Lompat ke isi

Tauhid rububiyah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tauhid rububiyah adalah keyakinan dalam ajaran Islam tentang tauhid atas segala kehendak dan perbuatan Allah terhadap segala urusan di dalam alam semesta. Dalil utama mengenai tauhid rububiyah adalah Surah Al-Fatihah. Tauhid rububiyah dikaji dalam ilmu kalam dan akidah Islam. Ajaran Islam menganggap bahwa tauhid rububiyah merupakan fitrah bagi manusia. Seorang muslim dalam tauhid rububiyah mengimani bahwa Allah adalah pencipta seluruh makhluk sekaligus pengurus alam semesta. Adanya tauhid rububiyah membuat hukum-hukum manusia dibatalkan kedaulatannya dalam ajaran Islam.

Tauhid rububiyah pada dasarnya diartikan sebagai pengesaan atas Allah sebagai pemilik kekuasaan mutlak atas alam semesta. Hak untuk menciptakan, merencanakan, mengatur,  dan menjaga alam semesta hanya dimiliki oleh Allah. Dalil mengenai tauhid rububiyah banyak ditemukan di dalam Al-Qur'an.[1]

Surah Al-Fatihah ayat 1–4

[sunting | sunting sumber]

Tauhid rububiyah dilandasi oleh Surah Al-Fatihah ayat 1–4 dengan awalan ucapan basmalah. Lafalnya menyatakan bahwa Allah adalah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ucapan ini menginformasikan bahwa kasih sayang Allah telah diberikan kepada manusia. Allah sebagai Yang Maha Pengasih memberikan kasih-Nya kepada manusia yang beriman maupun yang tidak beriman. Bentuknya ialah penciptaan manusia disertai dengan kecukupan atas kebutuhan hidupnya. Sementara sifat Allah sebagai Maha Penyayang hanya diberikan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya.[2]

Penegasan kembali atas tauhid rububiyah dinyatakan pada ayat ke-2 Surah Al-Fatihah yang menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan atas seluruh alam. Lalu pada ayat ke-3, diadakan penegasan kembali atas kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya. Kemudian pada ayat keempat dibahas mengenai Allah sebagai penguasa hari pembalasan. Kekuasaan Allah atas hari pembalasan merupakan salah satu penjabaran tauhid rububiyah.[3]

Surah Az-Zumar ayat 62

[sunting | sunting sumber]

Surah Az-Zumar ayat 62 yang menyatakan bahwa Allah adalah pencipta sekaligus pemelihara segala sesuatu. Ayat ini menjelaskan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak atas makhluk baik yang hidup maupun yang mati.[4]

Kedudukan

[sunting | sunting sumber]

Tauhid rububiyah adalah salah satu bentuk tauhid.[5] Kedudukan tauhid rububiyah ialah pengertian mengesakan Allah dari segi syariat Islam.[6] Tauhid rububiyah dibatasi pada segala pembahasan mengenai sifat-sifat Allah yang memiliki dominasi atau pengaruh. Sifat-sifat ini antara lain sifat pencipta, pemberi rezeki, pengatur alam, kemampuan menghidupkan dan mematikan, dan kemampuan memberi petunjuk.[7]

Keyakinan yang termasuk dalam tauhid rububiyah terkait dengan keesaan Allah atas segala perbuatan-Nya. Dalam hal ini, Allah diyakini sebagai satu-satunya pencipta dan pemberi rezeki kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya serta sebagai pengatur dan penguasa atas alam dan seluruh urusan di dalamnya.[8]

Tauhid rububiyah termasuk salah satu objek pembahasan dalam ilmu kalam. Pembahasannya berkaitan dengan pengertian-pengertian dasar dalam akidah Islam mengenai Allah.[9]

Pengakuan

[sunting | sunting sumber]

Pengakuan atas tauhid rububiyah dijelaskan di dalam Al-Qur'an sebagai salah satu bentuk fitrah bagi manusia. Salah satu penjelasannya pada Surah Az-Zukhruf ayat 87. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa pada dasarnya semua manusia mengakui bahwa Allah adalah pencipta mereka. Sehingga seluruh manusia telah mengakui tauhid rububiyah.[10] Pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta juga menjadi fitrah bagi orang kafir. Pernyataan ini dijelaskan dalam bentuk pertanyaan pada Surah Az-Zumar ayat 38. Ayat ini menyatakan bahwa orang-orang kafir tetap menyembah selain Allah meskipun telah mengetahui bahwa pencipta langit dan Bumi hanyalah Allah.[11]

Pengakuan atas tauhid rububiyah bersifat terbatas pada individu-individu manusia. Tiap manusia dapat mengakui tauhid rububiyah dengan menyatakan bahwa keberadaan Allah benar-benar ada. Namun di sisi lain, pengakuan ini masih disertai dengan ketundukan terhadap hal lain selain Allah. Pengakuan manusia atas tauhid rububiyah bersifat tidak sempurna dan tidak sepenuhnya diyakini karena manusia dapat menyatakannya sambil mengadakan penyembahan lainnya.[12]

Keimanan atas tauhid rububiyah meliputi tiga hal. Pertama ialah beriman kepada perbuatan-perbuatan Allah yang bersifat umum. Perbuatan-perbuatan ini antara lain ialah pemberian rezeki serta kemampuan untuk menghidupkan dan mematikan makhluk. Kedua ialah beriman kepada qada dan qadar Allah. Ketiga ialah beriman kepada keesaan Zat-Nya.[13]

