Teori kelas Marxisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Karl Marx

Teori kelas Maxisme bertumpu pada pemikiran bahwa sejarah dari masyarakat yang ada sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas.[1] Dengan kata lain, teori kelas berpraanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial.[2] Misalnya saja keterasingan manusia adalah hasil penindasan suatu kelas oleh kelas lainnya.[2] Teori yang dikemukakan oleh Karl Marx ini bukanlah teori yang eksplisit, melainkan sebuah latar belakang uraian Marx tentang hukum perkembangan sejarah, kapitalisme dan sosialisme.[2] Dalam teori ini, Marx membedakan masyarakat berdasarkan mode produksi (teknologi dan pembagian kerja).[3] Dari masing-masing mode produksi tersebut lahir sistem kelas yang berbeda dimana suatu kelas mengontrol sistem produksi (kelas pemilik modal) dan kelas yang lain merupakan produsen langsung serta penyedia layanan untuk kelas dominan (kelas buruh).[3] Faktor ekonomi inilah yang akhirnya mengatur hubungan sosial pada masyarakat kapitalisme.[4]

Kelas sosial[sunting | sunting sumber]

Menurut Lenin, kelas sosial dianggap sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi.[2] Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Marx bahwa kelas berakar dalam hubungan sosial produksi, bukan hubungan dalam distribusi dan konsumsi.[5] Menurut Marx, pelaku utama dalam perubahan sosial bukanlah individu, tetapi kelas-kelas sosial.[2] Dalam setiap masyarakat terdapat kelas yang menguasai dan kelas yang dikuasai atau dengan kata lain terdapat kelas atas dan kelas bawah.[2] Marx membagi kelas sosial ke dalam tiga kelas, yakni kaum buruh, kaum pemilik modal dan tuan tanah.[2] Namun, dalam masyarakat kapitalis, tuan tanah dimasukkan ke dalam kaum pemilik modal.[2]

Kaum pemilik modal merupakan pemilik alat-alat produksi, membeli dan mengeksploitasi tenaga kerja serta menggunakan nilai surplus (nilai lebih) dari pekerja untuk mengakumulasi atau memperluas modal mereka.[4]

Kaum buruh merupakan tenaga kerja yang hanya memiliki kemampuan untuk bekerja dengan tangan dan pikiran mereka.[4] Para pekerja ini harus mencari penghasilan kepada para pemilik modal.[4]

Dalam sistem kapitalis, kaum buruh dan pemilik modal memang saling membutuhkan.[2] Buruh hanya dapat bekerja jika pemilik modal membuka tempat kerja. Pemilik modal membutuhkan buruh untuk mengerjakan kegiatan usahanya.[2] Akan tetapi, ketergantungan ini tidak seimbang.[2] Buruh tidak dapat bekerja jika pemilik modal tidak memberikan lapangan pekerjaan, tetapi pemilik modal masih bisa hidup tanpa buruh karena ia bisa menjual pabriknya kepada orang lain.[2] Dapat dikatakan bahwa kaum buruh adalah kelas yang lemah, sedangkan kaum pemilik modal adalah kelas yang kuat.[2] Pembagian masyarakat dalam kelas atas dan kelas bawah merupakan ciri khas masyarakat kapitalis.[2] Hubungan antarkelas tersebut pada hakikatnya merupakan hubungan eksploitasi.[2]

Individu, kepentingan kelas dan revolusi[sunting | sunting sumber]

Pertentangan antara buruh dan pemilik modal bukan dikarenakan para buruh iri atau para majikan egois, melainkan karena kepentingan dua kelas itu secara objektif berlawanan satu sama lain.[2] Terdapat tiga unsur dalam teori kelas yang dikemukakan Karl Marx.[2] Pertama, besarnya peran segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas.[2] Pertentangan antara buruh dan pemilik modal bersifat objektif karena kepentingan mereka ditentukan oleh kedudukan masing-masing dalam proses produksi.[2] Oleh sebab itu, seruan agar masing-masing pihak bisa menyelesaikan konflik secara musyawarah tidak bisa dilakukan.[2] Kedua, kepentingan kelas pemilik modal dan buruh secara objektif sudah bertentangan.[2] Hal ini menyebabkan masing-masing pihak mengambil sikap yang berbeda terhadap perubahan sosial.[2] Kaum pemilik modal bersikap konservatif, sedangkan kaum buruh bersikap revolusioner.[2] Pemilik modal sebisa mungkin mempertahankan status quo, sedangkan buruh berkepentingan untuk melakukan perubahan.[2] Ketiga, kemajuan dalam susunan masyarakat hanya bisa dicapai melalui revolusi.[2] Kelas bawah berkepentingan untuk melawan dan menggulingkan kelas atas.[2] Sebaliknya, kelas atas berusaha mempertahankan kekuasaanya.[2] Oleh sebab itu, perubahan sistem sosial hanya bisa dilakukan dengan jalan kekerasan, melalui revolusi.[2]

