Tari Moriringgo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tari Moriringgo atau Tari Riringgo adalah tari rakyat asal Sulawesi Selatan yang sejak dahulu sampai sekarang dilestarikan oleh suku Padoe. Tarian syukuran ini sering dilaksanakan setelah selesai melaksanakan padungku (panen). Arti kata moriringgo merupakan "rintangan". Selain pada acara syukuran karena panen yang berhasil, juga dilaksanakn pada acara syukuran menyambut Pongkiari yang pulang berperang dan menang, serta acara syukuran menyambut Saliwu waktu pulang dari Palopo menebang pohon Langkanae.

Asal usul[sunting | sunting sumber]

Suku Padoe adalah suku yang berdiam di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Suku Padoe tersebar di Kecamatan Wasuponda, Towuti, Mangkutana, dan Nuha. Mereka banyak terdapat di daerah pegunungan dan lembah di Luwu Timur. Populasi Suku Padoe diperkirakan sekitar 18.000 orang. Suku Padoe mendiami daerah ini diperkirakan sejak abad ke XIV yang bermigrasi dari daearah Sulawesi Tengah. Dalam bahasa setempat istilah “Padoe” berarti “orang jauh”. Di Luwu Timur mereka menjadi bagian dari dua belas anak suku di bawah pemerintahan kedatuan Luwu. Dari cerita rakyat, Suku Padoe ini berasal dari suku Lili To Padoe Bangkano Kalende, yang terbagi menjadi empat suku yaitu Padoe, Lasaelawali, Kinadu dan Konde. Pada era pemberontakan DI/TII Abdul Kahar Muzakkar, banyak orang Padoe yang kembali ke tanah nenek moyang mereka di Sulawesi Tengah seperti Beteleme, Poso, Taliwan, Parigi, dan lain-lain. Suku Padoe menganut agama kepercayaan Melahomua sebuah aliran kepercayaan yang meyakini kekuatan alam, pohon, yang dianggap keramat, gunung, bukit hingga hal-hal kecil lainnya. Pada tahun 1920-an ketika misionaris Kristen datang beberapa di antara Suku Padoe kemudian memeluk agama Kristen.[1]

Dalam melaksanakan tarian ini, agar memberikan kemeriahanpesta panen biasanya dipersiapkan tidak kurang dari 1000 bambu pewong disiapkan untuk dikonsumsi bersama sambil menikmati suguhan Moriringgo, tarian adat suku Padoe biasanya dibawakan oleh anak-anak muda di daerah setempat.[2]

Perkembangan[sunting | sunting sumber]

Pada abad ke 14 ketika kedatuan Luwu mencapai kejayaannya Mokole Matano bergabung dengan kedatuan Luwu. Dari tempat ini Luwu menyebarkan kemahsyurannya terutama di Jawa lantaran kualitas besi yang mengandung nikel hasil peleburan di Danau Matano, di luar Luwu, Matano lebih dikenal sebagai Rahampu’u atau rumah pertama di pesisir Matano sekaligus menjadi penghuni pertamanya. Peleburan besi di Matano dilakukan dengan cara sederhana, tungkunya dari tanah, pipanya dari bambu, sementara tuasnya dari bahan kayu yang dilapisi bulu ayam agar angin yang dihasilkan tidak keluar dari bambu dan menghembus cepat ke tungku satu.[3]

Luwu timur merupakan salah satu kabupaten yang baru dibentuk dan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Luwu Utara. Di Kabupaten Luwu Timur terdapat beragam suku bangsa karena Luwu Timur merupakan daerah transmigrasi. Adapun suku bangsa seperti Bugis, Luwu, Toraja, Bali, Jawa, Pamona, Padoe, Karunsie, dan Tambee, dan masih banyak lagi lainnya. Meskipun terdiri atas banyak anak suku, namun kehidupan toleransi beragama dan kesukuan cukup tinggi di wilayah ini.[4]

Di dalam kebudayaan suku Padoe terdapat beberapa warisan adat istiadat yang masih berjalan hingga saat ini, salah satunya yaitu tari moriringgo yang dilakukan pada saat pesta syukuran panen yang biasa disebut Padungku, yang masih berjalan hingga saat ini di beberapa daerah di Luwu Timur, yang mayoritas penduduknya berasal dari Suku Padoe. Tarian moriringgo adalah salah satu tarian tradisional anak suku Padoe (anak suku dari eks kerajaan Luwu), di samping tarian mongkaliboe, tarian laemba, tarian dero dan lain-lain.[5]

Tarian moriringgo diiringi dengan dentuman gendang dan gong yang sekaligus memberikan semangat kepada para penari, juga diiringi nyanyian syair lagu berisi puja dan puji terhadap keindahan dan kekayaan alam “Wute Nuha” karena sifatnya yang riang gembira. Tarian moriringgo pada dewasa ini sering ditampilkan pada event-event penting. Termasuk menyambut tamu-tamu atau pejabat-pejabat penting yang berkunjung di Kab Lutim, bahkan sering juga ditampilkan pada hari-hari raya nasional. Selain itu, biasanya tarian ini juga digunakan sebagai tarian untuk pembukaan acara turnamen Tupun perlombaan. Tarian moriringgo adalah salah satu tarian andalan atau kebanggaan di Kabupaten Luwu Timur.[6]

