Teori Pemosisian

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Teori pemosisian (Inggris: positioning theory) adalah teori dalam psikologi sosial yang menggolongkan interaksi antar individu. "Posisi" didefinisikan sebagai kumpulan keyakinan yang dapat diubah dari seorang individu sehubungan dengan hak, tugas, dan kewajiban mereka. Sementara, "pemosisian" merupakan mekanisme penerimaan atau penolakan peran untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Teori ini memungkinkan penentuan batas-batas tindakan di masa depan dan mengetahui makna dari ucapan maupun perilaku seseorang. Teori ini menjadi sebuah eksplorasi dari teori zona perkembangan proksimal (Inggris: zone of proximal development, disingkat ZPD) karya psikolog Lev Vygotsky. Teori pemosisian membahas keterkaitan antara posisi, ucapan, tindakan, dan alur cerita yang muncul dari aspek-aspek tersebut, di mana perubahan salah satu aspek akan memengaruhi aspek yang lainnya. Lebih lanjut, teori ini menawarkan sebuah kerangka yang berguna untuk memahami perilaku spesifik individu dengan mempertimbangkan faktor sosial, individu, dan moral.

Urutan pemosisian berdasarkan bagaimana posisi diasumsikan terdiri dari: pemosisian pertama, kedua, dan ketiga. Pemosisian juga dapat diklasifikasikan dalam berbagai jenis tergantung pada situasi spesifik, misalnya posisi diri sendiri, orang lain, diam-diam, disengaja, interaktif, refleksif, moral, pribadi, tidak langsung, dan penuh dendam. Berasal dari studi gender tahun 1980-an, teori pemosisian kemudian dikembangkan oleh Bronwyn Davies, Rom Harré, Luk Van Langenhove, dan Fathali Moghaddam. Teori ini memuat struktur untuk analisis wacana sosial dan dipergunakan untuk mempelajari situasi sosial. Penerapannya juga meluas ke bidang-bidang lain, seperti pendidikan, antropologi, komunikasi, dan ilmu politik.

Gambaran[sunting | sunting sumber]

Teori pemosisian memberikan pemahaman mengenai alasan individu memutuskan bertindak dengan suatu perilaku. "Posisi" didefinisikan sebagai kumpulan keyakinan yang dapat diubah dari seorang individu sehubungan dengan hak, tugas, dan kewajiban mereka. Posisi bersifat terbuka untuk sebuah perubahan (dibandingkan dengan "peran" yang bersifat konstan) dan menjadi landasan bagi individu untuk dapat menentukan bagaimana berperilaku dengan cara tertentu. Sementara, "pemosisian" merujuk pada mekanisme saat sebuah peran diterima, disesuaikan atau ditolak.[1] Pemosisian juga melibatkan bentuk-bentuk di mana individu membangun diri mereka sendiri dan orang lain melalui kegiatan diskursif, seperti ekspresi lisan dan tertulis, penggunaan bahasa, ucapan, dan tindakan lain berdasarkan sistem normatif dan moral.[2][3] Dalam hal ini, tindakan seseorang sangat bergantung oleh tindakan orang lain. Saat melaksanakan tugas, individu melibatkan kemampuan kognitifnya maupun kemampuan orang lain.[1]

Peneliti telah mempelajari narasi yang digunakan individu dalam rangka memposisikan dirinya dan orang lain. Studi-studi ini menyoroti posisi yang diemban oleh individu (bagi dirinya sendiri dan orang lain) berdasarkan interpretasi mereka terhadap “hak” dan “kewajiban”. Teori ini juga mempelajari pola ucapan dan tindakan yang bersifat berubah-ubah, tidak pasti, dan tidak kekal.[4] Karena sifatnya yang dinamis, teori ini sangat berbeda dengan teori peran yang relatif konstan dan statis.[5][6] Teori pemosisian dapat digunakan untuk menyelidiki bagaimana seorang individu membangun cerita mereka, rasa diri, tindakan sosial (termasuk bercakap), dan posisi yang ia sedang tunjukan.[3]

Kaitan dengan teori Lev Vygotsky[sunting | sunting sumber]

Lingkaran kedua mewakili zona perkembangan proksimal. Peserta didik tidak dapat menyelesaikan tugas tanpa bantuan, tetapi dapat menyelesaikannya dengan bimbingan.

