Lompat ke isi

Panji Margono

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Tan Pan Ciang)
Patung Raden Panji Margono di altar Klenteng Gie Yong Bio

Raden Mas Panji Margono (wafat: 1750 M) adalah seorang keturunan trah Panji Lasem dan merupakan salah satu dari Pahlawan Lasem dalam pertempuran melawan VOC yang biasa dikenal dengan Perang Kuning. Ia adalah putra dari seorang Adipati Lasem bernama Tejakusuma V (Raden Panji Sasongko). Pada saat perang kuning, ia menggunakan nama samaran Tan Pan Ciang dan dicatat dalam Babad Tanah Jawi sebagai Encik Macan.[1][2]

Bersama Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oei Ing Kiat) dan Tan Kee Wie, mereka bertiga mengangkat senjata untuk melawan pasukan VOC dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Kuning. Tan Kee Wie akhirnya gugur di selat Mandalika pada tahun 1742, sementara Raden Panji Margono dan Mayor Oei Ing Kiat gugur pada tahun 1750. Meskipun kalah dalam perang melawan Belanda, kisah heroik ketiganya dimonumenkan dalam bentuk Kelenteng Gie Yong Bio yang dibangun oleh warga Tionghoa Lasem pada tahun 1780.[1][3] Pada saat menjelang wafat, ia berpesan agar istri dan anaknya yang masih bayi (Raden Panji Witono) diungsikan ke Dukuh Narukan, Desa Dorokandang.

Silsilah Raden Panji Margono

[sunting | sunting sumber]

Silsilah Pangeran Santibadra mulai dari Dewi Indu:

Pangeran Santibadra >< Putri Sukati menurunkan 10 putra/putri:

  • Pangeran Santipuspa
  • Silastuti (akhirnya menikah dengan adipati dari Mataun)
  • Santiwira (akhirnya menjadi Ki Ageng mBedhog, cikal bakal Desa mBedgog Pamotan)
  • Sulantari (akhirnya menikah dengan Tumenggung Pamotan)
  • Sulanjari (akhirnya menikah dengan Ki Ageng Ngataka, cikal bakal Desa Karangasem dan Gedhug)
  • Silarukmi (akhirnya menikah dengan Ki Demang Ngadhem)
  • Santiyoga (mendapat julukan Ki Ageng ngGada, menjadi Bintara Dhang Puhawang membantu kakaknya (Santipuspa), serta menjadi salah satu pimpinan Prajurit Pathol dan mengepalai pathol-pathol dari Nggada sampai Sarang)
  • Santidharma (akhirnya menjadi Demang di daerah Bakaran (Juwana) dan menurunkan pembesar-pembesar di Juwana dan Jakenan Pati)
  • Silagati (akhirnya menikah dengan Ki Ageng Sutisna dari Criwik, menurunkan pembesar-pembesar di bumi Argasoka)
  • Santikusuma (sejak kecil ditinggal ayahnya mengabdi ke Majapahit dan diasuh Santipuspa, saat dewasa dibimbing kakeknya Sunan Bejagung dari Tuban dan diberi nama Said, kelak menjadi waliyullah yang tersohor dengan sebutan Kalijaga)

Silsilah dari Pangeran Santipuspa ke bawah:

Silsilah dari RM. Wigit (Raden Panji Arya Adipati Tejakusuma III) ke bawah:

Penghormatan oleh etnis Tionghoa

[sunting | sunting sumber]
Klenteng Gie Yong Bio di desa Babagan, Lasem

Masyarakat Lasem pada masa itu sangat berduka karena gugurnya Raden Panji Margono. Penduduk Tionghoa di Lasem menghormatinya dan membuat patungnya (kimsin) untuk diletakkan di atas altar pada kelenteng Gie Yong Bio di Lasem. Penghormatan Raden Panji Margono sebagai seorang Jawa-muslim oleh komunitas Tionghoa di Lasem dapat disebut unik di seluruh Indonesia, selain menjadi bukti persahabatan leluhur kedua komunitas.[4]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b R. Panji Kamzah. "Kitab Carita Sajarah Lasem". Ditulis ulang oleh R. Panji Karsono tahun 1920. Diunduh pada Perang Kuning/Perang Cina/Perang Lasem.
  2. ^ Pusat Studi Sejarah & Budaya Maritim Universitas Diponegoro. 2003. "Menggali Warisan Sejarah untuk Pengembangan Objek Wisata. Rembang: Kantor Pariwisata Kabupaten Rembang.
  3. ^ Endro Catur. 1 Januari 2009. Trilogi Lasem: Cu An Kiong, Saksi Sejarah yang Tetap Tegar Diarsipkan 2013-09-27 di Wayback Machine..
  4. ^ Chendong Long. Editor: 王海波. 31 Maret 2012. China News Network, 印尼拉森的庙堂文化:悠久历史充满华人气息.