Surga Sungsang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Surga Sungsang
Berkas:Surga Sungsang.jpg
PengarangTriyanto Triwikromo
BahasaIndonesia Indonesia
PenerbitGramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit
Maret 2014
Halaman132 halaman
ISBNISBN 978-602-03-329-1 Invalid ISBN

Surga Sungsang adalah judul novel karya sastrawan Triyanto Triwikromo yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada Maret 2014. Buku setebal 144 halaman dengan ISBN 978-602-03-329-1, mengangkat kisah tentang kehidupan yang sungsang atau terbalik. Pengarang memasukkan idiom agama Islam dalam novel ini, seperti Allah, malaikat, surga, dan syeh, yang merupakan bumbu dari polemik dalam novel ini.[1][2][3]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Novel Surga Sungsang merupakan kesatuan dari cerita yang pernah dimuat di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, dan Jurnal Perempuan dengan adanya perubahan judul dalam beberapa cerita. Novel ini menceritakan kehidupan yang sungsang atau terbalik. Pengarang memasukkan idiom agama Islam dalam novel ini, seperti Allah, malaikat, surga, dan syeh, yang merupakan bumbu dari polemik dalam novel Surga Sungsang. Syeh Muso namanya, dia dianggap panutan oleh penduduk Ujung Tanjung, namun dia dianggap sesat oleh saudaranya, yaitu Syeh Bintoro. Syeh Muso bukanlah Nabi Musa, namun Syeh Muso mempunyai mukjizat seperti Nabi Musa. Hal itulah yang membuat Syeh Muso menjadi panutan oleh penduduk. Dia tidak bisa berjalan di atas air, tetapi dalam bisik-bisik di kampung nelayan itu, dia dapat menyibakkan air laut dengan tongkat. Dia bisa berjalan di dasar laut dan melihat dinding-dinding laut yang terbelah itu sebagai kolam ikan raksasa. Kehidupan mereka unik, dengan diangkatnya kebiasaan orang Jawa dahulu, yaitu nyekar atau sekadar berkunjung ke makam junjungan orang-orang Jawa yang mereka anggap panutan dalam hidup. Seperti halnya pada Syeh Muso, setelah Syeh Muso meninggal, penduduk Ujung Tanjung maupun penduduk luar tak pernah lupa mengunjungi makam Syeh Muso. Makam itu tak pernah sepi dari pengunjung meskipun letak makam itu harus dijangkau dengan kapal dan harus melewati hutan bakau serta hamparan burung-burung bangau. Konon, makam itu sering memperlihatnya cahaya berwarna hijau kepada peziarah. Namun, tak semua orang menganggap kebiasaan itu baik dan harus dilestarikan. Abu Jenar, ingin sekali menghancurkan makam itu. Kiai Siti —tetua kampung—dan Kufah tidak setuju dengan rencana penghancuran makam sesepuhnya itu. Mereka menganggap Abu Jenar merupakan suruhan orang kota untuk menghancurkan makam Syeh Muso guna pembangunan sebuah resor. Masalah besarpun terjadi pada saat genting ini. Setiap tokoh menghadapinya dengan sikap yang berbeda. Triyanto Triwikromo mampu memberikan nilai positif terhadap syeh pada masa itu. Tak perlu membacanya berulang kali, karena dengan alur campuran, Triyanto telah memaparkan peristiwa dengan jelas, ditambah dengan penggunaan bahasa yang lugas dan mudah dipahami.

Komentar tokoh-tokoh[sunting | sunting sumber]

  • Linda Christanty: Cara Triyanto Triwikromo menyampaikan cerita begitu menarik buat saya. Surga Sungsang yang bercerita tentang tanjung yang hendak tenggelam dan pergolakan tokoh-tokohnya melawan kekerasan serta memperjuangkan kebenaran membuat saya tak habis pikir bagaimana ia bisa menulis seperti itu. Saya kagum.
  • A. Mustofa Bisri: Menyorot sejarah kelam negerinya, novel liris ini ditulis secara akurat dan cermat oleh pengarang yang pernah memperoleh penghargaan sastra 2009 Pusat Bahasa. Surga Sungsang berbicara tentang persoalan penting kemanusiaan yang dikemas canggih dalam teknik penceritaan inovatif. Triyanto menyebut-nyebut Allah, malaikat, Jibril, ayat, surga, neraka, syekh, kiai, wali, umat, Tanah Jawi, Wali Sanga, lurah, adipati, dan idiom-idiom keagamaan serta keindonesiaan lain, tetapi istimewanya, dia sama sekali tidak menyitir dalil-dalil dan nash-nash agama maupun butir-butir Pancasila dan UUD 1945. Justru karena itulah novel tentang perilaku manusia dan teleng-nya agama serta kondisi Indonesia yang memilukan dan masih terus memilukan, ini memikat.
  • Goenawan Mohamad: Benar-benar surga sungsang; firdaus di bumi dan sekaligus kiamat yang digerakkan manusia sendiri. Yang ganjil silih berganti dengan yang riil. Chaos dan kosmos. Ada kecanggihan dan ada juga kepintaran dalam novel ini — sebuah novel yang akhirnya bukan sekadar karya fiktif. Di situ kita diingatkan akan konsep teater epik Brecht. Dengan terus terang pula pengarangnya memperlihatkan sebuah permainan yang cerdas, kerapian realisme (dengan latar Indonesia) yang dihiasi imaji-imaji surealistis yang ia taktik dari karya Gabriel Garcia Marquez.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]