Pencipta seluruh makluk

[sunting | sunting sumber]

Allah sebagai pencipta seluruh makhluk dinyatakan dalam Al-Qur'an pada Surah Az-Zumar ayat 62. Selain menyatakan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, ayat ini juga menyatakan bahwa Allah adalah pemelihara segala sesuatu.[8] Dalam tauhid rububiyah, keimanan mengenai penciptaan Allah atas alam semesta meliputi dua hal. Pertama ialah penciptaan sesuatu yang keberadaannya dapat dilihat secara fisik. Kedua ialah penciptaan sesuatu yang keberadaannya tidak dapat dilihat secara fisik. Jenis ciptaan pertama antara lain Matahari, Bulan, bintang dan Bumi serta planet-planet lainnya. Sementara keberadaan yang tidak tampak ialah segala sesuatu di alam gaib.[14]

Pengatur alam semesta

[sunting | sunting sumber]

Keyakinan bahwa Allah adalah pengatur alam semesta merupakan bagian dari tauhid rububiyah. Hal ini dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 21-22. Dalam ayat 21, Allah menyatakan bahwa diri-Nya adalah pencipta manusia dan memerintahkan manusia untuk menyembah-Nya. Tujuannya agar manusia menjadi bertakwa. Lalu pada ayat 22 dijelaskan bahwa Allah merupakan pencipta Bumi, langit, hujan dan buah-buahan. Penciptaan ini disertai dengan fungsi-fungsinya. Bumi sebagai hamparan bagi manusia. Langit sebagai atap bagi manusia, hujan dari langit sebagai penghasil buah-buahan. Terakhir, buah-buahan sebagai rezeki bagi manusia. Setelah itu, diberikan larangan untuk mempersekutukan Allah.[15]

Pembatalan kedaulatan hukum buatan manusia

[sunting | sunting sumber]

Kedaulatan hukum yang dibuat manusia menjadi batal secara konsep melalui keberadaan tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah menegaskan bahwa pemilik kekuasaan dan kedaulatan secara mutlak hanya miliki Allah. Sehingga tidak satupun individu manusia dapat menyatakan diri sebagai pemilik kedaulatan dan kekuasaan. Manusia yang memiliki kekuasaan di dunia pada dasarnya hanyalah menerima titipan kekuasaan dari Allah yang sifatnya terbatas dan harus dilaksanakan dengan tanggung jawab. Kedudukan manusia sebagai khalifah juga dibatasi kekuasaannya dengan ketentuan-ketentuan dan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah.[16]

Kekuasaan manusia sifatnya terbatas dan nisbi meskipun tingkatan kekuatannya sangat dahsyat. Sementara kekuasaan Allah mampu memberikan manfaat atau kerugian tanpa ada halangan dan hambatan sama sekali. Keinginan Allah tidak dapat dibatasi sama sekali.[17] Kekuasaan yang dimiliki oleh Allah mencapai tahap mutlak hingga kehendak. Sehingga Allah adalah Yang Maha Berkehendak. Setiap kehendak yang diberikan Allah atas manusia tidak dapat ditolak atau dihalangi oleh siapapun. Kekuasaan Allah atas kehendak-Nya dinyatakan dalam Surah Al-An'am ayat 7. Dalam ayat ini, dinyatakan bahwa hanya Allah yang berhak untuk memberi, melarang, memberikan manfaat dan memberikan kerugian. Segala sesuatu selain Allah memiliki ketergantungan dan kebutuhan kepada Allah. Dalam hal ini, Allah memiliki sifat mandiri, sementara semua makhluk bergantung kepada-Nya.[18]   

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Rahman 2022, hlm. 15.
  2. ^ Rahman 2022, hlm. 16-17.
  3. ^ Rahman 2022, hlm. 17.
  4. ^ Rahman 2022, hlm. 15-16.
  5. ^ al-Fauzan 2021, hlm. 31.
  6. ^ Khoiruddin, Muhammad (2022). Zamroni, Ahmad, ed. Konsep Pendidikan Sosial Berbasis Tauhid dalam Perspektif Al-Qur'an (PDF). Jepara: UNISNU Press. hlm. 15. ISBN 978-623-5809-15-1. 
  7. ^ Rasyid 1998, hlm. 18.
  8. ^ a b Hasbi 2016, hlm. 2.
  9. ^ Yasin, dkk. 2014, hlm. 17.
  10. ^ al-Fauzan 2021, hlm. 32.
  11. ^ Sukiman 2021, hlm. 14.
  12. ^ Yasin, dkk. 2014, hlm. 32.
  13. ^ Hasbi 2016, hlm. 2-3.
  14. ^ Sukiman 2021, hlm. 13.
  15. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 68.
  16. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 67.
  17. ^ Rasyid 1998, hlm. 18-19.
  18. ^ Rasyid 1998, hlm. 19.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]
  • al-Fauzan, Shalih bin Fauzan (2021). Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah [Al-Irsyad Ila Shahih al-I’tiqad wa ar-Radd Ala Ahli asy-Syirki wa al-Ilhad]. Diterjemahkan oleh Karimi, Izzudin. Jakarta: Darul Haq. ISBN 978-979-1254-98-4. 
  • Yasin, T. H. M., dkk. (2014). Muthalib, Salman Abdul, ed. Studi Ilmu Kalam (PDF). Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. ISBN 978-602-1216-02-6.