Rom Harré dan Fathali Moghaddam mengatakan bahwa teori pemosisian merupakan eksplorasi mendalam dari karya para ahli teori sebelumnya, seperti Lev Vygotsky.[4] Teori ini cukup berkaitan dengan pendekatan Vygotsky yang mengulas aspek belajar dan mengajar, di mana teori ini dapat diterapkan pada studi pendidikan dengan penekanan pada atribut individu dan sosial.[3] Vygotsky berteori bahwa dukungan sosial yang positif dapat mendorong seseorang untuk meraih fungsi mental yang lebih tinggi.[7] Dalam ZPD Vygotsky, kinerja seorang pelajar dalam mengerjakan tugas dapat meningkat apabila ia mendapat dukungan dari orang dewasa atau ketika ia berkolaborasi dengan rekan-rekannya. Menurut Harré dan Moghaddam, teori pemosisian dapat menyempurnakan teori Vygotsky dengan menekankan variabilitas posisi yang muncul pada kelompok yang mendukung pelajar tersebut.[4]

Teori pemosisian menyoroti individu dan pengetahuannya dalam konteks pendidikan.[4] Peran dan posisi terlihat tumpang tindih, di mana pemosisian berperan sebagai sebuah alternatif yang menjelaskan peran seseorang.[3] Konsepsi keduanya sangatlah berbeda, mengingat "peran" bersifat statis dan "posisi" dapat berubah tergantung pada konteksnya. Davies dan Harré menjelaskan perbedaan ini dengan contoh peran seorang "ibu". Ada pemahaman umum tentang peran yang dimainkan seorang ibu dalam kehidupan seseorang, tetapi yang hilang adalah pemahaman yang terinternalisasi tentang sosok "ibu" pada setiap individu yang memainkan peran itu. Hal ini menandakan bahwa "posisi" sangat terpengaruh oleh pengalaman hidup yang unik dari setiap individu. Apakah seseorang menantikan atau menolak menjadi seorang ibu, atau terkait hubungan yang kuat atau renggang dengan sosok ibu mereka. Cerita dibalik setiap pengalaman hidup inilah yang lantas membangun posisi seseorang terhadap gagasan "ibu". Atas hal tersebut, teori pemosisian dapat diaplikasikan dalam lingkup pendidikan ketika menyoroti perbedaan “peran” seorang guru dengan “posisi” seorang guru.[8]

Atribut individu dan sosial[sunting | sunting sumber]

Segitiga pemosisian[sunting | sunting sumber]

Segitiga pemosisian, diadaptasi dari Van Langenhove & Harré (1999, hal.18) [9]

Makna (signifikansi) sosial dari tindakan pemosisian dapat dipahami melalui diagram segitiga pemosisian. Sudut yang saling terhubung pada segitiga menunjukkan bahwa perubahan di salah satu bagian akan memengaruhi sudut lainnya. Misalnya, merubah alur cerita akan merubah juga posisi dan tindak tutur (ucapan).[10] Harré dan Luk Van Langenhove menguraikan bahwa apa yang dilakukan seseorang merupakan fungsi dari "kapasitas orang untuk melakukan hal-hal tertentu", "batasan yang dikenakan orang untuk melakukan hal-hal tertentu", dan "intensi bahwa orang harus melakukan hal-hal tertentu".[1]

Posisi[sunting | sunting sumber]

Harré dan Moghaddam menyatakan bahwa gagasan tentang posisi terdiri dari komponen sosial dan individu.[11] "Posisi" digambarkan Harré sebagai "sekelompok hak, kewajiban, dan tugas jangka pendek yang dapat diperdebatkan" dari seseorang dalam berbagai konteks sosial. Dalam hal ini, hak, kewajiban, dan tugas tersebut diemban oleh karakter dan kepribadian seseorang.[10] Sementara, pembentukan posisi bersumber dari tradisi dan adat istiadat individu terkait. Sehingga, suatu posisi dapat dikatakan menentukan apa yang diizinkan untuk dikatakan atau dilakukan oleh individu.[11]

Ucapan dan tindakan[sunting | sunting sumber]

