab.[1]
  • Ada-ada, merupakan jenis suluk yang membangun suasana tegang, penuh semangat dan berkobar.[1] Ada-ada diiring gender, kempul, gong dan kadang-kadang muncul suara kendang.[1]

Fungsi Sulukan[sunting | sunting sumber]

Suluk menjadi hal yang penting dalam pementasan karena mengandung beberapa fungsi, diantaranya adalah:[1]

  1. Memantabkan suasana yang ingin dibangun sesuai dengan adegan.[1]
  2. Menjadi tanda peralihan suasana dalam sebuah adegan.[1]
  3. Menjadi tanta pergantian nada laras musik gamelan.[1]

Cakepan Suluk[sunting | sunting sumber]

Cakepan adalah istilah dalam pedalangan yang digunakan untuk menyebut syair atau kata-kata yang ada dalam suluk.[1] Cakepan yang dilagukan dengan nada yang sesuai akan membangun suasana yang dikehendaki dalang untuk adegan yang akan dimainkan.[1] Ada dua macam cakepan yaitu:[1]

  • Cakepan pamijen, merupakan cakepan yang tidak pernah dilantunkan dengan nada-nada suluk yang lain.[1]
  • Cakepan srambahan, merupakan cakepan yang sering dan biasa dilantunkan dengan nada dari suluk dengan syair yang lain.[1]


Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab Bambang Murtiyoso, dkk (2007). Teori Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta. hlm. 37-39,77. ISBN 979-8217-60-8. 
  2. ^ a b Victoria M. Clara (1987). Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Grafiti. ISBN 979-444-044-2. 
  3. ^ Marcellinus Padija. "Merunut Suluk Pedalangan Wayang Purwa Dalam Kakawin Bharatayuddha". Diakses tanggal 5 Mei 2014. 
  4. ^ a b Hardjowirogo (1982). Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka. 
  5. ^ Soetarno, dkk (2007). Estetika Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta. hlm. 47. ISBN 979-8217-59-4.