Tahlil

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tahlil (Arab: التهليل at-Tahliil) adalah bacaan kalimat tauhid, yaitu kalimat Lā ilāha illa l-Lāh (لا إله إلا الله, Tiada tuhan selain Allah). Kalimat tahlil ini bagian dari kalimat syahadat, yang merupakan asas dari lima rukun Islam, juga sebagai inti dan seluruh landasan ajaran Islam. Kalimat bacaan ini termasuk zikir dan menurut syariat Islam memiliki nilai terbesar dan paling utama.[1]

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Kalimat Laa Ilaaha Illallah tersusun dari 3 huruf, yaitu alif-lam-ha (ا – ل – ه), dan terdiri dari 4 kata, Laa, Ilaha, illa dan Allah [لا اله الا الله], dan bisa uraikan sebagai berikut:

Kata laa, disebut laa nafiyah lil jins (huruf lam yang berfungsi meniadakan keberadaan semua jenis kata benda setelahnya). Misalnya dalam kata “Laaraiba fiih” (tidak ada keraguan apapu bentuknya di dalamnya), artinya meniadakan semua jenis keraguan dalam al-Quran. Sehingga laa dalam kalimat tauhid bermakna meniadakan semua jenis ilaah, dengan bentuk apapun dan siapapun dia.

Kata ilah, kata ini merupakan bentuk mashdar (kata dasar), turunan dari kata aliha – ya’lahu (ألـه – يألـه) yang artinya beribadah. Sementara katailaahun (إلـه) merupakan isim masdar yang bermakna maf’ul (objek), sehingga artinya sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah.

Jika digabungkan dengan kata laa, menjadi laa ilaaha (لا إلـه), maka artinya tidak ada sesembahan atau sesuatu yang menjadi sasaran ibadah, apapun bentuknya.

Kata illa, artinya kecuali, disebut dengan huruf istitsna’ (pengecualian) yang bertugas untuk mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum yang telah dinafikan oleh laa.

Sebagai contoh, ‘Laa rajula fil Masjid illa Muhammad’, Tidak ada lelaki apapun di masjid, selain Muhammad. Kata Muhammad dikeluarkan dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di masjid.

Kata Allah, Dialah Sang Tuhan, dikenal oleh makhluk melalui fitrah mereka, karena Dia Pencipta mereka. Sebagian ahli bahasa mengatakan, nama Allah [الله] berasal dari kata al-Ilah (الإلـه). Hamzahnya dihilangkan untuk mempermudah membacanya, lalu huruf lam yang pertama diidhgamkan pada lam yang kedua sehingga menjadi satu lam yang ditasydid, lalu lam yang kedua dibaca tebal. Sehingga dibaca Allah, demikian pendapat pakar bahasa Arab yaitu Sibawaih.

Seorang imam menjelaskan artinya bahwa, “Allah Dialah al-Ma’bud (yang diibadahi), al-Ma’luh (yang disembah). Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia”.[2] Dari keterangan ini, ulama menyebutkan rukun kalimat laa ilaaha illallaah ada 2.[3]

Manfaat pengucapan[sunting | sunting sumber]

Jaminan masuk surga[sunting | sunting sumber]

Pengucapan kalimat tahlil tidak memberikan jaminan bagi seseorang dapat masuk ke dalam surga. Jaminan ini hanya berlaku jika pengucap tahlil mengikuti perintah dan menjauhi segala larangan dari Allah. Selain itu, jaminan ini diberikan kepada manusia yang mengadakan pertobatan dalam Islam dan tidak mengulangi perbuatannya secara berulang kali. Pengucapan tahlil tidak memberikan jaminan kepada pengucapnya akan masuk surga, jika pengucapnya melakukan kemaksiatan secara sengaja dan penuh kesadaran. Jaminan masuk surga hanya diberikan kepada manusia yang mengucapkannya dengan penuh keimanan dan setelah melalui proses hisab.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Rasulullah ﷺ mengajarkan doa berikut ini, عن جَابِر بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (( أَفْضَلُ الذِّكْرِ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ: الْحَمْدُ لِلَّهِ )) Dari Jabir bin Abdullah berkata, “Saya mendengar rasulullah ﷺ bersabda: “Dzikir yang paling utama adalah Laa Ilaaha Illallahu dan doa yang paling utama adalah Alhamdulillah.” (HR. Tirmidzi no. 3305, Ibnu Majah no. 3790, Ibnu Hibban, dan al-Hakim. Al-Hakim menshahihkannya, sedangkan syaikh Al-Albani menghasankannya dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. 2692).
  2. ^ Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan maknanya, الله وحده هو المعبود المألوه الذي لا يستحق العبادة سواه “Allah Dialah al-Ma’bud (yang diibadahi), al-Ma’luh (yang disembah). Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia”. (Madarij as-Salikin, 3/144).
  3. ^ At-Tauhid li anNasyiin, hlm. 30.
  4. ^ asy-Sya'rawi, M. Mutawalli (2007). Basyarahil, U., dan Legita, I. R., ed. Anda Bertanya Islam Menjawab. Diterjemahkan oleh al-Mansur, Abu Abdillah. Jakarta: Gema Insani. hlm. 16. ISBN 978-602-250-866-3. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]