Untuk melestarikan adat istiadat dan kesenian suku Padoe, maka dibuatlah sebuah lembaga adat yang menaunginya. Lembaga adat ini dinamakan PASITABE. Di bidang seni dan budaya lembaga adat Pasitabe yang menaungi tiga suku telah melakukan kerja sama dengan beberapa instansi antara lain Pusat Studi Lagaligo di Universitas Hasanuddin (Unhas) dalam rangka revitalisasi kesenian tradisional di Wasuponda yang telah dilakukan sebanyak tiga kali, yakni tahun 2006, 2008, dan 2010. Hasilnya sudah 36 generasi muda dan generasi tua yang telah mengikuti latihan untuk tarian mongkaliboe dan moriringgo. Selain itu, tahun 2006 lembaga adat Pasitabe dipanggil mengajarkan tarian Moriringgo di Universitas Negeri Makassar (UNM) di Makassar oleh Pusat Studi Lagaligo selama tiga bulan, yaitu November 2006 sampai Januari 2007, sedangkan pada tahun 2007, tarian moriringgo sudah tampil dalam festival Keraton Nusantara di Tenggarong dan dalam pameran pembangunan di Benteng Fort Rotterdam.[7]

Tarian moriringgo berkembang mengikuti zaman dikarenakan oleh banyak seniman yang mulai membuat kreasi pada tarian ini dengan tidak menghilangkan unsur penting dalam tarian.

Fungsi[sunting | sunting sumber]

  • Fungsi terdahulu dari tarian moriringgo yakni sebagai tarian kemenangan ketika Suku Padoe mengalami kemenangan di medan perang. Selain itu, tarian ini juga digunakan untuk melakukan budaya padungku (pesta panen). Budaya padungku dilaksanakan oleh masyarakat secara serentak dengan acara pokok makan bersama. Pada acara ini juga ditampilkan tarian dero bersama dan tarian moriringgo sebagai tarian pesta panen sebagai ungkapan rasa syukur.[8]
  • Fungsi tarian Moriringgo saat ini telah mengalami pergesaran, jika dahulu tarian ini hanya ditampilkan pada momen tertentu saja. Berbeda untuk saat ini sebab tarian Moriringgo telah dijadikan sebagai tari hiburan, tarian menyambut tamu kehormatan, ditampilkan pada festival tari tingkat kabupaten. Selain itu, tarian moriringgo kini memiliki nilai edukasi karena tarian ini telah dilestarikan melalui sanggar-sanggar tari dan diajarkan di sekolah.[9]

Busana penari[sunting | sunting sumber]

Laki-laki[sunting | sunting sumber]

  • Ikat kepala segi tiga yang terbuat dari kain batik.
  • Model baju biasa dengan leher terbuka.
  • Warna baju bisa beragam, ada warna merah, biru, dan kuning emas.
  • Memakai selempang pada bagian bahu ke bawah.
  • Terdapat hiasan pada pinggir leher, lengan, dan bagian bawah baju.
  • Model celana biasa yang menggunakan karet di pinggulnya dan celana panjang satu jengkal di bawah lutut.
  • Warna celana hitam dan bisa juga disesuaikan dengan warna baju (saluara Tinaboro).

Perempuan[sunting | sunting sumber]

  • Waloa untuk penutup kepala wanita terbuat dari kain, bagian depan dilengkapi dengan model yang menyerupai tanduk sapi.
  • Warna baju beragam, ada warna merah, biru, dan kuning emas.
  • Rok model panjang, bisa juga memakai sarung batik dengan motif warna hitam/coklat.

Perubahan unsur dan instrumen[sunting | sunting sumber]

