Tambo Minangkabau

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tambo atau Tombo atau Tarambo atau Tarombo adalah karya sastra sejarah yang merekam kisah-kisah legenda-legenda yang berkaitan dengan asal usul suku bangsa, negeri dan tradisi dan alam Minangkabau. Tambo Minangkabau ditulis dalam bahasa Melayu yang berbentuk prosa.

Tambo berasal dari bahasa Sanskerta, tambay yang artinya bermula, kata ini berkerabat dengan tembey dalam bahasa Sunda. Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan.[1] Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Maknanya sama dengan kata babad dalam bahasa Jawa.

Edisi[sunting | sunting sumber]

Penulisan Tambo, pertama kali dijumpai dalam bentuk aksara Arab dan berbahasa Melayu. Sedangkan penulisan dalam bentuk latin baru dikenal pada awal abad ke-20, yang isinya sudah membandingkan dengan beberapa bukti sejarah yang berkaitan.[2] Naskah tambo Minang sebagian besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu (huruf Jawi), dan sebagian kecil ditulis dengan huruf Latin. Jumlah naskah yang sudah ditemukan adalah 83 naskah. Judulnya bervariasi, antara lain Undang-Undang Minang, Tambo Adat, Adat Istiadat Minang, Kitab Kesimpanan Adat dan Undang-Undang, Undang-Undang Luhak Tiga Laras, dan Undang-Undang Adat.

Tambo di Minang secara garis besar dibagi dua bagian utama:[3]

  • Tambo alam, yang mengisahkan asal usul nenek moyang serta tentang kerajaan di Minangkabau.
  • Tambo adat, yang mengisahkan adat, sistem pemerintahan, dan undang-undang tentang pemerintahan Minang pada masa lalu.

Penyampaian kisah pada tambo umumnya tidak tersistematis, sementara kisahnya kadang kala disesuaikan dengan keperluan dan keadaan, sehingga isinya dapat berubah-ubah menurut kesenangan pendengarnya.[3] Namun demikian pada umumnya Tambo Minang adalah karangan saduran, oleh sipenyadur tidak menyebutkan sumbernya sehingga seolah-olah merupakan hasil karyanya. Ada 47 buah tambo asli Minang yang tersimpan di berbagai perpustakaan di luar negeri, 10 diaantaranya ada di Perpustakaan Negara Jakarta, satu sama lainnya merupakan karya saduran tanpa di ketahui nama asli pengarangnya.

Tambo Alam Minang[sunting | sunting sumber]

Diceritakan pada zaman dahulu kala ada seorang raja bernama Iskandar Zulkarnain yang berasal dari Makadunia, di benua Ruhum. Raja Iskandar telah menaklukkan banyak daerah hingga ia tiba di Tanah Basa kemudian tiba di suatu Negeri yang damai. Disana ia menikah dengan putri India dan memiliki tiga orang putra di perkirakan pada abad ke-7 Masehi masa kekuasaan zaman itu.

"Manuruik Warih nan bajawek, pusako nan ditolong, ado usuanyo kalu dikaji, iyo di dalam tambo lamo, sapiah balahan tigo jurai"

Iskandar Zulkarnain wafat, dalam wasiatnya ia menyuruh ketiga anaknya untuk berlayar ke timur menuju Pulau Langkapuri Negeri Sembilan. Namun setengah pelayaran di dekat Pulau Sailan, timbul niat jahat anak pertama dan kedua, mereka memaksa untuk memiliki mahkota sanggahana, mahkota emas simbol pemersatu kerajaan. Akibat berebut, mahkota itu jatuh ke dasar laut dimana mahkota itu langsung dibalut oleh Ular Bidai (Luday).

Semua handai taulan telah dikerahkan untuk membawa kembali mahkota tersebut, namun semuanya gagal karena tewas termakan Ular Bidai. Penasihat raja yang bernama Cati Bilang Pandai memiliki akal, ia memerintahkan para pelayan untuk membawa Camin Taruih, cermin ajaib yang dapat menangkap bayangan mahkota di dasar laut. Kemudian ia menyuruh pandai besi terhebat untuk membuat tiruan mahkota itu. Setelah selesai lalu pandai besi itu kemudian dibunuh.

Mahkota tiruan itu lalu diberikan kepada putra ketiga. Saat dua kakaknya terbangun, betapa terkejutnya mereka mendapati adik bungsunya mengenakan mahkota itu. Terjadi pertengkaran hebat yang akhirnya membuat ketiga saudara itu berpisah. Anak yang pertama kembali ke Ruhum dan menjadi raja disana bergelar Sri Maharaja Alif. Anak kedua pergi ke Cina dan menjadi raja bergelar Sri Maharaja Dipang. Anak ketiga bergelar Sri Maharaja Diraja dan ia meneruskan perjalanan ke tenggara menuju pulau Jawa Alkibri.

Sayangnya kapalnya dihempaskan oleh badai dan terombang-ambing berminggu-minggu di samudra luas. Para penumpang kapal sudah sangat putus asa dan persediaan makanan hampir habis. Untungnya terlihat sebuah daratan sebesar telur itik di kejauhan yakni pulau percha yang dikenal dengan nama lain adalah Sumatra. Sri Maharaja Diraja atau Saimaharaja Diraja memerintahkan bawahannya untuk mendayung ke pulau itu. Tempat mereka berlabuh dinamakan Labuhan Si Tembaga, dan pulau itu diberi nama Sirangkak Nan Badangkang karena bentuknya yang mirip kepiting. Darah yang menetes dari Maharaja Diraja yang tertua yaitu Raja Nusirwan, Raja Maghrib, Baruna Wangsa, Punku Saiharidewa, Bacitram Syah, Ampu Ratu Mamelar Paksi, Umpu Ngegalang Paksi.