Setiap tindakan yang bermakna secara sosial, baik itu sebuah perbuatan atau ucapan perlu dilihat sebagai tindakan yang signifikan (bermakna). Contoh tindakan ialah melompat. Melompat mungkin dilakukan seseorang dengan tujuan untuk melewati objek, mengikuti instruktur pendidikan jasmani, berolahraga, atau untuk membuat sebuah gerakan yang dapat ditiru oleh orang lain. Tindakan ini hanya akan dianggap penting bila telah diidentifikasi menurut aturan perilaku moral atau sosial yang diterima dan dimaknai berdasarkan konteksnya. Situasi yang tepat (misal: kelas pendidikan jasmani) dan tindakan bermakna yang relevan (misal: instruktur menunjukkan cara melompat) harus muncul sebelum tindakan dilakukan (melompat oleh siswa). Setelah itu, akan ada konsekuensi lanjutannya, seperti penilaian kemampuan melompat.[10] Berbeda dari tindakan, ucapan tidak mendorong adanya ucapan yang lain.[11] Namun, ucapan dapat mendorong perkembangan alur cerita, di mana posisi baru dan ucapan lainnya terjadi. Sehingga ucapan dapat memaknai dan menjadi landasan ucapan lainnya.[12]

Alur cerita[sunting | sunting sumber]

Alur cerita adalah hasil dari ucapan dan tindakan. Individu dan orang-orang di sekelilingnya berperan dalam pembentukan pola narasi pada peristiwa sosial.[10] Alur cerita dapat dilihat sebagai siapa yang memiliki atau tidak memiliki hak atau kewajiban untuk bertindak, dan bagaimana ia bertindak. Saat memaparkan sebuah cerita, seseorang bisa saja diposisikan sebagai pahlawan atau penjahat, tergantung pada alur cerita yang tengah dibangun.[13] Oleh sebab itu, perubahan alur cerita dapat mengubah posisi awal individu yang terlibat.[10] Saat individu bercakap-cakap satu sama lain, ia dapat menggunakan narasi atau alur cerita untuk membuat tindakan dan kata-katanya menjadi penuh arti dan bermakna baik bagi dirinya maupun orang lain.[11]

Dimensi moral[sunting | sunting sumber]

Seluruh struktur sosial merupakan tatanan moral yang menentukan aturan perilaku yang dapat diterima. Dalam hal ini, ucapan membangun dan menggerakkan tatanan moral. Sementara, kecakapan individu dalam bertindak mandiri bersumber dari kemungkinan mereka untuk menentang tatanan moral ataupun menciptakan tatanan moral yang baru. Saat individu bertindak, maka di saat itulah ia sedang mengembangkan tatanan moral pribadi (misal: membenarkan perilakunya sendiri yang dianggap tidak bertanggung jawab atau tidak pantas). Oleh karena itu, tatanan moral pribadi terkadang dipandang lebih kuat dibandingkan tatanan moral yang berlaku di masyarakat.[14]

Situasi sosial[sunting | sunting sumber]

Teori pemosisian menganalisis berbagai situasi sosial yang berkaitan dengan tiga gagasan ini:[11]

  1. Ada banyak tatanan moral budaya, hukum dan institusional yang telah ditentukan sebelumnya dan memberikan posisi kepada individu (pelaku). Posisi-posisi ini menghasilkan kekuasaan dan hak yang diberikan kepada individu-individu tersebut.
  2. Ada alur cerita yang berkembang dan muncul yang membentuk tatanan moral lokal, di mana posisi awal dapat ditetapkan atau diubah.
  3. Ada tatanan moral pribadi dari individu yang memengaruhi tindakan dan ucapann seseorang. Seperti menyangkal dan menerima posisi yang telah ditentukan sebelumnya atau posisi yang dikembangkan melalui percakapan.

Kepribadian[sunting | sunting sumber]

Teori pemosisian berfokus pada dua aspek kepribadian:[15]

  1. Perwujudan diri: Tunggal, berkesinambungan, dan identik dengan diri sendiri. Aspek ini merupakan kesatuan dan kesinambungan dari sudut pandang maupun tindakan individu dalam berbagai konteks.
  2. Konsep diri: Keyakinan yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri, kualitas moral, kemampuan, ketakutan, dan kehidupannya. Aspek ini mengerucut pada subkonsep autobiografi diri dan diri sosial.
A. Autobiografi diri: Suatu bentuk pemahaman terhadap diri sendiri. Autobiografi diri bersifat dinamis sesuai dengan audiens dan situasi di mana orang tersebut mendiskusikan cerita mereka.
B. Diri sosial: Kualitas dan sifat yang ditampilkan individu ketika mereka berinteraksi dengan orang lain. Diri sosial setiap individu akan bervariasi berdasarkan konteks.

