Taiftob, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan
Taiftob | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Nusa Tenggara Timur | ||||
Kabupaten | Timor Tengah Selatan | ||||
Kecamatan | Mollo Utara | ||||
Kode Kemendagri | 53.02.03.2018 | ||||
Luas | 2,33 km² | ||||
Jumlah penduduk | 1300 jiwa | ||||
Kepadatan | 558 jiwa/km² | ||||
|
Taiftob merupakan sebuah desa yang terletak di Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Topografi daerah ini berada pada ketinggian 501-1000 mdpl,[1] atau lebih jelasnya pada 924 mdpl sebagaimana data pada BPS (2018).[2] Desa ini terkenal dengan pemberdayaan masyarakatnya dari kewirausahaan desa berupa produksi minuman fermentasi hingga pelestarian kebudayaan, yakni Lakoat.Kujawas yang digagas Dicky Senda.[3]
Deskripsi
[sunting | sunting sumber]Menurut data dari BPS, daerah ini memiliki luas 2,33 km.[4] Desa ini punya 2 dusun, 4 RW, dan 12 RT.[5] Ada lebih kurang 300 rumah tangga dengan penduduk sebanyak 1300 orang dalam desa seluas 2,33 km ini. Sehingga, kepadatan desa adalah 558 orang/km.[6] Di Taiftob, ada masing-masing 1 SD negeri dan swasta, 1 SMP swasta, dan 1 SMA swasta.[7]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Pada zaman kolonial, daerah Mollo, seperti yang dipaparkan Dicky Senda, dibangun oleh Belanda, sehingga masyarakat pindah dari tempat yang lebih jauh dari gunung, mata air, umekebubu (rumah tradisional masyarakat setempat), dan tanah bebatuan.[8] Kala itu, daerah ini memang selain mengalami kontak dengan Belanda, juga dengan Tiongkok. Kawasan Mollo juga berinteraksi dengan perantau dari Bugis di tahun 1950an.[9] Memasuki era Orde Baru, banyak dari umekebubu yang dibakar, diganti dengan program Rumah Sehat dari pemerintah yang dibangun dengan bahan semen dan atap. Pertambangan turut masuk dan hutan adat kala itu turut dibabat, digantikan dengan hutan tanaman industri. Hal ini kian banyak menghilangkan adat dan tradisi warga tempatan.[8] Akibatnya banyak warga yang menjadi karyawan di tempat lain, ada yang bekerja di perkebunan kelapa sawit, dan ada yang sampai menjadi buruh migran di negeri jiran.[8][9]
Pada tahun 2004, sempat pula muncul dari perempuan-perempuan Mollo upaya perlawanan terhadap tindakan-tindakan industri, dengan menenun di antara mesin-mesin tambang.[8] Saat ini, meskipun upaya pengembangan masyarakat di sana telah dilakukan, sebagai cara menghadapi pertambangan marmer dan penebangan liar, sejarah perbatuan di sana diangkat. Terlebih lagi, marga dan nama sejumlah lokasi diberi nama dengan jenis batu. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat sadar tentang potensi alam di kampung mereka.[9]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Topografi". Kabupatem Timor Tengah Selatan. Diakses tanggal 20 Oktober 2020.
- ^ BPS (2018), hlm. 4
- ^ Dany, Fransiskus Wisnu Wardhana (24 Juli 2020). "Hidup Mandiri di Kampung Sendiri". Kompas. Hlm. 1 & 15.
- ^ BPS (2018), hlm.3
- ^ BPS (2018), hlm. 11
- ^ BPS (2018), hlm.15-17
- ^ BPS (2018), hlm.22-31
- ^ a b c d Inasshabihah (19 Januari 2019). "Lakoat.Kujawas dan Ikhtiar Revitalisasi Desa Berbasis Adat di NTT". CRCS UGM. Diakses tanggal 29 Oktober 2020.
- ^ a b c "Lakoat.Kujawas: Budaya adalah Kekuatan Ekonomi". Koalisi Seni. 29 Maret 2019. Diakses tanggal 5 November 2020.
Kepustakaan
- BPS Kabupaten TTS (2018). "Kecamatan Mollo Utara Dalam Angka 2018" ISBN 2598-165X.
- Media Indonesia