Negara kelas[sunting | sunting sumber]

Menurut Marx, negara secara hakiki merupakan negara kelas yang berarti negara secara langsung ataupun tidak langsung dikuasai oleh kelas yang menguasai bidang ekonomi.[2] Oleh sebab itu, negara bukanlah lembaga yang mengatur masyarakat tanpa pamrih, tetapi merupakan alat bagi kelas atas untuk mengamankan kekuasaan mereka.[2] Kedudukan negara tidak netral, melainkan berpihak pada kelas tertentu.[2] Negara hanya berpura-pura bertindak atas nama kesejahteraan rakyat, tetapi sebenarnya hanya siasat untuk mengelabui kelas pekerja.[2]

Ideologi[sunting | sunting sumber]

Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur kekuasaan sehingga orang menganggapnya sah padahal tidak sah.[2] Pendekatan ideologis ini misalnya klaim negara bahwa ia mewujudkan kepentingan umum padahal ia melayani kepentingan kelas atas.[2] Ideologi dalam arti yang sebenarnya bukan sarana yang digunakan kelas atas untuk menipu.[2] Ideologi benar-benar dipercayai seluruh masyarakat dengan polos. Akan tetapi, agama, moralitas dan berbagai nilai budaya dengan sendirinya menguntungkan kelas atas.[2] Hal ini disebabkan karena kelas atas yang menguasai sarana produksi materil dan spiritual yang berarti hanya kelas atas yang mampu meresmikan dan menyebarkan pikiran-pikiran mereka.[2] Kesimpulan dari kritik Marx terhadap ideologi adalah kita sebaiknya curiga jika penguasa mengkhotbahi masyarakat tentang nilai-nilai luhur serta kewajiban-kewajiban moral mereka karena tanpa disadari, khotbah seperti itu penuh dengan pamrih.[2]

Kritik[sunting | sunting sumber]

Kelas pekerja di negara-negara kapitalis maju yang menurut Marx akan menuju revolusi proletariat justru berhasil memperbaiki keadaan mereka dan menjadi pendukung sistem ekonomi kapitalis.[2] Kemajuan pekerja ini tentu bukan hadiah dari kaum pemilik modal, tetapi merupakan hasil perjuangan para pekerja itu sendiri tanpa perlu melakukan revolusi.[2] Oleh karena itu, apa yang dikatakan Marx bahwa perbaikan sosial hanya bisa tercapai melalui revolusi itu tidak benar.[2] Hal yang benar adalah setiap perbaikan sosial harus diperjuangkan.[2] Selain itu, pandangan bahwa negara secara hakiki adalah negara kelas belum tentu benar.[2] Di negara yang tidak menganut sistem demokrasi hal itu memang terjadi.[2] Namun, di negara dengan sistem demokrasi, negara bukanlah negara kelas. Semakin demokratis suatu negara maka negara tersebut semakin tidak menjadi negara kelas.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Inggris) "Class Theory". Diakses tanggal 28 April 2014. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as Franz Magnis Suseno (2010). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 110-134. ISBN 978-979-655-331-0. 
  3. ^ a b (Inggris) "Karl Marx's Social Theory of Class". Diakses tanggal 28 April 2014. 
  4. ^ a b c d (Inggris) "Marx's Theory of Social Class and Class Structure". Diakses tanggal 28 April 2014. 
  5. ^ (Inggris) "Marxism & the Class Struggle". Diakses tanggal 1 Mei 2014.