Jenis pemosisian[sunting | sunting sumber]

Tatanan posisi[sunting | sunting sumber]

Pemosisian pertama merujuk pada posisi yang diasumsikan individu dan terlepas dari pengaruh apapun. Pemosisian kedua merujuk pada perubahan pemosisian pertama sebagai akibat dari interaksi dengan orang lain dalam lingkungan sosial. Sedangkan, pemosisian ketiga merujuk pada situasi di mana interaksi sosial memengaruhi individu di luar lingkungan sosial sehingga individu mengemban posisi berdasarkan apa yang mereka amati.[6]

Pemosisian diri dan orang lain[sunting | sunting sumber]

Pemosisian diri terjadi ketika individu memposisikan dirinya, sedangkan pemosisian orang lain terjadi ketika individu memposisikan orang lain. Keduanya saling berkelindan. Hal ini disebabkan karena ketika seseorang sedang memposisikan dirinya, maka posisi orang lain juga perlu ditentukan, dan begitupun sebaliknya.[6]

Pemosisian diam-diam dan disengaja[sunting | sunting sumber]

Pemosisian diam-diam (implisit) biasanya termasuk pemosisian pertama, hasil dari interaksi sehari-hari, dan bersifat tidak disengaja. Pemosisian ini mengacu pada apa yang telah dipahami dan diinternalisasi dari waktu ke waktu. Sedangkan, pemosisian disengaja mengacu pada posisi yang secara sadar diasumsikan dan tergantung pada tujuan akhir dari posisi yang diasumsikan. Pemosisian disengaja dapat digolongkan menjadi empat jenis:[6]

  1. Pemosisian diri yang disengaja: Seseorang mengemban posisi tertentu dengan tujuan untuk menggambarkan sesuatu dengan cara tertentu. Hal tersebut dilakukan terlepas dari aspek faktualnya dan bertujuan untuk mencapai hasil spesifik.
  2. Pemosisian diri yang dipaksakan: Pemosisian jenis ini merupakan respons dari peristiwa eksternal dan lebih cenderung bersifat wajib daripada disengaja. Sebagai contoh, individu memposisikan diri dengan cara tertentu dalam menanggapi penilaian kinerja tahunan.
  3. Pemosisian orang lain yang disengaja: Pemosisian ini mengacu pada tindakan individu yang dengan sengaja memposisikan orang lain untuk mencapai tujuan yang mendasarinya. Dalam jenis ini, orang lain ditempatkan dengan atau tanpa kehadiran individu sasaran di lingkungan sosial. Contoh pertama adalah saat seorang pembicara mengikutsertakan audiens dalam pidatonya, sedangkan contoh lainnya ialah saat bergosip.
  4. Pemosisian paksa orang lain: Pemosisian ini terjadi ketika ada faktor eksternal yang mengharuskan seseorang mengambil posisi tertentu untuk orang lain. Misalnya, seseorang yang bersumpah di persidangan diharuskan oleh hukum untuk mengasumsikan posisi orang lain.

Pemosisian interaktif dan refleksif[sunting | sunting sumber]

Pemosisian interaktif terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang memposisikan orang lain berdasarkan perilaku dan apa yang mereka katakan. Sedangkan, pemosisian refleksif terjadi ketika individu memposisikan dirinya dalam menanggapi orang lain. Kedua pemosisian ini dijelaskan oleh Davies dan Harré melalui contoh interaksi antara siswa dan kepala sekolah. Kepala sekolah memergoki seorang siswa memakai topi di sekolah dan meminta siswa tersebut untuk melepaskannya. Namun, siswa tersebut justru menolak untuk mematuhinya dan menerima skorsing selama dua hari. Pemosisian interaktif dapat terlihat ketika kepala sekolah meminta siswa bersangkutan untuk melepas topinya dan kemudian memposisikan siswa tersebut sebagai pemberontak. Sedangkan, pemosisian refleksif terjadi ketika siswa menolak untuk mematuhi perintah kepala sekolah.[16] Davies dan Harré mengatakan bahwa pemosisian akibat interaksi ini terkadang dapat berlanjut ke alur cerita lain yang tidak terkait dengannya di masa depan. Misalnya, siswa bisa saja diposisikan sebagai pemberontak oleh kepala sekolah dalam sebuah interaksi di masa depan, meski interaksi tersebut tak terkait dengan histori interaksi masa lalu.[9]

Pemosisian moral dan pribadi[sunting | sunting sumber]

Pemosisian moral terjadi ketika seseorang berperilaku sesuai dengan hak, tugas, dan kewajiban perannya. Contohnya, profesor-mahasiswa, orang tua-anak, atau pegawai toko-pelanggan. Sedangkan pemosisian pribadi terjadi berdasarkan sifat dan pengalaman hidup, serta tidak menyesuaikan dengan peran umum atau yang diharapkan. Contohnya, seseorang yang telah mempelajari hukum dapat mewakili dirinya sendiri di pengadilan bahkan tanpa gelar sarjana hukum.[6]