Sesampai di pulau, kapal mengalami kerusakan. Sang raja memerintahkan siapa yang dapat memperbaiki kapal maka akan dinikahkan dengan putri-putrinya. 4 orang pengawal menyanggupi tugas itu mereka ialah Harimau Campo, Anjing Mualim, Kambing Hutan, dan Kucing Siam. Di pulau itu lalu dibuat pemukiman Lagundi nan Baselo.

Rupanya pulau tersebut adalah puncak sebuah gunung, yaitu Gunung Marapi yang saat itu masih terendam oleh banjir bandang zaman dahulu. Berkat kekuasaan tuhan air laut berangsur-angsur surut, daerah baru yang luas pun terbuka. Dibuatlah ekspedisi untuk membuat pemukiman baru dengan cara meneroka (menebang dan membakar hutan). Di pemukiman yang baru, adat mulai ditulis dan raja memerintah dengan adil sehingga rakyat senang dan kebudayaan serta permainan anak negeri pun berkembang. Desa yang rakyatnya beriang-riang itu kemudian dinamakan Nagari Pariangan.

Lambat laun desa Pariangan mengalami pertambahan penduduk dan menjadi semakin sempit. Seorang hulubalang bernama Datuak Bandaro Kayo pergi mencari daerah baru untuk ditinggali. Ia menebas hutan dengan pedang panjang, sehingga daerah baru itupun dinamai Nagari Padang Panjang.

Kato pusako minangkabau mengatakan: "Dari mano titiak palito, dibaliak telong nan batali, dari mano turun niniak moyang kito, dari lereng gunuang marapi bukik seguntang-guntang"

Hyang Dipatuan Sri Maharaja Diraja menikah dengan Puti Indo Jelito, mereka dikaruniai anak laki-laki yang bernama Datu' Katumanggungan. Setelah Sri Maharaja Diraja meninggal, Puti Indo Jelito menikah lagi dengan penasihat raja, Cati Bilang Pandai. Pernikahan ini dikaruniai 6 orang anak: Datu' Parpatiah Nan Sabatang, Datu' Siri Dirajo, Puti Reno Gadis, Puti Reno Judah, Puti Ambun Suri, dan Puti Jamilan.

Saat Nagari Pariangan dan Padang Panjang mulai penuh, dilakukanlah ekspedisi perluasan wilayah kembali. Datu' Katumanggungan memimpin rombongan yang nantinya mendirikan Luhak Tanah Datar. Datu' Parpatiah Nan Sabatang dan rombongannya mendirikan Luhak Agam. Sedangkan luhak ketiga, Luhak Limo Puluah Koto, didirikan oleh Datu' Sri Maharajo Nan Banego-nego. Ketiga daerah ini disebut Luhak Nan Tigo.[4][5]

Tambo Adat[sunting | sunting sumber]

Adat Minang terdapat 4 bagian:

  1. Adaik Nan Sabana Adaik. Adat asli yang tidak lapuk oleh panas, tidak lekang oleh hujan. Contohnya aturan syariat agama Islam dalam kehidupan. Adat ini bersifat "babuhua mati" (tidak bisa diubah).
  2. Adaik Nan Diadaikkan. Contohnya adat Matrilineal sehingga suku/klan diturunkan dari Ibu ke anak-anaknya, kepemimpinan adat diturunkan dari Mamak ke Kamanakan laki-laki dan Pusako Tinggi diturunkan dari Ibu ke Anak perempuan. Adat ini bersifat "babuhua mati" (tidak bisa diubah).
  3. Adaik Nan Taradaik. Contoh ragam adat dalam prosesi pengangkatan Penghulu, Pernikahan, dan sebagainya. Adat ini bersifat "babuhua sentak" (bisa berubah sesuai perkembangan zaman atau kebutuhan).
  4. Adat Istiadaik. Berisikan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat baik dibidang Kesenian, Olah Raga, dan sebagainya. Adat ini bersifat "babuhua sentak" (bisa berubah sesuai perkembangan zaman atau kebutuhan).

Tambo lain dalam budaya Minang[sunting | sunting sumber]

Juga dikenal tambo lain dalam tradisi Minang. Contohnya Tambo Adat Alam Naning di Negeri Sembilan, Malaysia, dan Tambo Adat Bayang Nan Tujuh Koto.[butuh rujukan]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Sangguno Diradjo, Dt. (1954), Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka.
  2. ^ Batuah A. Dt., Madjoindo A, Dt., (1957), Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka.
  3. ^ a b A.A. Navis, (1984), Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: PT. Grafiti Pers.
  4. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-03-28. Diakses tanggal 2021-09-20. 
  5. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-09-20. Diakses tanggal 2021-09-20. 

Bacaan lainnya[sunting | sunting sumber]

  • Djamaris, Edwar (1991). Tambo Minang. Jakarta: Balai Pustaka
  • Zuriati (2007). Undang-Undang Minang dalam Perspektif Ulama Sufi. Padang: Fakultas Sastra Universitas Andalas.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]