Dahulu Sekarang
Ikat kepala yang digunakan penari wanita berbentuk tanduk sapi[10] Ikat kepala yang digunakan saat ini terbuat dari kain yang lebih keras dan tebal sehingga tegak berdiri ketika digunakan di kepala. Ikat kepala menggunakan ikat kepala khas Kerajaan Luwu, hal ini dilakukan sebab telah mendapat persetujuan dari pihak Kerajaan Luwu karena suku Padoe telah menjadi bagian dari Kerajaan Luwu.[11]
Ekor sapi[10] Ekor sapi telah diganti dengan tongkat kecil yang dihiasi dengan bulu-bulu ayam yang disebut rambuti. Rambuti atau biasa dikenal dengan sebutan kemoceng yang terdiri dari bulu-bulu (bulu ayam) yang diikat dengan penyangga dan tersusun rapi.[12]
Kain baju terbuat dari kain blacu[10] Kain baju saat ini terbuat dari kain satin dan ditambahkan manik-manik agar terlihat lebih menarik.[5]
Ponai (parang), besi panjang yang ditempa, digunakan para penari, merupakan parang asli.[10] Ponai (parang) terbuat dari kayu.[13]
Durasi tarian[10] Konsekuensi dari adanya komersialisasi budaya berdampak pada durasi tarian. Durasi tarian moriringgo dahulu dapat dilakukan hingga semalam suntuk namun saat ini tinggal beberapa menit saja. Meskipun begitu pesan yang ingin disampaikan dari tarian ini tetap terjaga.[14]
Baju yang berbentuk seperti halnya kemeja, terbuat dari kain katun sutera yang dibuat sedemikian rupa dengan bagian tangan berbentuk lengan panjang. Dengan diberi hiasan berupa manik-manik berwarna kuning emas, dengan bagian depan memiliki kancing dan perekat lainnya. Pada ujung atas sebelah kiri dan kanan dibuat lubang sesuai dengan lebar lengan tangan, lubang tersebut berfungsi sebagai lubang keluar masuknya lengan.[10] Semakin banyaknya variasi warna dan bahan kain. Hal tersebut juga turut memberikan perubahan warna dan jenis kain yang digunakan untuk membuat pakain penari. Ada beberapa warna yang digunakan yakni Merah, Merah Muda, dan Biru. Tetapi warna kuning tetap menjadi dominasi dan selalu ada dari setiap pakaian yang digunakan. Warna kuning melambangkan padi di sawah yang siap dipanen selain itu warna kuning juga berarti kemenangan dan kejayaan.[15]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Sritimuryati (2019). "Perkembangan Tari Moriringgo di Kabupaten Luwu Timur: Kajian Historiografi Tarian Tradisional". Jurnal Walasuji. 10 (1): 26. ISSN 2502-2229. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-17. Diakses tanggal 2020-06-28. 
  2. ^ Portal Sulawesi (26 Juni 2018). "Seribu "Pewong" Meriahkan Pesta Panen Padungku di Desa Manurung, Malili". Portal Sulawesi. Diakses tanggal 26 Mei 2020. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ Alamsyah, Nala Dipa (2015). "Melihat Jejak Peradaban Lama di Desa Matano" (PDF). Sorowako. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-06-29. Diakses tanggal 29 Juni 2020. 
  4. ^ Sritimuryati (Juni 2019). "Perkembangan Tari Moriringgo di Kabupaten Luwu Timur: Kajian Historiografi Tarian Tradisional". Jurnal Walasuji. 10 (1): 26. ISSN 2502-2229. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-21. Diakses tanggal 2020-05-19. 
  5. ^ a b Mas'ud (26 Juni 2016). "Pesta Panen Padungku di Desa Manurung, Malili – Kabupaten Luwu Timur". Tegas. Diakses tanggal 26 Mei 2020. 
  6. ^ Abdul Karim, Sulaiman (05 November 2016). "Pasitabe Cup II Dibuka Dengan Nuansa Adat". Rakyatku News. Diakses tanggal 26 Mei 2020.  [pranala nonaktif permanen]
  7. ^ Lestari, Rizky; Jamilah; Solihing (2019). "Kajian Tari Moriringgo Pada Acara Penyambutan Tamu Pemerintahan di Kabupaten Luwu Timur". Jurnal Pakarena. 4 (2): 19. ISSN 2714-6081. 
  8. ^ Siara, Asran (26 Juni 2018). "Begini Kemeriahan Pesta Panen Padungku di Malili Luwu Timur". Bone Pos. Diakses tanggal 26 Mei 2020. [pranala nonaktif permanen]
  9. ^ Antara News (3 Mei 2011). "Tari Moriringgo". Antara News. Diakses tanggal 26 Mei 2020. 
  10. ^ a b c d e f Sritimuryati (2019). "Perkembangan Tari Moriringgo di Kabupaten Luwu Timur: Kajian Historiografi Tarian Tradisional". Jurnal Walasuji. 10 (1): 28. ISSN 2502-2229. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-17. Diakses tanggal 2020-06-28. 
  11. ^ Lembaga Adat Padoe (9 November 2016). "Sinopsis Tarian Riringgo". Lembaga Adat Padoe. Diakses tanggal 26 Mei 2020. 
  12. ^ Lestari, Rizky; Jamilah; Solihing (2019). "Kajian Tari Moriringgo Pada Acara Penyambutan Tamu Pemerintahan di Kabupaten Luwu Timur". Jurnal Pakarena. 4 (2): 33. ISSN 2714-6081. 
  13. ^ Verbeek (2018). "Layanan Kesehatan Untuk Masyarakat Pesisir" (PDF). Verbeek. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-09-22. Diakses tanggal 3 Juli 2020. 
  14. ^ "Tari Moriringgo". Scribd. Diakses tanggal 2020-07-03. 
  15. ^ blokTuban.com. "Empat Warna Miliki Makna dalam Seni". bloktuban.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-07-03.