Pemosisian tidak langsung[sunting | sunting sumber]

Pemosisian tidak langsung terjadi ketika seseorang menggunakan karakteristik tertentu untuk memposisikan baik atau buruknya individu terkait dengan hubungannya dengan diri sendiri dan keinginan kelompoknya. Misalnya, seseorang yang memposisikan dirinya sebagai "bodoh", maka akan menghalangi dirinya untuk melakukan kinerja kognitif di tingkatan tertentu. Contoh lainnya adalah ketika seseorang diposisikan sebagai "tidak bertanggung jawab", maka akan mengakibatkan individu tersebut dikucilkan oleh kelompok sosialnya dari tugas-tugas yang memerlukan tingkat tanggung jawab tertentu. Harré dan Moghaddam mencontohkan tipe ini dengan melihat bahwa pemimpin suatu negara dapat memposisikan bangsa yang diwakilinya secara keseluruhan. Misalnya, Eropa menyematkan frasa "Presiden Koboi" pada George W. Bush yang secara tidak langsung berarti memposisikan Amerika Serikat sebagai bangsa yang bodoh.[4]

Pemosisian balas dendam atau jahat[sunting | sunting sumber]

Pemosisian balas dendam terjadi ketika individu menyebabkan orang lain untuk menggambarkan dirinya secara negatif dan akibatnya memperlakukan mereka dengan buruk. Misalnya, seseorang memandang remeh penyandang disabilitas, sementara ia tidak menyadari perspektif yang bias ini.[4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Teori pemosisian berasal dari studi gender pada tahun 1980-an. Bronwyn Davies selaku profesor pendidikan di Universitas Western Sydney meninjau teori dari para cendekiawan feminis ini untuk memperluas subjektivitas, alur cerita, dan narasi dalam teori pemosisian.[17] Pengembangan teori pemosisian tahap awal kemudian dikerjakan oleh Rom Harré, Luk Van Langenhove, dan Fathali Moghaddam.[4][6] Harré dan Van Langenhove selanjutnya menyempurnakan teori tersebut secara konseptual. Penyempurnaan itu meliputi perbedaan pemosisian orde pertama dan kedua, pemosisian moral dan pribadi, pemosisian diam-diam dan disengaja, serta pemosisian diri dan orang lain.[6]

Teori pemosisian kemudian dijadikan kerangka analisis wacana sosial dan digunakan untuk mempelajari berbagai situasi sosial.[11] Meski berakar pada psikologi sosial, teori ini nyatanya dapat diterapkan pada bidang-bidang lain, seperti pendidikan,[18] antropologi,[19] komunikasi,[8] instansi kerja,[20] studi identitas politik,[21] dan hubungan masyarakat serta strategi komunikasi.[22]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Harré & van Lagenhove (1999), "Positioning Theory", The Palgrave Encyclopedia of the Possible (dalam bahasa Inggris), New Jersey: Blackwell: 1–7, ISBN 9780631211389 [pranala nonaktif permanen]
  2. ^ Anderson, Kate T. (2009). "Applying positioning theory to the analysis of classroom interactions: Mediating micro-identities, macro-kinds, and ideologies of knowing". Linguistics and Education. 20 (4): 291–310. doi:10.1016/j.linged.2009.08.001. 
  3. ^ a b c d Mcvee, Mary. Positioning Theory and Sociocultural Perspectives: Affordances for Educational Researchers. New York: Hampton Press. hlm. 1–22. 
  4. ^ a b c d e f g Harré dkk (2009). "Recent Advances in Positioning Theory". Theory & Psychology. 19 (2): 1–9. doi:10.1177/0959354308101417. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-12. Diakses tanggal 2022-03-12. 
  5. ^ Biddle, B.J. (1986). "Recent Developments in Role Theory" (PDF). Annual Review of Sociology. 12 (1): 67–92. doi:10.1146/annurev.so.12.080186.000435. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2 Januari 2020. 
  6. ^ a b c d e f g Harré, Rom; Langenhove, Luk Van (1991). "Varieties of Positioning". Journal for the Theory of Social Behaviour. 21 (4): 393–407. doi:10.1111/j.1468-5914.1991.tb00203.x. ISSN 0021-8308. 
  7. ^ Penuel, William R.; Wertsch, James V. (1995). "Vygotsky and identity formation: A sociocultural approach". Educational Psychologist. 30 (2): 83–92. doi:10.1207/s15326985ep3002_5. ISSN 0046-1520. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-12. Diakses tanggal 2022-03-12. 
  8. ^ a b Hirvonen, Pasi (2016). "Positioning Theory and Small-Group Interaction: Social and Task Positioning in the Context of Joint Decision-Making". Sage Journal (dalam bahasa Inggris). 6 (3): 1–15. doi:10.1177/2158244016655584. ISSN 2158-2440. 
  9. ^ a b Harré, Rom; Langenhove, Luk Van (1998). Positioning theory: Moral contexts of intentional action. New Jersey: Blackwell. hlm. 1–224. ISBN 9780631211396. 
  10. ^ a b c d e Perriton, Linda; Hodgson, Vivien (2013). "Positioning theory and practice question(s) within the field of management learning". Management Learning (dalam bahasa Inggris). 44 (2): 144–160. doi:10.1177/1350507612443939. ISSN 1350-5076. 
  11. ^ a b c d e f Van Langenhove, Luk (2017). "Varieties of Moral Orders and the Dual Structure of Society: A Perspective from Positioning Theory". Frontiers in Sociology (dalam bahasa Inggris). 2 (1): 1–15. doi:10.3389/fsoc.2017.00009. ISSN 2297-7775. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-12. Diakses tanggal 2022-03-12. 
  12. ^ Corson, David (1994). "Rom Harré & Grant Gillett, The discursive mind. Thousand Oaks, CA: Sage, 1994, Pp. viii, 192". Language in Society. 24 (3): 424–428. doi:10.1017/s0047404500018856. ISSN 0047-4045. 
  13. ^ Lönngren, Johanna; Adawi, Tom; Berge, Maria (2021). "Using Positioning Theory to Study the Role of Emotions in Engineering Problem Solving: Methodological Issues and Recommendations for Future Research". Studies in Engineering Education. 2 (1): 53. doi:10.21061/see.50. 
  14. ^ Aström, Thomas (2006). "Moral Positioning: A formal theory". Journal of Psychology Culture. 6 (1): 1–7. 
  15. ^ Harre, R. (2003). "Disputes as Complex Social Events: On the Uses of Positioning Theory". Common Knowledge (dalam bahasa Inggris). 9 (1): 100–118. doi:10.1215/0961754X-9-1-100. ISSN 0961-754X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-12. Diakses tanggal 2022-03-12. 
  16. ^ Sabat, S R (2003). Malignant Positioning and the Predicament of People with Alzheimer's Disease. Boston: Greenwood Publishing Group. hlm. 6. 
  17. ^ Harré, R.; Davies, B. (1990). "Positioning: The discursive production of selves". Journal for the Theory of Social Behaviour. 2 (1): 43–63. doi:10.1111/j.1468-5914.1990.tb00174.x. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-12. Diakses tanggal 2022-03-12. 
  18. ^ Dickson, Marcus W.; Den Hartog, Deanne N.; Mitchelson, Jacqueline K. (2003). "Research on leadership in a cross-cultural context: Making progress, and raising new questions". The Leadership Quarterly (dalam bahasa Inggris). 14 (6): 729–768. doi:10.1016/j.leaqua.2003.09.002. 
  19. ^ Handelman, Don (2008). "Afterword: Returning to Cosmology—Thoughts on the Positioning of Belief". Social Analysis. 52 (1): 3–8. doi:10.3167/sa.2008.520111. ISSN 0155-977X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-12. Diakses tanggal 2022-03-12. 
  20. ^ Harré & Moghaddam (2014). "The Psychology of friendship and enmity: relationships in love, work, politics, and war: v.1: Interpersonal and intrapersonal processes; v.2: Group and intergroup understanding". Choice Reviews Online. 51 (10): 51. [pranala nonaktif permanen]
  21. ^ Joss, Simon; Sengers, Frans; Schraven, Daan; Caprotti, Federico; Dayot, Youri (2019). "The Smart City as Global Discourse: Storylines and Critical Junctures across 27 Cities". Journal of Urban Technology. 26 (1): 3–34. doi:10.1080/10630732.2018.1558387. ISSN 1063-0732. 
  22. ^ James, Melanie (2014). Positioning Theory and Strategic Communication. UK: Routledge. hlm. 5. doi:10.4324/9781315886084. ISBN 978-1-315-88608-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-12. Diakses tanggal 2022-03-12.